Fenomena Seksisme dan Standar Ganda Gender dari Pandangan Generasi Z di Jakarta Selatan (Studi Kasus: Analisis Pengaruh Konten Seksisme di Media Sosial Instagram Tahun 2020-2021) Bagian I

                         Sumber: theconversation.com


Oleh: Aamira Dihyani Santosa dan Muhammad Rafi Aurelian Rizkyansyah


ABSTRAK

Pada era digital ini, Generasi Z menjadi generasi muda yang sudah familier terhadap teknologi digital. Generasi Z adalah generasi yang suka bereksplorasi dan peka terhadap hal baru, terlebih lagi yang berkaitan dengan media sosial. Media sosial menyajikan pelbagai informasi dari berbagai penjuru dunia secara cepat dan mudah diakses oleh siapa saja dan di mana saja. Di sisi lain, karena tidak adanya filtrasi, media sosial menyajikan konten-konten sebagaimana apa adanya, sehingga terdapat konten yang bersifat positif maupun bersifat negatif. Salah satu bentuk konten negatif yang ada di media  sosial adalah konten seksisme.

 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akar proses terbentuknya konsep pemikiran seksisme dan standar ganda pada kalangan Generasi Z, menganalisis dampak dan pengaruh konten seksis di media sosial Instagram terhadap pemikiran, psikis, dan perilaku Generasi Z, serta mengidentifikasikan konsep standar ganda gender dan seksisme yang berkembang dan diimplementasikan di media sosial Instagram. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka,  wawancara mendalam, dan FGD. Hasil penelitian menunjukan bahwa media sosial instagram memberikan pengaruh terhadap penggunanya (efek dari konten-konten yang dikonsumsi) meliputi aspek kognitif, afektif, dan konatif. Fenomena seksisme dan standar ganda di instagram dapat dilihat dari interaksi antara pembuat konten (komunikator) dan khalayak (komunikan), di mana Generasi Z dapat terlibat.

 

Konten berunsur seksisme dan standar ganda gender dapat memberikan pengaruh dan bentuk pengaruhnya bervariasi, dalam penelitian ini dilihat dari sudut pandang korban, pelaku, dan Generasi Z sebagai khalayak yang mengamati konten tersebut. Pengaruh ini meliputi pola pikir, mental, hingga sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari mereka.

 

Kata kunci: Standar Ganda, Seksisme, Gen Z, Instagram

 

BAB 1. PENDAHULUAN

 

1.1 LATAR BELAKANG

 

Pada era digital ini, kita sudah dapat menggunakan teknologi berbasis internet secara bebas. Khususnya untuk para generasi Z atau biasanya dikenal dengan Gen Z, di mana mereka merupakan salah satu generasi muda yang sudah jauh mengerti dan memahami teknologi digital dalam kehidupan kiwari. Orang-orang yang termasuk ke dalam generasi ini adalah mereka yang lahir di tahun 1995 sampai dengan 2010.

 

Generasi ini lahir diiringi dengan revolusi digital, kecepatan internet, jaringan sosial, dan sistem seluler. Ditambah dengan adanya media sosial dapat menghubungkan antar individu dengan mudah dalam mana menjadi platform berkomunikasi dan membagi informasi. Menurut buku Media Sosial (2016;13), Rulli Nasrullah M.Si. menerangkan bahwa media sosial adalah suatu medium di internet yang memungkinkan penggunanya untuk mempresentasikan pribadinya maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lainnya, serta membentuk ikatan sosial secara virtual. Dalam survei GlobalWebIndex (GWI), tiap generasi memiliki media sosial yang paling digemari. Instagram menjadi aplikasi favorit generasi Z (16-23 tahun) sebab 24% responden mengaku menyukai media sosial itu.

 

Gambar 1: Grafik Pilihan Media Sosial Berdasarkan Asal Generasi


                   (Sumber: GlobalWebIndex, 2021)


Media sosial memiliki cara kerja algoritma digital tersendiri yang menampilkan berbagai macam informasi dengan akses yang mudah. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kegagapan dan ketidakcakapan dalam menyikapi dan memfilterisasi informasi. Lebih jauh lagi, akibat dari ketidakcakapan mendeteksi arus informasi, dapat menimbulkan kejahatan siber (cybercrime) diantaranya adalah adanya hoax, penipuan, pencurian data pribadi. Bahkan dapat menimbulkan kekerasan verbal dan simbolik terhadap perempuan, dengan objektifikasi seksualitas perempuan yang mereduksi kaum perempuan menjadi pasif dan terjebak dalam objektifikasi gender (hasrat, tubuh, eksploitasi).

 

Zaman kini, diskriminasi gender menjadi persoalan yang marak sebagai bentuk ketidakadilan gender dan ketimpangan gender. Berbagai macam fenomena wujud perilaku seksisme berseliweran di kanal media sosial ditambah dengan adanya konsep standar ganda gender di kalangan masyarakat adalah bukti dari hadirnya diskriminasi gender.

 

Standar ganda merupakan salah satu bahasan gender mengenai ketidaksetaraan dan diskriminasi gender. Menurut Zeikman (2016), standar ganda artinya memberikan penilaian dan sikap yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan berdasarkan struktur sosial yang telah diberikan oleh suatu masyarakat pada gender seseorang. Sedangkan, definisi seksisme sendiri menurut kamus Merriam-Webster, diartikan sebagai prasangka atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamin; perilaku, kondisi, atau sikap yang menumbuhkan stereotip peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin juga tidak terlepas dari peran budaya patriarki pada masyarakat. Patriarki diartikan sebagai hubungan sosial kekuasaan atau ideologi yang menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi dari perempuan.

 

Sistem ini ada untuk mempertahankan kelas, gender, ras, hak istimewa, heteroseksual, dan status quo kekuasaan yang bergantung pada bentuk penindasan seperti kekerasan dalam bentuk halus untuk melanggengkan ketimpangan. oleh sebab itu terdapat nilai-nilai maskulinitas yang dianggap sebagai simbol kekuasaan.

 

Dalam perkembangannya saat ini, standar ganda dan seksisme dapat diimplementasikan ke pelbagai bentuk termasuk dalam bentuk konten di media sosial. Seperti contoh kasusnya, banyak terjadi konflik antar-gender, body shaming, adanya stereotip buruk pada suatu gender, seksisme yang terselubung dalam humor, dan sebagainya. Berdasarkan data yang diperoleh melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sejak Januari hingga Juli 2020 terjadi peningkatan kekerasan pada anak yang didominasi oleh kekerasan seksual, angkanya mencapai 2.556 kasus (Mashabi, 2020).

 

Sementara itu, konsultan Isu Gender, Tunggal Pawestri, menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender telah meningkat 63%. Demikian juga kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) naik hampir 300% (Tanjung, 2021). Data ini juga didukung oleh Dokumen Rilis Pers SAFEnet 2021, yang menyebutkan pada masa pandemi COVID-19, angka KBGO mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat.

 

Masalah-masalah ini tidak bisa kita anggap ringan dan abai. Selain itu, yang paling fundamental adalah korban yang mengalami dan merasakan dari perilaku seksisme dan standar ganda di media sosial (instagram) yang dapat menyebabkan kondisi korban menjadi stres, mengganggu kesehatan mental, dan dapat berujung pada depresi. Terdapat beragam bentuk kasus seksisme di Instagram. Contohnya, yang sering kita dapati adalah konten dan komentar-komentar berbau seksis yang ditujukan pada kaum perempuan seperti, "Ada yang menonjol tapi bukan bakat", maupun yang merujuk pada kaum laki-laki seperti, "Ada yang tegak, tapi bukan keadilan", serta bermacam-macam pemikiran dan perilaku seksis lainnya di ranah Instagram.

 

Akun-akun seperti @indonesiafeminis, @perempuanfeminis, @antivictimblamings, dan akun feminis lainnya, sering mengunggah potret perilaku-perilaku seksis masyarakat Indonesia di ranah media sosial Instagram, tujuannya sebagai media informasi, sosialisasi, edukasi, sebagai upaya untuk ruang diskursus mengenai kekerasan dan ketidakadilan gender. Masyarakat khususnya Generasi Z, seringkali terpapar konten-konten bermuatan seksisme dan dapat menimbulkan ketidaktahuan mereka dengan konsep standar ganda gender ataupun seksisme yang tersebar pada media sosial khususnya Instagram. Banyak diantara generasi Z yang masih asing dengan kata ‘standar ganda’ maupun ‘seksisme’, terlebih lagi mereka tidak berusaha untuk mengedukasi diri mengenai fenomena sosial yang telah berlangsung.

 

Dari keterangan di atas, dapat kita ketahui bahwasanya, seksisme dan pemikiran standar ganda merupakan pokok permasalahan utama dan menjadi penghambat dalam menciptakan lingkungan masyarakat harmonis, adil, dan bersahabat bagi perempuan dan laki-laki serta pemahaman yang baik bagi generasi Z dalam lingkungan sosial mereka. Oleh karena itu, dalam rangka memulihkan pemikiran dan karakter perilaku seksis dari Generasi Z di Indonesia, perlu sekiranya diadakan penelitian dengan judul “Fenomena Seksisme dan Standar Ganda Gender dari Pandangan Generasi Z (Studi Kasus: Analisis Pengaruh Konten Seksis di Media Sosial Instagram)”.

 

1.2 RUMUSAN MASALAH  


Berdasarkan latar belakang sebelumnya, adapun perumusan masalah dan pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:

 

1. Bagaimana proses terbentuknya konsep pemikiran seksisme dan standar ganda pada kalangan generasi Z? (Studi pustaka) - tinjauan pustaka


2. Bagaimana konten seksis dapat mempengaruhi dan berdampak terhadap kondisi perkembangan pemikiran, psikis, dan perilaku Generasi Z? (Wawancara dan fgd) bab 4


3.   Bagaimana konsep standar ganda gender dan seksisme berkembang dan diimplementasikan di media sosial Instagram? (observasi dari Data screenshoot, di instagram) bab 4

 

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa hal sebagai berikut:

 

1. Untuk mengetahui akar proses terbentuknya konsep pemikiran seksisme dan standar ganda pada kalangan generasi Z

 

2. Untuk menganalisis dampak dan pengaruh konten seksis di media sosial Instagram terhadap pemikiran, psikis, dan perilaku Generasi Z.

 

3. Untuk mengidentifikasikan konsep standar ganda gender dan seksisme yang berkembang dan diimplementasikan di media sosial Instagram.

 

1.4 MANFAAT PENELITIAN


Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun penelitian manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

 

1.      Manfaat teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

 

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan teori atau konsep mengenai gender, khususnya pemahaman terhadap seksisme dan standar ganda gender.


b. Memberikan sumbangan kajian empiris dalam bidang ilmu psikologi sosial yang berkaitan dengan seksisme dan standar ganda dengan pengaruhnya terhadap penggunaan media sosial oleh Generasi Z

 

c. Sebagai referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan dampak fenomena seksisme dan standar ganda yang terjadi pada lingkungan sosial Generasi Z serta menjadi bahan  kajian lebih lanjut.

 

2.      Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut:

 

a.       Bagi penulis

Dapat menambah wawasan tentang bagaimana dampak seksisme dan standar ganda bagi masyarakat Indonesia dan sudah seberapa jauh dampaknya berlangsung.

 

b.     Bagi masyarakat khususnya Generasi Z

Bagi anak didik khususnya yang termasuk generasi Z sebagai subyek penelitian, diharapkan dapat memperoleh wawasan dan pemahaman yang baik terhadap seksisme dan standar ganda yang terjadi di lingkungan sosialnya dan cara menyikapinya.

 

c.       Bagi masyarakat umum

Masyarakat akan mendapatkan wawasan yang tepat dan proporsional mengenai konsep gender sehingga akan lebih bijak menyikapi persoalan gender yang ada di masyarakat, dan dapat berkontribusi menciptakan lingkungan yang baik sebagai wadah tumbuh kembang generasi Z.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1 Konsep Gender, Standar Ganda, dan Seksisme Modern


Pada penelitian ini, kami melibatkan permasalahan pada aspek gender. Menurut Arbain dkk. (2015), gender merupakan konsep untuk mengidentifikasi perbedaan perempuan dan laki-laki dari sudut non-biologis seperti aspek sosial, budaya, psikologis. Identitas gender adalah definisi perempuan atau laki -laki yang berinteraksi secara kompleks dengan kondisi perilaku dari proses sosialisasinya (Susanti, 2018).

 

Kekerasan dan diskriminasi berbasis gender yang hingga kini mengakar di masyarakat dan terjadi di berbagai belahan dunia dengan berbagai penyebab, diantaranya adalah peran budaya patriarki yang sulit dihilangkan. hal ini dapat dikatakan selalu menjadi faktor utama yang melanggengkan terjadinya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

 

Menurut Alfian Rokhmansyah (2013) di bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat, yang artinya struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat dapat menjadi penyebab adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia. Ini menyebabkan perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Adanya standar dan pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki mengakibatkan perempuan menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi.

 

Singkatnya, patriarki merupakan sistem sosial di mana posisi laki-laki memegang kekuasaan utama serta mendominasi dalam berbagai bidang. Ini merupakan ideologi kekuatan dan hak istimewa maskulin dan dinyatakan secara simbolis dan material. Keyakinan akan patriarki laki-laki dan devaluasi pada perempuan serta anak perempuan ini kemudian mengarah kepada kekerasan berbasis gender. Dengan demikian, dapat dinyatakan patriarki adalah kekuatan struktural yang mempengaruhi hubungan pada kekuasaan yang dimiliki.

 

Hal ini sejalan dengan teori diskursus Michel Foucault (2012) dalam bukunya Arkeologi Pengetahuan. Ia memberikan suatu pemahaman baru mengenai gugus-gugus diskursif yang berkenaan dengan proses pembentukan dan penyebaran gugus-gugus diskursif dalam mengkonstruksi keteraturan apriori pada suatu zaman.

 

Ia menekankan bahwa proses pembentukan dan penyebaran gugus-gugus diskursif tidak terbebas dari adanya limitasi, seleksi dan kontrol. Foucault mengakui bahwa ada sekian banyak kekuatan dan kuasa yang menyebar luas dalam relasi antar manusia. Kekuatan-kekuatan ini ditemukan dalam berbagai aspek relasi antar manusia, misalnya relasi antar manusia dengan manusia lain dan juga relasi manusia dengan lingkungan dan situasi mereka, dan lain-lain.


2.2 Standar Ganda Gender


Menurut Kendall (2016) menjelaskan bahwa konsep standar ganda gender berbeda dengan seksisme yang umumnya menjadikan perempuan sebagai korban. Dalam standar ganda dan gender bias laki-laki dan perempuan dapat menjadi korban yang dirugikan, karena pada dasarnya baik laki-laki atau perempuan diberikan penilaian dan perlakuan berbeda hanya berdasarkan gender mereka semata tanpa memperdulikan dan memperhatikan hal-hal lain. Penyebab adanya standar ganda gender berawal dari konsep maskulinitas suatu kelompok masyarakat.

 

Sifat kelelakian berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Maskulinitas itu sendiri dikonstruksi oleh kebudayaan. Aspek kebudayaan mempengaruhi adanya konsep maskulinitas di budaya Timur salah satunya di Indonesia. Pelbagai norma, kewajiban, dan setumpuk harapan keluarga telah dibebankan kepada anak laki-laki saat mereka lahir ke dunia. terhadapnya. Berbagai aturan dan atribut budaya telah diterima melalui berbagai media yaitu ritual adat, teks agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan televisi, buku bacaan, petuah, dan filosofi hidup. Pelbagai hal remeh yang dianggap tak penting terjadi setiap harinya selama berpuluh tahun, berasal dari norma dan nilai suatu budaya telah membentuk suatu penggambaran diri dalam kehidupan seorang laki-laki. Situasi ini dapat dipandang dari cara berpakaian, berpenampilan, bentuk kegiatan, cara bergaul dalam lingkungan sosial, cara penyelesaian suatu permasalahan, cara berekspresi verbal maupun non verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang digunakan (Vigorito & Curry, 1998: 1).


2.3 Seksisme Modern


Penelitian ini memiliki garis yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Swim dan kolega pada tahun 1995. Seksisme merupakan bentuk dari diskriminasi berdasarkan gender dan ketidaksetaraan gender (Macklem, 2003). Sedangkan seksualisasi perempuan di media massa merupakan salah satu bentuk perilaku seksis di masyarakat (A. Zimmerman & Dahlberg, 2008).

 

Seksisme modern didefinisikan sebagai kepercayaan individu yang mencerminkan evaluasi negatif berdasarkan jenis kelamin mereka atau mendukung status yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki (Swim dkk. 1995). Konsep seksisme modern oleh Swim dan kolega (1995) adalah konsep seksisme yang lebih relevan dengan perwujudan yang ada pada saat ini, di mana seksisme modern dapat mengungkapkan bentuk seksisme tersembunyi dan halus yang terjadi di dalam masyarakat.

 

2.4 Generasi Z


Akar pemahaman dalam pengklasifikasian generasi adalah adanya tumpuan bahwa generasi merupakan sekelompok individu yang dipengaruhi oleh kejadian, peristiwa bersejarah, dan fenomena budaya yang terjadi dan dirasakan dalam kehidupan mereka (Nobel & Schewe, 2003; Twenge, 2000), dan kejadian maupun fenomena tersebut menyebabkan terwujudnya ingatan secara kolektif yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (Dencker dkk. 2008). Peristiwa bersejarah, sosial, dan efek budaya bersama dengan pengaruh lainnya akan berdampak terhadap terwujudnya perilaku individu, nilai, dan kepribadian (Caspi & Roberts, 2001; Caspi dkk. 2005).

Subjek penelitian ini berfokus pada generasi Z. Prensky (2001) mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi digital natives. Generasi ini begitu melekat dengan penggunaan teknologi layaknya komputer dan internet, hal tersebut seperti sudah mengalir dalam diri mereka sejak mereka lahir. Generasi ini memiliki karakteristik ingin selalu terhubung dengan internet setiap saat, membuat konten dan membagikannya kepada orang lain dan menjadi sangat aktif di media sosial.

 

2.5 Media Sosial dan Instagram


Media sosial atau dapat disebut jejaring sosial adalah bagian dari media baru. Media sosial secara umum didefinisikan sebagai segala jenis media yang hanya bisa diakses melalui internet dan berisikan teks, foto, video, dan suara (Angelina, 2016). Instagram adalah sebuah aplikasi khusus untuk berbagi foto dengan kegunaannya untuk mengunggah foto (upload), mengambil foto (download), mendesain foto, menggunakan filter digital foto (efek foto), memberi/menambahkan komentar pada foto, memberi judul foto, menambahkan lokasi foto, memberi tanda like pada foto, dan membagikan foto ke media sosial lainnya (Instagram Handbook, 2012:8).

 

2.6 Komunikasi dan Respon


Antara Generasi Z dan media sosial, terdapat hubungan yang cenderung bersifat mempengaruhi dari penggunaan media sosial dalam kehidupan Generasi Z. Pernyataan ini sejalan dengan teori komunikasi menurut Harold Lasswell (1948). Lasswell mendefinisikan bahwa komunikasi merupakan satu arah yang berguna untuk menjawab suatu pertanyaan, Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect (Siapa mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa dengan efek apa).

 

Dari pemahaman tersebut dapat diturunkan dan dikelompokan menjadi lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain yaitu source (komunikator), message (pesan), channel (media), receiver (komunikan) dan effect (efek) (Mulyana, 2014:67-71). Teori ini ditujukan untuk mempengaruhi khalayak targetnya dalam melakukan proses komunikasi dari pesan yang dibawakan. Oleh karena itu, diharapkan terdapat beberapa efek tertentu yang berkontribusi dalam komunikasi massa (Ruslan, 2016:101). Efek dari pesan yang akan disampaikan pada komunikan bermacam-macam, diantaranya adalah efek kognitif berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan yang berhubungan dengan 2 persepsi. Efek afektif berkaitan pada perasaan senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Sedangkan efek konatif berhubungan dengan tindakan terhadap objek sikap (Wawan & Dewi, 2010:32-33).

 

Selanjutnya, menurut Jalaluddin Rakhmat dalam buku berjudul Psikologi Komunikasi, respon terbagi menjadi tiga macam yaitu kognitif, respon yang timbul setelah adanya pemahaman terhadap sesuatu yang terkait dengan informasi atau pengetahuan. Terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, atau dipersepsi oleh khalayak. Afektif, yaitu respon yang timbul karena adanya perubahan perasaan terhadap sesuatu yang terkait dengan emosi. sikap dan nilai.


Timbul bila adanya perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci oleh khalayak. Konatif, yaitu respon yang berupa tindakan, kegiatan atau kebiasaan yang terkait dengan perilaku nyata. Merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berperilaku.

Fenomena Seksisme dan Standar Ganda Gender dari Pandangan Generasi Z di Jakarta Selatan (Studi Kasus: Analisis Pengaruh Konten Seksisme di Media Sosial Instagram Tahun 2020-2021) Bagian I