oleh: tauflam the silentio
“a real man is not violent. and real women is not tolerant of it. because what happens is society tells boys that it’s okay to be violent and then women just become tolerant”.
Pernahkah
Anda berpikir sejurus merasakan dalam waktu yang bersamaan hingga memunculkan
pertanyaan, “Bila memang cinta membahagiakan, mengapa ada penderitaan?” Hampir
setiap hari ada saja pesan masuk ke dalam gawai maupun media sosial saya, menceritakan
segala keluh kesah ihwal percintaan mereka. Mungkin, Anda akan heran, tetapi
beginilah kenyataannya; Banyak pasangan yang mengalami perselingkuhan,
kekerasan verbal maupun fisik, juga sampai kekerasan seksual! Terkadang amarah
dan kemarahan terpancar dari tutur katanya dengan bergelimang sumpah serapah, diiringi
dengan isak tangis yang begitu mengisyaratkan keputusasaan, sampai tiba pada
kalimat yang cukup mencengangkan, “Hidup saya tidak berguna lagi, dan cara
untuk mengakhirinya adalah dengan mengakhiri hidup ini”.
Seseorang
yang menjalani hubungan percintaan baik sudah menikah atau belum, sepertinya,
selalu mempunyai akar permasalahan yang sama; bagaimana pemenuhan rasa cinta
dan kasih sayang tak sesuai harapan, juga potensi pengkhianatan komitmen dan
janji akan kesetiaan. Dalam hubungan pacaran, mungkin terlihat lebih ringan
beban psikis dan tanggung jawabnya, sebab tak ada keterikatan resmi dan
keabsahan tuntutan moralitas agama dan negara. Sedangkan, yang sudah menikah,
mereka akan merasakan beban ganda yang cukup memberatkan, belum lagi ditambah
dengan kehadiran sang buah hati yang cukup membutuhkan pengurasan akal,
pikiran, tenaga, dan finansial.
Tetapi,
bukankah yang belum/sudah hanya dibedakan dari legalitas peraturan yang sudah
disepakati? Artinya, tetap saja, kita tidak bisa mengkerdilkan suatu hubungan
yang belum menikah, sebab mereka mengalir dari aliran hulu yang sama: mencintai
seseorang dalam hidupnya dan tentu sangat berharga orang yang sangat dicintainya.
Akhir-akhir
ini pula, saya mendengar teman-teman saya laki-laki dan perempuan yang menikah,
sudah menanggung status janda atau duda. Dan, lainnya diambang perceraian atau
perpisahan. Jujur saja, saya terpukul atas fenomena ini. “Mengapa bisa? Padahal,
bukankah mereka menikah atas dasar rasa cinta dan kasih sayang? “Dan, mengapa
semua itu terjadi?” “Apakah perceraian dan perpisahan adalah jalan keluar untuk
menyelesaikan permasalahan?”
Ketika
saya menjadi wali kelas, peserta didik saya pun banyak yang bercerita mengenai
perceraian orang tua mereka. Juga, di setiap saya mengajar di sekolah manapun,
banyak sekali cerita yang mengkisahkan perceraian orang tua mereka. Tanpa harus
mengkhotbah moral mengenai perpisahan orang tua mereka, saya merasakan
keprihatinan yang begitu mendalam, wabil khusus kepada anak yang ditinggalkan.
Kembali
lagi concern terhadap pertanyaan di
atas. Betul, permasalahan tidak akan pernah mungkin tidak hadir dalam setiap
hubungan. Pelbagai perbedaan pandangan, emosional, aktivitas, waktu adalah
piranti yang melahirkan kemungkinan yang nyaris menjadi misteri. Tetapi,
bukankah kita bisa menunda segala keterpisahan? Dengan mengedepankan emosional,
akal sehat, dan rasional?
Awalnya,
pertanyaan itulah sebagai pendukung spekulasi saya dalam mempertahankan hubungan.
Tetapi, bagaimana kalau kita mendengar, melihat, mengetahui, dan merasakan
salah satu dari mereka ternyata, adalah korban dari kekerasan? Ya, kekerasan
seksual, kekerasan verbal dan fisik, dan yang paling jahat adalah korban
perselingkuhan dari pasangannya? Perselingkuhan adalah kejahatan tertinggi
dalam suatu hubungan, sebab dari perselingkuhan bisa berpotensi menjadi
kekerasan struktural! Keterbohongan sampai menuju ke sebuah arena yang penuh
pelbagai kekerasan? Benar-benar sulit untuk dibayangkan!
Kita
sepakat bahwasanya kekerasan tidak dibenarkan untuk alasan apapun! Tetapi, mengapa
banyak sekali yang melakukannya? Terlebih lagi, terus dilakukannya dengan
gempuran penguatan argumen dan dalih apapun! Dan, itu bisa menjadi sebuah tanda
bahwa ia melakukan playing victim, patronizing, mansplaining, seksis, dan lainnya. Ya,
paling banyak korban adalah perempuan! Sebab, dunia yang dibangun di atas dasar
ide dan gagasan patriarkal, akan selalu memakan korban perempuan yang telah
ditutup semua aksesnya; politik, sosial, budaya, bahkan agama!
Tindakan
kekerasan pertama yang menuntut patriarki laki-laki bukanlah kekerasan terhadap
perempuan. Alih-alih menuntut patriarki dari semua laki-laki bahwa mereka
terlibat dalam tindakan perusakan diri secara psikis, bahwa mereka membunuh
bagian-bagian emosional dari diri mereka sendiri. Jika seseorang tidak berhasil
melumpuhkan dirinya sendiri secara emosional, ia dapat mengandalkan lelaki
patriarki untuk membuat ritual kekuasaan yang akan menyerang harga dirinya.
Tepat
pada hari ini kita merayakan Valentine's
Day. Adalah sebuah hari di mana kita merayakan Hari Cinta dan Kasih Sayang.
Betul, ada saja yang memperdebatkan bahwa hari cinta dan kasih sayang tidak
terpaku pada satu hari tertentu saja, tetapi setiap saat dan setiap waktu. Sebentar,
tetapi bukankah satu hari tertentu itu bisa saja menjadi sebuah momentum untuk
membangun monumen kesadaran akan keindahan dan kebahagiaan cinta yang selama
ini dalam kondisi terpuruk dan menderita?
Sebutan
Valentine diambil dari nama salah satu orang Kudus dalam tradisi Katolik, yakni
Santo Valentinus.dikisahkan bahwa Roma di bawah Kaisar Claudius mengalami
masa-masa peperangan yang keras. Kaisar tidak ingin Roma menjadi lemah. Karena itu,
Claudius memerintahkan supaya semua pemuda ikut wajib militer. Para orang tua,
yang mengkhawatirkan anak-anak mereka, menolak membiarkan anak-anak mereka
pergi berperang untuk Claudius. Maka sebagian besar dari mereka dinikahkan
untuk menghindari perang.
Claudius,
yang murka dengan penolakan rakyatnya, melarang adanya pernikahan! Para imam
mematuhi perintah kaisar, kecuali Valentinus.
Ia tetap menikahkan para pemuda-pemudi. Ia yakin, cinta adalah milik dan
kebebasan setiap orang. Tidak seorang pun boleh menghalangi kebebasan yang
luhur ini. Nah, karena membangkang, ia
ditangkap oleh tentara Roma dan dijebloskan ke dalam penjara.
Meski
telah dipenjara dan menunggu eksekusi mati, apakah kemudian Valentinus jadi
patah semangat? Tidak! Ia sering berceramah dari jendela penjaranya tentang
makna mencintai itu, dan mengapa para pemuda-pemudi itu harus berjuang demi hak
mendasar mereka untuk mengekspresikan rasa cinta mereka. Karena keberaniannya,
Valentinus dipuja sebagai Patron Cinta. Penjaranya selalu penuh dengan bunga
dan hadiah. Para pemuda-pemudi menyusup ke dalam penjara dan memohon bimbingan
atau restu dalam cinta. Salah seorang gadis yang kerap mengunjungi sel
Valentinus adalah putri pengurus penjara. Mereka berteman baik. Hingga menjelang
ajal, hidup Valentinus dipenuhi cinta persahabatan dengan gadis tersebut.
(cinta BUKAN cokelat, Sarasdewi, 2009).
Tradisi
menulis dan mengirimkan ucapan cinta sesungguhnya diawali oleh Valentinus
sendiri. Pada tanggal 14 Februari, karena gagal bertemu dengan sahabat
perempuannya sebelum eksekusi mati, ia menulis pesan terakhir. Surat itu
diawali dengan kata pembuka, “From your Valentine.” Valentinus dimakamkan di
Via Flaminia pada tanggal 14 Februari 269. Hingga kini, di tanggal yang sama
banyak orang yang mengungkapkan rasa cinta dengan berkirim kartu, “Dari
Valentinmu”. Sweet
Apa
yang kalian pikirkan dari seorang Valentinus? Seseorang yang melawan kekerasan
kejahatan perang dengan cinta dan kasih sayang? Bagaimana kekerasan diredam
oleh dahsyatnya cinta yang mampu mengurungkan niat untuk melakukan kekerasan? Ya,
cinta dalah panacea bagi segala macam penyakit kekerasan yang ada di dalam
tubuh manusia!
Valentine Day
adalah ruang untuk memikirkan dan mendaur ulang kembali dalam mengkonsepsikan
makna cinta dan kasih sayang. Valentine
Day adalah pengingat untuk alarm bagaimana kita harus melawan kekerasan
dengan segenap rasa cinta dan kasih sayang. Mengkontemplasikan apa yang terjadi
akhir-akhir ini demi memberi ruang berpikir dan merasakan supaya kehidupan bisa
lebih leluasa dalam menggapai kegembiraan.
Valentine
Day adalah harapan untuk menunda kemenyerahan dalam mencintai. Seni untuk
mencintai dalam kaidah-kaidah kemanusian dan memanusiakan manusia.
Ketika
kita memilih untuk mencintai, kita memilih untuk bergerak melawan rasa takut,
melawan keterasingan dan pemisahan. Pilihan untuk mencintai adalah pilihan
untuk terhubung, untuk menemukan diri kita di pihak lain. Saat kita memilih
untuk mencintai, kita mulai bergerak melawan dominasi, melawan penindasan,
melawan kekerasan. Saat kita memilih untuk mencintai, kita mulai bergerak
menuju kebebasan, untuk bertindak dengan cara yang membebaskan diri kita
sendiri dan orang lain.
Di
dunia yang ideal kita semua akan belajar di masa kecil untuk mencintai diri
sendiri. Kami akan tumbuh, merasa aman dalam nilai dan nilai kami, menyebarkan
cinta ke mana pun kami pergi, membiarkan cahaya kami bersinar. Jika kita tidak
belajar cinta diri di masa muda kita, masih ada harapan. Cahaya cinta selalu
ada dalam diri kita, tidak peduli seberapa dingin kobaran api itu. Itu selalu
hadir, menunggu percikan menyala, menunggu hati untuk bangun dan memanggil kita
kembali ke memori pertama menjadi kekuatan hidup di dalam tempat gelap yang
menunggu untuk dilahirkan - menunggu untuk melihat cahaya.
Memulai
dengan selalu memikirkan cinta sebagai tindakan daripada perasaan adalah salah
satu cara di mana setiap orang menggunakan kata dengan cara ini secara otomatis
mengasumsikan akuntabilitas dan tanggung jawab.
Praktek cinta adalah penangkal paling kuat bagi politik dominasi. Amor Vincit Omnia. Cinta mengalahkan segalanya!