Kerajaan Kalingga dan Keadilan Hukum

Kerajaan Kalingga dan Keadilan Hukum

                           Ratu Jay Shima (Ilustrasi/YouTube/Wongcurahjati)


oleh: Raya Lauri, Kalyn Mulia, Humaida Lutfiah


Hukum, ialah sebuah kata yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum merupakan peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas. Adapun guru besar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Mochtar Kusumaatmadja, memandang hukum itu sebagai alat bantu dalam segala macam proses perubahan yang ada di dalam masyarakat. Lalu, hukum menurut Mochtar merupakan sebuah kaidah dan asas yang berguna dalam mengatur hubungan masyarakat yang dibuat dengan keadilan. Ya, ini berarti hukum merupakan media dalam mewujudkan suatu keadilan.

 

Keadilan? Sering kali ukuran kata ini ditafsirkan dengan berbeda-beda. Merujuk kembali pada Kamus Besar Bahasa Indonesia atau biasa disingkat menjadi KBBI, kata keadilan berasal dari kata dasar “adil” yang berarti sama berat, tidak berat sebelah, dan tidak memihak; berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran. Dengan ini berarti hukum menjunjung keadilan dengan kesetaraan. Selanjutnya, ada gagasan pendukung mengenai prinsip keadilan menurut John Rawls bahwa keadilan itu memang bertujuan untuk menghasilkan kebahagiaan atau kemanfaatan bagi orang sebanyak-banyaknya (the greatest good for the greatest number).

 

Nah, sekarang bagaimana sih hukum di Indonesia sendiri? Sedang tidak seperti yang diharapka, bukan? bagaimana bisa? Sekarang ini banyak sekali orang-orang yang melanggar hukum namun yang dihukum hanya beberapa, tidak semuanya. Saat diberi sanksinya pun juga berbeda, banyak pemimpin yang saat melakukan kesalahan mendapatkan sanksi yang berbeda dengan sanksi yang sebenarnya. Sebagai contoh, ada seorang “pejabat” yang memang sudah terbukti bahwa ia terlibat dalam kasus korupsi yang di mana ia telah menghabiskan uang rakyat dan hukuman seharusnya tertera pada UU No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Namun, “pejabat” ini justru hanya mendapat hukuman selama 2 tahun, bahkan, ada yang hanya diperiksa-periksa saja dan tidak lanjut diusut padahal sudah terbukti secara jelas ia melakukan tindakan korupsi.


Tetapi, jika boleh melihat fenomena peristiwa pada berpuluh abad ke belakang waktu di Indonesia, terdapat kerajaan yang berdiri pada 594 Masehi dan sangat terkenal karena memiliki sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi keadilan, nilai hukum, serta kesetaraan di mata hukum. Didukung juga berdirinya kerajaan ini dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto yang menggunakan huruf Kawi dan bahasa Melayu Kuno di Desa Sojomerto, Kec. Reban, Kab. Batang, Jawa Tengah. Prasasti Sojomerto ini berisi cerita tentang keluarga Dapunta Syailendra.


Nama Kerajaan dengan salah satu peninggalannya ini yaitu Kerajaan Kalingga atau dikenal juga dengan nama kerajaan Holing, Keling, dan Heling. Pada awalnya, nama Kalingga ini bukan berasal dari nusantara tetapi “Kalingga” ini berasal dari sebuah kerajaan di India bagian selatan, meskipun di nusantara letaknya berada di sebelah utara dari Gunung Muria dekat dengan pekalongan dan jepara. Lalu, selanjutnya kerajaan Kalingga diberi sebutan Holing yang berasal dari bahasa Tiongkok atau China dikarenakan banyaknya pendeta yang datang ke nusantara pada saat itu.

 

Kerajaan Kalingga mencapai masa puncaknya pada pimpinan seorang perempuan yang memiliki paras cantik, yaitu Ratu Sima. Lalu, ada berita cina abad 7-8 Masehi dari Dinasti Tang yang mengatakan bahwa Kerajaan Kalingga merupakan kerajaan yang sangat kuat di pulau ini (Jawa) dan ini menjadikan kerajaan Kalingga terkenal seantero yang oleh karena ketegasan hukum Ratu Sima. Hukum yang dibuat oleh Ratu Sima ialah hukum potong tangan maupun kaki bagi siapapun yang mencuri atau bahkan memegang barang yang bukan hak miliknya, tanpa terkecuali meskipun masih bagian dari keluarga. Siapapun yang melanggar peraturan akan dijatuhi hukum sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sehingga ia selalu menghimbau rakyatnya untuk senantiasa mengedepankan sikap kejujuran dan menerapkan keadilan tanpa memandang bulu.

 

For Your Information! Ratu Sima sendiri tidak segan memotong kaki anaknya sendiri loh! Kenapa, ya? Suatu saat, terdapat seorang raja asing bernama Ta-Shih yang disebut-sebut berasal dari Timur Tengah ini penasaran dan geram akan keperkasaan Kalingga sehingga secara diam-diam ia datang ke kerajaan Kalingga dengan tujuan menguji adanya hukum politik yang tegas mengenai kejujuran di kerajaan Kalingga dengan meletakkan sebuah kantong berisi emas di suatu persimpangan jalan dekat alun-alun wilayah kerajaan Kalingga. Berhari-hari kemudian, tidak ada seorang pun yang berani menyentuh kantong emas tersebut. Hingga pada 3 tahun


kemudian, Pangeran Narayana yang tidak lain adalah putra Ratu Sima tersandung dan tidak sengaja menyentuh kantung emas yang berada di persimpangan jalan tersebut. Lantas, bagaimana tanggapan Ratu Sima? Seketika datanglah salah seorang warga yang mengatakan kesaksian bahwa ia melihat putra mahkota yang menyentuh (mengambil) kantong emas tersebut, ia berani dihukum mati jika kesaksian itu salah. Ratu Sima memanggil putranya dan benar, putranya pun mengakui kejadian itu. Ratu Sima geram dan terkejut sehingga ia meminta kepada prajurit untuk memberikan hukuman mati kepada putranya.


Tetapi, para menteri di kerajaan Kalingga tidak setuju terkait hukuman yang diajukan oleh Ratu Sima sehingga para menteri sepakat memberikan pembelaan putra mahkota kepada Ratu Shima untuk mengurangi hukuman kepada anak kandungnya sendiri dan pada akhirnya pun Ratu Shima mengurangi hukuman mati putra mahkota tersebut dan menggantikan hukumannya dengan hukuman potong kaki kepada anaknya. Tetap saja hukumannya mengerikan, bukan? Tetapi itulah, memang hukum yang sudah didapatkan oleh Pangeran Narayana dengan keadilan hukum yang dibuat oleh Ratu Sima.

 

Inilah mengapa kerajaan Kalingga disebut sebagai kerajaan dengan keadilan hukum yang sangat tinggi akan kesetaraan. Keadilan hukum kerajaan Kalingga dapat dijadikan acuan dalam kehidupan karena tidak adanya suatu standarisasi dalam pemberian hukum (siapa saja yang melakukan kesalahan harus mendapat sanksi yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya tersebut). Namun, memang dengan tindakan hukumannya itu jika diimplementasikan pada zaman sekarang ini sudah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sehingga dapat disimpulkan bahwa “Keadilan Hukum” itu seharusnya memang tidak ada standarisasi khusus atau pun tidak ada kata pandang bulu. 


Menurut staf pengajar pada Fakultas Filsafat UGM ini, di dalam mempertahankan  pemikiran tentang konsep keadilan, setiap manusia harus mampu menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang. Dan kejujuran, merupakan salah satu hal dalam tercapainya suatu keadilan.


DAFTAR REFERENSI

 

https://www.kompasiana.com/janicewiyanto08051330003/62011eebbb448618c7021589/sistem- hukum-kerajaan-kalingga (diakses pada 8 Februari 2023 pukul 06.11)

 

https://news.detik.com/berita/d-1308111/kisah-ratu-shima-ma-dan-harapan-besar-hadirnya-keadi lan- (diakses pada 8 Februari 2023 pukul 09.56)

 

https://tirto.id/ketegasan-ratu-shima-penguasa-pantura-cAYX (diakses pada 7 Februari 2023 pukul 18.37)

 

 

https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=q1k3EAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA8&dq=meng enal+kerajaan-kerajaan+besar+di+nusantara&ots=TlW68DGV8D&sig=taO9v6wmVzDBssXZh

_izSs_jVFc&redir_esc=y#v=onepage&q=mengenal%20                         kerajaan-kerajaan%20besar%20di%20 nusantara &f=false (diakses pada 8 Februari 2023 pukul 21.25)

 

http://journal.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/5923/2454  (diakses pada 8 Februari 2023 pukul 20.43)

 

https://lsc.bphn.go.id/artikel?id=331 (diakses pada 2 Februari 2023 pukul 12.22)

 

 

http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/7335 (diakses pada 2 Februari 2023 pukul 12.39)

 

 

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220510-kenali-dasar-hukum-pemberantasan-ti ndak-pidana-korupsi-di-indonesia (diakses pada 6 Februari 2023 pukul 19.50)

 

https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1999_31.pdf (diakses pada 6 Februari Pukul 19.51)
 

Baca selengkapnya »
Kemaritiman ala Kerajaan Sriwijaya

Kemaritiman ala Kerajaan Sriwijaya

Oleh: Chiquita Juliartanti Pepyndra


    Indonesia adalah negara yang penuh akan keindahan dan memanjakan mata. Sungai, laut, dan pemandangan alamnya sungguh memikat hati. Indonesia memang seharusnya tidak hanya berjaya di darat, melainkan juga berjaya di laut. Lebih menariknya lagi, nilai sejarah kemaritiman Kerajaan Sriwijaya bukan hanya dimaknai sebagai bacaan sejarah saja, melainkan nilai yang terkandung di dalamnya belum dipahami secara mendalam, padahal, banyak sekali dampak positif bagi pembangunan dunia maritim di Indonesia. Namun, bagaimana dengan masa lalu dari negeri fantastis ini? Ya, setiap insan bangsa pasti memiliki sejarahnya masing-masing termasuk Indonesia.

 

Kerajaannya yang sungguh membuat diri tertarik untuk terjun mempelajarinya. Puluhan kerajaan yang telah mengukir nama di negeri ini sungguh membuat setiap insan takjub. Salah satunya Kerajaan San Fo Tsi yang memiliki arti “Kerajaan yang terletak di Sumatera”. Ya, itulah Kerajaan Sriwijaya. Pada permulaan abad ke-20, ilmu pengetahuan mengenai Sriwijaya telah lahir. Nama Sriwijaya dikenal mulai pada tahun 1918 saat George Coedes menulis karangannya, Le royaume de Crivijaya (B.E.F.E.O. 18).

 

Sangat layak diakui bahwa ilmu sejarah mengenai Sriwijaya adalah penemuan Coedes yang lahir karena kecerdasannya dalam menggunakan hasil penyelidikan. Penemuan ini mendapat sambutan luar biasa dalam ilmu pengetahuan sejarah terutama dalam sejarah Asia Tenggara. Dikatakan bahwa Sriwijaya sebagai kerajaan termahsyur dalam bidang maritim dan dijuluki sebagai sang penguasa laut. Dikarenakan letaknya yang ideal untuk dijadikan lalu-lintas pelayaran Jawa, India, Arab, dan Tiongkok, sehingga Sriwijaya menyangkut hubungan internasional. Lambat laun sejarah Sriwijaya berhubungan dengan sejarah negara-negara lain yang menggunakan Selat Malaka sebagai jalan lalu-lintas.

 

Pada Tahun 1940 seorang bernama Moens merombak teori yang telah disusun oleh Coedes. Teori baru dikemukakan Moens berdasarkan pengetahuan geografi dari berita Tionghoa dan Arab yang menyatakan bahwa Sriwijaya tidak pernah berpusat di Palembang. Karena pada awalnya pusat kerajaan terletak di pantai timur Malaya yang kemudian berpindah ke Sumatera Tengah dekat Muara Takus. Moens menyatakan adanya nama raja Bicau yang menurutnya adalah ubahan dari nama raja (Sri)wijaya dan dongeng mengenai adanya datu Sriwijaya yang menetap di Kotabaru. Berdasarkan hal tersebut, Moens mengambil kesimpulan bahwa Muara Takus adalah pusat kerajaan Sriwijaya. Alasan lain karena peninggalan-peninggalan pusat kerajaan masih tampak di Muara Takus, dekat tempuran Kampar Kanan dengan Batang Mahat di Sumatera Tengah.


Kerajaan Sriwijaya banyak sekali dikunjungi para pedagang asing pada era keemasannya seperti pedagang dari Arab, Cina, bahkan India. Negara-negara tersebut datang untuk berdagang serta melakukan kepentingan lainnya. Tentu saja hal tersebut mempengaruhi keberagaman masyarakat sekaligus akan memunculkan kehidupan toleran di Sriwijaya.

 

Dari zaman dahulu, Indonesia sudah dikenal sebagai masyarakat pelaut yang biasa berdagang antarpulau bahkan hingga antarnegara dan antarbenua. Pada masa Kerajaan Sriwijaya sangat dikenal akan penguasaannya di wilayah maritim. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim pertama dan termahsyur di Nusantara yang di mana kekuasaannya mampu melebihi wilayah lautan Nusantara saat ini, bahkan diduga wilayah kekuasaan Sriwijaya mencapai seluruh wilayah laut Asia Tenggara hingga mencapai wilayah Madagaskar.

 

Kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa maritim pertama terdapat dalam catatan sejarah Indonesia yang diawali dari kekuasaan berupa perkampungan/wanua yang lambat-laun berkembang menjadi sebuah kekuasaan yang besar serta memiliki bandar-bandar perdagangan yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Kebesaran kemaritiman Sriwijaya ini didukung oleh perekonomian wilayah pedalaman yang telah berhasil menghasilkan barang komoditas perdagangan misalnya getah damar.

 

Salah satu faktor yang menjadikan Sriwijaya menjadi sang penguasa maritim karena letak yang strategis dan dilalui oleh jalur pelayaran perdagangan internasional. “Sriwijaya memiliki hasil-hasil bumi yang menjadi barang perdagangan internasional dan dengan kekuatan armadanya, kerajaan Sriwijaya dapat menguasai daerah-daerah yang potensial menjadi saingannya.” (Sholeh, 2019:31).

 

Kerajaan Sriwijaya memiliki kekuatan militer maritim yang sangat kuat dan besar terlihat pada catatan isi prasasti Kedukan Bukit yang menyebutkan tentara Sriwijaya sebanyak 20 ribu naik perahu dan yang berjalan kaki sebanyak 1312 orang (Dick-Read, 2008:90). Sebagai jalur pelayaran perdagangan internasional yang ramai dikunjungi para pedagang asing membuat Kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa maritim yang memiliki kekuasaan dalam mengatur kebijakan untuk memberi kenyamanan serta mengamankan para pedagang yang keluar masuk untuk melakukan kepentingan perdagangan termasuk Sriwijaya sendiri.

 

Kebijakan dalam mengamankan jalur pelayaran perdagangan didukung oleh tentara maritim Sriwijaya yang besar dan kuat serta kapal-kapal milik Sriwijaya baik kapal barang dan kapal orang merupakan salah satu alat atau instrument dalam mendukung kebijakan sriwijaya dalam mengamankan jalur pelayaran perdagangan (Dick-Read, 2008:92).

 

Dengan dibuktikannya beberapa peninggalan berupa prasasti-prasasti Sriwijaya, dibuktikan bahwa wilayah kemaritiman Kerajaan Sriwijaya semakin memperluas kawasan kekuasaanya khususnya di laut. Setelah mendirikan pusat kekuasaan di Palembang (tepi sungai Musi), selanjutnya selat Bangka dijadikan fokus utama untuk dikuasai. Sebagai bukti penaklukan wilayah strategis tersebut, maka dituangkanlah ke dalam prasasti Kota Kapur yang tertulis pada tahun 686 M. Hal ini menjelaskan mengenai kutukan bagi penguasa terhadap kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.


Peninggalan-peninggalan benda arkeologi terkait bukti yang mendukung sriwijaya sebagai penguasa maritim terbesar pada masanya yaitu di sepanjang sungai Musi, Palembang, telah ditemukan kapal-kapal kuno dengan ukuran besar dan ada juga yang sedang. Berdasarkan uji Carbon bahan kayu kapal yang digunakan ketika diuji di labor diketahui perkiraan abad ke 7-8 M. (Wiyana, 2014:86)

 

A.    DAFTAR PUSTAKA


Ali, Y. (2019). Membangun Kepemimpinan Maritim Indonesia menuju Pemimpin Ekonomi Global. Economics Bosowa, 5(002), 64-70.

(Budisantoso, H. (2016). Sriwijaya Kerajaan Maritim Terbesar Pertama Di Nusantara. Jurnal Ketahanan Nasional, 11(1), 49-56.)

(Sholeh, K., Sukardi, A. S., & Nadiya, L. (2022). NILAI SEJARAH MARITIM KEDATUAN SRIWIJAYA BAGI KEMAJUAN MARITIM INDONESIA THE VALUE OF SRIWIJAYA MARITIME HISTORY FOR INDONESIAN MARITIME PROGRESS. Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol, 8(2).)

 

(Robert dan Dick- Read. Bukti-Bukti Mutakhir tentang Penjelajahan Pelaut Indonesia Abad Ke-5 Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus. (terjemahan), Bandung:Mizan, 2008. hlm 104)

Sholeh, K., Sari, W. N., & Berliani, L. (2019). Jalur pelayaran perdagangan kuno di selat bangka sebagai letak strategis berkembangnya kekuasaan maritim sriwijaya abad vii-viii masehi. SINDANG: Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Kajian Sejarah, 1(1), 25-34.

Sholeh, K., Sukardi, S., Suriadi, A., & Nadiya, L. (2022). NILAI SEJARAH KEMARITIMAN KEDATUAN SRIWIJAYA BAGI INDONESIA. JURNAL PENELITIAN SEJARAH DAN BUDAYA, 8(2), 162-179.

 

(Sholeh, K. (2016). Kemaritiman Sriwijaya. Palembang: NoerFikri Offset.)


(Wulandari, P. K. (2020). Strategi Raya Sriwijaya dan Melaka. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 5(1), 159-166.)

Wibowo, W. (2017). Kemaritiman Indonesia: Sebuah Kajian Kritis. Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik (JMTRANSLOG), 4(2), 211-222.

Yuliati, Y. (2016). Kejayaan Indonesia sebagai negara maritim (jalesveva jayamahe). Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 27(2).

 

Baca selengkapnya »
Benarkah Adanya Kerajaan Salakanegara?

Benarkah Adanya Kerajaan Salakanegara?

                    Wilayah Kerajaan Salakanagara (Steemit)


oleh: Ade Hapsasty Ariani, Desi Ananda Putri, Muhammad Faizal Alfitra, Muhammad Hazel Ibnu Wimala, Nazwa Putri Aulia


    Salakanagara keberadaannya cukup misterius karena sumber sejarah dan bukti arkeologinya tidak ditemukan. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, Salakanagara diyakini sebagian masyarakat merupakan kerajaan tertua dan pertama di nusantara. Bila dilihat dari dugaan waktu berdirinya, Salakanagara yang sudah eksis sejak abad ke-2 M, jelas lebih tua ketimbang Kutai yang baru muncul pada abad ke 4 M[1]. Walau begitu, kerajaan ini cukup misterius karena terbatasnya sumber sejarah. Munculnya nama Salakanagara berdasarkan adanya bukti beberapa arca dan naskah Wangsakerta, sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Kuno yang berasal dari Cirebon.

 

Selain itu, Claudius Ptolemaeus melalui bukunya yang dipublikasikan sekitar tahun 150 “Geographia” menggambarkan adanya kawasan yang berada sangat jauh timur dari Yunani. Dirinya menyebut kawasan itu sebagai Argyre, atau negeri besi. Dalam buku itu, Argyre tidak jauh dari semenanjung Malaya dan kawasan yang bernama Barus di Sumatera. Banyak dari para sejarawan mencari tahu keberadaan negeri yang dimaksud, dan menemukan kerajaan tertua di nusantara: Salakanagara. Ahmad Darsa, peneliti peninggalan kuno dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Undang menulis makalah Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan tahun 2014, “Ptolemeus bisa jadi sempat mengunjungi Salakanagara,” tulisnya di Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga yang dimuat “National Geographic”.

 

Namun, setelah kami riset lagi, banyak sumber yang menanggapi keberadaan Kerajaan Salakanagara. Salakanagara keberadaannya cukup misterius karena sumber sejarah dan bukti arkeologinya tidak ditemukan. Dibandingkan dengan Tarumanagara, kerajaan ini tidak meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan lokal yang berwujud seperti prasasti atau reruntuhan candi. Sumber sejarah utamanya adalah Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Menurut naskah tersebut, Kerajaan Salakanagara diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara yang berdiri antara 130-362 M, sebelum Kerajaan Kutai (400-1635 M).

 

Namun, karena minimnya bukti keberadaan Salakanagara, Kerajaan Kutai lebih dikenal sebagai kerajaan pertama di nusantara. Menurut Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, sejarah berdirinya Kerajaan Salakanagara bermula ketika seorang pedagang dari India yang bernama Dewawarman menetap di Jawa, lebih tepatnya di Teluk Lada, Pandeglang. Suatu hari, kampung Aki Tirem sedang dijarah oleh sekelompok perampok. Di saat yang bersamaan, Dewawarman bersama pengikutnya datang. Mengetahui kekacauan itu, dia lantas membantu Aki Tirem untuk mengusir perampok. Atas jasanya itu, Dewawarman akhirnya dinikahkan dengan putri Aki Tirem. Dewawarman lantas menetap di kampung Aki Tirem. Sepeninggal Aki Tirem, Dewawarman menjadi pemimpin di daerah itu. Dia kemudian menobatkan diri menjadi raja. Adapun gelar Dewawarman adalah Dharmolokapala Dewawarman Hajin Raksagapurasagara.[2]


Namun, pada beberapa sumber ada juga yang mengatakan bahwa Salakanagara terletak di Jawa Barat. Berikut sumber lebih jelasnya. Kerajaan Salakanagara oleh sejumlah referensi disebutkan berada di bagian barat pulau Jawa atau Sunda alias Jawa Barat saat ini. Pendirinya adalah Dewawarman I bergelar Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara yang memerintah pada 130 hingga 168 Masehi. Pada 150 Masehi, seorang ilmuwan Yunani bernama Claudius Ptolemaeus pernah menulis buku berjudul Geographia. Ia menggambarkan ada sebuah pulau bernama Labodio yang diduga adalah Yawadwipa (Jawa). Di sana, terdapat Kerajaan Argyre yang dalam bahasa Yunani berarti “perak”. Menurut Edi Suhardi Ekajati dalam Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran (2005:55), saat Ptolemaeus menulis bukunya, Salakanagara sudah berdiri di Jawa Barat. Sejalan dengan arti bahasa Yunani, salaka ternyata dalam bahasa Sunda juga bermakna “perak”, sedangkan nagara berarti "negara" atau "pemerintahan".


Selama ini, Kutai Martadipura yang berdiri pada abad ke-4 M di Kalimantan Timur diklaim sebagai kerajaan tertua nusantara. Akan tetapi, Salakanagara ternyata lebih dahulu muncul di abad ke-2 M. Kendati begitu, klaim tersebut dirasa belum kuat karena sumber sejarah Salakanagara sebagai kerajaan paling awal di nusantara hingga masih dianggap kurang memuaskan. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain yang meninggalkan prasasti, Salakanagara hanya dapat dilacak melalui catatan perjalanan dari Cina dan naskah Wangsakerta. Kala itu, Kerajaan Salakanagara dituliskan sudah sudah memiliki hubungan dagang yang baik dengan Dinasti Han dari Kekaisaran Cina. Bahkan, Salakanagara disebut-sebut pernah mengirim utusan ke Tiongkok pada abad ke-3 Masehi.[3]

 

Ternyata, banyak juga yang bilang kalau Kerajaan Salakanagara ini termasuk kerajaan tertua di nusantara. Selain itu, penelusuran sejarah Salakanagara juga didapat dari Naskah Wangsakerta, tepatnya di Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara (Ayatrohaedi, Sundakala: Trailer Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah Panitia Wangsakerta Cirebon, 2005: 61).


Masalahnya, naskah Wangsakerta sendiri masih kontroversial. Naskah yang digarap oleh semacam panitia penelitian dari Kesultanan Cirebon ini konon telah disusun selama 21 tahun dan selesai pada tahun 1698. Meski penemuan naskah ini sangat diapresiasi karena kelengkapannya yang lengkap, namun tidak sedikit sejarawan yang meragukan keasliannya.[4]


Lokasi yang diyakini sebagai pusat Kerajaan Salakanagara juga masih belum pasti. Setidaknya, ada tiga versi terkait taksiran yang dilakukan pemerintahan Salakanagara, yakni di Pandeglang (Banten), Condet (Jakarta), atau di lereng Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat.


Nah, setelah ditemukan Kerajaan Salakanagara di Pandeglang, Banten, Jawa Barat. Mereka mulai berdiskusi bahwa Kerajaan Salakanagara runtuh pada pertengahan abad ke-4 M, dengan munculnya dan penguatan pemerintahan baru yang disebut Tarumanegara. Meski hanya bertahan dua abad, garis keturunan penguasa Salakanagara diyakini telah melahirkan raja-raja di berbagai kerajaan besar di Nusantara, antara lain Pajajaran, Sriwijaya, dan Majapahit.[5]

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Dikutip dari berita wikipedia.com pada tanggal 6 Februari 2023 pukul 13.05 WIB

 

 

[2] Dikutip dari kompas.com pada tanggal 8 Februari 2023 pukul 08.10 WIB

[3] Dikutip dari berita tirto.id pada tanggal 8 Februari 2023 pukul 19.39 WIB

[5] Dikutip dari news.schmu.id pada tanggal 8 Februari 2023 pukul 21.26 WIB


Baca selengkapnya »
Asal-Usul Kerajaan Sunda

Asal-Usul Kerajaan Sunda

                                sumber: https://bogorkab.go.id/

oleh: Assagaf Ramadandi, Azkal Arya Ramadhan, Dezzle Bintan Putra Yuliawan, Nayla Maqbullah Balqis, Ratu Alawiyah


Hai sobat Historia34! Berbicara mengenai kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, apa sih yang terbesit di pikiran kalian? Apakah Kerajaan Sriwijaya? Kerajaan Majapahit? Atau mungkin Kerajaan Kutai? Ya, sebenarnya itu ga salah sih. Akan tetapi jika kita melihat catatan sejarah Indonesia, ada lho satu kerajaan yang jarang dibahas dalam mata pelajaran di sekolah. Dan kerajaan ini bisa dikatakan memiliki kekuatan yang setara dengan Kerajaan majapahit, lho. Hayo, ada yang tahu ga nih? Oke, aku kasih clue melalui gambar di bawah ini ya:


Gambar dikutip dari

https://www.roov.id/podcast/963/raden-kian-santang/overview


Nah, dari gambar di samping tentunya sobat Historia34 sudah bisa menebak dong kerajaan apa yang dimaksud. Yes, betul banget yakni Kerajaan Sunda. Lho, kok Kerajaan Sunda? Bukannya Kerajaan Padjadjaran, ya? Tunggu dulu, ada alasannya nih kenapa kerajaan tersebut disebut sebagai Kerajaan Sunda. Mau tau jawabannya? Yuk mari kita cari tahu lebih lanjut.


Melalui video dari channel Youtube SaJaBI – Satu Jam Berbincang Ilmu dalam salah satu videonya yang berjudul “SAJABI ep.22 – Kerajaan Sunda dalam Konstelasi Politik, Dulu, dan Kini” dengan narasumbernya yakni Prof. DR. Nina Herlina, M.S. yang merupakan salah satu guru besar ilmu sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, beliau menjelaskan mengenai sejarah singkat Kerajaan Sunda.


Gambar dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_SundaOvVaw3pWoVHggfAWZbJmiRElBI6&ust=1675950535200000&source=images&cd=vfe&ved=0CA8QjRxqFwoTCPj1nrSIhv0CFQAAAAAdAAAAABAEsantang/overview

Gambar di atas adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda yang biasa disebut dengan Tatar Sunda. Wilayah Tatar Sunda meliputi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagaian Jawa Tengah. Jika berbicara mengenai Kerajaan Sunda, maka tidak dapat dipisahkan dengan Kerajaan Galuh. Mengapa demikian? Karena dalam catatan sejarah mereka pernah bersatu dengan nama Kerajaan Sunda dengan pusat kekuasaan di Galuh. Menurut naskah Carita Parahyangan, menjelang Tarumanegara berakhir pada abad VII M, di wilayah kekuasaannya terdapat dua kerajaan yaitu Kerajaan Sunda di sebelah barat Sungai Citarum dan Kerajaan Galuh di sebelah timur Sungai Citarum. Menurut prasasti tersebut pendiri sekaligus penguasa pertamanya adalah Tarusbawa.


Dalam Carita Parahyangan, bahwa Sanjaya (putra dari Raja Senna di Galuh) ingin merebut tahta kekuasaan dari Rahyang Purbasora. Ia, juga menikahi dengan cucu dari Tarusbawa raja dari Kerajaan Sunda. Setelah Tarusbawa mangkat, tahta diserahkan kepada Sanjaya. Dan di masa itulah Sanjaya menggabungkan dua buah kerajaan besar di Tatar Sunda. Tak lama kemudian, Sanjaya pun mangkat dari kekuasaannya dan diserahkan kepada Rahyang Tamperan. Ketika Rahyang Tamperan mangkat tahta kerajaan ini dilanjutkan oleh Sang Manarah atau yang dikenal juga sebagai Ciung Wanara. Pada masa pemerintahan inilah Kerajaan Galuh menjadi kerajaan mandiri. Salah satu raja yang terkenal di Kerajaan Galuh ialah Niskala Wastukeencana yang sudah memerintah hampir 104 tahun.


Ketika Niskala Wastukencana wafat, tahta Kerajaan Galuh digantikan oleh Dewa Niskala selama 7 tahun. Kemudian, tahta Kerajaan Sunda dipegang oleh Sang Susuktunggal (saudara Dewa Niskala, namun beda ibu). Ketika Dewa Niskala meninggal, tahta Kerajaan Galuh diserahkan ke putranya yang bernama Sri Jayadewata. Nah, pada masa pemerintahan Sri Jayadewata inilah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh kembali bergabung, sebagai mana tertulis dalam prasasti batu tulis. Sri Jayadewata dinobatkan menjadi Sri Baduga Maharaja atau yang dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi, semenjak itulah Sri Jayadewata menjada Raja Sunda paling terkenal di Tatar Sunda.


Gambar dikutip dari

http://naskah-sunda.blogspot.com/2009/01/carita-parahyangan.html&ust=1675950535200000&source=images&cd=vfe&ved=0CA8QjRxqFwoTCPj1nrSIhv0CFQAAAAAdAAAAABAEsantang/overview


Kerajaan Sunda ini memiliki banyak sekali peninggalan berupa prasasti. Salah satu prasasti yang memliki catatan sejarah paling banyak tentang Kerajaan Sunda adalah naskah Carita Parahyangan. Pada naskah ini memuat 4 pokok bahasan yakni eksistensi Kerajaan Sunda, dinamisasi kerajaan, syarat pemimpin, dan ruh kepemimpinan: agama atau ajaran.


Gambar dikutip dari

https://bogor-kita.com/asal-mula-munculnya-nama-batutulis/


Kemudian terdapat prasasti Batutulis yang didirikan oleh Prabu Surawisesa pada 12 tahun setelah kematian Sri Baduga Maharaja. Berisi kehebatan dan kekuasaan yang telah dilakukan ayahnya seperti membangun hutan, parit, rancamaya, dan situ. Intinya, prasasti Batutulis ini berisi tentang penghargaan bagi ayahnya atas jasa-jasanya. Pada prasasti ini tertulis jelas bahwa Sri Baduga Maharaja meninggal pada tahun 1521dan diperabukan.


Gambar dikutip dari

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/munas/prasasti-sanghyang-tapak/


Selanjutnya, terdapat prasasti Sang Hyang Tapak. Prasasti ini dibuat pada tahun 1030M. Di dalam prasasti ini terdapat manggala atau seruan dan sapatha atau kutukan. Isi dari prasasti ini adalah seruan bagi seluruh bagi makhluk hidup dan gaib untuk tidak melewati batas-batas kabuyutan atau bisa disebut juga tempat-tempat yang dianggap sakral. Yang mana apabila dilanggar maka akan dibunuh oleh para dewata.

Kerajaan Sunda merupakan kerajaan besar dan kuat. Hal ini dibuktikan dari wilayah kekuasaannya yang sangat luas. Dari wilayah yang luas itu Kerajaan Sunda ini memiliki dua karakter, yaitu kerajaan pedalaman yang berkarakter agraris dan kerajaan maritim yang berkarakter niaga. Letak ibukota Kerajaan Sunda yang selalu berpindah-pindah tempat juga memengaruhi karakter dari kerajaan ini. Hal ini dibuktikan pada kerajaan pedalamaan yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Kemudian, didapati catatan asing dari seorang penjelajah yakni Tone Pires. Beliau menyatakan bahwa Kerajaan Sunda ini kaya akan komoditas dagang, yang dibuktikan melalui pelabuhannya yang tersebar di seluruh wilayah Jawa. Komoditas perdagangan yang biasa dijual seperti lada, tarum, dan kain yang dijual hingga ke mancanegara.


Berkaitan dengan sistem politiknya, ketika mendengar Kerajaan Sunda tentunya kerajaan ini memiliki catatan sejarah tersendiri yang dampaknya masih dirasakan sampai saat ini. Bermula dari Perang Bubat yang didasari keinginan Raja Hayam Wuruk untuk mempersunting Dyah Pitaloka putri dari Prabu Maharaja Linggabuana. Untuk maksud itu Prabu Linggabuana, Dyah Pitaloka, dan para pembesar lainnya pergi ke Kerajaan Majapahit. Namun, saat dalam perjalanan dari Galuh ke Kerajaan Majapahit mereka dicegat oleh Gajah Mada. Mengapa Gajah Mada melakukan hal tersebut? Karena, keinginan pemenuhan ambisi Gajah Mada yang ingin mewujudkan sumpah palapanya untuk menjadikan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan terhebat di Pulau Jawa. Dampak dari Perang Bubat ini adalah pelarangan melakukan pernikahan antara perempuan Sunda dan laki-laki Jawa. Selain itu, tidak ada nama jalan ataupun Gedung di Jawa Barat yang menggunakan nama Hayam Wuruk, Gajah Mada, ataupun Majapahit.


Pada tahun 1511, Malaka yang pada saat itu telah dikuasai oleh Portugis memberikan dampak positif dan juga negatif. Dampak positifnya adalah pelabuhan di pantai utara Kerajaan Sunda menjadi ramai disinggahi, sedangkan dampak negatifnya adalah agama Islam mulai masuk ke wilayah Tatar Sunda. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, Kerajaan Sunda menandatangani perjanjian politik dengan Portugis pada tanggal 21 Agustus 1522. Perjanjian ini berisi bahwa Portugis akan melindungi Kerajaan Sunda dari serangan Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten yang bercorak Islam. Kemudian, Portugis akan mendapatkan keuntungan berupa memperoleh lada sebanyak-banyaknya serta bebas mendirikan benteng pertahanan di Sunda Kelapa.


Namun, sayangnya perjanjian itu tidak dapat terlaksana dengan baik. Kekuatan pasukan Kerajaaan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah mampu menggagalkan perjanjian itu. Walaupun perjanjian antara Portugis dan Kerajaan Sunda gagal dan Kerajaan Sunda sendiri terus mendapat serangan dari Kerajaan Demak dan Cirebon, pada akhirnya di tahun 1579 Kerajaan Sunda runtuh setelah diserang oleh Kerajaan Banten.


Daftar Pustaka:

Maulana, Arief. 2021. “Mengungkap Fakta Lain di Balik Kerajaan Sunda”, https://www.unpad.ac.id/2021/03/mengungkap-fakta-lain-di-balik-kerajaan-sunda/, diakses pada 08 Februari 2023 pukul 21.33.


Heryana, A. (2014). Heryana 2014_Sundanese_Jejak kepemimpinan-orang-sunda-pemaknaan. 6(1580), 163–178.


Tinjauan, P., & Panopticon, T. (2022). PRASASTI-PRASASTI KERAJAAN SUNDA DI WILAYAH INSCRIPTIONS OF KINGDOM OF SUNDA IN PERIPHERY AREA : 8(1).


Z. Muhsin, M. (2007). MASYARAKAT TATAR SUNDA.


Satu Jam Berbincang Ilmu – SaJaBI. 2021. “SAJABI ep.22 – Kerajaan Sunda dalam Konstelasi Politik, Dulu dan Kini”, https://www.youtube.com/live/X3o7UgnLoCY?feature=share, diakses pada 29 Januari 2023 pukul 21.44. 



Baca selengkapnya »