Walter Disney Sang Pelopor Kartun Dunia

Walter Disney Sang Pelopor Kartun Dunia

 

oleh: Ariel Rich Wicaksono


    Walter Elias Disney atau yang lebih dikenal Walt Disney merupakan pendiri dari Walt Disney Production yang merupakan perusahaan produksi film bergerak paling terkenal di Dunia. Walt Disney merupakan animator inovatif dan menciptakan karakter Oswald —yang disempurnakan menjadi kartun Mickey Mouse.

 

Walt lahir pada tanggal 5 Desember 1901. Ia lahir di Hermanos Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Walt merupakan anak keempet dari Elias Disney yang keturunan Irlandia-Kanada dan Flora Call Disney berdarah Jerman-Amerika. Walt menghabiskan masa kecilnya di Marceline, Missouri. Di sana, ia mulai menggambar, melukis, dan menjual foto ke tetangga di sekitar lingkungannya.

 

Pada tahun 1911, keluarga dari Walt Disney pindah ke Kansas City. Di sana, ia mengembangkan kecintaannya terhadap kereta dari pamannya, yaitu Mike Martin yang merupakan seorang insinyur kereta api yang bekerja rute Ford Madison, Iowa, dan Marceline.

 

MASA SEKOLAH

Walt bersekolah di SMA Mckinley High School, Chicago. Ia mengambil kelas menggambar  dan fotografi. Selama masa pendidikan, Walt sudah terjun ke dunia kartunis yang berkontribusi untuk koran yang ada di sekolah. Bahkan, pada malam hari, Walt mengambil kursus di Institut Seni Chicago, dikarenakan Ia telah jatuh hati pada dunia seni.

 

Ketika berusia 16 tahun, Walt putus sekolah dan mencoba bergabung dengan Angkatan Darat miter Amerika. Namun, hal itu hanya lah sia-sia, sebab ia ditolak dengan alasan masih di bawah umur. Kemudian, Walt bergabung dengan Palang Merah Amerika dan sempat dikirim ke Prancis selama satu tahun untuk mengendarai ambulans di sana.

 

Saat berada di Kansas City, Walt serta adiknya masuk ke Benton Grammar School. Di situ, Walt bertemu dengan Walter Pfeiffer yang memperkenalkan film. Ia juga mengambil kursus di Kansas City Art Institute Pada tahun 1917, keluarganya sempat kembali ke Chicago, tetapi pada tahun 1919 mereka pindah kembali ke Kansas City.

 

KARTUN PERTAMA

Sesudah pindah kembali ke Kansas Ciry, Walt mempunyai keinginan mengejar karier sebagai artis surat kabar. Kemudian, Walt bertemu kartunis muda yaitu Ubbe Eert Iwerks atau yang lebih dikenal Ub Iwerks di Pesmen-Rubin Art Studio. Dari situ, Walt bekerja di Perusahaan iklan Film Kansas City. Ia membuat iklan berdasarkan animasi potongan.

 

Walt dan Ub Iwerks kemudian bekerja dan memulai bisnis studi animasi kecil. Mereka membuat sketsa animasi yang masih berwarna hitam putih. Tetapi, perusahaan yang mereka tempati tidak berlangsung lama.

 

Kemudian, Walt membuat perusahaan nya sendiri yang bernama Laugh-O-Gram. Ia merekrut Fred Harman sebagai karyawan pertamanya. Lalu, Walt dan Harman membuat perjanjian dengan teater Kansas City untuk menyaring kartun-kartun mereka.

 

Kartun-kartun mereka sangatlah populer, sampai-sampai Walt pun dapat memperoleh studionya sendiri, di mana ia memberikan nama yang sama. Setelah itu, Laugh-O-Gram mempekerjakan sejumlah karyawan. Mereka melakukan serangakaian dongeng tujuh menit yang menggabungkan aksi langsung dengan animasi yang disebut Alice in Cartoonland. Namun pada tahun 1923, studio tersebut menjadi terbebani utang yang menyebabkan kebangkrutan.

 

STUDIO ANIMASI WALT DISNEY

Pada tahun 1923, Walt bersama saudaranya Roy dan Ub Iwerks pindah ke Hollywood. Mereka membuka studio kartun Disney Brothers. Kemudian, tidak lama diganti menjadi Walt Disney Studios.

 

Awalnya, Walt Disney Studio membuat kesepakatan dengan distributor New York winkler untuk mendistribusikan kartun Alice. Mereka juga menemukan karakter bernama Oswald the Lucky Rabbit.

 

KARAKTER MICKEY MOUSE

Walt serta saudaranya menciptakan karakter baru seekor tikus bernama Mickey Mouse. Mickey Mouse merupakan tikus yang ceria, bersemangat, dan nakal.

Pada tanggal 18 November 1928, Mickey Mouse memulai debutnya dengan film berjudul Steamboat Willie di Colony Theatre New York. Dalam film tersebut, Walt Disney sendiri yang mengisi suara Mickey Mouse.

 

Pada tahun 1929, Walt menciptakan karakter lain yaitu Silly Symphonies, menampilkan teman-teman Mickey yang baru dibuat, yaitu Minnie Mouse, Donald Duck, Goofy dan Pluto.

 

FILM ANIMASI PERTAMA BERDURASI PENUH

Pada 21 Desember 1937 di kota Los Angeles, Walt Disney merilis film animasi yang berdurasi penuh pertama. Film tersebut adalah Snow White and Seven Dwarfs. Bahkan, film tersebut meraih delapan penghargaan Oscar. Hal ini adalah sebuah proses yang mampu membuat Walt Disney Studios menyelesaikan serangkaian film animasi berdurasi penuh selama lima tahun ke depan.

 

Keberhasilan besar terakhir Disney yang dihasilkan sendiri adalah film Mary Poppins, yang keluar pada tahun 1964 dan memadukan aksi live dan animasi. Bahkan, di balik pembuatan film Mary Poppins ada sang Penulis yang Bernama P.L Travers yang mempunyai sifat terlalu disiplin, sehingga segala hal yang Walt inginkan tidak berjalan dengan mulus. Namun, dibalik semua itu, Mary Poppins merupakan film favorit para penikmat film musical, karena film tersebut berisikan dengan penuh musical. Salah satu lagu yang paling digemari para penonton adalah lagu “Spoonful of Sugar” dan “Let’s Go Fly a Kite”.

 

TAMAN HIBURAN DISNEYLAND

Pada tanggal 17 Juli 1955, Walt Disney membuka Taman Hiburan Disneyland di Anheim, California.

 

Taman hiburan tersebut dikenal sebagai tempat hiburan anak-anak dan keluarga mereka dapat menjelajahi, menikmati wahana, dan bertemu para karakter Disney.

 

Disneyland juga dibuka dibeberapa tempat seperti Walt Disney World di dekat Orlando, Florida, dan taman di Tokyo, Paris, Hong Kong, dan Shanghai. Lantas kenapa Disneyland tidak ada di Indonesia? Dikarenakan dari lahan sendiri itu masih belum memungkinkan dan pasti  jalanan akan bertambah macet, tetapi ada wacana mengenai pembuatan Disneyland dan Legoland, yang akan dibuat di Jakarta jikalau ibu kota pindah.

 

Namun akan hal yang terjadi jika Disneyland benar-benar ada di Indonesia, yaitu, Disneyland Indonesia bakalan viral di media sosial, akan menjadi tempat lamaran yang paling romantis, pernikahan layaknya putri di Negeri Dongeng, Dan, pastinya, banyak anak-anak mewujudkan impiannya untuk menjadi sebagai seorang putri

 

 

Hari Terakhir

Pada tanggal 15 Desember 1966, berita duka melanda dunia kartun. Walt Disney meninggal dunia pada usia 65 tahun. Ia meninggal karena kanker paru-paru. Ia dimakamkan di Pemakaman Hutan Lawn di Los Angeles, California.

 

Walt Disney sudah memproduksi lebih dari 100 film fitur. Hingga kini film-film Walt Disney banyak digemari termasuk Indonesia, tidak hanya anak-anak tetapi orang dewasa dan orang tua.

 

Walt Disney mempunyai dua Putri yaitu Diane Marie Disney dan Sharon Mae Disney.

Baca selengkapnya »
Telingaan Aruu di Tanah Borneo

Telingaan Aruu di Tanah Borneo

 

oleh: Shaza Muttahara


  Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Hai, perkenalkan nama saya Shaza Muttahara kelas XI MIPA 2 dari SMA NEGERI 34 Jakarta Selatan. Nah, untuk kali ini saya akan membahas tentang salah satu budaya negara kita. Yap, benar budaya negara Indonesia.

 

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, di mana hanya sekitar 7.000 pulau yang berpenghuni. Dari Sabang di ujung Aceh sampai Merauke di tanah Papua, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang kaya akan rempah-rempahnya. Tak heran Indonesia menjadi daya tarik kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa.

 

Banyak hal yang dapat diketahui dan dipelajari tentang negara Indonesia. Perlu kita ketahui, di Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis. Setiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad. Kebudayaan itu sendiri dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Tiongkok, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Negara Indonesia juga memiliki banyak sekali tarian daerah, baju adat atau busana, arsitektur, seni musik, alat musik, jenis makanan, dan masih banyak lagi bahkan tradisi dari berbagai suku.

 

Untuk pembahasan kali ini saya akan membahas beberapa tradisi unik yang ada di Indonesia. Penasaran kan apa saja tradisi unik yang ada di Indonesia? Yuk, kita cari tahu apa sih yang unik dalam tradisi suku di Indonesia. Untuk pembukaan pembahasan kali ini, kita akan mulai ke daerah pulau Kalimantan yaitu Suku Dayak.

 

Suku Dayak mengacu pada orang-orang asli nonmuslim, non Melayu yang tinggal di Borneo. Menurut statistik, jumlah suku Dayak mencapai 3.009.494 atau 1,27 persen dari total penduduk yang ada di Indonesia. Suku Dayak memiliki sebuah tradisi yang dapat dikatakan cukup unik dan ada pelbagai  tradisi unik yang masih dilestarikan oleh suku Dayak hingga saat ini. Salah satu contoh tradisi unik suku Dayak yaitu memanjangkan telinga mereka. Setiap suku bangsa bisa saja memiliki penilaian yang berbeda mengenai kecantikan. Mungkin, cantik menurut etnis Jawa bisa jadi berbeda dengan cantik menurut masyarakat yang tinggal di Kalimantan atau Papua.


Bagi para perempuan Dayak di Kalimantan timur, semakin panjangnya kuping, maka dirinya akan semakin cantik. Setiap 1 tahun sekali, para perempuan suku Dayak ini memang menambahkan anting di telinganya. Tradisi menindik telinga bagi para perempuan suku ini sudah dilakukan turun temurun dari nenek moyang mereka mulai melakukan pendidikan saat mereka masih bayi. Titik tradisi ini dinamakan Telingaan Aruu.



Tradisi memanjangkan telinga atau yang disebut dengan Telingaan Aruu ini biasanya menggunakan pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang dari tembaga yang bahasa Kenyah disebut “Belaong”. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter. Namun, tidak semua sub suku Dayak di pulau Kalimantan punya tradisi ini. Hanya beberapa kelompok saja yang mengenal budaya telinga panjang, yaitu wilayah pedalaman, seperti masyarakat Dayak Kenyah Dayak Bahau Dayak Penan, Dayak Kelabit, Dayak Sa'ban, Dayak Kayaan, Dayak Taman, dan Dayak Punan.

 

Tradisi memanjangkan telinga atau disebut dengan Telingaan Aruu dimulai ketika seseorang masih bayi. Awalnya, proses pendidikan telinga si bayi setelah luka bekas tindikan mengering, kemudian dipasang benang yang nantinya diganti dengan kayu sehingga lubang telinga kian lama semakin membesar. Prosesi penindikan telinga ini dinamakan “Mucuk Penikng”. Biasanya, anting akan ditambahkan satu-persatu ke dalam telinga yang lama-kelamaan akan membuat lubang semakin membesar dan memanjang.


Kalau ditanya, sebenarnya apa sih tujuan dari tradisi memanjangkan telinga atau Telingaan Aruu ini bagi masyarakat Suku Dayak? Jangan salah, tentu saja tradisi ini memiliki tujuan tertentu. Nah, tujuan pemanjangan telinga yang dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki ini memiliki tujuan misalnya di kalangan Dayak Kayan, mereka melakukan pemanjangan telinga sebagai identitas kebangsawanannya. Dan untuk kaum perempuan, pemanjangan telinga digunakan untuk menunjukkan identitas kebangsawanan, sekaligus digunakan sebagai pembeda. Sedangkan, untuk di desa-desa yang terletak di hulu sungai Mahakam memanjangkan telinga dengan tujuan yang berbeda. Mereka melakukan pemanjangan telinga untuk menunjukkan umur seseorang. Biasanya, bayi yang baru lahir akan diberi manik-manik yang dirasa cukup berat selanjutnya, manik-manik yang menempel di telinga tersebut akan terus ditambah setiap tahunnya.

 

Nah, untuk suku Dayak Iban tidak memberikan pemberat kepada telinganya. Titik telinga yang telah dilubangi dibiarkan saja hingga terlihat seperti lubang besar yang mirip angka nol dengan cara menyatukan ujung jari telunjuk dengan ujung ibu jari. Tujuan pemanjangan telinga antara lain untuk melatih kesabaran melalui adanya berat akibat manik-manik yang menempel pada telinga dan harus digunakan setiap hari. Dengan beban berat di telinga rasa sabar dan penderitaan pun semakin terlatih. Selain itu, telinga panjang juga menjadi simbol status sosial perempuan suku Dayak titik mereka meyakini bahwa, semakin panjang telinga seseorang perempuan maka semakin cantik pula lah wanita tersebut.

 

Ada tidak sih jenis anting khusus yang digunakan oleh Suku Dayak atau mereka hanya memakai anting jenis logam saja? Nah, di sini ada beberapa jenis anting-anting yang dikenal dalam tradisi Telingaan Aruu. Di antaranya adalah “Hisang Kavaat” dan “Hisang Semhaa”. Jenis anting Hisang Kavaat adalah jenis anting anting yang dipasang di lubang daun telinga dan ujung lingkarannya berselisih. Adapun jenis anting Hisang Semhaa, anting tersebut di pasangkan di sekeliling lubang daun telinga.

 

Ada aturannya tidak sih dalam tradisi memanjangkan telinga ini? Ya, tentu saja ada dong beberapa aturan yang terdapat dalam tradisi ini. Contohnya, perempuan Dayak diperbolehkan memanjangkan daun telinga hingga batas dada titik sementara kaum pria, hanya diizinkan memanjangkan telinga hingga sebatas bahu. Daun telinga yang memanjang ini pun dapat kembali memendek apabila tidak lagi mengenakan hisaang kavaat hingga belasan atau puluhan tahun.

 

Namun, sangat disayangkan tradisi khas suku Dayak ini perlahan mulai ditinggalkan titik generasi muda Dayak, khususnya mereka yang terlahir di era 1960-an ke atas tidak lagi mengikuti tradisi ini. Ritual atau penindikan masih tetap dilakukan, namun tidak dilanjutkan dengan Telingaan Aruu. ada beberapa hal yang mempengaruhi kepunahan kebudayaan ini. Pertama, memang tidak semua anak suku Dayak melakukan tradisi ini hanya pada Dayak Kayan, Dayak Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Punan, Dayak Kelabit, dan Dayak Sa'ban. Selain itu, tradisi ini juga hanya berlaku untuk daerah pedalaman saja. Kedua, munculnya anggapan ketinggalan zaman.

 

Jika kita berkunjung ke pedalaman Kalimantan, sudah sulit sekali menemukan perempuan Dayak yang masih memanjangkan telinganya. Kalaupun ada, mereka biasanya sudah berusia senja. Ironisnya lagi, karena dianggap ketinggalan zaman. Beberapa perempuan Dayak yang telah memanjangkan telinganya, lalu sengaja menghilangkan atribut tradisi tersebut dan dengan sengaja memotong bagian bawah daun telinganya. Bagi para pemerhati budaya, tradisi telinga panjang sudah sampai pada tahap kritis karena tidak ada lagi penerusnya.

 

Nah, bagaimana untuk pembahasan nya kali ini? Sangat menarik bukan tradisi Suku Dayak ini? Oke, cukup sampai sini saja pembahasan tentang uniknya tradisi Suku Dayak tersebut. Mungkin, jika ada salah kata atau ketidaktepatan saya mohon dimaafkan. Sekian dan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Baca selengkapnya »
Tirani Matahari Terbit

Tirani Matahari Terbit

Oleh: Gisela Calista Amadea Krisna

    “Saudara tua”. Dengan nama itulah, Jepang memanggil dirinya di depan bangsa Indonesia dengan bangga. Diiringi oleh teriakan “Hidup Nippon” dan “Banzai!”, Jepang memanfaatkan salah satu keahlian paling piawai yang dimilikinya: propaganda dalam bentuk soft power. Mulai dari menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia hingga melawan Belanda yang menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Jepang berhasil membangun image sebagai sesama bangsa Asia yang ingin menumpas Eropa demi kejayaan Asia Raya dan merebut hati rakyat Indonesia dalam sekejap mata saja. Tanggal yang sama pula menjadi tonggak awal pendudukan Sang Sakura di Nusantara, yang mengelabui hampir satu bangsa demi kuasa akan sumber daya alam yang mendatangkan tatapan para penjajah.

 

Dalam masa peralihan ini, para founding fathers memiliki pandangan berbeda akan kedatangan “saudara tua” ini. Di antara mereka, salah satu tokoh yang menerima kedatangan dengan baik adalah Soekarno. Sebaliknya, tokoh nasional seperti Sutan Sjahrir justru mengekspresikan ketidaknyamanan dan ketidaksetujuan mereka terhadap datangnya Dai Nippon di tanah air. Mereka menilai bahwa gerakan ekspansionisme Jepang ini mengandung unsur fasisme, yang tidak sejalan dengan pandangan mereka. Sehingga, pergerakan mereka terbagi menjadi dua, yaitu kooperatif dan non-kooperatif.

 

Potensi akan pergerakan kooperatif sendiri telah terlihat secara jelas oleh Sukarno dan Hatta pada masa Pergerakan Nasional, di mana mereka melihat akan adanya Perang Pasifik yang terjadi dan bahwa pergerakan Jepang kepada Indonesia bisa membawanya kepada kemerdekaan. Setelah Jepang “menyelamatkan” Soekarno dari Belanda yang memindahkannya ke Padang, mereka berencana menggunakannya untuk memengaruhi rakyat Indonesia. Namun tanpa mereka sadar, Soekarno pun juga ingin menggunakan mereka demi kemerdekaan Indonesia dan mengutarakan ungkapan: “Puji syukur Tuhan, Tuhan telah menunjukkan jalan; di lembah Ngarai aku berkata: Ya, kemerdekaan Indonesia hanya dapat dicapai dengan Dai Nippon.


Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupku aku melihat diriku pada cermin Asia.” Pada Juli 1942, Soekarno dipulangkan ke Jakarta dan menjadi “boneka” bagi pergerakan Jepang di Indonesia. Mulai dari menjadi pemimpin propaganda 3A, pemimpin POETERA bersama dengan Empat Serangkai yang bertujuan untuk mendukung Jepang beserta segala komponennya, sampai mendukung rakyat untuk mendaftar dalam PETA dan Heiho dilakukannya untuk memanfaatkan kepercayaan Jepang terhadap dirinya dan rekan-rekannya.

 

Berbeda dengan Sutan Sjahrir, yang pada masa penjajahan Jepang kurang banyak menjajaki wajah publik karena “penyakit tuberkolosis” yang dideritanya. Walaupun sebenarnya hal tersebut hanyalah sebagai “tirai” untuk pergerakan bawah tanah aktif dengan beliau sebagai pemimpinnya, karena menolak untuk bekerja sama dengan Jepang. Beberapa aksi yang dilakukannya adalah mendengarkan radio milik Sekutu melalui radionya yang tidak disegel Jepang demi menyebarluaskan informasi baru mengenai Jepang dan dunia, serta membangun diskusi antar golongan muda yang memiliki pikiran sama dengannya.

 

Terlihat jelas bahwa dalam keduanya, walaupun berbeda dalam jalur dan ideologi, kedua bentuk perjuangan tersebut menjadi kekuatan tersendiri bagi Indonesia. Mengapa? Karena Indonesia akhirnya bisa “menyerang” dari dua sisi sekaligus, di mana pergerakan kooperatif seperti yang dilakukan oleh Soekarno membantu diplomasi dengan Jepang secara politis, dan pergerakan non kooperatif ala Sjahrir memberikan informasi penting dan menyatukan rakyat secara sembunyi, sehingga Indonesia memiliki kekuatan dalam segala aspek. Pergerakan yang mereka lakukan berjalan seperti sistem politik dunia saat ini, yang bergerak dengan diplomasi dan spionase antar negara berdaulat secara efektif.

 

Indonesia sebagai negara yang memiliki kewenangan akan dirinya sendiri sekarang ialah milik bangsa Indonesia secara mandiri, dengan bentuk dan pemerintahan yang konkret beserta dengan berbagai komponen di dalamnya. Namun tanpa kita sadari, bangsa Indonesia yang ada sekarang merupakan akulturasi dari pelbagai budaya dan bangsa yang pernah singgah dan tinggal di sini, tidak terkecuali dengan bangsa Jepang. Selama masa okupasi Jepang, Indonesia mengalami perubahan yang drastis dalam berbagai bidang sebagai bentuk kontrol dan kendali akan penyatuan Asia Raya.

 

Dalam bidang politik, salah satu perubahan yang dilakukan oleh Jepang yang bisa kita lihat setiap hari adalah struktur pemerintahan. Pada masa penjajahan Jepang, struktur pemerintahan dibagi mulai dari shu (karesidenan); ken (kabupaten); shi (kotapraja); gun (kawedanan); ko (kecamatan); ku (desa); dan tonarigumi/goningumi (rukun tetangga/rukun warga). Hadirnya tonarigumi dan goningumi pada awalnya digunakan untuk mempermudah pemerintah Jepang mengontrol dan mengawasi segala kegiatan rakyat, namun di era modern fungsinya dan bentuknya pun turut berubah, seperti penghapusan karesidenan dan kawedanan dari bentuk pemerintahan Indonesia yang berdasarkan hukum. Dalam bidang hukum, Jepang yang sudah menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia pun juga memiliki peran di dalamnya. BPUPKI dan PPKI dibentuk oleh Jepang sebagai pemenuhan atas janji tersebut, di mana akhirnya terbentuk Pancasila dan UUD 1945 yang kita gunakan sebagai landasan hukum sekarang.

 

Tak hanya dalam bidang hukum, Jepang juga meninggalkan suatu budaya yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia hingga saat ini, yaitu kerja bakti massal dari kinrohoshi. Kinrohoshi yang merupakan salah satu bentuk kerja wajib tanpa upah bagi masyarakat sebagai pamong/pegawai, di mana masyarakat dipaksa untuk bekerja membantu pekerjaan yang dilakukan oleh romusha dan pihak lain. Dengan meninggalkan aspek kekejamannya, kerja bakti sekarang menjadi tradisi yang mendarah daging di lingkungan masyarakat dengan penuh kesukarelaan dan menjadi sarana menjalin hubungan sosial yang baik dengan sesama.

 

Sementara dalam bidang ekonomi, Jepang mengenalkan propaganda berupa koperasi yang diberi nama kumiyai. Kumiyai adalah sebuah badan yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, namun kenyataannya digunakan untuk mengeruk hasil bumi. Pada era modern, sistem yang digunakan kumiyai berkembang menjadi koperasi yang kita kenal saat ini.

 

Sebagai salah satu pilar paling fundamental dalam negara, pendidikan Indonesia juga dipengaruhi oleh peninggalan pada masa okupasi Jepang. Tingkatan pendidikan yang kita kenal sekarang, yaitu enam tahun sekolah dasar serta tiga tahun masing-masing di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi adalah hasil pengaturan ulang Jepang terhadap sistem pendidikan Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, sekolah rakyat (kokumin gakko) dilaksanakan selama enam tahun, dilanjutkan dengan pendidikan abadi (shoto chu gakko) selama tiga tahun dan sekolah menegah (chu gakko) selama tiga tahun pula. Terdapat juga pendidikan kejuruan (kogyo gakko) dan pendidikan pasca sekolah menengah lainnya yang setara dengan D3 untuk melanjutkan pendidikan, walaupun dalam waktu yang cukup singkat.

 

Meskipun merupakan sebuah negara adidaya yang memberikan dampak berkesan bagi Indonesia, tak lama Jepang pun mencapai puncak akhirnya di Indonesia hanya dalam waktu 3 tahun. Dengan konflik berkelanjutan antara pihak Jepang dan Sekutu, peristiwa pemboman Little Boy di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat menjadi titik awal kehancuran Kekaisaran Jepang. Sehari setelahnya, BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) dibentuk, dan nantinya akan berubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Peristiwa jatuhnya bom Fat Man di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 pun menyebabkan Jepang menyerah kepada Sekutu dan penghentian kegiatan okupasi di semua wilayah jajahan, termasuk Indonesia yang memanfaatkannya untuk kemerdekaan.

 

Tak selang lama, Soekarno dan Hatta selaku pemimpin PPKI serta Radjiman Wedyoningrat selaku mantan ketua BPUPK diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi, pimpinan tertinggi Jepang di Asia Tenggara yang menyatakan bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan untuk Indonesia dan diminta untuk melakukan proklamasi pada tanggal 24 Agustus 1945. Saat ketiganya kembali ke Jakarta, di sinilah dimana perdebatan antara golongan muda dan golongan tua terjadi.

 

Sutan Sjahrir, selaku salah satu pemimpin perjuangan non-kooperatif dari golongan muda mendesak Soekarno untuk segera melakukan proklamasi karena menganggap pertemuan di Dalat sebagai janji manis, karena Jepang sudah menyerah dan menghindari perpecahan. Soekarno, sebagai salah satu tokoh perjuangan kooperatif dari golongan tua menolak karena belum yakin atas kekalahan Jepang dan khawatir akan terjadinya pertumpahan darah. Keduanya juga memiliki perbedaan pendapat, dimana Soekarno menganggap PPKI-lah yang memiliki wewenang untuk melakukan proklamasi, dan Sutan Sjahrir menganggap bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang yang tidak bisa dipercaya.

 

Perdebatan selanjutnya terjadi pada tanggal 14 Agustus 1945, dimana Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh selaku golongan muda mendengar berita Jepang yang resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Missouri melalui radio BBC. Dengan topik dan argumen yang sama, akhirnya diputuskan oleh golongan tua bahwa PPKI akan mengadakan rapat yang tidak disetujui oleh golongan muda. Pada akhirnya, rapat tersebut tidak jadi dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak hadir.

 

Para golongan muda yang sangat ingin memproklamasikan kemerdekaan pun membawa Soekarno dengan keluarga dan Hatta ke Rengasdengklok, jauh dari pengaruh Jepang, dengan tujuan meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang sudah siap melawan Jepang. Di Jakarta, Wikana dari golongan muda dan Achmad Soebardjo dari golongan tua pun melakukan perundingan. Walaupun Achmad Soebardjo telah mengingatkan kepada golongan muda agar tidak terburu-buru memproklamsikan kemerdekaan, pembuatan naskah proklamasi tetap dilaksanakan di rumah Laksamana Maeda. Dan akhirnya, keesokan harinya pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsan Timur 56 pada pukul 10.00 WIB, proklamasi resmi dibacakan.

 

Puncak perbedaan pendapat terjadi saat golongan tua yang “bermain aman” ingin memproklamasikan kemerdekaan mengikuti Jepang, sementara golongan muda yang skeptis dengan Jepang sejak awal ingin memproklamasikan kemerdekaan secepat mungkin. Terlihat jelas bahwa karakteristik perdebatan yang terjadi antara golongan tua dan golongan muda sudah ada sejak awal pendudukan Jepang. Golongan tua yang cenderung kooperatif dengan pemerintah Jepang menunjukkan karakteristik yang sama, dimana mereka ingin menunggu keputusan Jepang.. Hal ini berbeda dengan golongan muda, yang banyak melakukan gerakan non-kooperatif dan menggunakan cara-cara non-tradisional untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.

 

Namun pada akhirnya, semua perdebatan dan perbedaan pendapat yang terjadi bisa diatasi dengan perundingan dan perbincangan untuk bisa mencapai mufakat. Golongan tua yang akhirnya melihat maksud dan fakta dibalik ungkapan golongan muda pun akhirnya setuju untuk melakukan proklamasi sebelum tanggal yang ditetapkan Jepang. Hingga pada akhirnya, Indonesia bukan terdiri atas golongan tua dan golongan muda saja, namun sebagai satu kesatuan yang hidup dibawah Pancasila dan UUD 1945.
 

Baca selengkapnya »
 valentine day: performativitas cinta melawan kekerasan

valentine day: performativitas cinta melawan kekerasan

 

oleh: tauflam the silentio


“a real man is not violent. and real women is not tolerant of it. because what happens is society tells boys that it’s okay to be violent and then women just become tolerant”.


   Pernahkah Anda berpikir sejurus merasakan dalam waktu yang bersamaan hingga memunculkan pertanyaan, “Bila memang cinta membahagiakan, mengapa ada penderitaan?” Hampir setiap hari ada saja pesan masuk ke dalam gawai maupun media sosial saya, menceritakan segala keluh kesah ihwal percintaan mereka. Mungkin, Anda akan heran, tetapi beginilah kenyataannya; Banyak pasangan yang mengalami perselingkuhan, kekerasan verbal maupun fisik, juga sampai kekerasan seksual! Terkadang amarah dan kemarahan terpancar dari tutur katanya dengan bergelimang sumpah serapah, diiringi dengan isak tangis yang begitu mengisyaratkan keputusasaan, sampai tiba pada kalimat yang cukup mencengangkan, “Hidup saya tidak berguna lagi, dan cara untuk mengakhirinya adalah dengan mengakhiri hidup ini”.

 

Seseorang yang menjalani hubungan percintaan baik sudah menikah atau belum, sepertinya, selalu mempunyai akar permasalahan yang sama; bagaimana pemenuhan rasa cinta dan kasih sayang tak sesuai harapan, juga potensi pengkhianatan komitmen dan janji akan kesetiaan. Dalam hubungan pacaran, mungkin terlihat lebih ringan beban psikis dan tanggung jawabnya, sebab tak ada keterikatan resmi dan keabsahan tuntutan moralitas agama dan negara. Sedangkan, yang sudah menikah, mereka akan merasakan beban ganda yang cukup memberatkan, belum lagi ditambah dengan kehadiran sang buah hati yang cukup membutuhkan pengurasan akal, pikiran, tenaga, dan finansial.

 

Tetapi, bukankah yang belum/sudah hanya dibedakan dari legalitas peraturan yang sudah disepakati? Artinya, tetap saja, kita tidak bisa mengkerdilkan suatu hubungan yang belum menikah, sebab mereka mengalir dari aliran hulu yang sama: mencintai seseorang dalam hidupnya dan tentu sangat berharga orang yang sangat dicintainya.

 

Akhir-akhir ini pula, saya mendengar teman-teman saya laki-laki dan perempuan yang menikah, sudah menanggung status janda atau duda. Dan, lainnya diambang perceraian atau perpisahan. Jujur saja, saya terpukul atas fenomena ini. “Mengapa bisa? Padahal, bukankah mereka menikah atas dasar rasa cinta dan kasih sayang? “Dan, mengapa semua itu terjadi?” “Apakah perceraian dan perpisahan adalah jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan?”

 

Ketika saya menjadi wali kelas, peserta didik saya pun banyak yang bercerita mengenai perceraian orang tua mereka. Juga, di setiap saya mengajar di sekolah manapun, banyak sekali cerita yang mengkisahkan perceraian orang tua mereka. Tanpa harus mengkhotbah moral mengenai perpisahan orang tua mereka, saya merasakan keprihatinan yang begitu mendalam, wabil khusus kepada anak yang ditinggalkan.

 

Kembali lagi concern terhadap pertanyaan di atas. Betul, permasalahan tidak akan pernah mungkin tidak hadir dalam setiap hubungan. Pelbagai perbedaan pandangan, emosional, aktivitas, waktu adalah piranti yang melahirkan kemungkinan yang nyaris menjadi misteri. Tetapi, bukankah kita bisa menunda segala keterpisahan? Dengan mengedepankan emosional, akal sehat, dan rasional?

 

Awalnya, pertanyaan itulah sebagai pendukung spekulasi saya dalam mempertahankan hubungan. Tetapi, bagaimana kalau kita mendengar, melihat, mengetahui, dan merasakan salah satu dari mereka ternyata, adalah korban dari kekerasan? Ya, kekerasan seksual, kekerasan verbal dan fisik, dan yang paling jahat adalah korban perselingkuhan dari pasangannya? Perselingkuhan adalah kejahatan tertinggi dalam suatu hubungan, sebab dari perselingkuhan bisa berpotensi menjadi kekerasan struktural! Keterbohongan sampai menuju ke sebuah arena yang penuh pelbagai kekerasan? Benar-benar sulit untuk dibayangkan!

 

Kita sepakat bahwasanya kekerasan tidak dibenarkan untuk alasan apapun! Tetapi, mengapa banyak sekali yang melakukannya? Terlebih lagi, terus dilakukannya dengan gempuran penguatan argumen dan dalih apapun! Dan, itu bisa menjadi sebuah tanda  bahwa ia melakukan playing victim, patronizing, mansplaining, seksis, dan lainnya. Ya, paling banyak korban adalah perempuan! Sebab, dunia yang dibangun di atas dasar ide dan gagasan patriarkal, akan selalu memakan korban perempuan yang telah ditutup semua aksesnya; politik, sosial, budaya, bahkan agama!

 

Tindakan kekerasan pertama yang menuntut patriarki laki-laki bukanlah kekerasan terhadap perempuan. Alih-alih menuntut patriarki dari semua laki-laki bahwa mereka terlibat dalam tindakan perusakan diri secara psikis, bahwa mereka membunuh bagian-bagian emosional dari diri mereka sendiri. Jika seseorang tidak berhasil melumpuhkan dirinya sendiri secara emosional, ia dapat mengandalkan lelaki patriarki untuk membuat ritual kekuasaan yang akan menyerang harga dirinya.

 

Tepat pada hari ini kita merayakan Valentine's Day. Adalah sebuah hari di mana kita merayakan Hari Cinta dan Kasih Sayang. Betul, ada saja yang memperdebatkan bahwa hari cinta dan kasih sayang tidak terpaku pada satu hari tertentu saja, tetapi setiap saat dan setiap waktu. Sebentar, tetapi bukankah satu hari tertentu itu bisa saja menjadi sebuah momentum untuk membangun monumen kesadaran akan keindahan dan kebahagiaan cinta yang selama ini dalam kondisi terpuruk dan menderita?

 

Sebutan Valentine diambil dari nama salah satu orang Kudus dalam tradisi Katolik, yakni Santo Valentinus.dikisahkan bahwa Roma di bawah Kaisar Claudius mengalami masa-masa peperangan yang keras. Kaisar tidak ingin Roma menjadi lemah. Karena itu, Claudius memerintahkan supaya semua pemuda ikut wajib militer. Para orang tua, yang mengkhawatirkan anak-anak mereka, menolak membiarkan anak-anak mereka pergi berperang untuk Claudius. Maka sebagian besar dari mereka dinikahkan untuk menghindari perang.

 

Claudius, yang murka dengan penolakan rakyatnya, melarang adanya pernikahan! Para imam mematuhi perintah kaisar, kecuali Valentinus.  Ia tetap menikahkan para pemuda-pemudi. Ia yakin, cinta adalah milik dan kebebasan setiap orang. Tidak seorang pun boleh menghalangi kebebasan yang luhur ini. Nah,  karena membangkang, ia ditangkap oleh tentara Roma dan dijebloskan ke dalam penjara.

 

Meski telah dipenjara dan menunggu eksekusi mati, apakah kemudian Valentinus jadi patah semangat? Tidak! Ia sering berceramah dari jendela penjaranya tentang makna mencintai itu, dan mengapa para pemuda-pemudi itu harus berjuang demi hak mendasar mereka untuk mengekspresikan rasa cinta mereka. Karena keberaniannya, Valentinus dipuja sebagai Patron Cinta. Penjaranya selalu penuh dengan bunga dan hadiah. Para pemuda-pemudi menyusup ke dalam penjara dan memohon bimbingan atau restu dalam cinta. Salah seorang gadis yang kerap mengunjungi sel Valentinus adalah putri pengurus penjara. Mereka berteman baik. Hingga menjelang ajal, hidup Valentinus dipenuhi cinta persahabatan dengan gadis tersebut. (cinta BUKAN cokelat, Sarasdewi, 2009).

 

Tradisi menulis dan mengirimkan ucapan cinta sesungguhnya diawali oleh Valentinus sendiri. Pada tanggal 14 Februari, karena gagal bertemu dengan sahabat perempuannya sebelum eksekusi mati, ia menulis pesan terakhir. Surat itu diawali dengan kata pembuka, “From your Valentine.” Valentinus dimakamkan di Via Flaminia pada tanggal 14 Februari 269. Hingga kini, di tanggal yang sama banyak orang yang mengungkapkan rasa cinta dengan berkirim kartu, “Dari Valentinmu”. Sweet

 

Apa yang kalian pikirkan dari seorang Valentinus? Seseorang yang melawan kekerasan kejahatan perang dengan cinta dan kasih sayang? Bagaimana kekerasan diredam oleh dahsyatnya cinta yang mampu mengurungkan niat untuk melakukan kekerasan? Ya, cinta dalah panacea bagi segala macam penyakit kekerasan yang ada di dalam tubuh manusia!

 

Valentine Day adalah ruang untuk memikirkan dan mendaur ulang kembali dalam mengkonsepsikan makna cinta dan kasih sayang. Valentine Day adalah pengingat untuk alarm bagaimana kita harus melawan kekerasan dengan segenap rasa cinta dan kasih sayang. Mengkontemplasikan apa yang terjadi akhir-akhir ini demi memberi ruang berpikir dan merasakan supaya kehidupan bisa lebih leluasa dalam menggapai kegembiraan.

 

Valentine Day adalah harapan untuk menunda kemenyerahan dalam mencintai. Seni untuk mencintai dalam kaidah-kaidah kemanusian dan memanusiakan manusia.

 

Ketika kita memilih untuk mencintai, kita memilih untuk bergerak melawan rasa takut, melawan keterasingan dan pemisahan. Pilihan untuk mencintai adalah pilihan untuk terhubung, untuk menemukan diri kita di pihak lain. Saat kita memilih untuk mencintai, kita mulai bergerak melawan dominasi, melawan penindasan, melawan kekerasan. Saat kita memilih untuk mencintai, kita mulai bergerak menuju kebebasan, untuk bertindak dengan cara yang membebaskan diri kita sendiri dan orang lain.

 

Di dunia yang ideal kita semua akan belajar di masa kecil untuk mencintai diri sendiri. Kami akan tumbuh, merasa aman dalam nilai dan nilai kami, menyebarkan cinta ke mana pun kami pergi, membiarkan cahaya kami bersinar. Jika kita tidak belajar cinta diri di masa muda kita, masih ada harapan. Cahaya cinta selalu ada dalam diri kita, tidak peduli seberapa dingin kobaran api itu. Itu selalu hadir, menunggu percikan menyala, menunggu hati untuk bangun dan memanggil kita kembali ke memori pertama menjadi kekuatan hidup di dalam tempat gelap yang menunggu untuk dilahirkan - menunggu untuk melihat cahaya.

 

Memulai dengan selalu memikirkan cinta sebagai tindakan daripada perasaan adalah salah satu cara di mana setiap orang menggunakan kata dengan cara ini secara otomatis mengasumsikan akuntabilitas dan tanggung jawab.


Praktek cinta adalah penangkal paling kuat bagi politik dominasi. Amor Vincit Omnia. Cinta mengalahkan segalanya!

Baca selengkapnya »
Film Review Marathon: Wes Anderson Part I, The Grand Budapest Hotel

Film Review Marathon: Wes Anderson Part I, The Grand Budapest Hotel

 

Created by: Sofia Aila


    Hello readers, I hope you’re having a lovely day wherever you are in this small world. It’s been a while since I’ve typed in a film review. My last one was in March, which was nearly 8 months ago… ouch. Fortunately, I’m back with not only one review, but an ongoing marathon of film reviews from one of my favourite directors ever, Mr. Wesley Wales Anderson. Yes, Wes Anderson in short.

 

Now, where to start on the wonderful world of Wes Anderson? One way to describe it, it’s a whimsical day trip. With film frames, songs, and posters out of a fairy-tale book filled with warmth and intimacy to its own identity, this perfectly suits Anderson and his talent for cinematic storytelling. It’s truly amazing what this man can do. 

 

On the topic of Wes Anderson, I might consider myself an avid enjoyer of his works. One of his films, ‘Fantastic Mr. Fox’, has piqued my interest since a very young age and I have never stopped loving it till now. By growth, I’ve discovered more of his wonderful creations which ranged from Bottle Rocket, Moonrise Kingdom, The Darjeeling Unlimited, and so on. I thought to myself, why not make a “Wes Anderson film review blog series” (definitely a tiring title, my apologies). First of all, it’ll be beneficial for both me and Pak Taufik. Pak Taufik would get tons of reviews for his blog, while on the other hand, I’ll be having quite the fun time writing these blogs.

 

Alright without much more talking, we’ll start with the first film: The Grand Budapest Hotel. 

 

I could go on and on about the things here that are worth discussing, so I’ll divide this review up into 3 parts: the plot, the set design + music, and the actors. We’ll start this off with the plotline. It's… not linear, so bear with me.

 

It starts with a girl, who reads a book by an author, who hears a story about a lobby boy, who befriends a man who runs a hotel, a hotel for which the story, the book, and the film are named.

 

1932, enter our main characters, Monsieur Gustave H. and Zero Mustafa. A debonair concierge and his trusted lobby boy. Zero takes fondness to his new concierge, as well as Gustave to his lobby boy, this sparked a friendship within both of them. The whole film doesn’t tell the story of the grand hotel itself, rather an absurd journey these two pairs went through. It starts with Gustave’s quirky habit of escorting older women that have stayed in his hotel. He grew close to one of them called Madame D, and it struck an affair between them. Spoiler alert (well not really), she died. Her family gathered to a reading, where her fortune will be passed on to the family (greedy buggers).


Gustave was invited, only to find out that he was given Madame D’s most treasured painting, which -to be honest- is only a quirky painting of a boy holding an apple, but hey! It’s art. This made Madame D’s son, Dmitri, envious (again, greedy buggers) and from there on started the great combat for the priceless renaissance painting. 

 

My opinion on the plot? Amazing in its most simple way. Wes Anderson has his quirks on plotlines. It will always leave a pull in your heart, whether it came from melancholy or satisfaction. I also have to applaud his comedy! It's always so awkward and weird completed with the actor's expressionless codas. Yeah, awkward let's go with that to describe its humour. Many of the dialogues between characters are painstakingly unique, not only dialogue but the small details that the plot came along with, like a concierge having an absurd relationship with a literal granny, a dialogue about nail polish that made me holler because Anderson ALWAYS put comedy at a time of seriousness. Abrupt deaths, abrupt running scenes, even Zero's girlfriend has a birthmark with the shape of Mexico on her cheeks... for zero reasons at all. These little details are simply divine and enjoyable. 

 

Next up, we take off to his set design, where Anderson's genius imagination turned into reality. First of all, I'm not going to deep dive into this because boy, it's a lot. But, I can suggest this stupendous YouTube video about Wes Anderson's niche style, it's titled "Honest Trailers - Every Wes Anderson Movie" made by Screen Junkies. You should check it out. 

 

The film society hates this repetitive action of Anderson, but this man took all those comments and shoved it in his beige pants because instead of approaching a new sense of direction, he made a full - to the maximum- film holding every whimsy aspect of himself. This resulted in what I like to call the "Wes Anderson Genre". It includes specific details, including pan shots, consistently symmetrical shots, slightly off colour-tone combos, and loads more.

 

If I could use one word to describe his set design and style, it's eye candy. Wes Anderson uses clever symmetry, he doesn't just put things centre frame or align it with guidelines, he uses depth and composition where he puts characters and objects into a corresponding space (this becomes magical when paired with his pan shots). For this film, it's perfectly pink with its pink-tinted backgrounds and sets (even the hotel itself is a pink madness). This gives a cheery and an "everything in life is sweet and jolly" kind of vibe, which is truly the first half of the film plot and fits well with the glorious 1930s. It descends into bleak white, grey, and washed-out blue everywhere, also parallel with the plot. Remember where I told you about the non-linear plotline consisting of different years? He can simply differentiate them with his choice of colour palette and set design. In Conclusion, you could pause at any second of the film, and that shot could be hung in the Louvre.


Anderson's choice of music also fits so well with this film. One of the original scores of the film, titled "Mr. Moustafa" composed by Alexander Desplat, holds a euphonious rhythmic piano which sounds playful and mysterious at the same time, it resonates along with the film and appears quite frequently but just with a different assembly of instruments to fit each scene.

 

An amazing story doesn't come alone, for it has its characters. Here we introduce the astonishing actors in this film. Gustave H. played by Ralph Fiennes, Zero played by Tony Revolori, alongside spectacular actors and actresses, Tilda Swinton, Saoirse Ronan, Adrien Brody, Bill Murray, Willem Dafoe, Owen Wilson, and Jason Schwartzman. Stated above are the "Anderson Bunch" aka those who Anderson loves so much, he'd be willing to cast them for every single one of his films. These actors are great at understanding Anderson's sense of characterization and the story's mood setting. Just brilliant, brilliant, BRILLIANT, I adore them so much, they truly turned the film's special sparks into fireworks. 

 

In my final words, the whole film seems like an homage to early cinema. The film wasn't reduced to only its plotline, instead, it held a grand gesture of storytelling visually. What I'm saying is, it's sort of like puppetry and silent theatre, without any dialogue, you can still be fully engaged and intrigued by its storytelling. Just like how Georges Méliès (a figure in early cinema) was so passionately dedicated to the art of cinematic storytelling and the visual benefits it held. Wes Anderson does the same, only from another generation and time. A ravishing young puppet master playing in front of our eyes. It certainly is a celebration of cinema and the many ways creativity comes within. 

 

That's all for my review about The Grand Budapest Hotel. Hope you all enjoyed my little (quite big, actually) rambling just as much as I do. See you on another film review blog for yet another film by Wes Anderson, The Life Aquatic with Steve Zissou.

Baca selengkapnya »