Oleh: Aamira Dihyani Santosa dan Muhammad Rafi Aurelian Rizkyansyah
ABSTRAK
Pada
era digital ini, Generasi Z menjadi generasi muda yang sudah familier terhadap
teknologi digital. Generasi Z adalah generasi yang suka bereksplorasi dan peka
terhadap hal baru, terlebih lagi yang berkaitan dengan media sosial. Media
sosial menyajikan pelbagai informasi dari berbagai penjuru dunia secara cepat
dan mudah diakses oleh siapa saja dan di mana saja. Di sisi lain, karena tidak
adanya filtrasi, media sosial menyajikan konten-konten sebagaimana apa adanya,
sehingga terdapat konten yang bersifat positif maupun bersifat negatif. Salah
satu bentuk konten negatif yang ada di media sosial adalah konten seksisme.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui akar proses terbentuknya konsep pemikiran
seksisme dan standar ganda pada kalangan Generasi Z, menganalisis dampak dan
pengaruh konten seksis di media sosial Instagram terhadap pemikiran, psikis,
dan perilaku Generasi Z, serta mengidentifikasikan konsep standar ganda gender
dan seksisme yang berkembang dan diimplementasikan di media sosial Instagram.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka, wawancara mendalam, dan FGD. Hasil penelitian
menunjukan bahwa media sosial instagram memberikan pengaruh terhadap
penggunanya (efek dari konten-konten yang dikonsumsi) meliputi aspek kognitif,
afektif, dan konatif. Fenomena seksisme dan standar ganda di instagram dapat
dilihat dari interaksi antara pembuat konten (komunikator) dan khalayak
(komunikan), di mana Generasi Z dapat terlibat.
Konten
berunsur seksisme dan standar ganda gender dapat memberikan pengaruh dan bentuk
pengaruhnya bervariasi, dalam penelitian ini dilihat dari sudut pandang korban,
pelaku, dan Generasi Z sebagai khalayak yang mengamati konten tersebut.
Pengaruh ini meliputi pola pikir, mental, hingga sikap dan perilaku dalam
kehidupan sehari-hari mereka.
Kata
kunci: Standar Ganda, Seksisme, Gen Z, Instagram
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pada
era digital ini, kita sudah dapat menggunakan teknologi berbasis internet
secara bebas. Khususnya untuk para generasi Z atau biasanya dikenal dengan Gen
Z, di mana mereka merupakan salah satu generasi muda yang sudah jauh mengerti
dan memahami teknologi digital dalam kehidupan kiwari. Orang-orang yang
termasuk ke dalam generasi ini adalah mereka yang lahir di tahun 1995 sampai
dengan 2010.
Generasi
ini lahir diiringi dengan revolusi digital, kecepatan internet, jaringan
sosial, dan sistem seluler. Ditambah dengan adanya media sosial dapat
menghubungkan antar individu dengan mudah dalam mana menjadi platform
berkomunikasi dan membagi informasi. Menurut buku Media Sosial (2016;13), Rulli
Nasrullah M.Si. menerangkan bahwa media sosial adalah suatu medium di internet
yang memungkinkan penggunanya untuk mempresentasikan pribadinya maupun
berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lainnya,
serta membentuk ikatan sosial secara virtual. Dalam survei GlobalWebIndex
(GWI), tiap generasi memiliki media sosial yang paling digemari. Instagram
menjadi aplikasi favorit generasi Z (16-23 tahun) sebab 24% responden mengaku
menyukai media sosial itu.
Gambar 1: Grafik Pilihan Media Sosial Berdasarkan Asal Generasi
(Sumber: GlobalWebIndex, 2021)
Media
sosial memiliki cara kerja algoritma digital tersendiri yang menampilkan
berbagai macam informasi dengan akses yang mudah. Hal ini dapat mengakibatkan
timbulnya kegagapan dan ketidakcakapan dalam menyikapi dan memfilterisasi
informasi. Lebih jauh lagi, akibat dari ketidakcakapan mendeteksi arus
informasi, dapat menimbulkan kejahatan siber (cybercrime) diantaranya adalah
adanya hoax, penipuan, pencurian data pribadi. Bahkan dapat menimbulkan
kekerasan verbal dan simbolik terhadap perempuan, dengan objektifikasi
seksualitas perempuan yang mereduksi kaum perempuan menjadi pasif dan terjebak
dalam objektifikasi gender (hasrat, tubuh, eksploitasi).
Zaman
kini, diskriminasi gender menjadi persoalan yang marak sebagai bentuk
ketidakadilan gender dan ketimpangan gender. Berbagai macam fenomena wujud
perilaku seksisme berseliweran di kanal media sosial ditambah dengan adanya
konsep standar ganda gender di kalangan masyarakat adalah bukti dari hadirnya
diskriminasi gender.
Standar
ganda merupakan salah satu bahasan gender mengenai ketidaksetaraan dan
diskriminasi gender. Menurut Zeikman (2016), standar ganda artinya memberikan
penilaian dan sikap yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan berdasarkan
struktur sosial yang telah diberikan oleh suatu masyarakat pada gender
seseorang. Sedangkan, definisi seksisme sendiri menurut kamus Merriam-Webster,
diartikan sebagai prasangka atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamin;
perilaku, kondisi, atau sikap yang menumbuhkan stereotip peran sosial
berdasarkan jenis kelamin. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin juga tidak
terlepas dari peran budaya patriarki pada masyarakat. Patriarki diartikan
sebagai hubungan sosial kekuasaan atau ideologi yang menempatkan laki-laki
dalam posisi yang lebih tinggi dari perempuan.
Sistem
ini ada untuk mempertahankan kelas, gender, ras, hak istimewa, heteroseksual,
dan status quo kekuasaan yang bergantung pada bentuk penindasan seperti
kekerasan dalam bentuk halus untuk melanggengkan ketimpangan. oleh sebab itu
terdapat nilai-nilai maskulinitas yang dianggap sebagai simbol kekuasaan.
Dalam
perkembangannya saat ini, standar ganda dan seksisme dapat diimplementasikan ke
pelbagai bentuk termasuk dalam bentuk konten di media sosial. Seperti contoh
kasusnya, banyak terjadi konflik antar-gender, body shaming, adanya stereotip
buruk pada suatu gender, seksisme yang terselubung dalam humor, dan sebagainya.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui Sistem Informasi Online Perlindungan
Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sejak Januari hingga Juli 2020 terjadi
peningkatan kekerasan pada anak yang didominasi oleh kekerasan seksual,
angkanya mencapai 2.556 kasus (Mashabi, 2020).
Sementara
itu, konsultan Isu Gender, Tunggal Pawestri, menyatakan bahwa kekerasan
berbasis gender telah meningkat 63%. Demikian juga kasus kekerasan berbasis
gender online (KBGO) naik hampir 300% (Tanjung, 2021). Data ini juga didukung
oleh Dokumen Rilis Pers SAFEnet 2021, yang menyebutkan pada masa pandemi
COVID-19, angka KBGO mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat.
Masalah-masalah
ini tidak bisa kita anggap ringan dan abai. Selain itu, yang paling fundamental
adalah korban yang mengalami dan merasakan dari perilaku seksisme dan standar
ganda di media sosial (instagram) yang dapat menyebabkan kondisi korban menjadi
stres, mengganggu kesehatan mental, dan dapat berujung pada depresi. Terdapat
beragam bentuk kasus seksisme di Instagram. Contohnya, yang sering kita dapati
adalah konten dan komentar-komentar berbau seksis yang ditujukan pada kaum
perempuan seperti, "Ada yang menonjol tapi bukan bakat", maupun yang
merujuk pada kaum laki-laki seperti, "Ada yang tegak, tapi bukan
keadilan", serta bermacam-macam pemikiran dan perilaku seksis lainnya di
ranah Instagram.
Akun-akun
seperti @indonesiafeminis, @perempuanfeminis, @antivictimblamings, dan akun
feminis lainnya, sering mengunggah potret perilaku-perilaku seksis masyarakat
Indonesia di ranah media sosial Instagram, tujuannya sebagai media informasi,
sosialisasi, edukasi, sebagai upaya untuk ruang diskursus mengenai kekerasan
dan ketidakadilan gender. Masyarakat khususnya Generasi Z, seringkali terpapar
konten-konten bermuatan seksisme dan dapat menimbulkan ketidaktahuan mereka
dengan konsep standar ganda gender ataupun seksisme yang tersebar pada media
sosial khususnya Instagram. Banyak diantara generasi Z yang masih asing dengan
kata ‘standar ganda’ maupun ‘seksisme’, terlebih lagi mereka tidak berusaha
untuk mengedukasi diri mengenai fenomena sosial yang telah berlangsung.
Dari
keterangan di atas, dapat kita ketahui bahwasanya, seksisme dan pemikiran
standar ganda merupakan pokok permasalahan utama dan menjadi penghambat dalam
menciptakan lingkungan masyarakat harmonis, adil, dan bersahabat bagi perempuan
dan laki-laki serta pemahaman yang baik bagi generasi Z dalam lingkungan sosial
mereka. Oleh karena itu, dalam rangka memulihkan pemikiran dan karakter
perilaku seksis dari Generasi Z di Indonesia, perlu sekiranya diadakan
penelitian dengan judul “Fenomena Seksisme dan Standar Ganda Gender dari
Pandangan Generasi Z (Studi Kasus: Analisis Pengaruh Konten Seksis di Media
Sosial Instagram)”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang sebelumnya, adapun perumusan masalah dan pertanyaan penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
proses terbentuknya konsep pemikiran seksisme dan standar ganda pada kalangan
generasi Z? (Studi pustaka) - tinjauan pustaka
2. Bagaimana
konten seksis dapat mempengaruhi dan berdampak terhadap kondisi perkembangan
pemikiran, psikis, dan perilaku Generasi Z? (Wawancara dan fgd) bab 4
3. Bagaimana
konsep standar ganda gender dan seksisme berkembang dan diimplementasikan di
media sosial Instagram? (observasi dari Data screenshoot, di instagram) bab 4
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
beberapa hal sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui akar proses terbentuknya konsep pemikiran seksisme dan standar ganda
pada kalangan generasi Z
2. Untuk
menganalisis dampak dan pengaruh konten seksis di media sosial Instagram
terhadap pemikiran, psikis, dan perilaku Generasi Z.
3. Untuk
mengidentifikasikan konsep standar ganda gender dan seksisme yang berkembang
dan diimplementasikan di media sosial Instagram.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan
tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan memiliki
manfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun
penelitian manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Manfaat
teoritis
Secara teoritis
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
a. Memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan teori atau konsep mengenai gender,
khususnya pemahaman terhadap seksisme dan standar ganda gender.
b. Memberikan
sumbangan kajian empiris dalam bidang ilmu psikologi sosial yang berkaitan
dengan seksisme dan standar ganda dengan pengaruhnya terhadap penggunaan media
sosial oleh Generasi Z
c. Sebagai
referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan dampak
fenomena seksisme dan standar ganda yang terjadi pada lingkungan sosial
Generasi Z serta menjadi bahan kajian
lebih lanjut.
2.
Manfaat praktis
Secara praktis
penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut:
a. Bagi penulis
Dapat menambah
wawasan tentang bagaimana dampak seksisme dan standar ganda bagi masyarakat
Indonesia dan sudah seberapa jauh dampaknya berlangsung.
b. Bagi masyarakat khususnya Generasi Z
Bagi anak didik
khususnya yang termasuk generasi Z sebagai subyek penelitian, diharapkan dapat
memperoleh wawasan dan pemahaman yang baik terhadap seksisme dan standar ganda
yang terjadi di lingkungan sosialnya dan cara menyikapinya.
c. Bagi masyarakat umum
Masyarakat akan mendapatkan wawasan yang tepat dan proporsional mengenai konsep gender sehingga akan lebih bijak menyikapi persoalan gender yang ada di masyarakat, dan dapat berkontribusi menciptakan lingkungan yang baik sebagai wadah tumbuh kembang generasi Z.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Gender, Standar Ganda, dan Seksisme
Modern
Pada
penelitian ini, kami melibatkan permasalahan pada aspek gender. Menurut Arbain
dkk. (2015), gender merupakan konsep untuk mengidentifikasi perbedaan perempuan
dan laki-laki dari sudut non-biologis seperti aspek sosial, budaya, psikologis.
Identitas gender adalah definisi perempuan atau laki -laki yang berinteraksi
secara kompleks dengan kondisi perilaku dari proses sosialisasinya (Susanti,
2018).
Kekerasan
dan diskriminasi berbasis gender yang hingga kini mengakar di masyarakat dan
terjadi di berbagai belahan dunia dengan berbagai penyebab, diantaranya adalah
peran budaya patriarki yang sulit dihilangkan. hal ini dapat dikatakan selalu
menjadi faktor utama yang melanggengkan terjadinya kekerasan dan diskriminasi
terhadap perempuan.
Menurut
Alfian Rokhmansyah (2013) di bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan
Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat, yang artinya struktur yang
menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan
segala-galanya. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat dapat
menjadi penyebab adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi
hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia. Ini menyebabkan perempuan diletakkan
pada posisi subordinat atau inferior. Adanya standar dan pembatasan-pembatasan
peran perempuan oleh budaya patriarki mengakibatkan perempuan menjadi
terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Singkatnya,
patriarki merupakan sistem sosial di mana posisi laki-laki memegang kekuasaan
utama serta mendominasi dalam berbagai bidang. Ini merupakan ideologi kekuatan
dan hak istimewa maskulin dan dinyatakan secara simbolis dan material.
Keyakinan akan patriarki laki-laki dan devaluasi pada perempuan serta anak
perempuan ini kemudian mengarah kepada kekerasan berbasis gender. Dengan
demikian, dapat dinyatakan patriarki adalah kekuatan struktural yang
mempengaruhi hubungan pada kekuasaan yang dimiliki.
Hal
ini sejalan dengan teori diskursus Michel Foucault (2012) dalam bukunya
Arkeologi Pengetahuan. Ia memberikan suatu pemahaman baru mengenai gugus-gugus
diskursif yang berkenaan dengan proses pembentukan dan penyebaran gugus-gugus
diskursif dalam mengkonstruksi keteraturan apriori pada suatu zaman.
Ia
menekankan bahwa proses pembentukan dan penyebaran gugus-gugus diskursif tidak
terbebas dari adanya limitasi, seleksi dan kontrol. Foucault mengakui bahwa ada
sekian banyak kekuatan dan kuasa yang menyebar luas dalam relasi antar manusia.
Kekuatan-kekuatan ini ditemukan dalam berbagai aspek relasi antar manusia,
misalnya relasi antar manusia dengan manusia lain dan juga relasi manusia
dengan lingkungan dan situasi mereka, dan lain-lain.
2.2 Standar Ganda Gender
Menurut
Kendall (2016) menjelaskan bahwa konsep standar ganda gender berbeda dengan
seksisme yang umumnya menjadikan perempuan sebagai korban. Dalam standar ganda
dan gender bias laki-laki dan perempuan dapat menjadi korban yang dirugikan,
karena pada dasarnya baik laki-laki atau perempuan diberikan penilaian dan
perlakuan berbeda hanya berdasarkan gender mereka semata tanpa memperdulikan
dan memperhatikan hal-hal lain. Penyebab adanya standar ganda gender berawal
dari konsep maskulinitas suatu kelompok masyarakat.
Sifat
kelelakian berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Maskulinitas itu sendiri
dikonstruksi oleh kebudayaan. Aspek kebudayaan mempengaruhi adanya konsep
maskulinitas di budaya Timur salah satunya di Indonesia. Pelbagai norma,
kewajiban, dan setumpuk harapan keluarga telah dibebankan kepada anak laki-laki
saat mereka lahir ke dunia. terhadapnya. Berbagai aturan dan atribut budaya
telah diterima melalui berbagai media yaitu ritual adat, teks agama, pola asuh,
jenis permainan, tayangan televisi, buku bacaan, petuah, dan filosofi hidup.
Pelbagai hal remeh yang dianggap tak penting terjadi setiap harinya selama
berpuluh tahun, berasal dari norma dan nilai suatu budaya telah membentuk suatu
penggambaran diri dalam kehidupan seorang laki-laki. Situasi ini dapat
dipandang dari cara berpakaian, berpenampilan, bentuk kegiatan, cara bergaul
dalam lingkungan sosial, cara penyelesaian suatu permasalahan, cara berekspresi
verbal maupun non verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang digunakan (Vigorito
& Curry, 1998: 1).
2.3 Seksisme Modern
Penelitian
ini memiliki garis yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Swim dan kolega pada tahun 1995. Seksisme merupakan bentuk dari
diskriminasi berdasarkan gender dan ketidaksetaraan gender (Macklem, 2003).
Sedangkan seksualisasi perempuan di media massa merupakan salah satu bentuk
perilaku seksis di masyarakat (A. Zimmerman & Dahlberg, 2008).
Seksisme
modern didefinisikan sebagai kepercayaan individu yang mencerminkan evaluasi
negatif berdasarkan jenis kelamin mereka atau mendukung status yang tidak
setara antara perempuan dan laki-laki (Swim dkk. 1995). Konsep seksisme modern
oleh Swim dan kolega (1995) adalah konsep seksisme yang lebih relevan dengan
perwujudan yang ada pada saat ini, di mana seksisme modern dapat mengungkapkan
bentuk seksisme tersembunyi dan halus yang terjadi di dalam masyarakat.
2.4 Generasi Z
Akar
pemahaman dalam pengklasifikasian generasi adalah adanya tumpuan bahwa generasi
merupakan sekelompok individu yang dipengaruhi oleh kejadian, peristiwa
bersejarah, dan fenomena budaya yang terjadi dan dirasakan dalam kehidupan
mereka (Nobel & Schewe, 2003; Twenge, 2000), dan kejadian maupun fenomena
tersebut menyebabkan terwujudnya ingatan secara kolektif yang berpengaruh
terhadap kehidupan mereka (Dencker dkk. 2008). Peristiwa bersejarah, sosial,
dan efek budaya bersama dengan pengaruh lainnya akan berdampak terhadap
terwujudnya perilaku individu, nilai, dan kepribadian (Caspi & Roberts,
2001; Caspi dkk. 2005).
Subjek
penelitian ini berfokus pada generasi Z. Prensky (2001) mengatakan bahwa
generasi ini adalah generasi digital natives. Generasi ini begitu melekat
dengan penggunaan teknologi layaknya komputer dan internet, hal tersebut
seperti sudah mengalir dalam diri mereka sejak mereka lahir. Generasi ini
memiliki karakteristik ingin selalu terhubung dengan internet setiap saat,
membuat konten dan membagikannya kepada orang lain dan menjadi sangat aktif di
media sosial.
2.5
Media Sosial dan Instagram
Media
sosial atau dapat disebut jejaring sosial adalah bagian dari media baru. Media
sosial secara umum didefinisikan sebagai segala jenis media yang hanya bisa
diakses melalui internet dan berisikan teks, foto, video, dan suara (Angelina,
2016). Instagram adalah sebuah aplikasi khusus untuk berbagi foto dengan
kegunaannya untuk mengunggah foto (upload), mengambil foto (download),
mendesain foto, menggunakan filter digital foto (efek foto),
memberi/menambahkan komentar pada foto, memberi judul foto, menambahkan lokasi
foto, memberi tanda like pada foto, dan membagikan foto ke media sosial lainnya
(Instagram Handbook, 2012:8).
2.6 Komunikasi dan Respon
Antara
Generasi Z dan media sosial, terdapat hubungan yang cenderung bersifat
mempengaruhi dari penggunaan media sosial dalam kehidupan Generasi Z.
Pernyataan ini sejalan dengan teori komunikasi menurut Harold Lasswell (1948).
Lasswell mendefinisikan bahwa komunikasi merupakan satu arah yang berguna untuk
menjawab suatu pertanyaan, Who Says What In Which Channel To Whom With What
Effect (Siapa mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa dengan efek
apa).
Dari
pemahaman tersebut dapat diturunkan dan dikelompokan menjadi lima unsur
komunikasi yang saling bergantung satu sama lain yaitu source (komunikator),
message (pesan), channel (media), receiver (komunikan) dan effect (efek)
(Mulyana, 2014:67-71). Teori ini ditujukan untuk mempengaruhi khalayak
targetnya dalam melakukan proses komunikasi dari pesan yang dibawakan. Oleh
karena itu, diharapkan terdapat beberapa efek tertentu yang berkontribusi dalam
komunikasi massa (Ruslan, 2016:101). Efek dari pesan yang akan disampaikan pada
komunikan bermacam-macam, diantaranya adalah efek kognitif berkaitan dengan
pengetahuan, pandangan, keyakinan yang berhubungan dengan 2 persepsi. Efek
afektif berkaitan pada perasaan senang atau tidak senang terhadap objek sikap.
Sedangkan efek konatif berhubungan dengan tindakan terhadap objek sikap (Wawan
& Dewi, 2010:32-33).
Selanjutnya, menurut Jalaluddin Rakhmat dalam buku berjudul Psikologi Komunikasi, respon terbagi menjadi tiga macam yaitu kognitif, respon yang timbul setelah adanya pemahaman terhadap sesuatu yang terkait dengan informasi atau pengetahuan. Terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, atau dipersepsi oleh khalayak. Afektif, yaitu respon yang timbul karena adanya perubahan perasaan terhadap sesuatu yang terkait dengan emosi. sikap dan nilai.
Timbul bila adanya perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci oleh khalayak. Konatif, yaitu respon yang berupa tindakan, kegiatan atau kebiasaan yang terkait dengan perilaku nyata. Merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berperilaku.