Dari Sudut Si Sulung (Si Sulung yang Terpenjara oleh Kebimbangan tak Berartinya)

 

oleh: Fhirly Gelshi Fahima

Selamat datang di duniaku. Dunia yang sempit, rapuh, bahkan sudah mendekati kehancurannya. Bukan atas inginku hingga semuanya jadi begini. Aku hancur karena cinta pertamaku. Tulisan ini dibuat bukan untuk dibaca. Aku hanya ingin mengutarakan isi hati yang tak bisa aku sampaikan padanya secara langsung. Aku Asha, dan izinkan aku untuk menulis sedikit tentang si Biang Kerok itu. Seseorang yang selama ini orang anggap brengsek dan berani-beraninya menghempas bahagia keluarga kecilku.

 

Perkenalkan, dia adalah Ayahku sendiri.

 

“Papa itu jahat, pelit, dan gak sayang sama anak-anaknya.” Itu adalah kalimat yang kerap kali terucap dari bibir Mama. Bertahun lamanya, pikiranku selalu diselimuti oleh pikiran itu. 

 

Aku sudah menjauhi ayahku sejak usiaku masih 10 tahun. Sejak mereka berdua (orang tuaku) bercerai tentunya. Aku benar-benar membencinya kala itu. Bahkan untuk dipeluk saja aku tak mau. Ia pernah mengajakku keluar untuk jalan-jalan sore, lalu aku menolak dan diam di rumah nenek. Kala itu bukan hanya dunia yang jahat pada ayahku, tapi aku juga. Sedih sekali jika harus mengingat kenangan itu. Sekarang usiaku sudah 16 tahun dan sedikit menyesali tindakanku itu.

 

Papa, jadi kita mau jalan-jalan lagi kapan?

 

Tapi, sebenarnya apa sih yang kuketahui tentang semua ini?

Tidak ada! Aku hanyalah gadis berusia 10 tahun yang tidak mengerti apa-apa.

 

Itu kata mereka.

 

Aku tahu itu, aku memang anak kecil yang masih amat bergantung pada orang tuanya. Tapi pernahkah mereka melihat ke arahku sebentar? Setidaknya, melihatku menangis? Tidak pernah! Aku tidak pernah menangisi nasibku kala itu. Aku tidak pernah diberi kesempatan untuk bersedih pula. Orang rumah dengan tiada hentinya menyuruhku untuk fokus belajar, dan meraih cita-cita.

 

Mereka pikir, aku tidak mengerti apa-apa.

Mereka kira, aku akan percaya saja jika ada yang mengatakan “semua akan baik-baik saja”.

Tapi nyatanya,

Aku memahaminya.

Aku hanya berusaha untuk terlihat tegar saja.

Itu aku, aku yang baru hidup 10 tahun.

 

 

Sejak perceraian orang tuaku, aku sudah jarang bertemu dengan cinta pertamaku itu (Papa). Padahal dulu saat usiaku masih 4 tahun, aku sangat dekat dengannya. Kalian tahu? Dulu, setiap hari Sabtu atau Minggu, aku dan Papa sering berkeliling kota menggunakan sepeda motor. Bahkan aku pernah mengajaknya keliling di sore hari padahal ia baru saja sampai rumah. Dengan wajahnya yang terlihat lelah, ia masih mau menerima ajakanku untuk jalan-jalan.

 

Bahagia ternyata sesederhana itu, ya?

 

Hingga suatu hari, bencana datang dan orang tuaku akhirnya memutuskan untuk berpisah. Sejujurnya, aku tidak sedih sama sekali saat itu. Aku sudah lelah dengan pertengkaran mereka, meskipun aku tidak pernah tahu bahwa perceraian akan membawakan efek yang sangat merubah hidupku.

 

Satu tahun… dua tahun… Hidupku terasa biasa saja. Papa dinas di Yogyakarta sedangkan aku menetap di Jakarta bersama ibu dan satu adik laki-lakiku (kandung). Banyak yang terjadi, sampai aku melihat ibuku menikah lagi. Aku masih—dan selalu baik-baik saja saat itu. Tapi ada bagian dari hati kecilku yang menjerit sakit. Pernikahan Mama dan suaminya hanya akan memperbaiki ekonomi keluarga, bukan memperbaiki kondisi mentalku. Bahkan sampai hari itu, hatiku menolak untuk ikhlas. Aku masih ingin bersama Papa.

 

Papa kabarnya gimana ya sekarang? Udah nikah juga, ya? pikirku.

 

Selama bertahun-tahun, aku hanya berkomunikasi dengan papa untuk mengabari soal uang bulanan yang sudah dikirim atau belum. Biasanya, mama akan marah-marah padaku jika uang bulanan yang papa kirim belum masuk ke rekening. Mama selalu protes jika uang bulanan itu tidak akan mencukupi kebutuhanku dan adik. Aku akui, memang benar begitu. Tapi haruskah aku mengetahui segala macam masalah perekonomian keluarga sampai sedetail ini? Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dalam situasi seperti ini.

 

 

Aku hanyalah anak usia 14 tahun kala itu. Kadang hatiku merasa rindu pada sosok ayah. Sosok lelaki yang seharusnya menjadi cinta pertama seorang anak perempuan, kini malah menjadi sosok yang paling ku benci dalam hidupku. Aku yakin pasti akan ada laki-laki baik di luar sana yang bisa mengisi kekosonganku. Namun keyakinanku selalu patah. Aku pernah mencoba untuk berkenalan dengan cinta, hingga aku sadar, cinta adalah perihal mengikhlaskan. Cinta itu damai. Selama ini aku hanya mencari bagian dari hidupku yang hilang. Aku tidak pernah benar-benar mencintai mereka. Selayaknya aku yang seperti itu, mereka juga tak segan untuk memainkan perasaanku.

 

Kini usiaku sudah 15 tahun. Aku merasa sudah cukup paham tentang konsep takdir yang Tuhan berikan padaku. “People come and go”, salah satu kalimat keramat yang tak pernah aku percayai  dulu. Tapi setelah apa yang sudah terjadi, aku belajar sendiri bahwa setiap orang pasti ada waktunya masing-masing. Aku sering menangis sekarang, hehe. Bukan karena ‘buaya kemarin sore’ itu kok.

 

Aku jadi sering merindukan Papa..

 

 

Bagiku, momen ketika wisuda Tahfidz di sekolah adalah momen yang sangat tak terlupakan. Layaknya wisuda pada umumnya, setiap anak diminta untuk mengajak pendamping/orang tua mereka masing-masing. Tapi saat itu mama sedang sakit, tidak ada yang datang untuk menemaniku. Aku hanya bisa melihat teman-temanku memberikan bunga dan ijazah pada orang tua mereka sedangkan aku duduk dan menyerahkan semua itu pada wali kelasku.

 

“Gak apa-apa, gak perlu nangis… cup, cup, cup,” kata wali kelasku dan langsung memeluk tubuhku waktu itu.

 

Sejak saat itu, pikiranku tentang Mama langsung berubah. Memang benar, saat itu Mama sedang sakit walau tiba-tiba. Tapi aku merasa inilah titik kesendirianku. Di tengah meriahnya suasana wisuda Tahfidz, di situlah hatiku seolah teriris karena melihat banyak temanku yang memiliki keluarga yang lengkap.

 

“Kalau gak sama Mama-nya, mereka bisa ditemani sama Papa-nya. Terus aku sama siapa?” pikirku, lagi dan lagi. Rasanya ingin marah pada takdir, namun… inilah takdir. Aku harus menerimanya.

 

Mungkin bagi mereka, ini sangat biasa. Tapi bagiku, ini luar biasa sakitnya. Di hari yang spesial dan penuh dengan suka cita, malah harus kujalani dengan banjiran air mata. Tapi untungnya, ada temanku—Putri—yang bersama ibunya mau menemaniku dalam sesi foto bersama. Putri dan ibunya mengajakku berfoto, padahal harusnya sesi foto itu dilakukan oleh mereka berdua saja…

 

Aku merasa tidak enak hehe tapi terima kasih, Putri!

 

 

Bagiku, mereka berdua (Mama dan Papa) itu sama saja. Mereka juga pasti lebih merasakan sakit lebih dari yang aku rasa. Tetapi jika harus dilihat dari lensaku, aku harus bilang bahwa mereka cukup egois juga. ya.

 

Aku merasa seperti tumbuh sendirian tanpa kasih sayang seorang ayah. Aku berdiri dengan kakiku meraih suatu pencapaian, terkadang bukan untuk diriku sendiri. Tetapi untuk mereka, Mama dan Papa. Aku hanya ingin mereka sekali saja melihat ke arahku. Melihat bagaimana kondisiku. Aku ingin mereka melihat pengorbananku, yang meski sedikit tapi bagiku ini harus diapresiasi. Terkadang aku juga merasa bodoh karena haus akan validasi begini. Seringkali kulihat teman-temanku, mereka semua keren dan patut dikagumi. Mental mereka stabil, pembawaan mereka santai, dan tidak emosian sepertiku.

 

Dan hingga kini, orang tuaku tidak pernah menanyakan ‘kabarku’ 7 tahun ke belakang. Aku terus-menerus mencari letak kedamaianku hingga sekarang. Aku terus berkelana mencari sebab atas apa yang terjadi dengan diriku yang selalu berdamai dengan guncangan-guncangan baru yang kubuat sendiri.

 

Guncangan nilai anjlok, guncangan laki-laki brengsek, dan guncangan-guncangan yang mengganggu lainnya.

 

Hidupku dipenuhi pertanyaan, dan aku harus berdamai secara perlahan. Rasanya ingin sekali berlari meminta sebuah pelukan. Namun ke siapa? Ke mana? Orang tuaku ada di mana?!

 

Mereka hanya sibuk bekerja, mereka sibuk menghidupiku, memang. Hidup ini ada lebih ada kurang, iya aku tau. Tapi bolehkah sekali saja aku berteriak marah? Aku lelah dengan diriku yang sering terlihat lemah. Aku muak dengan keadaanku yang sekarang. Semakin dewasa, aku semakin paham dengan semua hal yang berkaitan dengan mereka. Aku… aku hanya ingin, hidup lebih tenang…

 

Pikiranku berisik, diriku sering terombang-ambing masalah yang kupikirkan sendiri. Mereka kira, pikiranku itu muncul secara sengaja. “Gak usah dipikirin, santai aja,” itu kata mereka semua. Tapi apa? Tidak semudah yang mereka kira! Aku bergelut dengan pikiranku yang penuh, berkali-kali memikirkan kapan waktu-ku untuk sembuh?! Tapi, apakah aku tahu bahwa aku pernah merasakan ‘sakit’ sebelumnya? Aku juga tidak tahu!

 

Ini akibat sering memendam amarah dahulu. Saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku sering meluapkan emosiku tanpa sadar. Aku juga bingung sebenarnya aku kenapa. Aku sampai pernah dinasehati, “Kak, kalau ada masalah di sekolah jangan marah-marah di rumah ya,” dan setelah itu, aku langsung merasa bersalah… apakah aku seburuk itu tadi?

 

Emosiku terpendam, amarahku memuncak, aku terlalu kejam untuk disebut sebagai seorang wanita biasa. Mungkin, ini juga bagian dari pendewasaan remaja. Tapi lenapa masalahku selalu sama?

 

Keluarga, keluarga, keluarga.

 

 

Tanpa sadar,  selain overthinking, aku juga oversharing. Aku tidak tahu cara mengungkapkan perasaanku, dan aku juga seolah tidak punya “rem” untuk mengutarakan ceritaku. Aku sering dianggap bodoh karena hal itu. Aku seperti tidak ada ruang privasi, padahal menurutku itu bukanlah apa-apa. Aku juga bingung yang salah bagian yang mana. Masih banyak sekali yang harus aku pelajari (lagi), sendirian.

 

 

ngapa kayak sedih amat ya ini, bersambung btw hehehehehehe

Dari Sudut Si Sulung (Si Sulung yang Terpenjara oleh Kebimbangan tak Berartinya)