www.marjoleinvanpagee.nl, 29 December 2021, teks: Marjolein van Pagee Terjemahan: Saut Situmorang
Ketika pemerintah Belanda pada tahun 2016 mengumumkan akan menyediakan 4,1 juta Euro untuk penyelidikan besar-besaran terhadap kejahatan perang Belanda di Indonesia, sekelompok kecil sejarawan dan jurnalis Belanda yang tertarik dengan pendudukan Belanda di Indonesia segera mulai mencari peluang. Pada dasarnya, mereka semua ingin meningkatkan karir mereka dengan memamerkan keahlian mereka tentang topik tersebut. Bahkan jika mereka tidak ingin menjadi bagian dari proyek penelitian, karena mereka rasa proyek tersebut politis, mereka tetap ingin jadi sorotan. Dengan pendanaan proyek ini mereka tahu bahwa mereka bisa mendapatkan perhatian (media) dan persetujuan untuk pekerjaan mereka. Sederhananya: ini adalah lowongan pekerjaan!
Ketika proyek tersebut
dipresentasikan pada tahun 2017 dua rencana baru ditambahkan:
1) Rijksmuseum
Amsterdam mengumumkan sebuah pameran tentang revolusi Indonesia yang
pembukaannya awalnya dijadwalkan untuk musim gugur 2021 dan kemudian ditunda
hingga Februari 2022.
2) Penyiar TV Belanda
VPRO mulai menggarap serial TV 9-bagian tentang revolusi Indonesia, dengan
fokus pada kakek presenter Hans Goedkoop, yang adalah seorang perwira tinggi di
Tentara Kolonial Belanda (KNIL).
Mungkin sulit untuk
membuktikan bahwa ada hubungan langsung antara proyek penelitian, pameran
Rijksmuseum, dan serial TV, tetapi saya sangat yakin semuanya terhubung. Bukan
suatu kebetulan bahwa ketiganya memiliki topik dan periode waktu yang SAMA
ketika proyek penelitian diluncurkan. Pembukaan pameran Rijksmuseum juga TEPAT
bersamaan dengan presentasi hasil penelitian. Sama seperti proyek penelitian,
pameran juga ditunda dari musim gugur 2021 jadi Februari 2022.
Hebatnya, sejarawan
Indonesia Bonnie Triyana (Pemimpin Redaksi Historia) berada di Belanda ketika
proyek penelitian Belanda tersebut diluncurkan pada September 2017. Saya
melihatnya di acara pembukaan. Meski menjauhkan diri dari proyek penelitian,
kunjungannya ke Belanda tidak hanya untuk liburan. Hanya beberapa hari sebelum
acara kick-off ia bertemu dengan Harm Stevens, kurator Rijksmuseum. Kemudian
pada bulan September 2018 Bonnie berbicara pada pertemuan publik kedua dari
proyek penelitian tersebut. Dia tidak pernah bergabung dengan kelompok
pengkritik yang mempertanyakan garis besar penelitian, apalagi ikut
menandatangani surat terbuka Jeffry Pondaag dan Francisca Pattipilohy (Sebenarnya,
Pondaag diizinkan untuk bicara pada pertemuan publik kedua itu, namun Francisca
Pattipilohy diabaikan oleh para peneliti seolah-olah mereka tidak menulis surat
terbuka tersebut bersama-sama.) Pondaag sangat vokal menyatakan bahwa proyek
tersebut salah sementara pidato Bonnie Triyana pada September 2018 tidak
mengganggu sama sekali bagi para peneliti.
Sebelumnya pada tahun
2017 ia juga memberikan wawancara kepada penyiar nasional NOS ketika mereka
mempresentasikan proyek penelitian baru yang mendukung Oostindie. Bonnie saat
itu mengatakan bahwa Indonesia harus belajar lebih banyak dari apa yang disebut
sebagai Bersiap (istilah Belanda untuk kekerasan anti-kolonial Indonesia). Ini
persis seperti yang diinginkan Belanda untuk dikatakan oleh orang Indonesia
agar memperlancar hubungan kekuasaan yang tidak setara, membingkai 1945-1949
sebagai peristiwa di mana ‘dua pihak bertarung’.
Jika demikian halnya
lalu apa yang bisa diharapkan dari pameran ini? Jika Belanda masih belum siap
untuk mengutuk kolonialisme sebagai pelanggaran hak asasi manusia lalu apa
gunanya semua perhatian atas 1945-1949 ini melalui acara publik, buku, termasuk
pameran?
Menurut saya, Saut
Situmorang benar ketika bicara tentang: Proyek Revisi Sejarah Kolonialisme
Belanda. Proyek revisi ini besar dan memiliki tiga bagian yang semuanya
mengabaikan Jeffry Pondaag/KUKB/kasus-kasus pengadilan. Setidaknya mereka semua
tidak mengakui bahwa karena tekanan kasus-kasus pengadilanlah maka pemerintah
Belanda memutuskan untuk mendanai penyelidikan besar-besaran ini sebagai cara
untuk berpura-pura bertanggung jawab. Proyek Revisi 3-bagian ini terdiri dari:
1) proyek penelitian
4,1 juta Euro,
2) serial TV VPRO yang
akan datang,
Pada hari Selasa 11
Januari (10 pagi CET), Rijksmuseum akan mengadakan konferensi pers. Di situs di
bawah ini Anda dapat membaca pengumuman pameran mereka.
Yang mengejutkan saya
adalah penggunaan konsep kolonial ‘multi-perspektif’ atau ‘multi-vokalitas’.
Saat ini di Belanda adalah umum untuk mengatakan bahwa ada berbagai perspektif
yang berbeda tentang kolonialisme dan bahwa semua suara yang berbeda ini sah. Namun,
gagasan ‘multi-perspektif’ tidak menghapus pemikiran kolonial dan rasis.
Pandangan pro-kolonial tidak dikutuk atau dianggap tidak etis. Oleh karena itu,
multivokalitas menghindari diskusi tentang apa yang benar dan apa yang salah.
Juga menghindari pembahasan tentang struktur kolonial dan relasi kuasa yang
timpang.
Dalam teks di situs
Rijksmuseum mereka berbicara seolah-olah kita semua adalah ‘satu keluarga
bahagia’. Seolah-olah ini tentang cerita individu dan bukan tentang
menganalisis sistem penindasan di mana orang kulit putih Belanda membentuk elit
teratas.
Baca misalnya kalimat
ini: “Pengalaman individu mereka mencerminkan sejarah dengan banyak wajah dan
banyak suara.” Dan: “pengalaman 20 individu – masing-masing di lokasi yang
berbeda, dan masing-masing dengan latar belakang dan sudut pandang politiknya
sendiri.”
Bukan begini cara
menganalisis sistem penindasan!
Saya menemukan bahwa
proyek penelitian tentang 1945-1949 tersebut kolonial karena menggunakan konsep
‘kekerasan ekstrim’, pameran ini pun sama-sama kolonial karena menggunakan
konsep ‘multi-perspektif.’ Dari perspektif dekolonial, hanya ada satu
perspektif yang dapat diterima secara moral, yaitu yang anti kolonial. Intinya
adalah perspektif penjajah perlu dihancurkan! Perspektif penindas tidak dapat
dihadirkan sebagai salah satu dari sekian banyak suara yang diperhitungkan.
Perspektif amoral inilah yang harus dikutuk!
Untuk alasan yang sama
Anda tidak dapat merepresentasikan kasus-kasus pengadilan KUKB hanya sebagai
salah satu faktor yang memicu perdebatan tentang kejahatan perang Belanda di
Belanda. Jeffry Pondaag dan Rémy Limpach (sejarawan yang bekerja untuk NIMH,
sebuah lembaga yang berada langsung di bawah Kementerian Pertahanan) saling
bertolak belakang. Limpach membantu Belanda untuk merevisi sejarah mereka
dengan cara pro-kolonial yang dapat diterima dan nyaman.
—