Impian yang Takkan Terwujud

 

                 Sumber: https://www.poeticmessages.com/


Oleh: Nazwa Nur Farida


    Hai semua, aku Clarissa. Clarissa Putri Hartono. Aku merupakan mahasiswa fakultas kedokteran. Ya, bisa dikatakan sebagai mahasiswa yang berprestasi. Bahkan, aku mendapatkan beasiswa untuk masuk ke universitas yang sangat favorit. Anak yang mempunyai cita-cita dan keinginan yang besar untuk menjadi seorang dokter ahli bedah dengan usahaku tanpa bantuan dana dari siapapun itu, walaupun keluargaku mumpuni secara ekonomi, tetap saja aku menolak bantuan dana apapun itu.

 

Aku memiliki 2 kakak laki-laki, Adrian Hartono dan Jackson Hartono, the most wonderful brother in the world IMO. Ayahku, Jeffri Bagas Hartono ia merupakan pemilik sekaligus ketua direktur suatu perusahaan besar, ia sangat menyayangiku melebihi apapun. Kemudian, ibuku, Anya Melville Malinowski, yup! Ibuku berdarah campuran, ia bekerja sebagai hakim yang sangat sukses, the most beautiful woman in the world, ia sangat tegas, berpendirian, bertanggung jawab, aku sampai mengira dia wanita paling sempurna yang pernah ada, ingin sekali aku mengikuti jejaknya.

 

Kehidupanku sebelumnya tidaklah seindah yang kalian bayangkan, banyak rintangan untuk mencapai dan merealisasikan apa yang terjadi sekarang ini. Senang, susahnya hari-hari kulewati, walau letih kusadar semua ini pasti berbuah manis. Mungkin kalian berpikir, “Enak ya, hidupnya sempurna, kaya, penuh kasih sayang, dan lain-lain.” Akan tetapi, yang kalian lihat dan orang-orang lain lihat hanyalah kulit yang menutupi apa yang sebenarnya terjadi.

 

Saat aku masih duduk dibangku 1 SD, kedua abangku duduk dibangku 4 SD dan 1 SMP. Pulang pergi selalu diantar supir, Pak Cecep, supir yang sangat setia pada keluargaku. Ia sudah bersama kami lebih dari 20 tahun, ia siap mengantar kami kemanapun tujuannya. Aku telah kehilangan salah satu hal yang sangat indah dan sangat aku sayangi di hidupku, seorang yang sangat mendukungku apapun keputusanku, seorang yang selalu mengerti perasaanku, seorang yang sangat dekat secara fisik bahkan secara batin, ialah nenekku.

 

Ia wafat saat aku masih duduk dibangku SD, ia meninggal dikarenakan serangan jantung, luka pertama yang aku dapatkan, luka yang sangat besar telah tertoreh dalam hati dan pikiranku. Saat itupun aku berusaha tegar, aku berusaha untuk tak menangis di hadapan seluruh anggota keluargaku, aku hanya bisa menangis setelah acara pemakamannya telah usai, aku menangis di dalam kesendirian di pinggir pantai dekat resort ayahku, aku habiskan semua air mataku pada saat itu dan setelah itu pula aku mulai kehilangan air mataku.

 

Selayaknya remaja pada umumnya, aku juga memiliki dan mengalami kisah cinta, kisah percintaan yang sangatlah menyedihkan, bukan apa yang seharusnya dialami remaja pada saat itu. William, nama orang yang menemani masa-masa sekolahku dan orang yang selalu mendukungku setelah nenek tiada. Ia merupakan teman masa kecilku, kami sudah berteman sejak lahir, bisa dikatakan keluarga kami mengenal dengan baik, ia lebih tua 2 tahun dibanding aku. Kami satu sekolah saat SMP, mengalami masa-masa sekolah yang indah, penuh sukacita dan penuh tawa. Masa-masa itu pun menumbuhkan rasa suka, sayang bahkan cinta diantara kami, rasa yang tidak pernah kami bayangkan sebagai sahabat.

 

Kemudian, pada saat acara sekolah, saat perlombaan basket, William pun turut menjadi pemain dalam salah satu tim, akupun ikut menyaksikan pertandingan yang cukup sengit itu. “Bruk!” sesuatu yang tak terduga terjadi, kepala William dibanjiri darah. “William!!!” aku pun berteriak dan berlari dengan panik ke arahnya. Aku yang pada saat itu penuh dengan rasa khawatir, sebab melihatnya terbaring lemah, dibanjiri darah, aku pun berkata “Tolong bertahan dan tolong kuatin diri lo, gue masih sayang sama lo, please”.

 

Kemudian, aku meminta PMR yang bertugas di sana untuk segera membawa William ke dalam UKS terlebih dahulu, untuk mendapatkan penanganan pertama. “Bu, tolong bu, TOLONG WILLIAM BU” aku menyeru dengan panik sambil menahan tangisku. “Iya, Clarissa, tapi ibu gak punya alat dan pengetahuan yang mendukung buat menghentikan pendarahan yang dialami William” kata Bu Yani dengan wajah khawatir. Kemudian, dengan inisiatif dan apa yang telah aku pelajari sebelumnya, aku pun mengambil alat-alat seadanya yang ada di UKS.

 

“Kamu mau ngapain nak?” kata Bu Yani. “Pertolongan pertama bu, ini wajib dilakuin bu, ambulan 5 menit lagi baru datang, kalo pendarahannya gak dihentiin bisa bahaya bu” kataku. “Apakah kamu yakin bisa melakukannya?” kata Bu Yani dengan raut wajah bertanya-tanya. “InsyaAllah bu, ibu tolong duduk aja dan terus berdoa” kataku dengan terburu-buru. Aku pun mulai melakukan penanganan pertama kepada William, tak lama dari itu ambulan pun datang tepat saat aku selesai, petugas masuk ke dalam ruangan untuk membawa William ke dalam ambulan, dengan baju yang penuh dengan darah aku juga turut ikut membawa dan mengantar William dalam ambulan.

 

“Ini siapa yang melakukan penanganan pertama?” dengan kaget petugas tersebut bertanya kepadaku “Saya sendiri pak, kenapa ya pak?” tanyaku. “Hebat, usiamu masih remaja, tapi keterampilanmu dalam menangani kasus ini sangatlah baik” kata petugas tersebut dengan terkesan. “Terimakasih pak” kataku dengan sedikit malu.

 

Sampailah kami di rumah sakit, kemudian William segera dibawa ke ruang operasi, 30 menit kemudian dokter pun keluar dari ruang operasi dan berkata “Alhamdulillah operasi berjalan dengan lancar, ini dikarenakan penolongan pertama yang sangat baik, saya dengar itu dilakukan oleh temannya. Kamu ya?” kata dokter sambil menunjuk ke arahku. “Iya pak, apakah saya sudah boleh masuk?” jawabku sambil aku bertanya. “Oh iya tentu, silahkan masuk ke dalam, sepertinya ia sudah siuman, tapi tolong jangan terlalu intens kepada pasien” kata dokter, aku pun mengangguk dan segera masuk ke dalam ruangan.

 

Melihat William yang masih pucat itu, aku dengan spontan langsung memeluknya dan berkata “Lo jangan pernah bikin gue khawatir lagi, ok?” Dengan menahan tangis, ku terus memeluknya, tak ingin kumelepas pelukan itu. “Gue ga bakal kemana-mana, gue tetep disini, nemenin lo” katanya, “Janji ya” seruku, “Iyaa janji” katanya. Peristiwa itu merupakan salah satu peristiwa yang hampir membuatku jatuh, ia merupakan orang pengganti nenek, hanya dia yang benar-benar mengerti apapun tentangku, maka dari itu aku sangatlah khawatir terhadapnya.

 

William dirawat di rumah sakit selama satu minggu penuh, ia ternyata baik-baik saja, ia hanya mendapatkan jahitan ringan, kulit kepalanya terkena pecahan kacamata yang pecah diakibatkan terkena hantaman bola basket. Aku pun lega, melihatnya dapat kembali sehat dan normal.  Pada suatu hari di sekolah, saat aku keluar dari toilet, tiba-tiba William datang ke hadapanku “Loh kok diluar? Ngapain?” tanyaku. “E..enggak, cuma mau ke toilet” jawabnya dengan sedikit gugup.

 

“Oh yaudah sana gih, nanti malah ngompol di sini lagi” kataku sambil bercanda. Akan tetapi, William tiba-tiba memegang kedua tanganku, anak itu, tiba-tiba menyatakan perasaannya kepadaku. “Gu..gue suka sama lo!” katanya sambil memegang tanganku. Aku yang kaget pun hanya bisa membisu, aku yang bertanya-tanya, aku yang tidak tahu harus berkata apa, aku hanya bisa terdiam dan kembali ke dalam kelasku tanpa menjawab dan berkata sepatah kata pun.

 

Siangnya ia menghampiriku lagi, kali ini di sebuah koridor kelas dengan suasana ramai di hadapan teman-teman sekelasku. Tiba-tiba, menjadi hening ketika William mengatakan, “Lo mau ga jadi pacar gue?!” tanyanya. “Hah, apaan sih lo dari pagi ngaco banget” jawabku untuk mengalihkan perhatian. “Gue serius riss” tekannya. “Terima, terima, terima” orang-orang di koridor bersaut-sautan.

 

Sebenarnya aku pun juga memiliki rasa terhadapnya, maka dari itu aku menerima perasaannya dan akhirnya kami jadian serta menjadi sepasang kekasih. Setelah kami berpacaran, tak ada yang berubah, yang berubah hanyalah status kami, yang dulunya hanyalah sepasang sahabat, sekarang telah menjadi sepasang kekasih. Kami melalui masa-masa indah, masa penuh suka cita dan tawa ria. Ya, melakukan apa yang biasanya dilakukan sepasang kekasih, menonton film, makan bersama dan hangout bersama.

 

Tak terasa sudah 2 tahun kami berpacaran, untuk merayakannya, kami melakukan makan malam di suatu resto bintang 5 yang cukup terkenal. Aku mengenakan gaun yang diberikan oleh William, gaun yang sangat cantik dan sangat cocok di badanku. Setelah bersiap, akupun menunggu kedatangan William untuk menjemputku. Sudah sekitar 1 jam aku menunggu tapi belum ada tanda ataupun kabar darinya. “Drrt..!” hp kubergetar ada yang menelpon.

 

“Oh, akhirnya William menelpon” kataku, aku pun mengangkatnya “Halo, kamu di mana? Aku udah nungguin daritadi nih” kataku dengan agak nada sebal. “Halo, Clarissa ini tante, William masuk rumah sakit” kata mamanya William, dengan menahan isak tangisnya. Aku pun terjatuh lemas mendengar kabar itu, aku berusaha tegar berkata, “Kenapa tan? Ada apa? Apa yang terjadi? Rumah sakit mana? Tolong sharelock ke aku” kataku yang tak bisa membendung rasa panik dan khawatir. “Nanti tante jelasin semuanya di rumah sakit, itu udah tante kirim alamatnya” jawabnya. “Aku ke sana sekarang” kataku terburu-buru dan mengakhiri pembicaraan itu.

 

Sampailah aku di rumah sakit, aku segera berlari masuk kedalam rumah sakit dan  bertanya pada perawat, di mana ruangan William dirawat. Setelah mengetahuinya, aku pun terus berlari, berlari dan berlari penuh rasa khawatir. Akhirnya, pun aku sampai dan bertemu dengan mamanya, “Tan, William baik-baik aja kan? Iya kan? Dia bakal sembuhkan?” kataku dengan terengah-engah. Mamanya pun memelukku seraya berkata, “Kita berdoa aja dulu ya Clarissa, kita terus berdoa agar semuanya baik-baik aja, William lagi ditangani dokter, kita tunggu kabar selanjutnya ya” katanya sambil memelukku.

 

“Sebenernya, William kenapa sih tan? Kok bisa sampe gini?” tanyaku. “Tante juga gak tau, tante aja kaget banget pas denger kabar William jatuh di kamar mandi” jawabnya. Tak lama dari itu, dokter pun keluar dari ruangan dan mengatakan, “Mungkin nyawa pasien tak akan bertahan lama, mungkin ia takkan tertolong” kata dokter. “KENAPA DOK? WILLIAM KENAPA?” seruku “Ia mengidap penyakit paru obstruktif kronis, kondisinya sudah sangat akut” kata dokter, aku pun segera masuk ke ruangannya.

 

“WILLIAM, LO UDAH JANJI YA SAMA GUE, LO BAKAL TETEP SAMA GUE! TAPI KENAPA JADI GINI?!” kataku sambil menahan tangis. “Ma… Maaf Ri..rissa, aku ga..ga bi..sa.. ne..pa..patin jan..ji a..aku” kata William dengan terbata-bata. “Kenapa KENAPA INI TERJADI SAMA GUE?! KENAPA” kataku. “Takdir” katanya. Tak lama dari itu, keluarganya pun masuk ke dalam, kemudian setelah mereka berbincang singkat, William pun memanggilku dengan nada lirih, “Rissa, sini” katanya “Ada apa?” kataku “Ingat Rissa, aku sayang sama kamu, aku bakal terus disisimu, a...ku sa...sayang sa..sa..ma ka..kamu Rissa” kata terakhir yang diucapkannya kepadaku. Sakit, sakit sekali melihatnya, membaca kalimat syahadat sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya.

 

Aku yang menerima perasaan manis, aku pula yang harus menerima perasaan sakit dan pahit ini. Aku menjalani kehidupanku dengan rasa biru, tak bisa merasakan kasih sayang yang tulus lagi, kedua abangku yang sebelumnya dekat denganku, dan selalu mendukungku juga, pergi untuk meneruskan pendidikannya di luar negeri. Aku pun baru menyadari, ternyata ibuku menolak keras aku untuk masuk di dunia kedokteran.

 

Impianku sejak aku kecil hancur, hancur lebur, karena itu, nenek, William, yang selalu mendukungku pun akan kecewa dengan itu. Perasaanku pun ikut hancur menambah luka di hatiku, tapi aku bisa apa? Ayahku yang mengetahui itu pun membujuk ibuku, untuk setuju dan mendukung keputusanku. Percobaan pertama gagal, kedua, ketiga, dan akhirnya pun ibu menyetujuinya, karena teringat dengan pesan dari nenekku. Aku pun melanjutkan studi tersebut melalui beasiswa yang aku dapatkan.

 

Aku mengidap penyakit yang sangat mustahil untuk disembuhkan. Aku baru mengetahuinya saat usiaku 17 tahun, saat pemeriksaan kesehatan masuk universitas. Aku terus berusaha merahasiakan kondisiku ini dari keluarga dan orang-orang terdekatku. Aku hanya tidak ingin menjadi beban bagi mereka, aku memendam semuanya.

 

Mungkin, penyakit ini disebabkan stres akut dan air mata yang hilang entah ke mana, dan kemudian berubah menjadi gumpalan darah di otakku. Waktuku di dunia ini pun tak lama lagi, hanya tersisa 3 bulan lagi, aku tak mau melakukan operasi karena sama saja, pada akhirnya pun aku akan mati dalam waktu dekat ataupun aku akan mati di meja operasi. Aku tinggal menunggu waktu dan akhirnya pun aku akan bersama dengan William bersama di kehidupan yang abadi. Sampai hari inipun, 3 hari sebelum tanggal kematianku, tak ada yang mengetahuinya, aku menulis ini untuk mengenang masa-masa indahku dengan William.

 

Aku sayang sama kamu William. Inginku terus hidup bersamamu, bersama keluargaku serta orang-orang yang aku sayangi, tapi itu mustahil, itu hanyalah angan-angan yang takkan terwujud. Terima kasih untuk semuanya aku sayang sama kalian semua, terima kasih.

 

Terkadang, dunia itu tak berpihak pada kita, manusia, kita tak tahu kapan kebahagiaan itu hilang dan kita juga tak mengetahui kapan kehancuran itu muncul. Sebagai manusia, kita harus bersiap menerima takdir, menerima apapun yang telah dan akan terjadi dengan lapang dada, sepertiku, aku selalu berusaha untuk tegar menerima semua yang terjadi, termasuk kehilangan. Nenek, William semoga kamu tenang di sana ya, tunggu aku di sana, sebentar lagi aku datang.

Impian yang Takkan Terwujud