sumber: pinterest
oleh: Aliya Khairunisa
“Oke, dua jam lagi zoomnya selesai, semangat!” Ucapku menyemangati
diri sendiri. Baru hari senin tapi sudah tidak sabar untuk bertemu hari sabtu.
Walaupun pelajaran hari ini lumayan santai, tapi tetap saja berat. “Aku masuk
ke sekolah ini juga merupakan hasil usahaku, jadi, aku tidak bisa
menyia-nyiakannya begitu saja. Mumpung masih online, aku harus
menggunakan waktu dengan baik jangan sampai kalah dengan suasana”. Itu kataku
setiap saat. Namun, itu hanya bertahan di dua minggu pertama sekolah sampai
akhirnya aku menjadi tidak teratur.
“Ayo anak-anak dibuka kameranya ya… Ibu akan absen terlebih dahulu,”
Ucap Guru itu dari zoom. Satu-persatu wajah para peserta didik mulai terlihat
di layar. Guru itu mulai mengabsen muridnya satu-satu. “Jimin, tugas kamu yang
terakhir belum ya, nak? Ayo cepat dikerjakan, sudah berapa minggu ini?!” Tegas
guru itu ke salah satu peserta didik. “Iya bu, ini masih proses, nanti sore
akan saya kumpulkan.” Jawab Jimin. “Selanjutnya, Kai, kamu juga belum nih
tugasnya… Kapan mau dikumpulin?” Tanya guru itu kepadaku. “Iya bu, sebentar
lagi selesai.” Jawabku malu. “Oke, cepat ya, kalau tidak akan saya berikan
nol.” Tegas bu guru.
Lagi-lagi aku lalai dengan tugasku, ini bukan guru pertama yang
menanyakan hal itu kepadaku dalam sebulan ini. Tugas yang diberikan setiap
harinya aku terus tunda sampai tanggunganku yang lain tidak dapat terselesaikan
dengan cepat. Kalau begini caranya tugasku akan semakin menumpuk. Penilaian
semester satu juga sebentar lagi dan parahnya aku belum memahami materi
sepenuhnya di beberapa pelajaran. Apakah aku bisa berubah jika terus seperti
ini?
Dua jam setelahnya, menunjukkan pukul 12 siang. “Materinya sampai situ
dulu ya, anak-anak. Saya akan memberikan tugas terakhir sebelum penilaian akhir
semester satu. Keterangannya sudah saya cantumkan di classroom dan batas
pengumpulannya adalah minggu depan, jadi, saya harap kalian bisa memberikan
hasil yang maksimal ya! Kalau tidak ada lagi yang ditanyakan, saya akhiri dan
selamat istirahat!” Jelasnya lalu meninggalkan zoom kelas.
This meeting has ended by
the host. Aku langsung
mengklik shut down dan menuju ruang makan untuk makan siang.
Di meja makan sudah ada tempe goreng dan sayur sop bikinan Ibuku.
Sederhana tapi mewah. Biasanya saat makan siang kita memang tidak makan dengan
anggota lengkap. Siang ini di meja makan hanya ada aku dan Ibuku, yang lain
masih mengerjakan kesibukannya masing-masing. “Gimana kak? Ada tugas?” Tanya
Ibuku. “Banyak.” Jawabku singkat. “Makan yang banyak ya, biar kuat!” Ucap
Ibuku. “Iya…” Ibu sering menanyakan apakah tugasku banyak atau tidak, aku
selalu memberikan jawaban yang sama seperti tadi karena memang tugasku
menumpuk, tapi aku tidak berani memberi tahu seberapa banyak tugas yang bahkan
sudah menjadi missing.
Tiga puluh menit setelahnya, aku kembali ke kamarku untuk sholat
dzuhur dan segera kembali mengerjakan tugas yang belum terselesaikan. Aku
mengganti suasana belajar dengan duduk di lantai dan meja lipat melainkan
menggunakan meja belajarku yang sudah kududuki selama kurang lebih lima
setengah jam. Di atas kasurku ada Moon, Kucingku, yang tidur kekenyangan. “Kamu
enak ya, moon, kerjaannya tidur, bangun, dan makan saja…” Ucapku iri dengan
Moon yang bisa santai-santai. Aku menatap kucingku itu beberapa saat dan
kembali lagi menatap layar laptop. “Oke, mari kita mulai. Step by step.”
Belum juga lima belas menit, aku sudah kembali dengan ponsel genggamku
teralihkan oleh telefon dari temanku. “Kai! lo udah ngerjain tugas yang tadi
dikasih sama si ibu?” Tanya temanku-Ravi. “Tugas tambahan yang kemarin aja belum
selesai, Rav.” Jawabku dengan kesal. “Oh iya ya… Mau dibantu gak tugas yang
kemarin?” Tawarnya. “Gue bingung nyari topik aja sih...” Jawabku. “Hmm… lo kan
suka nonton film tuh, bikin aja ulasan tentang film yang lo suka dan anggap
bermoral! ” Ujar Ravi. “Oh iya! Boleh tuh, kok gue gak kepikiran ya… oke deh
makasih Rav!” “Iya deh... Cepet kelarin dah tuh tugas, kasian nanti si ibu mau
ngasih nilai kebingungan, Hahaha…” Tawa
Ravi. Aku ikut tertawa karena kalimatnya. “Semangat ngerjain tugasnya deh ya,
lo pasti bisa!” Sorak Ravi sebelum menutup telepon. “Iya! Lo juga semangat!”
Sorakku balik.
Aku kembali fokus ke laptop dengan halaman tugasku itu setelah
mendapat saran dari Ravi. Berkatnya, aku berhasil menyelesaikan dua paragraf,
tapi masih terhitung 250 kata. Aku harus berada di 1,000 kata untuk mencapai
kriteria minimal. Padahal, Ini bukan pertama kalinya aku menulis tapi kenapa
berat sekali. Banyak kalimat-kalimat yang sudah diubah entah berapa kali. Aku
kira ini akan berjalan cepat karena film yang aku ulas ini terekam dan
tergambar sangat jelas di kepalaku, tapi kenapa tidak bisa kujelaskan dalam
bentuk tulisan dengan baik? Kepalaku rasanya ingin pecah! Aku jadi tahu kenapa
ada kalimat mengatakan bahwa dalam mengerjakan sesuatu itu harus konsisten.
“Arghhh! Padahal, tugas yang lain juga belum selesai!? Kenapa menulis
begini aja belum selesai dari tadi!?” Kesalku memukul meja. Pikiranku sudah
terkuras banyak, mungkin jika aku istirahat lima menit dapat membantu. Iya lima
menit, ditambah lima menit lainnya. Selama istirahat itu aku malah asyik
melanjutkan episode kemarin yang tersisa tiga puluh menit lagi. Aku
bersantai-santai seakan aku tidak memiliki beban lain. Dan, yang terjadi adalah
waktu yang aku gunakan untuk istirahat sudah bukan lima menit lagi.
Tidak terasa sudah pukul 3 sore, azan ashar terdengar mengumandang.
Aku menghentikan video yang kutonton dan segera mengambil wudhu untuk bersiap salat.
Lagi-lagi aku masih berpikir, untuk menunda tugasku. Begitu terus sampai aku
memutuskan untuk berolahraga terlebih dahulu. Aku mencoba menjernihkan kepalaku
sejenak dengan jalan sore sambil mendengarkan musik yang diputar secara acak. Namun,
kepalaku tetap penuh dengan kepanikan karena tugas belum selesai. Di lagu kedua
yang terputar, rasanya aku pernah mendengarnya sampai terdengar lirik “I
don’t know you anymore” aku jadi ingat ini adalah lagu Eric Nam yang baru
keluar! Lagu ini membuatku mencoba mengerti isinya. Dari Chorus, I can't tell you where we went wrong. Maybe it's not anyone's fault. All
I know is I don't know you anymore. Lalu Post-Chorus,
We've gone too far, we fell too hard. Dan Verse ke-2 You can't burn a bridge and then act like it's not a big deal (Big
deal, yeah-yeah). Kalimat-kalimat yang kuperhatikan itu membuat Langkahku
terhenti. Rasanya seperti ada yang menamparku. Harusnya ini bertujuan untuk
orang-orang disana yang merasa kehilangan pasangannya! Masa aku bisa merasa
relate? Aku mencoba berpikir pelan. Apa aku kehilangan diriku sendiri? Apa aku
bukan Kai yang selalu ingin lebih dulu dari yang lain? Pikiran itu semakin
dalam dan air mata keluar dari mataku. Aku merasa kesal dengan diriku yang
menganggap enteng tanggung jawabku sekarang karena aku tahu aku bisa lebih dari
ini. “Ini memalukan! Aku harus pulang sekarang!” kesalku. Air mata itu masih
keluar sedikit. Aku mengusap air mata itu dan putar balik menuju rumah.
Sebelum membuka pagar, aku
menenangkan diriku dulu supaya tidak ada yang bertanya kenapa ada air yang
keluar dari mata anak laki-laki ini. Tapi perasaanku sekarang ini benar-benar
tidak bisa menerima diriku saat ini. Setelah mencuci tangan, aku langsung
menuju kamarku dan duduk didepan laptop lalu mulai merangkai kalimatku. Tentu
saja menulis dengan perasaan seperti ini tidak lebih mudah dari sebelumnya. Aku
tetap berusaha berpikir keras sampai akhirnya aku menyelesaikan tulisanku
sampai akhir. Sebelum dikirimnya tulisanku ini, aku melakukan pengecekan apakah
ada kesalahan dalam penulisan. Aku mulai kembali ke halaman pertama dan membaca
tulisanku dari awal. Selama membaca, tanganku bergerak sendiri membenarkan
kalimat yang kurang pas.“Tidak buruk juga, aku kurang puas sih… tapi, mending
selesai saja deh daripada pusing membuatnya sempurna.” Angguk kepalaku menilai
tulisanku sendiri.
Sinar matahari yang masuk ke
kamarku mulai berkurang. Ternyata sekarang sudah pukul 6 sore. Aku tidak sadar
karena fokus mengerjakan tugasku. Dari luar terdengar ada yang memanggilku
untuk makan malam. Aku hanya menjawab “Iya nanti” lalu diam dan menyelesaikan
tugas yang 96% selesai. “Yeay! Tinggal kasih nama dan kirim filenya nih... “
Ucapku tak sabar mengirim tugas ini. Aku terus menggetarkan kaki ke lantai
sambil membuka classroom. Akhirnya aku bisa mengklik turn in. Ini sebuah
kepuasan yang juga melegakan. “Assalamualaikum bu, saya Kai dari kelas 10 B
sudah mengumpulkan tugas tambahan dari ibu. Mohon maaf atas keterlambatannya ya
bu, terima kasih.” Tulisku dalam pesan ke Bu guru. “Waalaikumsalam Kai, iya
terima kasih sudah mengumpulkan ya nak…. Lain kali kalau ada kendala bisa
dibicarakan saja, tidak usah takut ya nak,” Balas Bu guru dengan cepat. “Iya
baik bu, terima kasih sekali lagi ya bu.” Balas Ku menutup percakapan.
Setelah sekian malam, tugas yang
tertunda satu minggu berhasil ku selesaikan. Walaupun masih banyak yang lain,
tapi satu-persatu terkumpulkan. “Nak, ayo makan udah dipanggil dari tadi,” Ucap
Ibu dari balik pintu. “Eh iya bu,ini
baru selesai ngerjain tugas.” Jawabku tersenyum riang. “Masa sampai
belum mandi gini, yaudah makan dulu sana sebelum dingin.” Ujar ibu mengomel.
“Iya hehehe” Jawabku terkekeh. Di ambang pintu, Ibu hanya bisa menggelengkan
kepala melihat kelakuan putranya yang satu ini.
Sampai di ruang makan, mata dan mulutku terbuka lebar melihat apa yang ada di meja makan. Ternyata sudah ada dua box pizza dengan topping kesukaanku. “Kamu pasti lelah ya banyak tugas. Ibu tahu kamu masih banyak yang belum terselesaikan. Makanya Ibu beli pizza biar kamu tetap happy.” Ucap ibu yang ada di belakangku. Aku memutarkan badanku dan memeluk ibuku sambil mengucapkan terima kasih. Jarang sekali kita memesan pizza untuk makan biasa tanpa ketentuan special. Maka dari itu aku merasa bersyukur masih ada orang yang mendukungku. Di awal mungkin terasa berat, tapi saat kamu mulai melakukannya dan menjalankannya, pasti akan terasa lebih mudah setelahnya. Dan ingatlah bahwa di sekitarmu pasti banyak yang mendukungmu, jadi kamu tidak sendirian. Semuanya juga sedang berusaha, jadi mari kita berjuang bersama untuk mencapai tujuan yang kita mau!