Konstantinopel merupakan ibukota kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) yang terletak di Semenanjung Bosporus, antara Balkan dan Anatolia serta penghubung Laut Hitam dan Laut Tengah melalui Selat Dardanela dan Laut Aegea. Konstantinopel merupakan wilayah perdagangan yang ramai dikunjungi dan disinggahi oleh para pedagang dari bangsa Eropa dan Asia karena letak strategisnya sebagai Pelabuhan transit yang menghubungkan Eropa dengan Asia. Konstantinopel menjadi pusat perdagangan pada masa itu.
Kota ini juga menjadi pusat perdagangan rempah-rempah yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Eropa. Banyak komoditas lain diperjualbelikan di kota ini, termasuk sutera, bahan pangan, hingga belerang dan timah. Hal ini tentunya mendorong bangsa-bangsa lain berkeinginan untuk menguasai Konstantinopel, tidak terkecuali bangsa-bangsa yang masyarakatnya menganut agama Islam. Turki Usmani yang dipimpin oleh Mehmed II yang kala itu masih berusia 21 tahun sudah menyiapkan strategi pengepungan untuk menaklukkan Konstantinopel. Setelah gagal berkali-kali, akhirnya Konstantinopel ditaklukkan oleh tentara Ottoman di bawah komando Sultan Mehmed II pada 29 Mei 1453. Dengan penaklukan ini Ottoman menjadi sebuah Kekaisaran dan menjadi salah satu kerajaan yang paling kuat. Setelah Konstantinopel jatuh ke tangan Turki, Eropa dilanda krisis. Sulitnya kebijakan yang dibuat Turki kepada pedagang-pedagang Eropa memutus jalur perdagangan Asia-Eropa sehingga membuat para pedagang Eropa harus mencari wilayah lain untuk mendapat pasokan rempah-rempah. Perjalanan bangsa Eropa ke wilayah timur pun dimulai, termasuk ke Nusantara.
Dilatarbelakangi pencarian rempah-rempah, bangsa Portugis masuk lebih dahulu ke Nusantara pada tahun 1511 disusul oleh Spanyol, Inggris dan Belanda. Penjelajahan bangsa Portugis menempuh jalur timur, yakni melalui pantai barat Afrika hingga Tanjung Harapan, kemudian menyusuri pantai timur Afrika hingga ke Kalkut (India), dan terus menyusuri timur hingga tiba di Selat Malaka dana sampai di Maluku. Rute penjelajahan Spanyol dipimpin oleh Fernando de Magelhaens melalui jalur barat, mengarungi samudera Atlantik hingga melewati Brazil, Argentina, samudera Pasifik sampai di kepulauan Filipina. Namun, karena perang Cebu mengakibatkan Magelhaens terbunuh, Spanyol melanjutkan kembali pelayaran mereka di bawah kepemimpinan Sebastian del Cano yang mencapai kepulauan Maluku pada tahun 1521. Jalur pelayaran Inggris ke Indonesia sama dengan rute bangsa Spanyol. Pada 1577, armada Inggris di bawah pimpinan Francis Drake meninggalkan London dan menyeberangi Samudra Atlantik. Pada Oktober 1578, rombongan Francis Drake mencapai Pasifik dan mendarat di Filipina pada 1579.
Tak berselang lama, Drake mencapai
Kepulauan Maluku, tepatnya di Tidore. Belanda pertama kali datang ke Nusantara
dipimpin Cornelis de Houtman yang dibantu oleh Jan Hugyen van Linschoten yang
pernah tergabung dalam armada Portugis. Atas bantuan Linschoten, Belanda
mendapat informasi mengenai rute pelayaran menuju Nusantara, namun Belanda
tidak berlabuh di Selat Malaka, melainkan Selat Sunda. Belanda memilih rute
sendiri setelah melewati Tanjung Harapan dengan maksud menghindari Portugis
yang kala itu tengah menduduki India dan Maluku.
Kedatangan bangsa Eropa pertama kali ke Maluku disebabkan karena keruntuhan Konstantinopel pada 1453 oleh Mehmed II. Konstantinopel yang telah menjadi kota Islam membuat bangsa Eropa tidak bisa menjalankan kegiatan ekonomi sebagaimana biasanya. Karena itulah, harga rempah-rempah melonjak naik sehingga mengakibatkan bangsa Eropa harus mencari rempah-rempah ke wilayah lain. Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya rombongan Portugis yang saat itu dipimpin oleh Henry d'Albuquerque berhasil menaklukkan Malaka dan sampai di Maluku. Bangsa Portugis sampai di Maluku pada tahun 1511 dan diterima baik oleh Kerajaan Ternate.
Menurut Vlekke, pendudukan Portugis di Malaka menimbulkan banyak polarisasi pada beberapa kerajaan bercorak Islam di Nusantara. Pertempuran antara Portugis dengan Malaka dicampur tangani oleh Kesultanan Demak dan Aceh membuat pemeluk Islam kian banyak. Meskipun demikian, konflik antara Kerajaan Ternate yang mayoritas adalah muslim dengan bangsa Portugis yang mayoritas Katolik merupakan salah satu hal yang unik. Bagaimana tidak? Walau tengah berkonflik, Kerajaan Ternate juga menjalin kerja sama dengan Portugis untuk memerangi Kerajaan Tidore dan bangsa Spanyol. Vlekke menyatakan bahwa realitasnya, banyak sekali misionaris yang menyuarakan protes mengenai keputusan kerja sama Portugis dengan Ternate. Namun, karena bayang-bayang keuntungan akan monopoli cengkeh membuat Perwira Portugis mengabaikanprotes dari para misionaris.
Dari kerja sama ini, Portugis memperoleh keuntungan yang sangat besar dalam transaksi jual-beli cengkeh di Eropa. (Prima T. A.:2015). Di lain sisi, Spanyol berhasil menginjakkan kaki di Tidore pada tahun 1521 dipimpin oleh Del Cano. Sebelumnya, bangsa Spanyol telah tiba di Filipina, tepatnya di Cebu. Dibawah kepemimpinan Mahelgaens, Spanyol berupaya mengatasi perang antarsuku di Cebu yang naasnya membuat Mahelgaens terbunuh. Setelah sampai dan disambut baik oleh Tidore, Spanyol kemudian membuat perjanjian kerja sama dagang dengan Kerajaan Tidore. Sementara itu, Portugis yang membuka kantor dagang di Ternate merasa terancam dengan kedatangan Spanyol di Tidore.
Hal itu semakin kuat dengan realitas bahwa telah
lama Ternate dan Tidore saling berkonflik. Akan tetapi, perihal ini dapat diatasi
dengan dibuatnya perjanjian Saragosa antara Portugis dan Spanyol, di mana berisi
tentang kesepakatan Portugis dan Spanyol untuk tidak bertikai perihal wilayah kekuasaan.
Isi perjanjian Saragosa menegaskan Spanyol harus kembali ke Filipina dan Portugis
menguasai Maluku. Selain itu, dibuat juga perjanjian Tordesillas yang berisi tentang
arah pelayaran pembagian wilayah kekuasaan, di mana Portugis menguasai bagian
timur sementara Spanyol menguasai bagian barat.