Sumber: https://news.detik.com
Oleh: Dyaz Rahmadini Hermawan
Teman-teman semua yang dulu SD di Jakarta pasti pernah belajar PLBJ, kan? Sebentar, kita flashback dulu. Masih inget gak sih, materinya ada apa saja? Kalo seinget aku nih, materinya tuh ada Ondel-Ondel, Permainan Cici Putri, Permainan Nenek Gerondong, lalu juga ada materi tentang alat musik dan lagu khas DKI Jakarta. Selain itu, di pelajaran PLBJ yang kita pelajari di SD tuh ada juga cerita-cerita heroik dari Sang Jawara Betawi.
Kalau berbicara tentang Sang
Jawara Betawi pasti yang langsung terlintas dalam pikiran kita adalah Si
Pitung, karena cerita ini juga udah terkenal dan pasti banyak orang tahu. Lalu,
yang paling aku inget juga ada Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, dan
Si Jampang.
Nah, ada satu
kisah Sang Jawara nih yang mungkin banyak orang belum tahu, karena tidak
setenar Si Pitung atau Si Jampang. Tapi, pahlawan tetaplah pahlawan. Di daerah
kelahirannya, beliau sangat dikenal sebagai Pahlawan Pembela Kaum Tani. Namanya
adalah Entong Gendut. Beliau juga sering dipanggil dengan Haji Entong Gendut,
karena semasa hidupnya ia telah mengerjakan ibadah haji. Entong Gendut
adalah seorang pejuang Betawi dari daerah Condet, yang menentang pemerintahan
Hindia Belanda pada tahun 1916. Entong Gendut memegang peran begitu penting
dalam berbagai gerakan protes petani di Pulau Jawa pada penghujung abad ke-19
dan awal abad ke-20.
Sang Jawara dari Condet ini terkenal sangat saleh dan teguh pada prinsipnya. Dulu, ia pernah ditawarkan menjadi raja muda oleh pihak Belanda, namun ia dengan tegas menolak tawaran tersebut dan tetap teguh pada prinsipnya. Haji Entong Gendut juga dikenal memiliki senjata pamungkasnya, yaitu golok sakti.
Menurut cerita dari salah
satu cucunya Haji Entong Gendut yang bernama Baba Taceh, saat Entong Gendut
mengeluarkan dan membuka sarung golok saktinya, Belanda langsung bertingkah
layaknya orang yang sedang berenang di atas tanah. Biasanya usai berenang di
atas tanah, para Belanda langsung lari terbirit-birit meninggalkan Entong
Gendut. Hingga saat ini, golok sakti itu masih tersimpan di rumah adik dari
Baba Taceh yang bernama Mak Inong.
Di sekitar abad
ke-17, orang Belanda menyebut Condet dengan sebutan Groeneveld, yang berarti
Tanah Hijau. Saat itu, Condet termasuk bagian dari tanah partikulir Tandjoeng
Oost atau Tanjung Timur milik Peter Van Der Velde asal Amersfoort. Pada tahun
1860, ia meninggal dan Groeneveld menjadi milik putrinya yang bernama Dina
Cornelia, yang menikah dengan Tjaling Ament, asal Kota Dokkum, Belanda Utara.
Ament melanjutkan usaha mertuanya, yaitu meningkatkan usaha pertanian dan
peternakan.
Setelah Tjaling Ament dan istrinya meninggal, Groeneveld diambil alih oleh Lady Rollinson, seorang bangsawan dari Inggris. Sebagai tuan tanah yang menguasai Condet, ia mengharuskan rakyat Condet membayar pajak yang nantinya akan ditagih oleh para mandor dan centeng tuan tanah. Pajak (blasting) sebesar 25 sen yang harus dibayarkan setiap minggu dinilai sangat memberatkan bagi rakyat, karena harga beras masa itu hanya sekitar 4 sen per kilogram.
Lebih
kejamnya lagi, konsekuensi bagi penduduk yang tak mampu membayar blasting adalah melakukan kerja paksa berupa
penggarapan sawah dan kebun tuan tanah selama sepekan. Bahkan, jika pemilik
sawah atau kebun yang belum membayar pajak, maka hukumannya lebih berat, yaitu
hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen.
Selain itu,
Kompeni lewat peraturan Gubernemen tahun 1912 melegitimasi perilaku
sewenang-wenang para tuan tanah Eropa terhadap para petani. Aturan itu memberi
ruang bagi tuan tanah untuk menindak petani yang gagal bayar pajak melalui
pengadilan. Tak tanggung-tanggung, jumlah tindakan lewat pengadilan itu begitu
banyak. Pada 1913 saja pengadilan menangani dua ribu perkara kegagalan petani
dalam membayar pajak kepada empunya tanah. Selanjutnya, ada lima ratus perkara
di tahun 1914 dan tiga ratus perkara di tahun 1915.
Eksekusi pengadilan
pun mendatangkan kebencian dari kaum bumiputra. Kaum tani sering dibuat
bangkrut karena eksekusi pengadilan. Apalagi, harta kaum tani pun banyak
disita, dijual, atau dibakar pengadilan. Tambah keji lagi, sang tuan tanah yang
egois dan hanya memikirkan keuntungan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tidak
habis pikir, dalam posisi seperti ini, mereka malah memanfaatkan kesempatan itu
untuk menaikkan pungutan pajak.
Mendengar dan
menyaksikan semua penderitaan itulah, timbul kegeraman dalam diri Haji Entong
Gendut. Kegeraman Entong Gendut meledak saat pengadilan di Meester Cornelis
(Jatinegara) 'memeras' seorang petani bernama Taba lewat pengadilan. Taba
adalah petani dari Batu Ampar (Condet). Pada 14 Mei 1914, Taba diperintahkan
pengadilan untuk membayar 7,20 gulden, ditambah ongkos perkara. Pengadilan pun
memberi tenggat waktu hingga 15 Maret 1916 untuk membayar perkara. Bila tak
mampu bayar, pihak berwajib akan menyita barang Taba dan menjualnya.
Situasi kemudian
memanas. Warga setempat dan para tetangga Taba marah. Mereka bersatu dalam
kegeraman dan segera bersiasat melakukan perlawanan. Ketika para yang berwajib
datang untuk melaksanakan hukuman, mereka berkumpul di Kebon Jaimin di sebelah
utara untuk mencegah nasib buruk yang sudah dijatuhkan ke kepala Taba. Entong
Gendut juga hadir di sana. Sayangnya, rakyat gagal, walaupun telah
berteriak-teriak, maki-maki, dan berdoa.
Namun, tak
berhenti sampai situ saja, penduduk Batu Ampar mulai bergabung dengan
perkumpulan bela diri yang dipimpin oleh Entong Gendut, Maliki, dan Modin,
serta ditetapkan delapan wazir dan dua prajurit. Anggota perkumpulan terus
bertambah hingga mencapai sekitar 400 anggota. Dengan ilmu bela diri yang
dimiliki dan kerja sama dari penduduk Batu Ampar, mereka berniat mencegah para
pegawai pemerintah mengeksekusi harta petani dari berbagai putusan pengadilan
distrik. Banyaknya petani yang bergabung dalam perkumpulan membuat Entong
Gendut semakin percaya diri melakukan aksi kedua.
Pada 5 April 1916, di Landhuis (rumah peristirahatan) Gedong Villa Nova milik Lady Rollinson Van Der Passe di perkebunan Cililitan sedang diadakan pesta tari Topeng dan kegiatan lainnya bersama para tuan tanah. Kemudian, sekitar jam 11 malam aksi kedua pun dimulai, Haji Entong Gendut beserta tokoh Condet dan anggota perkumpulannya menuju ke kediaman Lady Rollinson.
Mereka melakukan perlawanan
fisik, mulai dengan merusak kendaraan milik tuan tanah Tandjong Oost, D.C.
Ament, sampai menghentikan pertunjukan topeng di halaman gedung. Pemerintah
kolonial Belanda terpaksa turun tangan karena kelompok Entong Gendut sudah
dianggap mengganggu.
Setelahnya,
Entong Gendut menjadi orang yang paling dicari Belanda. Pihak pemerintah
kolonial melakukan berbagai upaya untuk menangkap Haji Entong Gendut yang
dianggap membangkang. Sampai-sampai, Wedana Meester Cornelis pun mengerahkan
satuan kepolisian untuk mengepung rumah Entong Gendut di Batu Ampar. Entong
Gendut tidak takut dan tampak siap menanti kedatangan sang wedana sambil menggenggam
golok saktinya, lalu disusul oleh puluhan orang bersenjata anggota Entong
Gendut. Di situlah dirinya memproklamirkan diri sebagai raja. Mereka juga
menyatakan tak akan tunduk kepada siapa pun, termasuk hukum kolonial.
Rumah Entong
Gendut kembali lagi didatangi oleh Wedena Meester Cornelis. Kali ini, kelompok
Entong Gendut berhasil menawan wedana. Namun, hal itu harus ditebus dengan
kematian Entong Gendut oleh peluru pasukan Belanda. Entong Gendut pun tewas
pada 10 April 1916. Namun, sampai saat ini makamnya tak diketahui rimbanya, ada
yang mengatakan di Kemang, Jakarta Selatan, namun ada juga yang mengatakan di
Kampung Wadas, Bogor.
Ada berbagai
versi mengenai kematian Entong Gendut. Pertama, Entong Gendut meninggal bukan
di Kampung Gedong namun di Batuampar, saat melewati sungai karena dikejar-kejar
tentara kolonial Belanda. Konon, menurut cerita dari warga, kekebalan Entong
Gendut akan luntur apabila terkena air sungai. Kedua, jasad Entong Gendut
diangkut oleh pihak kolonial Belanda, kemudian diceburkan ke laut.
Setelah pemberontakan itu dan meninggalnya Haji Entong Gendut, tindakan para tuan tanah dan Kompeni terhadap rakyat Condet semakin kejam, sehingga tidak ada seorang pun orang dewasa yang berani tinggal di Condet. Mereka semua melarikan diri dari kejaran Belanda.
Bahkan, sampai tidak ada yang berani mengaku orang Condet,
karena kala itu banyak pemuda Condet yang ditangkap dan pulang tinggal nama. Keadaan
tersebut digambarkan dalam sebuah pantun yang diingat turun temurun oleh
masyarakat Betawi, yaitu:
Ular kadut mati di kobak
Burung betet makanin laron
Entong Gendut mati ditembak
Orang Condet pada buron