Adha

Adha


Yang menakjubkan: Ibrahim bersedia sembelih anaknya. Yang mengharukan: Ismail ikhlas disembelih. Yang termanis: Tuhan akhirnya mencegah kekerasan.
Baca selengkapnya »
Dari yang Terluka: Cara Penulis Mengutarakan Cinta

Dari yang Terluka: Cara Penulis Mengutarakan Cinta

oleh: Fhirly Gelshi


Tulisan ini menjadi bukti bahwa dunia terus berjalan, hati dapat berubah, dan pertemuan di waktu yang salah benar-benar ada.


Jakarta, 20 Juni.


    Pada akhirnya, mereka adalah dua insan yang hanya mampu berteriak di pikiran masing-masing. Memikirkan suatu masalah dari siang hingga malam. Mempermasalahkan  yang akan jadi pemenang, meski mereka sadar bahwa mereka berdua sama-sama telah ‘kalah’ dalam permainan. Permainan yang melibatkan hati, rasa, dan perasaan. Logikanya, insan mana yang tidak jatuh cinta jika diperlakukan sedemikian rupa?


Membawa peran sang abu yang hilang, perlahan mengembalikan arah kehidupan, dan kemudian pergi tanpa alasan. Namanya Kaivan, hobinya membuat orang tertawa. Tingkahnya tengil, tetapi sangat sopan pada orang yang lebih tua. Dan dia Nay, mungkin salah satu perempuan yang bisa Kaivan percaya. Entah se-percaya apa, tetapi yang jelas, bukan Nay yang memulai untuk jatuh cinta.


Ia datang di saat Nay hendak memulihkan diri. Di sudut sana ia menjemput Nay tiap hari, memberinya perhatian penuh, bahkan setiap sudut kota sekarang memiliki ceritanya sendiri. Awalnya, Nay merespons dengan rasa benci. Ia tidak suka dengan Kaivan yang menyebalkan sana-sini. Namun benar kata orang-orang, “Jangan terlalu benci, nanti jadi cinta”. Dan hingga suatu hari, Nay sadar bahwa itu bukan sekedar kalimat meledek lagi. Itulah fakta yang sebenarnya terjadi. Kini, Nay benar-benar jatuh hati dan masuk dalam perangkap seorang Kaivan.


Naasnya, Kaivan bermain api, tatkala ia sedang berlari mencari jati diri. Ia lupa, bahwa Nay juga seorang diri di dunia ini. Ia lepaskan Nay begitu saja, di saat Nay sudah mulai menginginkannya juga. Kebisingan di kepala mereka memenuhi sunyinya ruangan yang ditempati. Penuh tanya, penuh elakan, penuh juga rasa khawatir akan takut kehilangan. Namun, di sisi yang lain, hati tidak bisa berbohong bahwa ia telah lelah menghadapi ‘cinta’ yang kian mendatangi. Ia butuh rehat, namun ia tak mampu bersanding dengan akal sehat. Hati akan selalu menjadi hati. Ia akan berjalan pada jalannya sendiri dan selalu berbeda pendapat dengan kejamnya logika ini.


Nay dan segala trauma dan pikiran berlebihannya, begitu juga dengan Kaivan yang masih belum sepenuhnya damai dengan masa lalunya. Keduanya sebenarnya sama saja, sama-sama belum matang dan damai untuk sekedar memulai. Jika dilanjutkan, mereka hanya akan saling menyakiti. Nay dengan segala pikirannya yang berlebihan. Lalu Kaivan dengan asumsi dan keraguan luar biasanya akan sebuah hubungan. Mereka hanya berakhir sebagai teman yang hanya mampu memandang. Bukan mereka yang biasanya, bukan lagi mereka yang pernah dengan canda dan tawa.

 

Mungkin gak sekarang

Tapi kalau nanti?

Hanya Tuhan yang tahu.

 

Teringat mereka pernah bernyanyi di tengah gerimis hujan. Di atas kuda besi, dengan udara sejuk nan asri. Mengelilingi Jakarta sambil bersenandung ria bahagia. Dengan keadaan sang hawa duduk di belakang menggunakan jaket milik sang adam untuk menutupi kepala. Sedangkan sang adam sendiri berusaha keras menutupi salah tingkahnya sendiri.

 

Bahkan setelah ini, Jakarta dan hujannya sudah menjadi saksi bahwa kita pernah bahagia di sini.

 

Mereka terpaksa ‘menyudahi’ sesuatu yang tidak pernah mereka mulai ini karena sebuah kesalahpahaman. Bukan salah mereka jika harus berpisah sekarang. Ini karena takdir memang berkehendak demikian. Takdir ingin mereka dewasa. Takdir ingin mengajarkan apa itu cinta, apa itu mengikhlaskan, dan apa itu pengorbanan yang sebenarnya.

 

“Yang terbaik datang setelah berpikir matang-matang, bukan sekedar ‘bersantap’ asal datang.”

-Hello (Again), Cello.

 

——

 

Tulisan ini dibuat bukan untuk mengenang, tulisan ini dibuat sebagai kisah yang akan terus berlanjut. Tulisan ini sebenarnya juga dibuat karena sang penulis ingin mengabadikan seseorang di dalamnya. Selain dibuat untuk seseorang, tulisan ini juga diperuntukkan bagi mereka yang merasa telah bertemu dengan orang yang tepat, tetapi di waktu yang salah.

 

Jika boleh jujur, sang penulis sempat bingung dengan perasaannya sendiri sampai berlari untuk menulis di sini. Ditemani lagu yang kian menghantui pikiran, Jodoh Pasti Bertemu milik Afgan. Ia mampu merangkai kata demi kata yang mendeskripsikan ‘luka’ yang ia rasa.


Penulis menyebut penggores luka-nya itu dengan sebutan ‘Si Tampan yang Bijaksana’. Ia kuat, memiliki rasa percaya diri tinggi, serta berwibawa. Namun, sebenarnya ia juga orang yang sangat rapuh dan pelik. Ia adalah pemilik hati yang mudah terbolak-balik.


Secepat itu perubahan yang diberikan olehnya, sampai sang penulis tak sadar bahwa ia sedang menahan raga yang hendak melangkah jauh pergi dari hidupnya. Ia tak sadar bahwa rasa leganya itu hanya sementara. Karena sejatinya, tidak ada orang yang benar-benar akan menetap di dunia, people come and people go itu nyata.


Sang penulis tidak ingin kehilangan yang ini. Penulis masih ingin mengukir cerita yang lebih panjang dengannya meski sebatas teman yang hanya bisa menyapa di koridor kelas sehari-hari.


Tulisan ini dipenuhi dengan kekhawatiran, penyesalan, pengorbanan, dan keikhlasan. Waktunya begitu singkat, tapi yang diberikan terlanjur melekat. Perubahan dan rasa hampa akan menjadi teman baik bagi mereka yang selalu merasa gagal. Semua terasa begitu cepat, tak perlu menyalahkan waktu karena terlalu singkat. Perasaan, hati, dan pikiran tidak mampu dikendalikan oleh akal sehat. Biarkan waktu yang menjawab kala keduanya sedang rehat.

 

Damaikan hati, damaikan pikiran, suatu saat kita akan bertemu lagi di kala waktu yang sudah tepat.


Pada akhirnya, orang dari masa lalu bukan hanya soal menjadi pemenang. Orang dari masa lalu kadang tak sadar kita jadikan sebagai acuan untuk masa yang akan datang. Padahal, tentu tidak ada insan yang sama di dunia ini. Maka, jangan pernah menjadikan masa lalumu sebagai ‘pembanding’ bagi orang yang bersamamu—atau akan bersamamu sekarang. Seperti kata mereka, “Jangan baca buku yang baru, kalau yang lama saja belum selesai”. Selesaikan terlebih dahulu masa lalumu. Ikhlaskan dulu, berdamai sepenuhnya dulu, dan yakinkan dirimu terlebih dahulu. Dengan meyakini diri bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda, di situlah kamu akan menemukan titik baru untuk berdamai. Maka biarlah waktu yang menemukan titik perdamaian itu.


Masih banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab dari kepala yang berisik ini. Ada kalanya hati terasa sakit saat menyadari bahwa ia yang biasa memberi tawa tidak akan sama lagi. Ada pula rasa tak terima saat mengingat kalimat-kalimat keramat yang juga berhasil menggores hati. Sesakit itukah mencintai?


“Seandainya waktu itu lebih hati-hati, apa semua ini gak akan terjadi?” pertanyaan yang enggan untuk ditanya, tapi selalu terlintas tanpa dosa di kepala. Pertanyaan penuh sesal dari orang yang juga tidak bersalah, karena pada akhirnya kesalahpahaman-lah yang akan menjadi pemenangnya.

 

Untuk yang tercinta…

Maaf dari sang penulis yang masih jauh dari kata sempurna. Maaf jika sering buat susah, maaf sering marah-marah, dan maaf juga karena tak sengaja mengembalikan luka lama. Damai selalu, semoga bahagia, dan semoga lekas pulih dari segala macam trauma.

 

——

 

Apapun yang terjadi, semoga Tuhan segera memberikan jawaban atas pertanyaan yang kita miliki.


 

Baca selengkapnya »
Asal-Usul Hindu di Bali

Asal-Usul Hindu di Bali

                                   sumber: https://id.wikipedia.org/

oleh: Natalie Kerenhappukh Ginting, Heaven Andante Loppies, Gihon Yalfan Matulessy, Ahmad Gezha Aqila, Juan Theresia Paulina T.S


Om swastiastu. Halo Sobat Historia! Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman, khususnya dalam bidang agama. Pancasila sebagai falsafah negara mendorong rakyatnya untuk menganut sebuah agama atau kepercayaan. Agama sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata “a” yang artinya tidak dan “gama” yang artinya kacau. Secara harfiah, “agama” berarti “tidak kacau” atau dengan kata lain “teratur", sehingga agama dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem nilai-nilai yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan dengan sesamanya.


Di Indonesia sendiri terdapat 6 agama yang diakui, salah satunya adalah agama Hindu. Tahukah Sobat, pulau mana di Indonesia yang memiliki masyarakat pemeluk Hindu terbanyak? Ya, Pulau Bali! Surga eksotis yang terkenal akan keindahan pantai dan tariannya ini merupakan tempat tinggal bagi 3,72 juta penduduk beragama Hindu berdasarkan data Dukcapil Kemendagri. Namun, pernahkah Sobat bertanya-tanya, bagaimana Bali bisa menjadi sangat identik dengan agama Hindu? Bagaimana asal-muasalnya agama Hindu bisa masuk ke Pulau Bali? Seperti apa perkembangan agama Hindu pada masa Kerajaan Bali? Yuk, kita simak lebih lanjut!

 

Agama Hindu sendiri berasal dari masuknya bangsa Arya ke India pada tahun 1500 SM. Bangsa Arya merupakan orang Indo-Iran yang berasal dari Asia Tengah. Mereka dikenal sebagai bangsa pengembara dan sering berpindah-pindah tempat sebelum akhirnya sampai di Mohenjodaro dan Harappa, pusat peradaban bangsa Dravida yang merupakan suku asli India. Respon bangsa Dravida terhadap masuknya bangsa Arya ini beragam. Ada yang memberikan perlawanan terhadap bangsa Arya, ada yang menyingkir ke daerah India bagian Selatan, dan ada pula yang berasimilasi dengan bangsa Arya sehingga menghasilkan budaya baru. Percampuran kedua budaya inilah yang menghasilkan agama Hindu. Agama ini berkembang di India, kemudian disebarluaskan ke negara-negara dan wilayah lain, termasuk Nusantara pada masa itu.

 

Agama Hindu diperkirakan masuk ke Bali sekitar abad ke-8. Masuknya agama Hindu ke pulau Bali sendiri dapat dijelaskan dengan teori-teori masuknya agama Hindu ke Nusantara. Mengapa ada banyak teori? Sebab belum ada kesepakatan yang bulat di antara para ahli mengenai bagaimana cara agama Hindu bisa masuk ke Nusantara. Terdapat 5 teori masuknya agama Hindu ke Nusantara, antara lain teori Ksatria, teori Waisya, teori Brahmana, teori Sudra, dan teori Arus Balik. Teori Ksatria berpendapat bahwa golongan Ksatria yang membawa dan menyebarkan agama Hindu di Indonesia. Para Ksatria yang kalah dalam peperangan di India melarikan diri ke Nusantara, kemudian mereka mendirikan kerajaan bercorak Hindu atau merebut kekuasaan di sebuah kerajaan yang telah berdiri dengan menikahi putri raja di kerajaan tersebut. Teori Waisya menyatakan bahwa golongan Waisya atau para pedaganglah yang menyebarkan agama Hindu di Nusantara.


Selain berdagang, golongan Waisya juga memperkenalkan agama dan kebudayaan Hindu kepada masyarakat pribumi. Beberapa pedagang pulang kembali ke daerah asal mereka, namun ada juga yang menetap lalu menikah dengan penduduk setempat, sehingga melahirkan keturunan beragama Hindu. Sedangkan teori Brahmana yang dikemukakan oleh J.C. van Leur berpendapat bahwa agama Hindu diperkenalkan oleh kaum Brahmana sebagai kaum yang berhak mempelajari dan mengerti isi kitab suci Weda. Para penguasa lokal yang tertarik dengan ajaran Hindu mengundang para Brahmana untuk datang ke wilayahnya.


Teori Sudra oleh Von Faber menyatakan bahwa masuknya agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India berkasta Sudra yang menginginkan kehidupan lebih baik sehingga pergi merantau ke wilayah lain, salah satunya Nusantara. Teori Arus Balik dibuat oleh F.D.K. Bosch untuk menyangkal teori Waisya dan Ksatria, bahwa masyarakat pribumi sendirilah yang pergi mendalami agama Hindu di India, kemudian kembali untuk menyebarkan dan mengembangkan agama Hindu di Nusantara.

 

Pada saat Kerajaan Bali Kuno dipimpin oleh Raja Udayana, agama Hindu berkembang dengan pesat di Bali. Agama Hindu di Kerajaan Bali pada masa itu memiliki  banyak sekte. Menurut Goris, setidaknya ada 9 paksa atau sekte yang pernah berkembang di Bali, yakni Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Boddha atau Sogata, Brahma, Rsi, Sora, dan Ganapatya. Sekte-sekte ini memperdebatkan kepercayaan masing-masing dan saling berseteru sehingga menimbulkan keributan dan perpecahan, baik antar sekte maupun dalam sekte itu sendiri.


Situasi kerajaan yang tidak stabil membuat raja Udayana meminta Mpu Kuturan untuk datang ke Bali dan menyelesaikan konflik yang ada. Diperkirakan, Mpu Kuturan yang merupakan seorang pendeta besar Hindu dari Majapahit tiba di Kerajaan Bali pada tahun 845 M untuk memimpin pertemuan antara para pemimpin sekte di Pura Bukit Goak guna menyelesaikan konflik agama tersebut. Pertemuan yang dikenal dengan Pesamuan Agung ini menghasilkan kesepakatan, bahwa, sekte-sekte Hindu yang beragam ini disatukan di bawah konsep Tri Murti yang berfokus pada 3 dewa, yakni dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Kemudian konsep ini diterapkan di masyarakat dengan adanya pembangunan Pura Tiga Khayangan di setiap desa adat dan penerapan konsep tri mandala di setiap puri di Bali.

 

Kerajaan Majapahit memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan agama Hindu di Bali. Pada masa pemerintahan Raja Bedahulu, Mahapatih Majapahit Gajah Mada memasuki Pulau Bali dengan tujuan ingin menaklukkan Bali demi misinya untuk menyatukan Nusantara. Setelah berhasil menaklukkan Bali, Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan diutus Raja Majapahit untuk memerintah sebagai Raja Bali yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Ia mendirikan istana kerajaan di lokasi perkemahan Gajah Mada di Desa Samplangan sebelum pusat kerajaan akhirnya dipindahkan ke Klungkung. Masuknya bangsawan-bangsawan Majapahit hingga penduduk Hindu Jawa ke Bali membawa pengaruh budaya dan agama yang besar bagi Bali. Gelombang migrasi penduduk Hindu Jawa ke Bali semakin besar khususnya pada masa keruntuhan Majapahit oleh Kerajaan Demak. Mereka adalah penganut agama Hindu yang menolak pengaruh Islam dari Kerajaan Demak.


Dalam gelombang migrasi tersebut terdapat juga dua Brahmana, yakni Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka yang membawa banyak perubahan bagi agama Hindu di Bali. Kebudayaan Hindu-Buddha Jawa yang melebur dengan budaya Bali yang masih dihiasi dengan penyembahan kepada nenek moyang menghasilkan agama yang disebut orang Bali sebagai agama Tirta, kemudian berganti nama menjadi Hindu Dharma. Dalam prakteknya, Hindu Dharma tidak sama dengan Hindu di India, sebab Hindu Dharma berkembang mengikuti adat dan budaya orang Bali yang ada sejak zaman prasejarah hingga masa kini.

 

Hindu Dharma atau Hindu Bali bagi orang Bali tidak hanya sekedar agama, namun sudah bersatu dengan budaya, adat serta tradisi turun-temurun orang Bali, sehingga nilai-nilai agama yang bercampur dengan adat itu menjadi identitas dan jati diri orang Bali dan hidup dalam aktivitas keseharian masyarakat Bali. Oleh karena inilah Bali begitu identik dengan agama Hindu. Hindu Bali mampu bertahan ketika Hindu Jawa memudar di masa peradaban Islam, dan terus bertahan di tengah gempuran modernisasi masa kini. Nah Sobat, bagaimana Bali adalah benang merah khazanah dalam sejarah Indonesia yang harus kita syukuri kekayaan budaya, bukan hanya kekayaan alamnya saja.


Sebagai anak pengubah bangsa, mari kita juga turut menjaga dan mempertahankan kebudayaan kita! Sekian dan terima kasih! Om shanti, shanti, shanti Om.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Kompas.com. Verelladevanka, A. (2021). Bangsa Arya: Asal-usul, Ciri-ciri, dan Hasil Kebudayaan. Diakses 15 Juni 2023 dari https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/30/080000479/bangsa-arya--asal-usul-ciri-ciri-dan-hasil-kebudayaan?page=all

 

Wikipedia. Agama di Indonesia. (2023). Diakses pada 15 Juni 2023 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia

 

Bali Tours Club. Desa Bali Aga. Diakses pada 16 Juni 2023 dari https://www.balitoursclub.net/bali-aga/

 

CNNIndonesia.com. (2022). 5 Teori Masuknya Agama Hindu dan Buddha ke Nusantara. Diakses pada 15 Juni 2023 dari

https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20221117104031-569-874948/5-teori-masuknya-agama-hindu-dan-buddha-ke-nusantara

 

Putra, N. (2022). Pura Samuan Tiga : Napak Tilas Penyatuan Sekte di Bali. Jurnal Nirwasita. Diakses pada 16 Juni 2023 dari https://ojs.mahadewa.ac.id/index.php/nirwasita/article/view/2246/1650

 

Asumsi.co. Ramadhan. (2021). Perjalanan Agama Hindu Hingga Diakui di Indonesia. Diakses 16 Juni 2023 dari https://www.asumsi.co/post/57847/perjalanan-agama-hindu-hingga-diakui-di-indonesia/#:~:text=Agama%20Hindu%20pun%20selanjutnya%20berkembang,Putra%20Bhatara%20Desa%20Bedahulu%2C%20Gianyar

 

Wartayasa, I. (2018). Kebudayaan Bali dan Agama Hindu. Diakses pada 16 Juni 2023 dari

https://jayapanguspress.penerbit.org/index.php/ganaya/article/view/97/95

 

Tirto.id. Abdulsalam, H. (2019). Sejarah Hindu Bali: Upaya Menuntut Pengakuan Dari Negara. Diakses pada 15 Juni 2023 dari https://tirto.id/sejarah-hindu-bali-upaya-menuntut-pengakuan-dari-negara-diDD?page=all#secondpage

 

Bali Tours Club. Sejarah Agama Hindu di Bali. Diakses pada 15 Juni 2023 dari https://www.balitoursclub.net/sejarah-agama-hindu-di-bali/

 

Kusniarti, A. A. S. (2020). Awal Kedatangan Patih Gajah Mada ke Bali, Berawal dari Pura Dalem Pingit Gianyar. Diakses pada 16 Juni 2023 dari

https://bali.tribunnews.com/amp/2020/11/04/wiki-bali-awal-kedatangan-patih-gajah-mada-ke-bali-berawal-dari-pura-dalem-pingit-gianyar

 

iNews.id. (2022). Sejarah Mengapa Bali Masyarakatnya Beragama Hindu, Ada Kaitannya dengan Majapahit. Diakses pada 15 Juni 2023 dari https://bali.inews.id/berita/sejarah-mengapa-bali-masyarakatnya-beragama-hindu-ada-kaitan-runtuhnya-majapahit/1

 

Validnews.id. Fatwa, A. M. (2020). Mengenal Desa Penduduk Asli Bali yang Masih Eksis. Diakses pada 15 Juni 2023 dari

https://validnews.id/kultura/Mengenal-Desa-Penduduk-Asli-Bali-yang-Masih-Eksis-gGU
 

Baca selengkapnya »
Strategi Jitu Kesuksesan Perdagangan Maritim Kerajaan Sriwijaya

Strategi Jitu Kesuksesan Perdagangan Maritim Kerajaan Sriwijaya

Oleh: Afnayna Alvi Dinar, Asmiranda Rasya, Gera Elisa Sibarani, Keisha Ammara Denita, Rizka Aneira Daffa

    Di Pulau Sumatera sana, tepatnya di daerah Sungai Musi, Palembang. Di Kerajaan Sriwijaya, yang berdiri pada abad ke-7 hingga abad ke-13, merupakan salah satu kerajaan maritim terbesar dan paling sukses di Asia Tenggara pada masa lampau. Kejayaan Kerajaan Sriwijaya tidak hanya mencakup wilayah politik yang luas, tetapi juga dicirikan oleh perdagangan maritim yang makmur. Dikenal karena perdagangan maritimnya yang makmur, Sriwijaya menunjukkan strategi jitu yang mengantarkannya pada kemajuan yang luar biasa.

 

Tercatat dalam karya O.W. Wolters (1970), pada 1918, suatu kemajuan telah dicapai khususnya dalam studi sejarah maritim Asia Tenggara ketika George Coedes, berhasil mengidentifikasi kerajaan maritim Melayu bernama Sriwijaya, yang berpusat di bagian selatan Sumatera. Salah satu raja Sriwijaya pernah menulis surat kepada Kaisar Sung pada 1071 yang dengan bangga menyebut dirinya sebagai ‘raja daerah-daerah lautan’. Kecerdikan Kerajaan Sriwijaya dalam konteks perdagangan maritim merupakan salah satu faktor penting yang menyumbang kesuksesan mereka. Kerajaan ini pandai dalam menyiasati strategi-strategi yang tidak hanya menguntungkan mereka secara ekonomi, tetapi juga membantu memperluas pengaruh politik dan dominasi mereka di wilayah maritim Asia Tenggara.

 

Kisah tentang strategi jitu atas kesuksesan perdagangan maritim Sriwijaya dimulai di daerah pesisir pulau Sumatera, di mana Sriwijaya berdiri sebagai pusat perdagangan yang strategis. Dengan posisi geografis yang menguntungkan, mereka berhasil menguasai jalur perdagangan antara India, Tiongkok, dan negara-negara di Asia Tenggara. Armada dagang Sriwijaya mengarungi lautan, mengumpulkan kekayaan dari rempah-rempah, emas, perak, dan barang mewah lainnya. Kemakmuran Sriwijaya terletak pada kemampuan mereka dalam menciptakan monopoli dagang yang cerdik. Mereka mengendalikan produksi, distribusi, dan perdagangan rempah-rempah serta komoditas berharga lainnya. Dengan hal ini, Sriwijaya dapat menentukan harga dan mengontrol akses terhadap komoditas tersebut, sehingga memperoleh keuntungan yang besar.

 

Dilansir dari SINDANG Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah, hal lainnya yang disorot atas berhasilnya strategi cerdik Sriwijaya atas kekuasaannya di dalam perdagangan maritim, tercatat dalam sejarah bahwa Selat Bangka yang strategis letaknya berhadap-hadapan langsung dengan pintu masuk ke arah pedalaman mengikuti aliran muara Sungai Musi menuju Palembang. Kondisi wilayah tersebut memberikan isyarat bahwa letak Selat Bangka pada masa Sriwijaya sangatlah penting karena banyak para pedagang yang berkunjung ke pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatera Selatan (Sholeh, 2015: 98-99).

 

Kerajaan Sriwijaya yang terletak di Palembang membuat Sriwijaya menjadi jalur pelayaran dan perdagangan di Nusantara mulai dari Selat Malaka yang menjadi pintu masuk sampai ke Selat Bangka yang akhirnya masuk di Pusat Kerajaan Sriwijaya yang disebut sebagai jalur-jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Bagi Sriwijaya wilayah perairan Pulau Bangka sangat penting untuk dijadikan wilayah kekuasaannya, sebagaimana terbukti pada tahun 686 sesuai tahun dalam prasasti Kota Kapur. Dengan demikian raja Sriwijaya memang benar-benar menginginkan wilayah Bangka terutama daerah perairan Bangka untuk dijadikan wilayah kekuasaannya. Sriwijaya melakukan hal tersebut bukan hanya semata-mata ingin menjadi penguasa saja, tetapi melakukan politik perluasan dengan strategi penguasaan wilayah jalur-jalur pelayaran perdagangan yang harus dikendalikan oleh Kerajaan Sriwijaya.

 

Menurut teori Sukmono, para pedagang harus memutar wilayah Bangka terlebih dahulu karena kondisi secara geografis pulau-pulau atau daratan yang ada di wilayah pantai sebelah Timur Sumatera yang masih dalam kondisi menyatu mulai dari Kepulauan Riau-Lingga sampai ke Bangka. Faktor lain yang membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi pemilik kekuasaan di laut sehingga disebut kerajaan maritim terbesar pada masa itu adalah faktor kekuatan tentara yang kuat serta manajemen seorang pemimpin yang tegas dan bijaksana dalam mengendalikan jalur-jalur pelayaran perdagangan yang ada di Nusantara (Sholeh, 2015: 50).

 

Selain itu, Sriwijaya juga mengendalikan rute perdagangan yang penting di Asia Tenggara, terutama jalur perdagangan antara India, Tiongkok, dan negara-negara di Asia Tenggara. Mereka melakukan pemungutan tarif dan pajak atas barang yang melewati wilayah mereka. Dengan menguasai jalur-jalur dagang utama, Sriwijaya secara tidak langsung memaksa para pedagang untuk berdagang melalui wilayah mereka dan mengambil keuntungan dari transaksi perdagangan yang terjadi.

 

Tak sampai di situ, Sriwijaya memiliki pengetahuan navigasi yang maju dan rahasia mengenai jalur-jalur perdagangan yang aman dan menguntungkan. Mereka memonopoli pengetahuan ini dan hanya membagikannya kepada para pedagang yang bermitra dengan mereka. Dengan demikian, Sriwijaya dapat memastikan bahwa hanya mereka yang memiliki akses ke jalur-jalur dagang yang menguntungkan, sementara pesaing mereka kesulitan untuk bersaing dalam perdagangan maritim.

 

Jejak kejayaan Kerajaan Sriwijaya dalam perdagangan maritim adalah saksi dari masa keemasan Asia Tenggara. Keahlian mereka dalam membangun sistem perdagangan yang cerdik, pengetahuan yang luas, dan memanfaatkan posisi strategis telah membawa kemakmuran ekonomi yang luar biasa. Kita harus menghargai kehebatan Sriwijaya dan belajar dari pengalaman mereka untuk memahami betapa pentingnya kerja sama, inovasi, dan pemeliharaan warisan budaya. Agar dalam kehidupan di masa kini kita dapat meneladani strategi jitu yang mereka terapkan, serta mengikuti jejak mereka di zaman dahulu untuk membangun masa depan yang cerah.

Kompas.com. Susanto Zuhdi. (2020). Laut China Selatan Dan Sriwijaya, diakses pada 31 Mei 2023, https://www.kompas.id/baca/opini/2020/01/15/laut-china-selatan-dan-sriwijaya

 

Kabib Sholeh, Widya Novita Sari, Lisa Berliani. (2019). SINDANG Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah, JALUR PELAYARAN PERDAGANGAN KUNO DI SELAT BANGKA SEBAGAI LETAK STRATEGIS BERKEMBANGNYA KEKUASAAN MARITIM SRIWIJAYA ABAD VII-VIII MASEHI, hal. 34.

 

Khabib Sholeh. (2019). Jalur Pelayaran Perdagangan Sriwijaya yang Strategis dan Perekonomiannya pada Abad Ke-7 Masehi. ResearchGate. Diakses pada 31 Mei 2023 melalui https ://www.researchgate.net/publication/330538003_Jalur_Pelayaran_Perdagangan_Sriwijaya_yang_Strategis_dan_Perekonomiannya_pada_Abad_Ke-7_Masehi

 

Khabib Sholeh. (2019). Jalur Pelayaran Perdagangan Sriwijaya yang Strategis dan Perekonomiannya pada Abad Ke-7 Masehi, ResearchGate.

 

Azkia Nisrina. (2022). Angin Sebagai Sistem Navigasi Tradisional, diakses pada 31 Mei 2023, melalui https://kumparan.com/azkiyahn22/angin-sebagai-sistem-navigasi-tradisional-1yylhdXNWYv/full




Baca selengkapnya »