Adha
Label: Sastra
Tulisan ini menjadi bukti bahwa dunia terus berjalan, hati dapat berubah, dan pertemuan di waktu yang salah benar-benar ada.
Jakarta, 20 Juni.
Pada akhirnya, mereka adalah dua insan yang hanya mampu berteriak di pikiran masing-masing. Memikirkan suatu masalah dari siang hingga malam. Mempermasalahkan yang akan jadi pemenang, meski mereka sadar bahwa mereka berdua sama-sama telah ‘kalah’ dalam permainan. Permainan yang melibatkan hati, rasa, dan perasaan. Logikanya, insan mana yang tidak jatuh cinta jika diperlakukan sedemikian rupa?
Membawa peran sang abu yang hilang, perlahan mengembalikan arah kehidupan, dan kemudian pergi tanpa alasan. Namanya Kaivan, hobinya membuat orang tertawa. Tingkahnya tengil, tetapi sangat sopan pada orang yang lebih tua. Dan dia Nay, mungkin salah satu perempuan yang bisa Kaivan percaya. Entah se-percaya apa, tetapi yang jelas, bukan Nay yang memulai untuk jatuh cinta.
Ia datang di saat Nay hendak memulihkan diri. Di sudut sana ia menjemput Nay tiap hari, memberinya perhatian penuh, bahkan setiap sudut kota sekarang memiliki ceritanya sendiri. Awalnya, Nay merespons dengan rasa benci. Ia tidak suka dengan Kaivan yang menyebalkan sana-sini. Namun benar kata orang-orang, “Jangan terlalu benci, nanti jadi cinta”. Dan hingga suatu hari, Nay sadar bahwa itu bukan sekedar kalimat meledek lagi. Itulah fakta yang sebenarnya terjadi. Kini, Nay benar-benar jatuh hati dan masuk dalam perangkap seorang Kaivan.
Naasnya, Kaivan bermain api, tatkala ia sedang berlari mencari jati diri. Ia lupa, bahwa Nay juga seorang diri di dunia ini. Ia lepaskan Nay begitu saja, di saat Nay sudah mulai menginginkannya juga. Kebisingan di kepala mereka memenuhi sunyinya ruangan yang ditempati. Penuh tanya, penuh elakan, penuh juga rasa khawatir akan takut kehilangan. Namun, di sisi yang lain, hati tidak bisa berbohong bahwa ia telah lelah menghadapi ‘cinta’ yang kian mendatangi. Ia butuh rehat, namun ia tak mampu bersanding dengan akal sehat. Hati akan selalu menjadi hati. Ia akan berjalan pada jalannya sendiri dan selalu berbeda pendapat dengan kejamnya logika ini.
Nay dan segala trauma dan pikiran berlebihannya, begitu juga dengan Kaivan yang masih belum sepenuhnya damai dengan masa lalunya. Keduanya sebenarnya sama saja, sama-sama belum matang dan damai untuk sekedar memulai. Jika dilanjutkan, mereka hanya akan saling menyakiti. Nay dengan segala pikirannya yang berlebihan. Lalu Kaivan dengan asumsi dan keraguan luar biasanya akan sebuah hubungan. Mereka hanya berakhir sebagai teman yang hanya mampu memandang. Bukan mereka yang biasanya, bukan lagi mereka yang pernah dengan canda dan tawa.
Mungkin gak sekarang
Tapi kalau nanti?
Hanya Tuhan yang tahu.
Teringat mereka pernah bernyanyi di
tengah gerimis hujan. Di atas kuda besi, dengan udara sejuk nan asri.
Mengelilingi Jakarta sambil bersenandung ria bahagia. Dengan keadaan sang hawa
duduk di belakang menggunakan jaket milik sang adam untuk menutupi kepala.
Sedangkan sang adam sendiri berusaha keras menutupi salah tingkahnya sendiri.
Bahkan setelah ini, Jakarta dan hujannya sudah menjadi saksi
bahwa kita pernah bahagia di sini.
Mereka terpaksa ‘menyudahi’ sesuatu
yang tidak pernah mereka mulai ini karena sebuah kesalahpahaman. Bukan salah
mereka jika harus berpisah sekarang. Ini karena takdir memang berkehendak
demikian. Takdir ingin mereka dewasa. Takdir ingin mengajarkan apa itu cinta,
apa itu mengikhlaskan, dan apa itu pengorbanan yang sebenarnya.
“Yang terbaik datang setelah
berpikir matang-matang, bukan sekedar ‘bersantap’ asal datang.”
-Hello (Again), Cello.
——
Tulisan ini dibuat bukan untuk
mengenang, tulisan ini dibuat sebagai kisah yang akan terus berlanjut. Tulisan
ini sebenarnya juga dibuat karena sang penulis ingin mengabadikan seseorang di
dalamnya. Selain dibuat untuk seseorang, tulisan ini juga diperuntukkan bagi
mereka yang merasa telah bertemu dengan orang yang tepat, tetapi di waktu yang
salah.
Jika boleh jujur, sang penulis sempat bingung dengan perasaannya sendiri sampai berlari untuk menulis di sini. Ditemani lagu yang kian menghantui pikiran, Jodoh Pasti Bertemu milik Afgan. Ia mampu merangkai kata demi kata yang mendeskripsikan ‘luka’ yang ia rasa.
Penulis menyebut penggores luka-nya itu dengan sebutan ‘Si Tampan yang Bijaksana’. Ia kuat, memiliki rasa percaya diri tinggi, serta berwibawa. Namun, sebenarnya ia juga orang yang sangat rapuh dan pelik. Ia adalah pemilik hati yang mudah terbolak-balik.
Secepat itu perubahan yang diberikan olehnya, sampai sang penulis tak sadar bahwa ia sedang menahan raga yang hendak melangkah jauh pergi dari hidupnya. Ia tak sadar bahwa rasa leganya itu hanya sementara. Karena sejatinya, tidak ada orang yang benar-benar akan menetap di dunia, people come and people go itu nyata.
Sang penulis tidak ingin kehilangan yang ini. Penulis masih ingin mengukir cerita yang lebih panjang dengannya meski sebatas teman yang hanya bisa menyapa di koridor kelas sehari-hari.
Tulisan ini dipenuhi dengan kekhawatiran, penyesalan, pengorbanan, dan keikhlasan. Waktunya begitu singkat, tapi yang diberikan terlanjur melekat. Perubahan dan rasa hampa akan menjadi teman baik bagi mereka yang selalu merasa gagal. Semua terasa begitu cepat, tak perlu menyalahkan waktu karena terlalu singkat. Perasaan, hati, dan pikiran tidak mampu dikendalikan oleh akal sehat. Biarkan waktu yang menjawab kala keduanya sedang rehat.
Damaikan hati, damaikan pikiran, suatu saat kita akan bertemu lagi di kala waktu yang sudah tepat.
Pada akhirnya, orang dari masa lalu bukan hanya soal menjadi pemenang. Orang dari masa lalu kadang tak sadar kita jadikan sebagai acuan untuk masa yang akan datang. Padahal, tentu tidak ada insan yang sama di dunia ini. Maka, jangan pernah menjadikan masa lalumu sebagai ‘pembanding’ bagi orang yang bersamamu—atau akan bersamamu sekarang. Seperti kata mereka, “Jangan baca buku yang baru, kalau yang lama saja belum selesai”. Selesaikan terlebih dahulu masa lalumu. Ikhlaskan dulu, berdamai sepenuhnya dulu, dan yakinkan dirimu terlebih dahulu. Dengan meyakini diri bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda, di situlah kamu akan menemukan titik baru untuk berdamai. Maka biarlah waktu yang menemukan titik perdamaian itu.
Masih banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab dari kepala yang berisik ini. Ada kalanya hati terasa sakit saat menyadari bahwa ia yang biasa memberi tawa tidak akan sama lagi. Ada pula rasa tak terima saat mengingat kalimat-kalimat keramat yang juga berhasil menggores hati. Sesakit itukah mencintai?
“Seandainya waktu itu lebih hati-hati, apa semua ini gak akan terjadi?” pertanyaan yang enggan untuk ditanya, tapi selalu terlintas tanpa dosa di kepala. Pertanyaan penuh sesal dari orang yang juga tidak bersalah, karena pada akhirnya kesalahpahaman-lah yang akan menjadi pemenangnya.
Untuk yang tercinta…
Maaf dari sang penulis — yang masih jauh dari kata sempurna.
Maaf jika sering buat susah, maaf sering marah-marah, dan maaf juga karena tak
sengaja mengembalikan luka lama. Damai selalu, semoga bahagia, dan semoga lekas
pulih dari segala macam trauma.
——
Apapun yang terjadi, semoga Tuhan segera memberikan jawaban atas pertanyaan yang kita miliki.
oleh: Natalie Kerenhappukh Ginting, Heaven Andante Loppies, Gihon Yalfan Matulessy, Ahmad Gezha Aqila, Juan Theresia Paulina T.S
Om swastiastu. Halo Sobat Historia! Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman, khususnya dalam bidang agama. Pancasila sebagai falsafah negara mendorong rakyatnya untuk menganut sebuah agama atau kepercayaan. Agama sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata “a” yang artinya tidak dan “gama” yang artinya kacau. Secara harfiah, “agama” berarti “tidak kacau” atau dengan kata lain “teratur", sehingga agama dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem nilai-nilai yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan dengan sesamanya.
Di Indonesia sendiri
terdapat 6 agama yang diakui, salah satunya adalah agama Hindu. Tahukah Sobat, pulau mana di Indonesia
yang memiliki masyarakat pemeluk Hindu terbanyak? Ya, Pulau Bali! Surga eksotis yang terkenal akan keindahan pantai dan
tariannya ini merupakan tempat tinggal bagi 3,72 juta penduduk beragama Hindu
berdasarkan data Dukcapil Kemendagri. Namun, pernahkah Sobat bertanya-tanya,
bagaimana Bali bisa menjadi sangat identik dengan agama Hindu? Bagaimana
asal-muasalnya agama Hindu bisa masuk ke Pulau Bali? Seperti apa perkembangan
agama Hindu pada masa Kerajaan Bali? Yuk, kita simak lebih lanjut!
Agama Hindu
sendiri berasal dari masuknya bangsa Arya ke India pada tahun 1500 SM. Bangsa
Arya merupakan orang Indo-Iran yang berasal dari Asia Tengah. Mereka dikenal
sebagai bangsa pengembara dan sering berpindah-pindah tempat sebelum akhirnya
sampai di Mohenjodaro dan Harappa, pusat peradaban bangsa Dravida yang
merupakan suku asli India. Respon bangsa Dravida terhadap masuknya bangsa Arya
ini beragam. Ada yang memberikan perlawanan terhadap bangsa Arya, ada yang
menyingkir ke daerah India bagian Selatan, dan ada pula yang berasimilasi
dengan bangsa Arya sehingga menghasilkan budaya baru. Percampuran kedua budaya
inilah yang menghasilkan agama Hindu. Agama ini berkembang di India, kemudian
disebarluaskan ke negara-negara dan wilayah lain, termasuk Nusantara pada masa
itu.
Agama Hindu diperkirakan masuk ke Bali sekitar abad ke-8. Masuknya agama Hindu ke pulau Bali sendiri dapat dijelaskan dengan teori-teori masuknya agama Hindu ke Nusantara. Mengapa ada banyak teori? Sebab belum ada kesepakatan yang bulat di antara para ahli mengenai bagaimana cara agama Hindu bisa masuk ke Nusantara. Terdapat 5 teori masuknya agama Hindu ke Nusantara, antara lain teori Ksatria, teori Waisya, teori Brahmana, teori Sudra, dan teori Arus Balik. Teori Ksatria berpendapat bahwa golongan Ksatria yang membawa dan menyebarkan agama Hindu di Indonesia. Para Ksatria yang kalah dalam peperangan di India melarikan diri ke Nusantara, kemudian mereka mendirikan kerajaan bercorak Hindu atau merebut kekuasaan di sebuah kerajaan yang telah berdiri dengan menikahi putri raja di kerajaan tersebut. Teori Waisya menyatakan bahwa golongan Waisya atau para pedaganglah yang menyebarkan agama Hindu di Nusantara.
Selain berdagang, golongan Waisya juga memperkenalkan agama dan kebudayaan Hindu kepada masyarakat pribumi. Beberapa pedagang pulang kembali ke daerah asal mereka, namun ada juga yang menetap lalu menikah dengan penduduk setempat, sehingga melahirkan keturunan beragama Hindu. Sedangkan teori Brahmana yang dikemukakan oleh J.C. van Leur berpendapat bahwa agama Hindu diperkenalkan oleh kaum Brahmana sebagai kaum yang berhak mempelajari dan mengerti isi kitab suci Weda. Para penguasa lokal yang tertarik dengan ajaran Hindu mengundang para Brahmana untuk datang ke wilayahnya.
Teori Sudra oleh Von Faber menyatakan bahwa masuknya
agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India berkasta Sudra yang
menginginkan kehidupan lebih baik sehingga pergi merantau ke wilayah lain,
salah satunya Nusantara. Teori Arus Balik dibuat oleh F.D.K. Bosch untuk
menyangkal teori Waisya dan Ksatria, bahwa masyarakat pribumi sendirilah yang
pergi mendalami agama Hindu di India, kemudian kembali untuk menyebarkan dan
mengembangkan agama Hindu di Nusantara.
Pada saat Kerajaan Bali Kuno dipimpin oleh Raja Udayana, agama Hindu berkembang dengan pesat di Bali. Agama Hindu di Kerajaan Bali pada masa itu memiliki banyak sekte. Menurut Goris, setidaknya ada 9 paksa atau sekte yang pernah berkembang di Bali, yakni Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Boddha atau Sogata, Brahma, Rsi, Sora, dan Ganapatya. Sekte-sekte ini memperdebatkan kepercayaan masing-masing dan saling berseteru sehingga menimbulkan keributan dan perpecahan, baik antar sekte maupun dalam sekte itu sendiri.
Situasi kerajaan
yang tidak stabil membuat raja Udayana meminta Mpu Kuturan untuk datang ke Bali
dan menyelesaikan konflik yang ada. Diperkirakan, Mpu Kuturan yang merupakan
seorang pendeta besar Hindu dari Majapahit tiba di Kerajaan Bali pada tahun 845
M untuk memimpin pertemuan antara para pemimpin sekte di Pura Bukit Goak guna
menyelesaikan konflik agama tersebut. Pertemuan yang dikenal dengan Pesamuan Agung ini menghasilkan
kesepakatan,
bahwa,
sekte-sekte Hindu yang beragam ini disatukan di bawah konsep Tri Murti yang berfokus
pada 3 dewa, yakni dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Kemudian konsep ini diterapkan
di masyarakat dengan adanya pembangunan Pura Tiga Khayangan di setiap desa adat
dan penerapan konsep tri mandala di
setiap puri di Bali.
Kerajaan Majapahit memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan agama Hindu di Bali. Pada masa pemerintahan Raja Bedahulu, Mahapatih Majapahit Gajah Mada memasuki Pulau Bali dengan tujuan ingin menaklukkan Bali demi misinya untuk menyatukan Nusantara. Setelah berhasil menaklukkan Bali, Ida Bhatara Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan diutus Raja Majapahit untuk memerintah sebagai Raja Bali yang berasal dari Kerajaan Majapahit. Ia mendirikan istana kerajaan di lokasi perkemahan Gajah Mada di Desa Samplangan sebelum pusat kerajaan akhirnya dipindahkan ke Klungkung. Masuknya bangsawan-bangsawan Majapahit hingga penduduk Hindu Jawa ke Bali membawa pengaruh budaya dan agama yang besar bagi Bali. Gelombang migrasi penduduk Hindu Jawa ke Bali semakin besar khususnya pada masa keruntuhan Majapahit oleh Kerajaan Demak. Mereka adalah penganut agama Hindu yang menolak pengaruh Islam dari Kerajaan Demak.
Dalam gelombang migrasi tersebut terdapat
juga dua Brahmana, yakni Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka yang membawa
banyak perubahan bagi agama Hindu di Bali. Kebudayaan Hindu-Buddha Jawa yang
melebur dengan budaya Bali yang masih dihiasi dengan penyembahan kepada nenek
moyang menghasilkan agama yang disebut orang Bali sebagai agama Tirta, kemudian
berganti nama menjadi Hindu Dharma. Dalam prakteknya, Hindu Dharma tidak sama
dengan Hindu di India, sebab Hindu Dharma berkembang mengikuti adat dan budaya
orang Bali yang ada sejak zaman prasejarah hingga masa kini.
Hindu Dharma atau Hindu Bali bagi orang Bali tidak hanya sekedar agama, namun sudah bersatu dengan budaya, adat serta tradisi turun-temurun orang Bali, sehingga nilai-nilai agama yang bercampur dengan adat itu menjadi identitas dan jati diri orang Bali dan hidup dalam aktivitas keseharian masyarakat Bali. Oleh karena inilah Bali begitu identik dengan agama Hindu. Hindu Bali mampu bertahan ketika Hindu Jawa memudar di masa peradaban Islam, dan terus bertahan di tengah gempuran modernisasi masa kini. Nah Sobat, bagaimana Bali adalah benang merah khazanah dalam sejarah Indonesia yang harus kita syukuri kekayaan budaya, bukan hanya kekayaan alamnya saja.
Sebagai anak pengubah bangsa, mari kita juga
turut menjaga dan mempertahankan kebudayaan
kita! Sekian dan terima kasih!
Om shanti, shanti, shanti Om.
DAFTAR PUSTAKA
Kompas.com. Verelladevanka, A. (2021).
Bangsa Arya: Asal-usul, Ciri-ciri, dan Hasil Kebudayaan. Diakses 15 Juni 2023
dari https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/30/080000479/bangsa-arya--asal-usul-ciri-ciri-dan-hasil-kebudayaan?page=all
Wikipedia. Agama di Indonesia. (2023).
Diakses pada 15 Juni 2023 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
Bali Tours Club. Desa Bali Aga. Diakses
pada 16 Juni 2023 dari https://www.balitoursclub.net/bali-aga/
CNNIndonesia.com. (2022). 5 Teori Masuknya
Agama Hindu dan Buddha ke Nusantara. Diakses pada 15 Juni 2023 dari
Putra, N. (2022). Pura Samuan Tiga : Napak
Tilas Penyatuan Sekte di Bali. Jurnal Nirwasita. Diakses pada 16 Juni 2023 dari
https://ojs.mahadewa.ac.id/index.php/nirwasita/article/view/2246/1650
Asumsi.co. Ramadhan. (2021). Perjalanan
Agama Hindu Hingga Diakui di Indonesia. Diakses 16 Juni 2023 dari https://www.asumsi.co/post/57847/perjalanan-agama-hindu-hingga-diakui-di-indonesia/#:~:text=Agama%20Hindu%20pun%20selanjutnya%20berkembang,Putra%20Bhatara%20Desa%20Bedahulu%2C%20Gianyar
Wartayasa, I. (2018). Kebudayaan Bali dan
Agama Hindu. Diakses pada 16 Juni 2023 dari
https://jayapanguspress.penerbit.org/index.php/ganaya/article/view/97/95
Tirto.id. Abdulsalam, H. (2019). Sejarah
Hindu Bali: Upaya Menuntut Pengakuan Dari Negara. Diakses pada 15 Juni 2023
dari https://tirto.id/sejarah-hindu-bali-upaya-menuntut-pengakuan-dari-negara-diDD?page=all#secondpage
Bali Tours Club. Sejarah Agama Hindu di
Bali. Diakses pada 15 Juni 2023 dari https://www.balitoursclub.net/sejarah-agama-hindu-di-bali/
Kusniarti, A. A. S. (2020). Awal
Kedatangan Patih Gajah Mada ke Bali, Berawal dari Pura Dalem Pingit Gianyar.
Diakses pada 16 Juni 2023 dari
iNews.id. (2022). Sejarah Mengapa Bali
Masyarakatnya Beragama Hindu, Ada Kaitannya dengan Majapahit. Diakses pada 15
Juni 2023 dari https://bali.inews.id/berita/sejarah-mengapa-bali-masyarakatnya-beragama-hindu-ada-kaitan-runtuhnya-majapahit/1
Validnews.id. Fatwa, A. M. (2020).
Mengenal Desa Penduduk Asli Bali yang Masih Eksis. Diakses pada 15 Juni 2023
dari
https://validnews.id/kultura/Mengenal-Desa-Penduduk-Asli-Bali-yang-Masih-Eksis-gGU
Di Pulau Sumatera sana, tepatnya di
daerah Sungai Musi, Palembang. Di Kerajaan Sriwijaya, yang berdiri pada abad
ke-7 hingga abad ke-13, merupakan salah satu kerajaan maritim terbesar dan
paling sukses di Asia Tenggara pada masa lampau. Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
tidak hanya mencakup wilayah politik yang luas, tetapi juga dicirikan oleh
perdagangan maritim yang makmur. Dikenal karena perdagangan maritimnya yang
makmur, Sriwijaya menunjukkan strategi jitu yang mengantarkannya pada kemajuan
yang luar biasa.
Tercatat dalam karya O.W. Wolters
(1970), pada 1918, suatu kemajuan telah dicapai khususnya dalam studi sejarah
maritim Asia Tenggara ketika George Coedes, berhasil mengidentifikasi kerajaan
maritim Melayu bernama Sriwijaya, yang berpusat di bagian selatan Sumatera.
Salah satu raja Sriwijaya pernah menulis surat kepada Kaisar Sung pada 1071
yang dengan bangga menyebut dirinya sebagai ‘raja daerah-daerah lautan’.
Kecerdikan Kerajaan Sriwijaya dalam konteks perdagangan maritim merupakan salah
satu faktor penting yang menyumbang kesuksesan mereka. Kerajaan ini pandai
dalam menyiasati strategi-strategi yang tidak hanya menguntungkan mereka secara
ekonomi, tetapi juga membantu memperluas pengaruh politik dan dominasi mereka
di wilayah maritim Asia Tenggara.
Kisah tentang strategi jitu atas
kesuksesan perdagangan maritim Sriwijaya dimulai di daerah pesisir pulau
Sumatera, di mana Sriwijaya berdiri sebagai pusat perdagangan yang strategis. Dengan
posisi geografis yang menguntungkan, mereka berhasil menguasai jalur
perdagangan antara India, Tiongkok, dan negara-negara di Asia Tenggara. Armada
dagang Sriwijaya mengarungi lautan, mengumpulkan kekayaan dari rempah-rempah,
emas, perak, dan barang mewah lainnya. Kemakmuran Sriwijaya terletak pada
kemampuan mereka dalam menciptakan monopoli dagang yang cerdik. Mereka
mengendalikan produksi, distribusi, dan perdagangan rempah-rempah serta
komoditas berharga lainnya. Dengan hal ini, Sriwijaya dapat menentukan harga
dan mengontrol akses terhadap komoditas tersebut, sehingga memperoleh
keuntungan yang besar.
Dilansir dari SINDANG Jurnal
Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah, hal lainnya yang disorot atas
berhasilnya strategi cerdik Sriwijaya atas kekuasaannya di dalam perdagangan
maritim, tercatat dalam sejarah bahwa Selat Bangka yang strategis letaknya
berhadap-hadapan langsung dengan pintu masuk ke arah pedalaman mengikuti aliran
muara Sungai Musi menuju Palembang. Kondisi wilayah tersebut memberikan isyarat
bahwa letak Selat Bangka pada masa Sriwijaya sangatlah penting karena banyak
para pedagang yang berkunjung ke pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang,
Sumatera Selatan (Sholeh, 2015: 98-99).
Kerajaan Sriwijaya yang terletak di
Palembang membuat Sriwijaya menjadi jalur pelayaran dan perdagangan di
Nusantara mulai dari Selat Malaka yang menjadi pintu masuk sampai ke Selat
Bangka yang akhirnya masuk di Pusat Kerajaan Sriwijaya yang disebut sebagai
jalur-jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Bagi Sriwijaya wilayah
perairan Pulau Bangka sangat penting untuk dijadikan wilayah kekuasaannya,
sebagaimana terbukti pada tahun 686 sesuai tahun dalam prasasti Kota Kapur.
Dengan demikian raja Sriwijaya memang benar-benar menginginkan wilayah Bangka
terutama daerah perairan Bangka untuk dijadikan wilayah kekuasaannya. Sriwijaya
melakukan hal tersebut bukan hanya semata-mata ingin menjadi penguasa saja,
tetapi melakukan politik perluasan dengan strategi penguasaan wilayah
jalur-jalur pelayaran perdagangan yang harus dikendalikan oleh Kerajaan
Sriwijaya.
Menurut teori Sukmono, para pedagang
harus memutar wilayah Bangka terlebih dahulu karena kondisi secara geografis
pulau-pulau atau daratan yang ada di wilayah pantai sebelah Timur Sumatera yang
masih dalam kondisi menyatu mulai dari Kepulauan Riau-Lingga sampai ke Bangka.
Faktor lain yang membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi pemilik kekuasaan di laut
sehingga disebut kerajaan maritim terbesar pada masa itu adalah faktor kekuatan
tentara yang kuat serta manajemen seorang pemimpin yang tegas dan bijaksana
dalam mengendalikan jalur-jalur pelayaran perdagangan yang ada di Nusantara
(Sholeh, 2015: 50).
Selain itu, Sriwijaya juga
mengendalikan rute perdagangan yang penting di Asia Tenggara, terutama jalur
perdagangan antara India, Tiongkok, dan negara-negara di Asia Tenggara. Mereka
melakukan pemungutan tarif dan pajak atas barang yang melewati wilayah mereka.
Dengan menguasai jalur-jalur dagang utama, Sriwijaya secara tidak langsung
memaksa para pedagang untuk berdagang melalui wilayah mereka dan mengambil
keuntungan dari transaksi perdagangan yang terjadi.
Tak sampai di situ, Sriwijaya
memiliki pengetahuan navigasi yang maju dan rahasia mengenai jalur-jalur
perdagangan yang aman dan menguntungkan. Mereka memonopoli pengetahuan ini dan
hanya membagikannya kepada para pedagang yang bermitra dengan mereka. Dengan
demikian, Sriwijaya dapat memastikan bahwa hanya mereka yang memiliki akses ke
jalur-jalur dagang yang menguntungkan, sementara pesaing mereka kesulitan untuk
bersaing dalam perdagangan maritim.
Kompas.com. Susanto Zuhdi. (2020). Laut China Selatan Dan Sriwijaya, diakses pada 31 Mei 2023, https://www.kompas.id/baca/opini/2020/01/15/laut-china-selatan-dan-sriwijaya
Kabib Sholeh, Widya Novita Sari, Lisa Berliani. (2019).
SINDANG Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah, JALUR PELAYARAN PERDAGANGAN KUNO DI SELAT BANGKA SEBAGAI LETAK
STRATEGIS BERKEMBANGNYA KEKUASAAN MARITIM SRIWIJAYA ABAD VII-VIII MASEHI,
hal. 34.
Khabib Sholeh. (2019). Jalur
Pelayaran Perdagangan Sriwijaya yang Strategis dan Perekonomiannya pada Abad
Ke-7 Masehi. ResearchGate. Diakses pada 31 Mei 2023 melalui https
://www.researchgate.net/publication/330538003_Jalur_Pelayaran_Perdagangan_Sriwijaya_yang_Strategis_dan_Perekonomiannya_pada_Abad_Ke-7_Masehi
Khabib Sholeh. (2019). Jalur
Pelayaran Perdagangan Sriwijaya yang Strategis dan Perekonomiannya pada Abad
Ke-7 Masehi, ResearchGate.
Azkia Nisrina. (2022). Angin Sebagai Sistem Navigasi Tradisional, diakses pada 31 Mei 2023, melalui https://kumparan.com/azkiyahn22/angin-sebagai-sistem-navigasi-tradisional-1yylhdXNWYv/full