Tirani Matahari Terbit

Oleh: Gisela Calista Amadea Krisna

    “Saudara tua”. Dengan nama itulah, Jepang memanggil dirinya di depan bangsa Indonesia dengan bangga. Diiringi oleh teriakan “Hidup Nippon” dan “Banzai!”, Jepang memanfaatkan salah satu keahlian paling piawai yang dimilikinya: propaganda dalam bentuk soft power. Mulai dari menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia hingga melawan Belanda yang menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Jepang berhasil membangun image sebagai sesama bangsa Asia yang ingin menumpas Eropa demi kejayaan Asia Raya dan merebut hati rakyat Indonesia dalam sekejap mata saja. Tanggal yang sama pula menjadi tonggak awal pendudukan Sang Sakura di Nusantara, yang mengelabui hampir satu bangsa demi kuasa akan sumber daya alam yang mendatangkan tatapan para penjajah.

 

Dalam masa peralihan ini, para founding fathers memiliki pandangan berbeda akan kedatangan “saudara tua” ini. Di antara mereka, salah satu tokoh yang menerima kedatangan dengan baik adalah Soekarno. Sebaliknya, tokoh nasional seperti Sutan Sjahrir justru mengekspresikan ketidaknyamanan dan ketidaksetujuan mereka terhadap datangnya Dai Nippon di tanah air. Mereka menilai bahwa gerakan ekspansionisme Jepang ini mengandung unsur fasisme, yang tidak sejalan dengan pandangan mereka. Sehingga, pergerakan mereka terbagi menjadi dua, yaitu kooperatif dan non-kooperatif.

 

Potensi akan pergerakan kooperatif sendiri telah terlihat secara jelas oleh Sukarno dan Hatta pada masa Pergerakan Nasional, di mana mereka melihat akan adanya Perang Pasifik yang terjadi dan bahwa pergerakan Jepang kepada Indonesia bisa membawanya kepada kemerdekaan. Setelah Jepang “menyelamatkan” Soekarno dari Belanda yang memindahkannya ke Padang, mereka berencana menggunakannya untuk memengaruhi rakyat Indonesia. Namun tanpa mereka sadar, Soekarno pun juga ingin menggunakan mereka demi kemerdekaan Indonesia dan mengutarakan ungkapan: “Puji syukur Tuhan, Tuhan telah menunjukkan jalan; di lembah Ngarai aku berkata: Ya, kemerdekaan Indonesia hanya dapat dicapai dengan Dai Nippon.


Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupku aku melihat diriku pada cermin Asia.” Pada Juli 1942, Soekarno dipulangkan ke Jakarta dan menjadi “boneka” bagi pergerakan Jepang di Indonesia. Mulai dari menjadi pemimpin propaganda 3A, pemimpin POETERA bersama dengan Empat Serangkai yang bertujuan untuk mendukung Jepang beserta segala komponennya, sampai mendukung rakyat untuk mendaftar dalam PETA dan Heiho dilakukannya untuk memanfaatkan kepercayaan Jepang terhadap dirinya dan rekan-rekannya.

 

Berbeda dengan Sutan Sjahrir, yang pada masa penjajahan Jepang kurang banyak menjajaki wajah publik karena “penyakit tuberkolosis” yang dideritanya. Walaupun sebenarnya hal tersebut hanyalah sebagai “tirai” untuk pergerakan bawah tanah aktif dengan beliau sebagai pemimpinnya, karena menolak untuk bekerja sama dengan Jepang. Beberapa aksi yang dilakukannya adalah mendengarkan radio milik Sekutu melalui radionya yang tidak disegel Jepang demi menyebarluaskan informasi baru mengenai Jepang dan dunia, serta membangun diskusi antar golongan muda yang memiliki pikiran sama dengannya.

 

Terlihat jelas bahwa dalam keduanya, walaupun berbeda dalam jalur dan ideologi, kedua bentuk perjuangan tersebut menjadi kekuatan tersendiri bagi Indonesia. Mengapa? Karena Indonesia akhirnya bisa “menyerang” dari dua sisi sekaligus, di mana pergerakan kooperatif seperti yang dilakukan oleh Soekarno membantu diplomasi dengan Jepang secara politis, dan pergerakan non kooperatif ala Sjahrir memberikan informasi penting dan menyatukan rakyat secara sembunyi, sehingga Indonesia memiliki kekuatan dalam segala aspek. Pergerakan yang mereka lakukan berjalan seperti sistem politik dunia saat ini, yang bergerak dengan diplomasi dan spionase antar negara berdaulat secara efektif.

 

Indonesia sebagai negara yang memiliki kewenangan akan dirinya sendiri sekarang ialah milik bangsa Indonesia secara mandiri, dengan bentuk dan pemerintahan yang konkret beserta dengan berbagai komponen di dalamnya. Namun tanpa kita sadari, bangsa Indonesia yang ada sekarang merupakan akulturasi dari pelbagai budaya dan bangsa yang pernah singgah dan tinggal di sini, tidak terkecuali dengan bangsa Jepang. Selama masa okupasi Jepang, Indonesia mengalami perubahan yang drastis dalam berbagai bidang sebagai bentuk kontrol dan kendali akan penyatuan Asia Raya.

 

Dalam bidang politik, salah satu perubahan yang dilakukan oleh Jepang yang bisa kita lihat setiap hari adalah struktur pemerintahan. Pada masa penjajahan Jepang, struktur pemerintahan dibagi mulai dari shu (karesidenan); ken (kabupaten); shi (kotapraja); gun (kawedanan); ko (kecamatan); ku (desa); dan tonarigumi/goningumi (rukun tetangga/rukun warga). Hadirnya tonarigumi dan goningumi pada awalnya digunakan untuk mempermudah pemerintah Jepang mengontrol dan mengawasi segala kegiatan rakyat, namun di era modern fungsinya dan bentuknya pun turut berubah, seperti penghapusan karesidenan dan kawedanan dari bentuk pemerintahan Indonesia yang berdasarkan hukum. Dalam bidang hukum, Jepang yang sudah menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia pun juga memiliki peran di dalamnya. BPUPKI dan PPKI dibentuk oleh Jepang sebagai pemenuhan atas janji tersebut, di mana akhirnya terbentuk Pancasila dan UUD 1945 yang kita gunakan sebagai landasan hukum sekarang.

 

Tak hanya dalam bidang hukum, Jepang juga meninggalkan suatu budaya yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia hingga saat ini, yaitu kerja bakti massal dari kinrohoshi. Kinrohoshi yang merupakan salah satu bentuk kerja wajib tanpa upah bagi masyarakat sebagai pamong/pegawai, di mana masyarakat dipaksa untuk bekerja membantu pekerjaan yang dilakukan oleh romusha dan pihak lain. Dengan meninggalkan aspek kekejamannya, kerja bakti sekarang menjadi tradisi yang mendarah daging di lingkungan masyarakat dengan penuh kesukarelaan dan menjadi sarana menjalin hubungan sosial yang baik dengan sesama.

 

Sementara dalam bidang ekonomi, Jepang mengenalkan propaganda berupa koperasi yang diberi nama kumiyai. Kumiyai adalah sebuah badan yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, namun kenyataannya digunakan untuk mengeruk hasil bumi. Pada era modern, sistem yang digunakan kumiyai berkembang menjadi koperasi yang kita kenal saat ini.

 

Sebagai salah satu pilar paling fundamental dalam negara, pendidikan Indonesia juga dipengaruhi oleh peninggalan pada masa okupasi Jepang. Tingkatan pendidikan yang kita kenal sekarang, yaitu enam tahun sekolah dasar serta tiga tahun masing-masing di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi adalah hasil pengaturan ulang Jepang terhadap sistem pendidikan Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, sekolah rakyat (kokumin gakko) dilaksanakan selama enam tahun, dilanjutkan dengan pendidikan abadi (shoto chu gakko) selama tiga tahun dan sekolah menegah (chu gakko) selama tiga tahun pula. Terdapat juga pendidikan kejuruan (kogyo gakko) dan pendidikan pasca sekolah menengah lainnya yang setara dengan D3 untuk melanjutkan pendidikan, walaupun dalam waktu yang cukup singkat.

 

Meskipun merupakan sebuah negara adidaya yang memberikan dampak berkesan bagi Indonesia, tak lama Jepang pun mencapai puncak akhirnya di Indonesia hanya dalam waktu 3 tahun. Dengan konflik berkelanjutan antara pihak Jepang dan Sekutu, peristiwa pemboman Little Boy di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat menjadi titik awal kehancuran Kekaisaran Jepang. Sehari setelahnya, BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) dibentuk, dan nantinya akan berubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Peristiwa jatuhnya bom Fat Man di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 pun menyebabkan Jepang menyerah kepada Sekutu dan penghentian kegiatan okupasi di semua wilayah jajahan, termasuk Indonesia yang memanfaatkannya untuk kemerdekaan.

 

Tak selang lama, Soekarno dan Hatta selaku pemimpin PPKI serta Radjiman Wedyoningrat selaku mantan ketua BPUPK diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi, pimpinan tertinggi Jepang di Asia Tenggara yang menyatakan bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan untuk Indonesia dan diminta untuk melakukan proklamasi pada tanggal 24 Agustus 1945. Saat ketiganya kembali ke Jakarta, di sinilah dimana perdebatan antara golongan muda dan golongan tua terjadi.

 

Sutan Sjahrir, selaku salah satu pemimpin perjuangan non-kooperatif dari golongan muda mendesak Soekarno untuk segera melakukan proklamasi karena menganggap pertemuan di Dalat sebagai janji manis, karena Jepang sudah menyerah dan menghindari perpecahan. Soekarno, sebagai salah satu tokoh perjuangan kooperatif dari golongan tua menolak karena belum yakin atas kekalahan Jepang dan khawatir akan terjadinya pertumpahan darah. Keduanya juga memiliki perbedaan pendapat, dimana Soekarno menganggap PPKI-lah yang memiliki wewenang untuk melakukan proklamasi, dan Sutan Sjahrir menganggap bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang yang tidak bisa dipercaya.

 

Perdebatan selanjutnya terjadi pada tanggal 14 Agustus 1945, dimana Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh selaku golongan muda mendengar berita Jepang yang resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Missouri melalui radio BBC. Dengan topik dan argumen yang sama, akhirnya diputuskan oleh golongan tua bahwa PPKI akan mengadakan rapat yang tidak disetujui oleh golongan muda. Pada akhirnya, rapat tersebut tidak jadi dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak hadir.

 

Para golongan muda yang sangat ingin memproklamasikan kemerdekaan pun membawa Soekarno dengan keluarga dan Hatta ke Rengasdengklok, jauh dari pengaruh Jepang, dengan tujuan meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang sudah siap melawan Jepang. Di Jakarta, Wikana dari golongan muda dan Achmad Soebardjo dari golongan tua pun melakukan perundingan. Walaupun Achmad Soebardjo telah mengingatkan kepada golongan muda agar tidak terburu-buru memproklamsikan kemerdekaan, pembuatan naskah proklamasi tetap dilaksanakan di rumah Laksamana Maeda. Dan akhirnya, keesokan harinya pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsan Timur 56 pada pukul 10.00 WIB, proklamasi resmi dibacakan.

 

Puncak perbedaan pendapat terjadi saat golongan tua yang “bermain aman” ingin memproklamasikan kemerdekaan mengikuti Jepang, sementara golongan muda yang skeptis dengan Jepang sejak awal ingin memproklamasikan kemerdekaan secepat mungkin. Terlihat jelas bahwa karakteristik perdebatan yang terjadi antara golongan tua dan golongan muda sudah ada sejak awal pendudukan Jepang. Golongan tua yang cenderung kooperatif dengan pemerintah Jepang menunjukkan karakteristik yang sama, dimana mereka ingin menunggu keputusan Jepang.. Hal ini berbeda dengan golongan muda, yang banyak melakukan gerakan non-kooperatif dan menggunakan cara-cara non-tradisional untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.

 

Namun pada akhirnya, semua perdebatan dan perbedaan pendapat yang terjadi bisa diatasi dengan perundingan dan perbincangan untuk bisa mencapai mufakat. Golongan tua yang akhirnya melihat maksud dan fakta dibalik ungkapan golongan muda pun akhirnya setuju untuk melakukan proklamasi sebelum tanggal yang ditetapkan Jepang. Hingga pada akhirnya, Indonesia bukan terdiri atas golongan tua dan golongan muda saja, namun sebagai satu kesatuan yang hidup dibawah Pancasila dan UUD 1945.
 

Tirani Matahari Terbit
  1. bagus sekali tulisannya, sangat tajam, kritis, dan membuka wawasan dalam membahas polarisasi pandangan "founding fathers" Indonesia terhadap kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia.👏👏 Sangat membuka wawasan. Dua jempol untuk penulisnya.

    BalasHapus