Oleh: Tauflam de Silentio
No matter how hard the world pushes against me, within me, there’s something stronger – something better, pushing right back. – Albert Camus
Apa
yang paling ngehek dalam hidup ini?
Ya, betul! Ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Apa yang kita pikirkan,
rasakan, dan inginkan selalu saja terbentur dalam ruang intensionalitas dan
waktu interaksi di luar kedirian kita. Betapa tidak menerimanya kita,
terkadang, dengan realitas yang dialami. Bagaimana tidak, kita sudah berpikir
keras, usaha, ditambah dengan ritualitas doa sesuai keyakinan masing-masing,
tetapi, kenyataan berbicara lain.
Jujur saja, bila itu terjadi, membuncahlah emosional serta aliran dalam tubuh kocar-kacir tak karuan. Namun, ada hal yang harus dipahami. Maksudnya, bagaimana kita bisa memberi ruang berpikir lebih luas dan luwes guna menghindari kejadian yang tidak diinginkan dan berakhir penyesalan. Pemberian ruang tersebut juga berdampak pada cairnya emosional kita. Dan itu sangat baik serta bijak, sebab kita bukan hanya mencari solusi belaka, tetapi, bisa saja dapat menyadarkan kita mengenai arti kesejatian hidup. Ya, berbicara tentang hidup memang tak ada habisnya. Setiap hari, manusia selalu berlalu-lalang dalam ruang dan waktu.
Dalam pusara itulah pelbagai kemungkinan akan hadir. Bisa saja
adalah kebaikan dan kebahagiaan seturut kehendak kita, atau bisa jadi, bagai
sebuah perang yang tak akan mungkin kita menangkan, yang berarti kegagalan dan
kekalahan selalu menyelimuti hidup kita. Lantas, bagaimana kita sebagai manusia
menyikapi problematik kehidupan ini? Adalah Albert Camus, filsuf yang akan
memberikan pemikiran alternatif yaitu menjadi pemberontak. Albert Camus melihat
kehidupan manusia sebagai suatu hal yang tidak jelas (absurd). Meski demikian,
ketakjelasan hidup ini adalah satu-satunya kejelasan. Menyerah bukanlah jalan
keluar untuk menyelesaikan semuanya.
Albert Camus dan Mitos Sisyphus
Albert
Camus, lahir di Aljazair pada 7 November 1913 dan meninggal di Villeblevin
(Prancis) pada 5 Januari 1960, hanya berumur 46 tahun. Ia meninggal akibat
kecelakaan di mana mobil yang dikendarainya bersama seorang penerbitnya bernama
Michelle Gallimard menabrak pohon. Camus mulai dikenal banyak orang karena
novel pertamanya yaitu L’Etranger dan mulai memperoleh penghargaan seperti
Penghargaan Nobel pada tahun 1957 pada bidang Kesusastraan. Melalui novel
L’Etranger, Camus memperkenalkan pemikirannya dan menciptakan suatu mazhab
filsafat dalam eksistensialisme yaitu absurdisme.
Absurd
dapat diartikan sebagai kondisi di mana manusia tidak mampu menetapkan tujuan
dan makna bagi hidupnya, bahkan secara khusus diartikan kondisi manusia tidak
mengerti apa itu kehidupan dan untuk apa manusia hidup. Bagi Camus,
ketidakjelasan tujuan hidup adalah hal yang absurd. Contoh paling sederhana
manusia tidak dapat mengetahui bagaimana masa depan itu, ketika gambaran masa
depan masih begitu abstrak mengapa manusia malah menantikannya.
Dalam menjelaskan Absurdisme, Camus menggunakan kisah mitologi Sissyphus sebagai penggambaran konsep Absurdisme. Kisah mitologi ini bercerita tentang seorang raja dari Corinth bernama Sissyphus yang dikutuk Zeus untuk mendorong batu ke puncak bukit selamanya. Kisah mitologi ini hingga sekarang telah diceritakan dengan banyak versi, ada yang mengisahkan jika Sissyphus dikutuk karena bermain-main dengan aturan kematian, ada juga yang mengisahkan bahwa Sissyphus membocorkan rahasia Zeus ditukar dengan sebuah makanan, ada pun yang mengisahkan jika Sissyphus dikutuk karena melihat Zeus menculik Aegina, putri Asopus, untuk dikawini dan melaporkannya pada dewa sungai.
Apapun bentuk
konfliknya, Sissyphus tetap dikutuk dan diasingkan ke Tartarus oleh Zeus untuk
mendorong batu ke puncak tak berkesudahan dan selamanya. Batu yang didorong
Sissyphus tak akan terus berhenti menggelinding, ketika Sissyphus berupaya
mendorong batu dan berhasil ke puncak, batunya menggelinding kembali ke bawah
dan Sissyphus harus mendorongnya kembali ke puncak, dan begitu seterusnya tak
berkesudahan. (Andika Wahyu Putra, Jurnal LSF Cogito 01/06/2017)
Secara
tidak sadar, cerita dalam Mitologi Sisyphus seperti analogi yang melekat (dan
tak akan berkesudahan?) pada diri kita. Kita sebagai Sisyphus, dan bagaimana
civitas kehidupan kita seperti batu. Kita terus mendorong batu itu, sesudah
sampai puncak, batu itu jatuh menggelinding. Kita dorong lagi, menggelinding
lagi. Begitu seterusnya. Bila kita sepakat bahwa itu benar, bukankah itu adalah
sebuah kesia-siaan? Sebab tak ada perubahan yang terjadi. Kita dipaksa terus
mengulang dan mengulang lagi. Apakah ini adalah Sebuah ketakbermaknaan hidup?
Bila iya, mengapa kita terus melakukan dan menjalaninya? Sialnya lagi, kita
melakukannya dan tak sempat berpikir entah sampai kapan semua akan berakhir.
Albert Camus dan Pemberontakan
Dalam
karya Albert Camus yang lain, “Pemberontak” adalah semacam mencari pijakan awal
untuk menelusuri lubang jalan keluar dari ketakbermaknaan hidup kita. Ok. Bila
tadi kita sepakat bahwasanya ketakbermaknaan hidup kita ini terus berlanjut,
dan tak akan pernah berakhir, bukankah membaca karya Albert Camus ini
katakanlah membuka sedikit celah dan harapan untuk sedikit demi sedikit
membongkar realitas yang ada, dan jangan kali saja kita bisa mengubah
seandainya kita Sisyphus, berhasil menendang bola keluar dan menang melawan
Zeus yang mengutuk kita? Bila iya, maka mau tidak mau, suka atau tidak, kita
harus bergerak melakukan sesuatu yang berbeda dan menohok sekalipun, yaitu menjadi pemberontak dan melakukan
pemberontakan! Saya tidak membahas
secara rinci buku “Pemberontak”, kalian bisa membeli dan membaca nya. Saya
jelaskan saja langsung inti dari pemikiran
Alber camus. Saya banyak mengambil dari penulis A.M Krich dalam buku Anatomi
Cinta (1960)
Siapakah
pemberontak itu? seseorang yang berkata tidak, tapi penolakan itu tidak sepenuh
hati. Ia juga juga seseorang yang berkata “iya”, tapi sejak pertama kali ia
telah bergerak untuk memberontak. Seseorang pemberontak adalah budak yang telah
melakukan perintah tuan nya seumur hidupnya, namun tiba-tiba menolak melakukan
perintah yang baru. Lalu, apa yang sebenarnya dimaksud budak itu dengan
mengatakan “tidak”? maksudnya, antara lain tergambar pada kalimat, “ini sudah
berlangsung terlalu lama”, sampai saat ini baiklah, tapi lebih dari ini,
tidak.” “Kau sudah terlalu jauh,” atau, lagi-lagi, “kesabaranku ada batasnya.”
Dengan kata lain, kata “tidak” dari si pemberontak menegaskan batas
kesabarannya. Konsep yang sama terdapat dalam perasaan di pemberontak, bahwa
pihak lain yang ia berontaki “sudah keterlaluan,” bahwa pihak lain itu
menggunakan kekuasaanya semena-mena dan mulai melanggar hak orang lain. Karena
itulah gerakan pemberontakan biasanya sejalan dengan gangguan yang dialami
pihak tertentu yang berpikir bahwa itu sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Itu
sebabnya si pemberontak mulai berpikir bahwa, “ia punya hak untuk…”
pemberontakan tidak akan muncul tanpa perasaan bahwa si pemberontak pasti
benar. Dengan cara inilah budak –kita- sebagai pemberontak berkata iya atau
tidak. Kita menekankan ada batas-batas, kita mencurigai -dan ingin memelihara- keberadaan hal-hal
dalam batasan itu. Contoh, dengan keras kepala, bahwa ada di dalam diri kita
“yang berharga…” dan harus diperhitungkan. Dalam cara tertentu, kita menentang
keteraturan dari hal-hal yang menindasnya dengan sebuah keteguhan bahwa hak-hak
kita tidak boleh dilanggar.
Dalam
setiap pemberontakan, pemberontak muak atas pelanggaran hak-hak dan merasa
dirinya harus diperjuangkan. Karena itu ia membawa nilai-nilai yang mengandung
rasa tidak puas dan siap untuk memperjuangkannya. Apapun risikonya. Sebelum
perasaan itu muncul, ia telah lama diam dalam keputusasaan ia menerima sebuah
keadaan, meski ia tahu itu tak adil. Diam memberikan kesan bahwa seseorang
tidak punya opini, dan tidak menginginkan apa-apa. Keputusasaan –seperti
hal-hal absurd- memiliki segala hasrat secara umum, sekaligus tidak memiliki
hasrat secara khusus. Diam memperlihatkan hal ini.
Namun,
pada detik-detik ketika sang pemberontak menemukan suaranya –walaupun hanya
berkata “tidak” – ia mulai menginginkan dan mulai menilai. Ia melakukan hal
yang berkebalikan dari dirinya sendiri. Ia yang biasanya bekerja karena
cambukan tuannya tiba-tiba berbalik dan melawan, untuk mendapatkan pilihan.
Tidak semua nilai diikuti oleh pemberontakan. Tapi setiap pemberontakan selalu
membawa nilai.
Kesadaran,
betapapun ia membingungkan, berkembang dari setiap aksi pemberontakan yang
secara tiba-tiba mengguncangkan persepsi bahwa ada sesuatu di dalam diri
manusia yang dapat mengidentifikasi dirinya, walaupun hanya sesaat. Sampai pada
saat ini identifikasi itu belum benar-benar dialami. Sebelum memberontak,
seorang budak menerima semua perintah yang diberikan kepadanya. Sangat sering
ia melaksanakan perintah, tanpa reaksi perlawanan, walaupun perintah itu lebih
patut untuk dilawan daripada dilaksanakan. Ia menerima perintah itu dengan
sabar, walaupun hatinya menolak, ia tetap diam karena ia lebih berpikir tentang
kebutuhannya, ketimbang hak-haknya. Tapi dengan memudarnya kesabaran, sebuah
reaksi – yang berlawanan dengan apa yang ia lakukan selama ini – bisa muncul.
Si budak mulai menolak perintah memalukan dari tuannya, dan secara
perlahan-lahan ia mulai menolak perbudakan. Aksi itu bisa berkembang lebih jauh
dari sekedar penolakan. Ia juga menolak hirarki yang membatasinya dengan
majikan, dan meminta diperlakukan sebagai orang yang setara.
Meski Albert Camus menjelaskan secara mengambang dan tak pasti, juga tak dapat menyelesaikan segala permasalahan yang ada, tetapi ada sinar cahaya di ujung sana melalui gambaran kerangka filosofis pemberontakan, bahwa meski manusia hidup dalam alam kehidupan yang absurd, hidup dalam ke-ter-ombang-ambing-an lautan ketidakpastian, masa depan yang buram, menjadi zombie rutinitas, jongos realitas dan jatuh pada ketakbermaknaan hidup, dengan menjadi pemberontak, dengan mengatakan “tidak”, dengan memberanikan suara hati nurani bersuara, maka ada secercah harapan untuk menuju kebebasan dan kebahagiaan dalam hidup kita.
Kini, kita harus menarik busur guna melesatkan anak panah menuju sasaran baru, untuk menguasai kembali –baik di dalam maupun karena sejarah- apa yang sesungguhnya sudah kita miliki, Cinta yang singkat di bumi ini, di zaman ini. Busur dikekang: kayu menegang. Pada ketegangan tinggi, akan melesatkan sebuah anak panah yang kokoh dan bebas.