oleh: Raya Lauri, Kalyn Mulia, Humaida Lutfiah
Hukum,
ialah sebuah kata yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum merupakan
peraturan atau adat, yang secara resmi
dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau
otoritas. Adapun guru besar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Mochtar Kusumaatmadja, memandang
hukum itu sebagai alat bantu dalam segala macam proses perubahan yang ada di dalam masyarakat. Lalu, hukum menurut
Mochtar merupakan sebuah
kaidah dan asas yang berguna dalam
mengatur hubungan masyarakat yang dibuat dengan keadilan. Ya, ini berarti hukum merupakan media dalam mewujudkan
suatu keadilan.
Keadilan? Sering kali ukuran kata ini ditafsirkan dengan berbeda-beda. Merujuk
kembali pada Kamus Besar Bahasa Indonesia atau biasa disingkat menjadi
KBBI, kata keadilan berasal dari kata
dasar “adil” yang berarti sama berat, tidak berat sebelah, dan tidak memihak; berpihak kepada yang benar, berpegang pada
kebenaran. Dengan ini berarti hukum menjunjung
keadilan dengan kesetaraan. Selanjutnya, ada gagasan pendukung mengenai prinsip keadilan menurut
John Rawls bahwa keadilan itu memang
bertujuan untuk menghasilkan kebahagiaan atau kemanfaatan bagi orang sebanyak-banyaknya (the greatest
good for the greatest number).
Nah, sekarang bagaimana sih hukum di Indonesia sendiri? Sedang tidak seperti yang diharapka, bukan? bagaimana bisa? Sekarang ini banyak sekali orang-orang yang melanggar hukum namun yang dihukum hanya beberapa, tidak semuanya. Saat diberi sanksinya pun juga berbeda, banyak pemimpin yang saat melakukan kesalahan mendapatkan sanksi yang berbeda dengan sanksi yang sebenarnya. Sebagai contoh, ada seorang “pejabat” yang memang sudah terbukti bahwa ia terlibat dalam kasus korupsi yang di mana ia telah menghabiskan uang rakyat dan hukuman seharusnya tertera pada UU No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Namun, “pejabat” ini justru hanya mendapat hukuman
selama 2 tahun, bahkan, ada yang hanya
diperiksa-periksa saja dan tidak lanjut diusut padahal sudah terbukti secara
jelas ia melakukan tindakan korupsi.
Tetapi, jika boleh melihat fenomena peristiwa pada berpuluh abad ke belakang waktu di Indonesia, terdapat kerajaan yang berdiri pada 594 Masehi dan sangat terkenal karena memiliki sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi keadilan, nilai hukum, serta kesetaraan di mata hukum. Didukung juga berdirinya kerajaan ini dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto yang menggunakan huruf Kawi dan bahasa Melayu Kuno di Desa Sojomerto, Kec. Reban, Kab. Batang, Jawa Tengah. Prasasti Sojomerto ini berisi cerita tentang keluarga Dapunta Syailendra.
Nama Kerajaan dengan salah
satu peninggalannya ini yaitu
Kerajaan Kalingga atau dikenal juga dengan nama kerajaan Holing, Keling,
dan Heling. Pada awalnya, nama Kalingga ini bukan berasal
dari nusantara tetapi “Kalingga” ini berasal dari sebuah kerajaan
di India bagian selatan,
meskipun di nusantara letaknya berada
di sebelah utara dari Gunung Muria dekat dengan pekalongan dan jepara. Lalu, selanjutnya kerajaan Kalingga diberi
sebutan Holing yang berasal dari bahasa Tiongkok atau China dikarenakan banyaknya pendeta yang datang ke nusantara
pada saat itu.
Kerajaan Kalingga mencapai masa puncaknya pada pimpinan
seorang perempuan yang memiliki paras
cantik, yaitu Ratu Sima. Lalu, ada berita cina abad 7-8 Masehi dari Dinasti
Tang yang mengatakan bahwa Kerajaan
Kalingga merupakan kerajaan yang sangat kuat di pulau ini (Jawa) dan ini menjadikan kerajaan
Kalingga terkenal seantero yang oleh karena ketegasan hukum Ratu Sima. Hukum yang dibuat oleh
Ratu Sima ialah hukum potong tangan maupun kaki bagi siapapun yang mencuri atau bahkan memegang barang yang
bukan hak miliknya, tanpa terkecuali meskipun
masih bagian dari keluarga. Siapapun
yang melanggar peraturan
akan dijatuhi hukum sanksi
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sehingga ia selalu menghimbau rakyatnya
untuk senantiasa mengedepankan sikap kejujuran dan menerapkan
keadilan tanpa memandang bulu.
For Your Information! Ratu Sima sendiri tidak segan memotong kaki anaknya sendiri loh! Kenapa, ya? Suatu saat, terdapat
seorang raja asing bernama Ta-Shih yang disebut-sebut berasal dari Timur Tengah ini penasaran dan geram akan
keperkasaan Kalingga sehingga secara diam-diam
ia datang ke kerajaan Kalingga dengan tujuan menguji adanya hukum politik yang tegas mengenai kejujuran
di kerajaan Kalingga dengan meletakkan sebuah kantong berisi emas di suatu persimpangan jalan dekat
alun-alun wilayah kerajaan Kalingga. Berhari-hari kemudian, tidak ada seorang
pun yang berani
menyentuh kantong emas tersebut. Hingga
pada 3 tahun
kemudian, Pangeran Narayana yang tidak lain adalah putra Ratu Sima tersandung dan tidak sengaja menyentuh kantung emas yang berada di persimpangan jalan tersebut. Lantas, bagaimana tanggapan Ratu Sima? Seketika datanglah salah seorang warga yang mengatakan kesaksian bahwa ia melihat putra mahkota yang menyentuh (mengambil) kantong emas tersebut, ia berani dihukum mati jika kesaksian itu salah. Ratu Sima memanggil putranya dan benar, putranya pun mengakui kejadian itu. Ratu Sima geram dan terkejut sehingga ia meminta kepada prajurit untuk memberikan hukuman mati kepada putranya.
Tetapi, para
menteri di kerajaan Kalingga tidak
setuju terkait hukuman yang diajukan oleh Ratu Sima sehingga para menteri sepakat memberikan pembelaan putra mahkota
kepada Ratu Shima untuk mengurangi hukuman kepada
anak kandungnya sendiri dan pada akhirnya pun Ratu Shima mengurangi hukuman
mati putra mahkota tersebut dan
menggantikan hukumannya dengan hukuman potong kaki kepada anaknya. Tetap saja hukumannya mengerikan,
bukan? Tetapi itulah, memang hukum yang sudah didapatkan
oleh Pangeran Narayana dengan keadilan hukum yang dibuat oleh Ratu Sima.
Inilah mengapa kerajaan Kalingga disebut sebagai kerajaan dengan keadilan hukum yang sangat tinggi akan kesetaraan. Keadilan hukum kerajaan Kalingga dapat dijadikan acuan dalam kehidupan karena tidak adanya suatu standarisasi dalam pemberian hukum (siapa saja yang melakukan kesalahan harus mendapat sanksi yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya tersebut). Namun, memang dengan tindakan hukumannya itu jika diimplementasikan pada zaman sekarang ini sudah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sehingga dapat disimpulkan bahwa “Keadilan Hukum” itu seharusnya memang tidak ada standarisasi khusus atau pun tidak ada kata pandang bulu.
Menurut staf pengajar pada Fakultas Filsafat UGM
ini, di dalam mempertahankan pemikiran tentang
konsep keadilan, setiap manusia harus mampu menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang. Dan kejujuran, merupakan
salah satu hal dalam tercapainya suatu keadilan.
DAFTAR REFERENSI
https://www.kompasiana.com/janicewiyanto08051330003/62011eebbb448618c7021589/sistem- hukum-kerajaan-kalingga (diakses pada 8 Februari
2023 pukul 06.11)
https://news.detik.com/berita/d-1308111/kisah-ratu-shima-ma-dan-harapan-besar-hadirnya-keadi lan- (diakses pada 8 Februari 2023 pukul 09.56)
https://tirto.id/ketegasan-ratu-shima-penguasa-pantura-cAYX (diakses pada 7 Februari 2023 pukul 18.37)
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=q1k3EAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA8&dq=meng enal+kerajaan-kerajaan+besar+di+nusantara&ots=TlW68DGV8D&sig=taO9v6wmVzDBssXZh
_izSs_jVFc&redir_esc=y#v=onepage&q=mengenal%20 kerajaan-kerajaan%20besar%20di%20 nusantara
&f=false (diakses pada 8
Februari 2023 pukul 21.25)
http://journal.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/5923/2454 (diakses pada 8 Februari 2023 pukul 20.43)
https://lsc.bphn.go.id/artikel?id=331 (diakses pada 2 Februari 2023 pukul 12.22)
http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/7335 (diakses pada 2 Februari 2023 pukul 12.39)
https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220510-kenali-dasar-hukum-pemberantasan-ti ndak-pidana-korupsi-di-indonesia (diakses pada 6 Februari 2023 pukul 19.50)
https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1999_31.pdf (diakses pada 6 Februari
Pukul 19.51)