oleh: Ade Hapsasty Ariani, Desi Ananda Putri, Muhammad Faizal Alfitra, Muhammad Hazel Ibnu Wimala, Nazwa Putri Aulia
Salakanagara
keberadaannya cukup misterius karena sumber sejarah dan bukti arkeologinya
tidak ditemukan. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda,
Salakanagara diyakini sebagian masyarakat merupakan kerajaan tertua dan pertama
di nusantara. Bila dilihat dari dugaan waktu berdirinya, Salakanagara yang
sudah eksis sejak abad ke-2 M, jelas lebih tua ketimbang Kutai yang baru muncul
pada abad ke 4 M[1].
Walau begitu, kerajaan ini cukup misterius karena terbatasnya sumber sejarah.
Munculnya nama Salakanagara berdasarkan adanya bukti beberapa arca dan naskah
Wangsakerta, sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Kuno yang berasal dari
Cirebon.
Selain itu, Claudius
Ptolemaeus melalui bukunya yang dipublikasikan sekitar tahun 150 “Geographia” menggambarkan
adanya kawasan yang berada sangat jauh timur dari Yunani. Dirinya menyebut
kawasan itu sebagai Argyre, atau negeri besi. Dalam buku itu, Argyre tidak jauh
dari semenanjung Malaya dan kawasan yang bernama Barus di Sumatera. Banyak dari
para sejarawan mencari tahu keberadaan negeri yang dimaksud, dan menemukan
kerajaan tertua di nusantara: Salakanagara. Ahmad Darsa, peneliti peninggalan
kuno dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Undang menulis makalah
Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan tahun 2014, “Ptolemeus
bisa jadi sempat mengunjungi Salakanagara,” tulisnya di Balai Pengelolaan
Museum Negeri Sri Baduga yang dimuat “National Geographic”.
Namun, setelah kami riset lagi,
banyak sumber yang menanggapi keberadaan Kerajaan Salakanagara. Salakanagara
keberadaannya cukup misterius karena sumber sejarah dan bukti arkeologinya
tidak ditemukan. Dibandingkan dengan Tarumanagara, kerajaan ini tidak
meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan lokal yang berwujud seperti
prasasti atau reruntuhan candi. Sumber sejarah utamanya adalah Naskah
Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Menurut naskah tersebut,
Kerajaan Salakanagara diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara yang
berdiri antara 130-362 M, sebelum Kerajaan Kutai (400-1635 M).
Namun, karena minimnya bukti keberadaan
Salakanagara, Kerajaan Kutai lebih dikenal sebagai kerajaan pertama di
nusantara. Menurut Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara,
sejarah berdirinya Kerajaan Salakanagara bermula ketika seorang pedagang dari
India yang bernama Dewawarman menetap di Jawa, lebih tepatnya di Teluk Lada,
Pandeglang. Suatu hari, kampung Aki Tirem sedang dijarah oleh sekelompok
perampok. Di saat yang bersamaan, Dewawarman bersama pengikutnya datang.
Mengetahui kekacauan itu, dia lantas membantu Aki Tirem untuk mengusir
perampok. Atas jasanya itu, Dewawarman akhirnya dinikahkan dengan putri Aki
Tirem. Dewawarman lantas menetap di kampung Aki Tirem. Sepeninggal Aki Tirem,
Dewawarman menjadi pemimpin di daerah itu. Dia kemudian menobatkan diri menjadi
raja. Adapun gelar Dewawarman adalah Dharmolokapala Dewawarman Hajin
Raksagapurasagara.[2]
Namun, pada beberapa sumber ada
juga yang mengatakan bahwa Salakanagara terletak di Jawa Barat. Berikut sumber
lebih jelasnya. Kerajaan Salakanagara oleh sejumlah referensi disebutkan berada
di bagian barat pulau Jawa atau Sunda alias Jawa Barat saat ini. Pendirinya
adalah Dewawarman I bergelar Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara yang
memerintah pada 130 hingga 168 Masehi. Pada 150 Masehi, seorang ilmuwan Yunani
bernama Claudius Ptolemaeus pernah menulis buku berjudul Geographia. Ia
menggambarkan ada sebuah pulau bernama Labodio yang diduga adalah Yawadwipa
(Jawa). Di sana, terdapat Kerajaan Argyre yang dalam bahasa Yunani berarti
“perak”. Menurut Edi Suhardi Ekajati dalam Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran
(2005:55), saat Ptolemaeus menulis bukunya, Salakanagara sudah berdiri di Jawa
Barat. Sejalan dengan arti bahasa Yunani, salaka ternyata dalam bahasa Sunda
juga bermakna “perak”, sedangkan nagara berarti "negara" atau
"pemerintahan".
Selama ini,
Kutai Martadipura yang berdiri pada abad ke-4 M di Kalimantan Timur diklaim
sebagai kerajaan tertua nusantara. Akan tetapi, Salakanagara ternyata lebih
dahulu muncul di abad ke-2 M. Kendati begitu, klaim tersebut dirasa belum kuat
karena sumber sejarah Salakanagara sebagai kerajaan paling awal di nusantara
hingga masih dianggap kurang memuaskan. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain
yang meninggalkan prasasti, Salakanagara hanya dapat dilacak melalui catatan perjalanan
dari Cina dan naskah Wangsakerta. Kala itu, Kerajaan Salakanagara dituliskan
sudah sudah memiliki hubungan dagang yang baik dengan Dinasti Han dari
Kekaisaran Cina. Bahkan, Salakanagara disebut-sebut pernah mengirim utusan ke
Tiongkok pada abad ke-3 Masehi.[3]
Ternyata, banyak juga yang bilang
kalau Kerajaan Salakanagara ini termasuk kerajaan tertua di nusantara. Selain
itu, penelusuran sejarah Salakanagara juga didapat dari Naskah Wangsakerta,
tepatnya di Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara (Ayatrohaedi, Sundakala:
Trailer Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah Panitia Wangsakerta Cirebon, 2005:
61).
Masalahnya, naskah Wangsakerta
sendiri masih kontroversial. Naskah yang digarap oleh semacam panitia
penelitian dari Kesultanan Cirebon ini konon telah disusun selama 21 tahun dan
selesai pada tahun 1698. Meski penemuan naskah ini sangat diapresiasi karena
kelengkapannya yang lengkap, namun tidak sedikit sejarawan yang meragukan
keasliannya.[4]
Lokasi yang diyakini sebagai pusat Kerajaan Salakanagara
juga masih belum pasti. Setidaknya, ada tiga versi terkait taksiran yang
dilakukan pemerintahan Salakanagara, yakni di Pandeglang (Banten), Condet
(Jakarta), atau di lereng Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat.
Nah, setelah ditemukan Kerajaan Salakanagara di Pandeglang,
Banten, Jawa Barat. Mereka mulai berdiskusi bahwa Kerajaan Salakanagara runtuh
pada pertengahan abad ke-4 M, dengan munculnya dan penguatan pemerintahan baru
yang disebut Tarumanegara. Meski hanya bertahan dua abad, garis keturunan
penguasa Salakanagara diyakini telah melahirkan raja-raja di berbagai kerajaan
besar di Nusantara, antara lain Pajajaran, Sriwijaya, dan Majapahit.[5]
[2]
Dikutip dari kompas.com pada tanggal 8 Februari 2023 pukul 08.10 WIB
[3] Dikutip dari berita tirto.id pada
tanggal 8 Februari 2023 pukul 19.39 WIB
[5] Dikutip
dari news.schmu.id pada tanggal 8 Februari 2023 pukul 21.26 WIB