Sumber: https://www.ft.com/
Oleh: Naufal Fadil, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta
Banyak isu tentang adanya intervensi Rusia dalam
pemilihan presiden (pilpres) tahun 2016. Menurut saya, kabar bahwa Rusia
mengintervensi pilpres pada tahun 2016 merupakan sebuah fakta. Banyak bukti
yang mendukung pendapat tentang kecurangan ini, walaupun kabar itu terus
dibantah oleh Rusia dan Presiden Donald Trump.
Pada detik-detik menuju pilpres, banyak proyek jajak pendapat yang
memperkirakan kemenangan bagi Hillary Clinton. Proyeksi tersebut antara lain
dikeluarkan oleh “New York Times” yang memprediksi kemenangan bagi Hillary sebesar 92%, FiveThirtyEight 87%, dan PredictWise 90%. Namun, hampir tidak ada jajak pendapat
atau pun proyeksi hasil pemilu AS yang menunjukkan kemenangan bagi Capres
Partai Republik Donald Trump. Oleh karena
itu, kemenangan Trump sangat mengejutkan dan menimbulkan banyak isu kecurangan.
Selain itu, Presiden Trump juga bersikap sangat ramah kepada Presiden
Putin. Trump sendiri berupaya untuk menjalin
kerja sama dengan Putin dalam pelbagai isu. "Sungguh kehormatan besar bisa bersama Presiden Putin. Kami memiliki
banyak hal untuk dibahas, termasuk perdagangan dan termasuk sejumlah pelucutan
senjata," Ucap Trump. Ucapan Trump ini sangat menimbulkan kecurigaan, karena AS dan Rusia tidak
pernah memiliki hubungan yang baik. Tidak ada Presiden AS sebelumnya yang
bersikap sangat ramah kepada Presiden Rusia. Keramahan
ini tambah memperkuat pendapat tentang intervensi Rusia dalam pemilu.
Lalu, semua pertanyaan dan isu terkait intervensi Rusia dalam pilpres akhirnya terjawab. Intelijen AS dan penyelidikan yang dilakukan penasihat khusus, Robert Mueller, telah mencatat upaya luas dari intelijen Rusia dan kelompok media sosial Rusia yang bernama “Internet Research Agency” dalam membantu Presiden Donald Trump dan merugikan kandidat Demokrat, Hillary Clinton, dalam pilpres AS tahun 2016 lalu. Laporan Mueller yang dirilis mencatat serangkaian upaya besar-besaran oleh tim kampanye Trump untuk bekerja sama dengan Rusia demi meningkatkan kesempatan kemenangan pengusaha real-estate itu dalam pillpres 2016.
Bukti lain Rusia untuk mengintervensi politik AS dibeberkan bulan lalu dalam tuduhan yang dilayangkan terhadap seorang perempuan warga negara Rusia. Perempuan itu bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan di St. Petersburg yang dikenal sebagai “Internet Research Agency”.
Pengadilan menunjukkan, setelah menghabiskan 12
juta dolar AS untuk sebuah proyek intervensi pemilihan AS melalui media sosial
pada 2016, perusahaan itu juga menganggarkan 12,2 juta dolar AS tahun lalu.
Perusahaan itu kemudian dilaporkan telah menghabiskan 10 juta dolar AS hanya
dalam semester pertama 2018. Surat
dakwaan pengadilan mengatakan, Internet Research Agency menggunakan akun media
sosial palsu untuk mengunggah konten bermuatan politik termasuk ras, kontrol
senjata, dan imigrasi. Konten itu bahkan mengejek politisi tertentu dalam
berita tertentu.
Detik-detik sebelum pemilu AS
2020, juga ada dugaan bahwa Rusia akan mencoba kembali mengintervensi pemilu
AS. Di hadapan komisi kehakiman pada Senat AS, Direktur
Biro Investigasi Federal (FBI), Christopher Wray,
memperingatkan bahwa Rusia masih terus berupaya mengintervensi pemilu AS.
Peringatan ini disampaikan Wray sekitar 16 bulan sebelum pemilihan presiden
atau pilpres AS kembali digelar.
Ternyata, upaya tersebut
kembali diungkap lagi oleh Badan Intelijen Amerika. Berdasarkan laporan baru
yang dirilis oleh Direktur CIA, Campur tangan dilakukan Rusia dengan melakukan operasi untuk merendahkan
pencalonan Presiden Biden dan Partai Demokrat, mendukung mantan Presiden Trump,
merusak kepercayaan publik dalam proses pemilu, dan memperburuk perpecahan
sosio-politik di AS. Selain Rusia, laporan tersebut juga mengungkap ada beberapa musuh asing yang berusaha ikut mengintervensi
pemilu AS. Namun, tidak ada indikasi bahwa musuh asing AS berusaha merubah aspek teknis apa pun
dari proses pemungutan suara pada pemilu AS 2020.
Terungkapnya
laporan bahwa Rusia berusaha mengintervensi pilpres 2020, membuat Presiden
Amerika Serikat Joe Biden geram. Biden mengancam Presiden Rusia Vladimir Putin,
bahwa dia akan membayar atas perbuatannya mencoba merusak pencalonanannya dalam
pilpres kemarin. Hubungan AS dan Rusia menjadi semakin tegang hingga Rusia
memutuskan untuk menarik Duta Besarnya di Washington, yaitu Anatoly Antonov
kembali ke Moscow.
Tidak menutup kemungkinan bahwa
kerusuhan yang terjadi di Capitol Hill, pada awal 2021 juga dilatarbelakangi
oleh agen intelijen Rusia. Intelijen adalah aktor di belakang layar. Bagian
dari pekerjaan intelijen adalah memprovokasi untuk membuat keadaan negara musuh
tidak stabil seperti yang ada di film. Jadi, mungkin saja Rusia mengirim
agennya untuk memprovokasi agar politik AS memburuk.
Amerika Serikat sangat malu
atas kerusuhan di Capitol Hill. Negara yang sering disebut negara yang
demokrasinya kuat, ternyata kebalikannya. Para pemimpin dunia mulai dari Iran, Turki, China, hingga negara-negara sekutu Amerika Serikat seperti
Jerman, Inggris, dan India,
mengecam aksi kerusuhan tersebut. Iran mengejek AS dan menyebut
bahwa demokrasi Barat lemah setelah kerusuhan yang dilakukan oleh pendukung
Trump. Tidak terlihat unsur suatu negara demokrasi pada Amerika Serikat setelah
kerusuhan yang terjadi.
Intervensi Rusia di pilpres AS
ini membuat saya bertanya, bagaimana pemilihan presiden di Indonesia. Apakah
ada campur tangan negara asing dalam pemilihan presiden di Indonesia? Untuk
menjawab pertanyaan ini, perlu diketahui bahwa setiap adanya kegiatan politik,
selalu ada tujuan yang tersembunyi. Beberapa politisi dalam negeri atau negara
lainnya baik sekutu maupun musuh sangat tergantung dengan hasil pilpres karena
globalisasi. Globalisasi membuat seluruh dunia menjadi suatu sistem yang saling
bergantung. Oleh karena itu, beberapa pihak berusaha mengganggu pilpres agar
hasilnya menguntungkan pihak tersebut. Contohnya, seperti Rusia berusaha agar
Trump menjadi presiden, karena kebijakannya menguntungkan Rusia.
Para kandidat juga sangat
bergantung kepada politisi tersebut. Mereka berhasil menjadi kandidat dan
sumber uang kampanye berasal dari para politisi tersebut.
Lalu, pihak dari masing-masing
kandidat berusaha dengan segala cara baik yang mengikuti hukum atau tidak agar
menjadi pemenang. Ini menunjukkan bahwa pilpres bukan hak rakyat melainkan
hanya sebuah agenda politik dan konflik kepentingan beberapa orang. Demokrasi
menjadi gagal pada akhirnya. Jadi,
menurut saya sistem pilpres Indonesia juga ada campur tangan pihak lain,
tetapi hanya tidak terungkap.
Agenda politik seperti ini
akan selalu mengancam demokrasi suatu negara. Pemilihan presiden adalah hak rakyat
yang tidak boleh diganggu-gugat. Namun, hak tersebut selalu diganggu karena
agenda politik negara asing atau politisi negara sendiri. Pada akhirnya, tujuan
pemilihan presiden ini bukan untuk kepentingan rakyat, namun untuk kepentingan
segelintir politisi.
Menurut saya, negara yang menganut paham demokrasi pun, sebenarnya bukan negara demokrasi. Demokrasi merupakan suatu paham yang mudah disebut namun susah untuk dilaksanakan. Di depan layar, terlihat para rakyat memiliki hak seperti hak untuk memilih presiden dan hak kebebasan berbicara. Namun, hak itu secara diam-diam dikurangi. Contohnya, intervensi dalam pilpres dan pembunuhan Munir. Para pemimpin yang tidak bertanggung jawab ini, seharusnya mewakili rakyat bukan mengekang rakyatnya. Paham demokrasi itu hanya sekadar nama yang tertera tanpa adanya keberlangsungan. Pada akhirnya, yang dirugikan adalah rakyat.
“Sistem demokrasi memang tidak sempurna, tapi hanya sistem yang minim masalah,” ucap Jusuf Kalla. Tetapi memang, tidak ada yang namanya ideologi yang sempurna. Masing-masing ideologi memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kekurangan yang ada pada dalam demokrasi adalah praktiknya yang masih belum mengikuti aturan seperti korupsi dan warga minoritas kurang didengar aspirasinya.
Oleh karena itu, bagian yang kurang dari sistem demokrasi harus kita benahi agar sistem terlaksana dengan baik dan demi kepentingan rakyat.