Tulisan ini menjadi bukti bahwa dunia terus berjalan, hati dapat berubah, dan pertemuan di waktu yang salah benar-benar ada.
Jakarta, 20 Juni.
Pada akhirnya, mereka adalah dua insan yang hanya mampu berteriak di pikiran masing-masing. Memikirkan suatu masalah dari siang hingga malam. Mempermasalahkan yang akan jadi pemenang, meski mereka sadar bahwa mereka berdua sama-sama telah ‘kalah’ dalam permainan. Permainan yang melibatkan hati, rasa, dan perasaan. Logikanya, insan mana yang tidak jatuh cinta jika diperlakukan sedemikian rupa?
Membawa peran sang abu yang hilang, perlahan mengembalikan arah kehidupan, dan kemudian pergi tanpa alasan. Namanya Kaivan, hobinya membuat orang tertawa. Tingkahnya tengil, tetapi sangat sopan pada orang yang lebih tua. Dan dia Nay, mungkin salah satu perempuan yang bisa Kaivan percaya. Entah se-percaya apa, tetapi yang jelas, bukan Nay yang memulai untuk jatuh cinta.
Ia datang di saat Nay hendak memulihkan diri. Di sudut sana ia menjemput Nay tiap hari, memberinya perhatian penuh, bahkan setiap sudut kota sekarang memiliki ceritanya sendiri. Awalnya, Nay merespons dengan rasa benci. Ia tidak suka dengan Kaivan yang menyebalkan sana-sini. Namun benar kata orang-orang, “Jangan terlalu benci, nanti jadi cinta”. Dan hingga suatu hari, Nay sadar bahwa itu bukan sekedar kalimat meledek lagi. Itulah fakta yang sebenarnya terjadi. Kini, Nay benar-benar jatuh hati dan masuk dalam perangkap seorang Kaivan.
Naasnya, Kaivan bermain api, tatkala ia sedang berlari mencari jati diri. Ia lupa, bahwa Nay juga seorang diri di dunia ini. Ia lepaskan Nay begitu saja, di saat Nay sudah mulai menginginkannya juga. Kebisingan di kepala mereka memenuhi sunyinya ruangan yang ditempati. Penuh tanya, penuh elakan, penuh juga rasa khawatir akan takut kehilangan. Namun, di sisi yang lain, hati tidak bisa berbohong bahwa ia telah lelah menghadapi ‘cinta’ yang kian mendatangi. Ia butuh rehat, namun ia tak mampu bersanding dengan akal sehat. Hati akan selalu menjadi hati. Ia akan berjalan pada jalannya sendiri dan selalu berbeda pendapat dengan kejamnya logika ini.
Nay dan segala trauma dan pikiran berlebihannya, begitu juga dengan Kaivan yang masih belum sepenuhnya damai dengan masa lalunya. Keduanya sebenarnya sama saja, sama-sama belum matang dan damai untuk sekedar memulai. Jika dilanjutkan, mereka hanya akan saling menyakiti. Nay dengan segala pikirannya yang berlebihan. Lalu Kaivan dengan asumsi dan keraguan luar biasanya akan sebuah hubungan. Mereka hanya berakhir sebagai teman yang hanya mampu memandang. Bukan mereka yang biasanya, bukan lagi mereka yang pernah dengan canda dan tawa.
Mungkin gak sekarang
Tapi kalau nanti?
Hanya Tuhan yang tahu.
Teringat mereka pernah bernyanyi di
tengah gerimis hujan. Di atas kuda besi, dengan udara sejuk nan asri.
Mengelilingi Jakarta sambil bersenandung ria bahagia. Dengan keadaan sang hawa
duduk di belakang menggunakan jaket milik sang adam untuk menutupi kepala.
Sedangkan sang adam sendiri berusaha keras menutupi salah tingkahnya sendiri.
Bahkan setelah ini, Jakarta dan hujannya sudah menjadi saksi
bahwa kita pernah bahagia di sini.
Mereka terpaksa ‘menyudahi’ sesuatu
yang tidak pernah mereka mulai ini karena sebuah kesalahpahaman. Bukan salah
mereka jika harus berpisah sekarang. Ini karena takdir memang berkehendak
demikian. Takdir ingin mereka dewasa. Takdir ingin mengajarkan apa itu cinta,
apa itu mengikhlaskan, dan apa itu pengorbanan yang sebenarnya.
“Yang terbaik datang setelah
berpikir matang-matang, bukan sekedar ‘bersantap’ asal datang.”
-Hello (Again), Cello.
——
Tulisan ini dibuat bukan untuk
mengenang, tulisan ini dibuat sebagai kisah yang akan terus berlanjut. Tulisan
ini sebenarnya juga dibuat karena sang penulis ingin mengabadikan seseorang di
dalamnya. Selain dibuat untuk seseorang, tulisan ini juga diperuntukkan bagi
mereka yang merasa telah bertemu dengan orang yang tepat, tetapi di waktu yang
salah.
Jika boleh jujur, sang penulis sempat bingung dengan perasaannya sendiri sampai berlari untuk menulis di sini. Ditemani lagu yang kian menghantui pikiran, Jodoh Pasti Bertemu milik Afgan. Ia mampu merangkai kata demi kata yang mendeskripsikan ‘luka’ yang ia rasa.
Penulis menyebut penggores luka-nya itu dengan sebutan ‘Si Tampan yang Bijaksana’. Ia kuat, memiliki rasa percaya diri tinggi, serta berwibawa. Namun, sebenarnya ia juga orang yang sangat rapuh dan pelik. Ia adalah pemilik hati yang mudah terbolak-balik.
Secepat itu perubahan yang diberikan olehnya, sampai sang penulis tak sadar bahwa ia sedang menahan raga yang hendak melangkah jauh pergi dari hidupnya. Ia tak sadar bahwa rasa leganya itu hanya sementara. Karena sejatinya, tidak ada orang yang benar-benar akan menetap di dunia, people come and people go itu nyata.
Sang penulis tidak ingin kehilangan yang ini. Penulis masih ingin mengukir cerita yang lebih panjang dengannya meski sebatas teman yang hanya bisa menyapa di koridor kelas sehari-hari.
Tulisan ini dipenuhi dengan kekhawatiran, penyesalan, pengorbanan, dan keikhlasan. Waktunya begitu singkat, tapi yang diberikan terlanjur melekat. Perubahan dan rasa hampa akan menjadi teman baik bagi mereka yang selalu merasa gagal. Semua terasa begitu cepat, tak perlu menyalahkan waktu karena terlalu singkat. Perasaan, hati, dan pikiran tidak mampu dikendalikan oleh akal sehat. Biarkan waktu yang menjawab kala keduanya sedang rehat.
Damaikan hati, damaikan pikiran, suatu saat kita akan bertemu lagi di kala waktu yang sudah tepat.
Pada akhirnya, orang dari masa lalu bukan hanya soal menjadi pemenang. Orang dari masa lalu kadang tak sadar kita jadikan sebagai acuan untuk masa yang akan datang. Padahal, tentu tidak ada insan yang sama di dunia ini. Maka, jangan pernah menjadikan masa lalumu sebagai ‘pembanding’ bagi orang yang bersamamu—atau akan bersamamu sekarang. Seperti kata mereka, “Jangan baca buku yang baru, kalau yang lama saja belum selesai”. Selesaikan terlebih dahulu masa lalumu. Ikhlaskan dulu, berdamai sepenuhnya dulu, dan yakinkan dirimu terlebih dahulu. Dengan meyakini diri bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda, di situlah kamu akan menemukan titik baru untuk berdamai. Maka biarlah waktu yang menemukan titik perdamaian itu.
Masih banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab dari kepala yang berisik ini. Ada kalanya hati terasa sakit saat menyadari bahwa ia yang biasa memberi tawa tidak akan sama lagi. Ada pula rasa tak terima saat mengingat kalimat-kalimat keramat yang juga berhasil menggores hati. Sesakit itukah mencintai?
“Seandainya waktu itu lebih hati-hati, apa semua ini gak akan terjadi?” pertanyaan yang enggan untuk ditanya, tapi selalu terlintas tanpa dosa di kepala. Pertanyaan penuh sesal dari orang yang juga tidak bersalah, karena pada akhirnya kesalahpahaman-lah yang akan menjadi pemenangnya.
Untuk yang tercinta…
Maaf dari sang penulis — yang masih jauh dari kata sempurna.
Maaf jika sering buat susah, maaf sering marah-marah, dan maaf juga karena tak
sengaja mengembalikan luka lama. Damai selalu, semoga bahagia, dan semoga lekas
pulih dari segala macam trauma.
——
Apapun yang terjadi, semoga Tuhan segera memberikan jawaban atas pertanyaan yang kita miliki.