Oleh: Nayaka Iqra Aufklara
Virus Covid-19 pertama kali
terdeteksi pada tanggal 31 Desember 2019 di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok. Virus
ini pun mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Virus ini mulai bermutasi di Indonesia pada Senin, 2 Maret 2020 melalui Kota
Depok. Kabarnya, virus ini dapat menyebar antar manusia, baik secara langsung,
tidak langsung (melalui benda atau permukaan yang terkontaminasi), maupun
kontak erat dengan orang yang terinfeksi melalui sekresi mulut dan hidung.
Sekresi ini meliputi air liur, sekresi pernapasan, atau droplet (percikan)
sekresi (Who.int).
Virus Covid-19 memiliki berbagai
macam varian: Alpha, Beta, Gamma, Delta, Kappa, dan masih banyak lagi.
Mengambil contoh varian delta, varian ini hanya membutuhkan lima hingga sepuluh
detik untuk menularkan virus tersebut. Namun, bukan hanya virus Covid-19 yang
menyebar secara cepat, namun juga teori konspirasinya. Diantaranya: penanaman microchip rancangan Bill Gates di dalam
vaksin, penyebab Covid-19 yang merupakan kebocoran laboratorium di Tiongkok,
penularan virus Covid-19 kepada manusia melalui jaringan 5G, dan masih banyak
lagi (Kompas, 2021). Teori-teori konspirasi tersebut beredar melalui media
sosial maupun dari mulut ke mulut. Konspirasi-konspirasi yang menyebar
menyebabkan banyaknya orang menjadi tidak percaya dengan Covid-19 sehingga
mereka tidak mau melakukan vaksinasi.
Teori konspirasi paling konyol mengenai Covid-19 merupakan tuduhan penanaman microchip rancangan Bill Gates pada vaksin. Jika dipikir-dipikir, siapalah kita sehingga dirasa perlu ditanami microchip dalam tubuh? Karena teori konspirasi ini, masyarakat Indonesia menjadi parno untuk melakukan vaksinasi. Bahkan, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, harus melakukan vaksinasi terlebih dahulu secara siaran langsung agar masyarakat percaya bahwa vaksin tersebut tidak berbahaya. Meskipun Presiden Joko Widodo telah melakukan vaksinasi secara siaran langsung, sangat disayangkan bahwa banyak masyarakat yang justru beranggapan bahwa cairan yang disuntikkan kepada Presiden RI bukanlah vaksin Covid-19. Hal itu membuat pemerintah memutar otak untuk mendapatkan cara agar masyarakat Indonesia mau melakukan vaksinasi. Akhirnya, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menerbitkan aturan terbaru terkait PPKM Level 4 di Ibu Kota.
Aturan tersebut
tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) No. 966 Tahun 2021 yang ditekan pada
3 Agustus 2021. “Setiap orang yang melakukan aktivitas pada tiap-tiap
sektor/tempat harus sudah divaksinasi Covid-19 (minimal vaksinasi dosis
pertama) kecuali bagi warga yang masih dalam masa tenggang 3 bulan pasca
terkonfirmasi Covid-19 dengan bukti hasil laboratorium,” tulis Keputusan
Gubernur tersebut (Kontan, 2021). Dikarenakan aturan yang diberlakukan, banyak
masyarakat yang mulai berkeinginan untuk melakukan vaksinasi agar dapat
melakukan aktivitas di luar seperti sedia kala.
Teori konspirasi kedua yaitu
penyebab Covid-19 yang merupakan kebocoran laboratorium di Tiongkok. Teori
konspirasi ini secara tegas dibantah oleh pemerintah Tiongkok. Mereka
mengatakan bahwa, meskipun Wuhan adalah tempat klaster kasus pertama yang
terdeteksi, hal itu bukan berarti bahwa virus Covid-19 berasal dari wilayah
tersebut (bbc.com). Beberapa peneliti juga sudah mengatakan bahwa penyebab dari
virus Covid-19 bukan karena kebocoran laboratorium di Tiongkok. Live Science (20/4/2020) menyebut bahwa
virus tersebut dibuat sebagai senjata biologis atau bioweapon.
Kemudian beredar sebuah penelitian
tentang pandemi Covid-19 yang diterbitkan oleh jurnal Nature Medicine pada 17 Maret 2020. Penelitian ini menunjukkan
bukti spesifik yang menyangkal teori konspirasi yang merebak jika virus corona,
SARS-CoV-2, tidak direkayasa oleh laboratorium di Tiongkok. Selain itu,
terdapat pula sebuah penelitian yang dilansir dari Science Daily, analisis data sekuens genom dari virus SARS-CoV-2
yang menyebabkan Covid-19 menunjukkan virus tersebut adalah produk evolusi
alami dan bukan rekayasa genetika di laboratorium (Kompas, 2021).
Teori konspirasi selanjutnya merupakan tudingan bahwa jaringan 5G dapat membantu menularkan virus Covid-19 kepada manusia. Teori konspirasi tersebut pertama kali muncul dikarenakan adanya video yang tersebar di beberapa media sosial seperti Facebook, Instagram, dan YouTube mengenai menara ponsel yang terbakar di Birmingham dan Merseyside, Inggris. Namun, para ilmuwan telah membantah bahwa secara biologis, tidak terdapat hubungan antara virus Covid-19 dengan jaringan 5G. Bahkan, teori konspirasi ini dicap sebagai berita palsu terburuk oleh Direktur Medis NHS England Stephen Powis (Kompas, 2021). Teori ini juga dipercayai oleh ahli teori konspirasi, Dana Ashlie, yang disebabkan gelombang radiasi yang dikeluarkan oleh jaringan 5G. Terlebih Wuhan adalah salah satu kota Tiongkok pertama yang mendapatkan 5G. Teori ini berdasarkan pada makalah penelitian tahun 2000 yang menyebutkan 5G berbahaya bagi kesehatan manusia.
Ashlie juga menyatakan bahwa
virus ini sebenarnya keracunan radiasi yang membuat sistem kekebalan tubuh
cepat lemah dan rentan terkena penyakit. Biarpun Ashlie berdasarkan pada
makalah, orang yang berpendapat sebaliknya mengatakan bahwa pernyataan yang
tertera tidak dapat dibenarkan karena penelitian tahun 2005 membuktikan bahwa
5G tidak berbahaya bagi manusia. Dan juga mereka memiliki fakta bahwa, Wuhan
bukanlah satu-satunya kota pertama yang mendapatkan internet 5G. Bahkan,
terdapat 16 kota lain di Tiongkok yang mendapatkan internet 5G (Liputan6,
2021).
Menyebarnya teori
konspirasi-konspirasi tersebut membuat penanganan wabah ini lebih sulit.
Dikarenakan, masyarakat yang mempercayai konspirasi Covid-19 enggan untuk
mematuhi protokol kesehatan, terlebih melakukan vaksinasi. Hal ini sangat
berbahaya, apalagi jika orang-orang yang berpengaruh seperti influencer maupun tokoh terkenal mempercayai dan sampai-sampai
menyebarluaskan teori konspirasi Covid-19. Tidak hanya itu, kepercayaan
masyarakat terhadap teori konspirasi yang menyebar luas juga berdampak pada
kematian ratusan orang di dunia. Dilansir dari suara.com, terdapat 800 orang
yang meninggal dunia dikarenakan kepercayaannya pada konspirasi Covid-19.
Kurangnya edukasi membuat banyak
lapisan masyarakat percaya terhadap konspirasi-konspirasi mengenai Covid-19.
Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi adalah kurangnya literasi dan juga
perasaan jenuh akan kondisi pandemi ini. Bagaimana tidak? Pandemi Covid-19
telah bermutasi di dunia selama hampir dua tahun. Tentu hal ini tidak akan
segera berakhir jika masih banyak masyarakat yang masih mempercayai teori-teori
konspirasi tentang virus Covid-19 yang tidak masuk di akal. Terutama di
Indonesia sendiri, dikutip dari website
kabar24, terdapat 17% dari keseluruhan penduduk Indonesia mempercayai
konspirasi-konspirasi yang tersebar luas.
Maka dari itu, muncul istilah herd
stupidity yang dikemukakan oleh Pandu Riono yang merupakan epidemiolog
Universitas Indonesia. Akan tetapi, kita harus melawan herd stupidity agar tercipta herd
immunity.
Jika dibiarkan begitu saja, hal ini
akan semakin berbahaya dan berkepanjangan. Oleh karena itu, kita harus berupaya
untuk mengatasinya dengan berbagai cara masing-masing. Kita dapat memulai dari
diri kita sendiri dengan cara tidak mempercayai teori konspirasi-konspirasi
yang beredar dan mengatakan kepada orang terdekat bahwa teori konspirasi yang
beredar tidak benar. Ditinjau dari faktor-faktor tersebut, pemerintah dapat mendukung
dengan cara mengedukasi melalui video
lalu mengunggahnya di sosial media. Sehingga warga yang malas untuk membaca,
tetap tertarik untuk melihat edukasi tersebut.
Dan jika ada tokoh yang berpengaruh menyebarluaskan teori konspirasi Covid-19, maka harus segera ditindaklanjuti agar informasi tersebut tidak semakin menyebar luas.