Sumber: thespiritscience.net
Oleh: Argarry Akbar
Pada
suatu malam, saya mendapatkan sebuah pertanyaan menarik. “Apa bedanya antara
pencerahan ilahi dan halusinasi?”
Pertanyaan
ini lumayan menantang. Karena ada irisan ilmu psikologi yang bukan bidang saya.
Saya tidak tahu persis tingkatan halusinasi, waham, atau istilah lainnya. Tapi
sehubungan dengan pencerahan ilahi, saya bisa jelaskan sedikit.
Fenomena
pencerahan tentu berhubungan dengan upaya manusia mencari kebenaran. Tuhan
memang menciptakan manusia tidak hanya jasadnya, tetapi dilengkapi pula dengan
ruh (walaupun yang sesuai KBBI adalah roh, entah kenapa saya lebih suka
menulisnya “ruh” sesuai ejaan bahasa aslinya). Karakteristik ruh itu suci. Ruh
juga selalu mendambakan ilmu sebagai wujud kebenaran yang datang dari Allah
yang Maha Suci.
Tidak
heran, yang pertama kali dilakukan dan diperintahkan Allah kepada manusia
pertama adalah belajar. Wa ‘allama adama
asma-a kullaha, “Dan Adam diajari nama-nama seluruh ciptaan Allah”. Tsumma aradhahum ‘alal malaikat,
“Kemudian dia mengajarkannya kepada malaikat”. Ayat tersebut merupakan bukti
yang nyata bahwa upaya mencari dan mendapatkan kebenaran, lalu mengajarkannya
kepada yang lain telah dimulai bahkan oleh manusia pertama. Bedanya, Adam
diajari langsung oleh Allah melalui wahyu dan diangkat menjadi “guru” di
hadapan para malaikat, sedangkan kita tidak. Jelas karena kita cuma cucu nabi,
bukan nabi.
Kasyaf
sebagai Basis Pencerahan Ilahi
Islam
memandang ada dua jenis ilmu. Pertama adalah ilmu hushuli, yaitu ilmu yang
dapat dicapai dengan proses belajar. Ilmu hushuli memisahkan antara manusia
sebagai subjek dan ilmu sebagai objek. Kehebatan manusia yang belajar
ditentukan sejauh mana dia menguasai ilmu. Dari sini lahirlah para filsuf,
ilmuwan, guru, fakih, hakim, dan lainnya. Dalam ilmu agama, ilmu hushuli
melahirkan ilmu alat seperti nahwu, sharaf, mantiq, ushul fiqh, maupun ilmu
ghayah seperti fikih, tafsir, dan lainnya. Ilmu hushuli memiliki kerangka yang
terstruktur seperti definisinya, siapa yang mempeloporinya, tujuannya,
manfaatnya, bahasannya, kaidahnya, dan levelnya. Semua itu karena ada unsur
usaha manusia yang melakukan sintesis pengetahuan hingga tercapai bangunan ilmu
yang matang.
Kedua
adalah ilmu hudhuri, yaitu ilmu yang tidak dicapai dengan proses belajar,
melainkan berasal dari limpahan ruhani yang diberikan Allah. Ilmu hudhuri tidak
memisahkan antara subjek dan objeknya. Manusia dipandang sebagai subjek yang sudah
dilengkapi dengan perangkat pembelajaran seperti akal, hati, dan mata hati.
Manusia juga dipandang sebagai objek. Manusia perlu menengok ke dalam dirinya.
Mengasah ketajaman batin dengan membersihkan hatinya agar ilmu hudhuri
dilimpahkan kepadanya. Hati manusia diibaratkan seperti gelas. Jika gelasnya
kotor, tentu tidak bisa dituangi air. Demikian hati yang kotor, tidak akan
terlimpahi ilmu hudhuri. Hanya hati yang bersihlah yang berhak menerima
limpahan tersebut.
Secara
hukum akal, dua ilmu tersebut termasuk perkara yang mumkinat. Bukan perkara
mustahil. Ada kalanya manusia yang mendatangi objek pengetahuan, seperti
melalui penelitian. Ada kalanya manusia yang didatangi objek pengetahuan,
seperti komet Halley yang mengunjungi manusia setiap 76 tahun sekali. Secara
teks agama, dua ilmu tersebut juga mendapatkan pendalilan masing-masing. Ilmu
hushuli didasarkan pada ayat Iqra
bismirabbikallazi khalaq, sedangkan ilmu hudhuri didasarkan pada ayat fa wajada ‘abdan min ‘ibadina atainahu
rahmatan min ‘indina wa ‘allamnahu min ladunna ‘ilman. Letak ayat dan
terjemahannya silakan cari sendiri.
Dalam
khazanah ilmu tasawuf, ada istilah kasyaf. Kasyaf secara sederhana adalah
penyingkapan hijab (penghalang) batin. Dengan disingkapnya hijab, dia mampu
menjangkau pengetahuan yang tidak mampu dijangkau oleh indra dan akal. Dia
mampu menjangkau alam malakut, mengetahui perkara yang terjadi di masa lampau
maupun di masa depan, bahkan dapat “melihat” lauh al-mahfuzh. Kasyaf direkam
dalam al-Qur’an pada dua tempat. Pertama, kisah antara Nabi Musa As. dan Nabi
Khidir As. dalam Surat al-Kahfi ayat 60-82. Kedua, dalam surat al-An’am ayat
75, wa kazalika nuri Ibrahima malakutas-samawati wal-ardhi wa liyakuna
minal-muqinin.
Fenomena
kasyaf bukanlah hal baru, apalagi bid’ah. Kasyaf dialami Nabi Muhammad Saw.,
para sahabat, dan para wali. Kasyaf yang dialami nabi merupakan bagian dari
mukjizat, sedangkan yang dialami oleh selain nabi merupakan bagian dari
karamah. Perlu digarisbawahi, karamah yang terjadi pada umat Nabi Muhammad juga
merupakan bagian dari mukjizat Nabi Muhammad.
Di
antara kasyaf yang dialami Nabi Muhammad dijelaskan dalam hadis riwayat
al-Bukhari dari sahabat Anas bin Malik Ra. Ketika hendak mengimami salat
berjamaah, Rasulullah bersabda, “Luruskanlah saf kalian dan rapatkan,
sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang”. Dalam hadis lain yang juga
diriwayatkan al-Bukhari, sebelum perang Mu’tah Rasulullah telah menggambarkan
keadaannya yang mencekam, “Zaid akan mengambil panji (bendera perang), lalu dia
syahid. Kemudian panji akan diambil oleh Ja’far, lalu dia syahid. Kemudian panji akan diambil oleh Abdullah bin
Rawahah, lalu dia syahid.” Dan dalam perang Mu’tah, ternyata ketiganya menjadi
syahid secara berturut-turut. Bahkan Ja’far bin Abi Thalib Ra. kehilangan dua
tangannya demi mempertahankan panji tetap berkibar sebelum dia syahid. Tentang
Ja’far, Rasulullah memberikan kabar gembira bahwa kedua tangannya digantikan
oleh Allah dengan dua sayap.
Dua
hadis di atas cukup menggambarkan kedudukan kasyaf sebagai bagian dari ajaran
Islam. Tulisan ini tak akan cukup menceritakan seluruh kisah kasyaf yang
terjadi pada umat Nabi Muhammad Saw.
Imam
al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan bahwa kasyaf tidak akan terjadi
kecuali pada orang yang bertakwa. Secara metodologis beliau menjelaskan, “Takwa
adalah pintu menuju zikir. Zikir adalah pintu menuju kasyaf. Dan kasyaf adalah
pintu menuju al-fauz al-akbar (kemenangan yang besar), yaitu bertemu dengan
Allah.” Penjelasan Imam al-Ghazali ini menjadi sebuah kaidah yang membedakan
antara kasyaf wali dan ramalan dukun. Dukun tidak ada yang bertakwa, kecuali
dukun beranak.
Kasyaf
hanya akan terjadi pada hati yang bersih. Karena kasyaf adalah bagian dari
limpahan ruhani dari Allah yang tidak mungkin diberikan kepada hati yang kotor.
Kebersihan hati didapatkan dari melanggengkan ketakwaan, dalam bentuk ketaatan
beribadah, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangannya. Ketakwaan
akan mengantarkan seseorang untuk senantiasa berzikir kepada Allah. Metode yang
ditempuh untuk membersihkan hati dalam ilmu tasawuf dinamakan tazkiyah al-nafs.
Man la wirda lahu, la warida lahu.
Orang yang tidak istikamah berzikir, tidak bisa mendapatkan kasyaf. Karena
salah satu buah dari zikir adalah mampu membedakan khatir yang datang kepadanya
dari malaikat (khatir al-haq), iblis, nafsu, atau hawa nafsu. Bagaimana mau
disebut kasyaf jika tidak bisa membedakan yang datang kepadanya berasal dari
mana?
Orang
yang tidak istikamah zikir, dia akan mudah tertipu dengan khatir yang berasal
dari iblis atau hawa nafsu, apalagi jika seolah-olah terlihat baik padahal
hakikatnya buruk. Khatir al-haq akan mengantarkan seseorang pada kasyaf. Kasyaf
adalah pintu mendapatkan ilmu hudhuri, atau dalam istilah lain, ilmu ladunni.
Pencerahan
atau “Pencerahan”?
Pencerahan
berbeda dengan inspirasi. Pencerahan maknanya lebih dalam dan berdampak lebih
luas. Sedangkan inspirasi maknanya lebih sempit, terfokus pada satu atau
beberapa hal, dan biasanya tidak berdampak terlalu luas dalam hidup seseorang.
Inspirasi bisa didapatkan dari melihat fenomena, kejadian di sekitar, atau
bahkan hanya sekedar nongkrong di kamar mandi.
Pencerahan
didapatkan dari proses perenungan yang panjang atau hentakan kejadian yang
dimaknai oleh seseorang sebagai momentum pencerahan. Pencerahan yang didapatkan
dapat memperkuat pandangan hidupnya yang telah lama diyakini. Atau mengubahnya
180 derajat menjadi orang yang “baru”.
Dalam
pandangan Islam, pencerahan ilahi sangat terkait dengan khatir (lintasan
batin). Jika yang datang adalah khatir al-malak atau khatir al-haq, pencerahan
akan membimbingnya menuju pribadi yang lebih baik, lebih bertakwa, lebih wara’,
lebih zuhud, dan lebih dekat kepada Allah.
Ada
kalanya khatir al-haq datang kepada orang yang ‘alim, istikamah ibadah, dan
istikamah berzikir (ingat urutan yang dijelaskan secara metodologi oleh Imam
al-Ghazali di atas). Sehingga dia dapat langsung mengenali bahwa yang datang
adalah khatir al-haq. Semakin melimpah khatir-nya, semakin besar pencerahan
yang dia dapatkan. Jika diteruskan, akan tersingkap hijabnya hingga sampai pada
kasyaf.
Ada
kalanya khatir al-haq datang kepada orang awam yang belum mengerti syariat,
yang ibadahnya belum istikamah, atau sering bermaksiat. Jika dia merespon
khatir ini dengan baik, khatir ini akan menjadi hidayah baginya untuk keluar
dari keadaannya sekarang menuju keadaan yang lebih baik. Hendaknya dia segera bertaubat,
menjalankan ibadah sebaik-baiknya, dan belajar ilmu agama di bawah bimbingan
guru. Jangan buru-buru berdakwah dengan alasan sudah hijrah tanpa memiliki ilmu
yang memadai.
Tapi
jika dia merespon khatir ini dengan akalnya yang belum terjamah syariat dan
sikapnya yang condong pada hawa nafsu, khatir ini akan tertutupi oleh khatir
dari iblis dan hawa nafsu. Hanya hentakan “kartu As” dari Allah yang mampu
mengubah orang seperti ini.
Ada
kalanya pula iblis datang menawarkan “pencerahan” melalui khatir iblis. Iblis
mampu membisikkan keburukan dan membungkusnya dengan kebaikan. Jejak karir
iblis ini dapat ditelusuri di al-Qur’an. Iblis bahkan berani bersumpah demi
Allah kepada Nabi Adam dan Hawa saat menggodanya untuk memakan buah khuldi
(rujuklah pada QS. al-A’raf ayat 21). Tidak seperti yang kita pahami bahwa Nabi
Adam berdosa karena memakan buah khuldi (logikanya, mana mungkin nabi yang
ma’shum justru melakukan dosa?), yang terjadi adalah Nabi Adam sekadar tertipu.
Beliau memakan buah khuldi bukan karena ingin bermaksiat seperti kita, cucunya,
tetapi karena ditipu iblis yang bersumpah atas nama Allah. Dalam pikiran suci
seorang nabi, manalah mungkin nama Allah digunakan untuk menipu? Tapi begitulah
jahatnya iblis, hingga dia dilaknat sampai hari kiamat.
Iblis
juga pernah datang kepada Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan menawarkan
“pencerahan”. Dia datang dalam bentuk cahaya dan mengaku sebagai Tuhan. Iblis
mengatakan kepada Syekh Abdul Qadir al-Jilani, inni abahtu laka al-muharramat, “Aku
telah menghalalkan kepadamu seluruh perkara yang haram”. Tentu dengan kealiman
beliau dan derajatnya sebagai waliyullah, beliau mampu mengusir iblis yang
menyamar tersebut. Segera setelah diusir, cahaya itu berubah menjadi asap yang
hitam pekat. Ketika ditanya bagaimana cara beliau mengenali cahaya itu adalah
iblis, beliau menjawab “Aku mengetahui bahwa sesungguhnya Allah tidak pernah
memerintahkan keburukan”. Jawaban cerdas Syekh Abdul Qadir al-Jilani ini sesuai
dengan makna QS. al-A’raf ayat 28.
Bayangkan
jika di zaman sekarang, ada cahaya yang terang benderang datang kepada
seseorang lalu mengaku sebagai Tuhan. Tentu orang itu akan membuat geger dengan
mengaku telah didatangi Tuhan!
Demikianlah
kealiman dan keluasan ilmu syariat, yang notabenenya tergolong ilmu hushuli,
akan melindungi seseorang dari godaan “pencerahan” iblis.
Bagaimana
jika iblis datang menawarkan “pencerahan” kepada orang awam? Ini yang
berbahaya. Belum bisa membedakan khatir, mana didatangi iblis pula. Jika dia
tidak tahu menahu soal syariat atau tidak punya guru yang membimbing, bukan
tidak mungkin dia akan berakhir menyimpang bahkan sesat. Biasanya dia akan
mengaku-ngaku kasyaf, memiliki karamah, bisa melihat malaikat, meramal masa
depan, mendapatkan ilmu ladunni sehingga tidak butuh lagi belajar dan bimbingan
guru, atau klaim lainnya. Tak jarang klaim ini juga digunakan untuk
melegitimasi dirinya seolah-olah telah bertransformasi dari orang awam menjadi
juru selamat umat manusia.
Menurut
saya, di sini letak perbedaan halusinasi dengan pencerahan ilahi. Seseorang
dikatakan benar-benar mendapatkan pencerahan ilahi ketika pencerahan itu tidak
bertentangan dengan syariat, mendorong kepada ketakwaan, dan keistikamahan
ibadah. Timbangan syariat perlu digunakan untuk mengukur benar tidaknya
pencerahan yang didapatkan orang awam. Sedangkan mengenai para ‘alim, kita
tidak perlu lagi membahasnya. Karena mata batinnya tentu lebih tajam membedakan
khatir.
Seseorang
yang mengaku mendapatkan “pencerahan”, sedangkan tindakannya menabrak syariat,
cukup untuk dikatakan sedang berhalusinasi. Apa pun pengakuan yang dia klaim.
Bagaimana
cara agar kita selamat dari halusinasi dan mendapatkan pencerahan yang hakiki?
Langkah pertama adalah belajar ilmu agama. Langkah kedua adalah mencari guru
mursyid. Guru mursyid yang kemudian akan membimbing menuju langkah selanjutnya.
Jika belum memiliki guru mursyid, bersalawatlah kepada Nabi Muhammad minimal 10
ribu kali sehari.
Wallahu a’lam bish-shawwab.