Menentang Glorifikasi Kulit Putih Sebagai Standar Kecantikan

                             sumber: https://neoquebec.com/


oleh: Zain Nurmasupi


    Dewasa ini, penampilan dianggap sebagai salah satu hal yang paling penting. Tak heran, produk kecantikan seperti makeup dan skincare makin digilai banyak orang. Iklan skincare, makeup, maupun pembahasan dari para beauty influencer sampai dokter kecantikan ramai lalu lalang di media sosial. Namun, dibalik kampanye merawat diri yang digaungkan oleh industri kapital produk kecantikan, terdapat isu serius yang banyak orang tidak sadari, yaitu colorisme.

 

Colorisme atau dalam bahasa Inggris disebut colorism adalah pemahaman bahwa, suatu warna kulit lebih baik dibandingkan warna kulit lainnya. Biasanya, warna kulit yang dipandang lebih baik adalah warna kulit yang lebih terang. Colorisme berbeda dengan rasisme, walau pada kenyataannya rasisme begitu lekat dengan colorisme. Rasisme adalah diskriminasi terhadap suatu ras, sedangkan colorisme adalah diskriminasi terhadap suatu warna kulit. Jika rasisme terjadi terhadap orang dari ras yang berbeda (interracial), maka colorisme bisa terjadi kepada orang dari ras yang sama (intraracial).

 

L. Ayu Saraswati menjelaskan perkembangan colorisme di bumi Nusantara melalui bukunya yang berjudul “Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional”. Dalam buku tersebut dijelaskan, bagaimana standardisasi warna kulit bisa mengakar pada masyarakat Indonesia dan terus berkembang mengikuti perkembangan sejarah yang terjadi. Isu colorisme yang selama ini dianggap hanya berakar dari gagasan supremasi kulit putih, ternyata sudah jauh berkembang sebelum era kedatangan bangsa Barat di Indonesia.

 

Pada masa pra-kolonial, stereotipe mengenai warna kulit telah tumbuh melalui Epos Ramayana. Pada cerita tersebut, tokoh protagonis yaitu Sita, digambarkan memiliki wajah putih, terang, nan bercahaya bak bulan purnama. "Kenanganku akan wajahmu yang manis hidup kembali karena pemandangan seekor kijang. Sang gajah mengingatkanku akan keanggunanmu, sang bulan akan wajahmu yang terang, Ah, aku dikuasai kecantikanmu,” Sedangkan tokoh antagonis yaitu Rahwana, digambarkan dengan kulit gelap, yang menyiratkan korelasi negatif, seperti kesan jahat dan penderitaan. “Kulit gelapnya membuatnya nampak bagaikan awan kematian yang bergulung-gulung,”

 

Isu colorisme semakin berkembang pada masa kolonial. Pada zaman pendudukan Belanda, ras kaukasia menguasai Indonesia. Warna kulit putih tidak hanya menjadi lambang kecantikan, namun juga penentu status sosial. Kaum kulit putih ditempatkan pada status sosial tertinggi. Sedangkan, kaum pribumi yang mayoritas memiliki kulit berwarna lebih gelap, ditempatkan pada status sosial terendah, dianggap bodoh, dan pemalas. Konsep mengenai hubungan warna kulit dengan status sosial ini juga muncul karena kaum dengan kulit lebih gelap diidentikkan dengan kelas pekerja yang banyak bekerja di bawah sinar matahari, sedangkan orang dengan kulit putih biasanya, adalah kaum pemilik modal yang tidak perlu menghabiskan banyak waktu di bawah panas matahari.

 

Pada zaman pendudukan Jepang, konsep kecantikan bergeser dari yang sebelumnya dipegang oleh orang Kaukasia, menjadi kecantikan milik para perempuan Jepang maupun perempuan asli Indonesia. Standar kecantikan tersebut dipropagandakan melalui media-media cetak pada masa itu. Dibuktikan dengan rubrik di Djawa Baroe seperti Poetri Nippon, Bintang Film Nippon, dan Poetri Indonesia jang Tjantik Molek.

 

Saat ini, stigma bahwa cantik itu harus putih semakin gencar dipromosikan di Indonesia. Media elektronik memiliki peran yang sangat besar dalam hal ini. Iklan-iklan produk kecantikan kerap mengilustrasikan bahwa, perempuan yang cantik adalah perempuan yang memiliki kulit putih. Bahkan, beberapa produk kecantikan secara terang -terangan menyisipkan kata Whitening sebagai nama brand nya.


                        Pond’s White Beauty. Sumber: watson.co.id


                    Scarlett Whitening. Sumber: shopee.co.id

Mungkin sebagian dari kita tidak asing lagi dengan dua produk di atas. Iklan dua produk di atas marak ditampilkan di berbagai media seperti di televisi, internet, dan media sosial. Bahkan, produk di sebelah kanan secara masif membayar banyak sekali influencer baik di instagram, youtube, maupun tiktok untuk mengiklankan produk mereka. Inferioritas masyarakat Indonesia justru dieksploitasi oleh para kapitalis untuk meraup keuntungan. Stigma bahwa warna kulit putih adalah warna kulit terbaik di antara warna kulit lainnya pun kian tertanam di benak orang Indonesia. Ironisnya, sebagian besar orang Indonesia yang memiliki kulit sawo matang ikut mengamini stigma tersebut. Kulit berwarna gelap justru dianggap sebagai sebuah kekurangan, dijadikan bahan olokan, dan pemiliknya dianggap tidak bisa merawat diri. Rasanya geli, melihat tren skincare membungkus tipuan standar kecantikan dengan narasi merawat diri atau bahkan bentuk mencintai diri sendiri. Nyatanya, banyak orang yang rela menghabiskan banyak uang dan mencoba puluhan cara untuk memutihkan warna kulit mereka hanya demi memenuhi ilusi standar kecantikan yang dibuat oleh masyarakat.


Banyak orang yang juga mengglorifikasi standar kecantikan tersebut dengan dalih ‘glow up’ atau perubahan menjadi lebih cantik dari sebelumnya. Akibatnya, tak sedikit orang yang menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri dan hidrokuinon untuk mencapai standard tersebut.

 

Contoh nyata colorisme pernah dialami oleh seseorang yang saya kenal, sebut saja namanya A. A yang baru genap berusia 5 tahun sudah dicekoki standar kecantikan semu,

 

"Lihat kulit kamu, ih hitam sekali, ga seperti yang lain putih"

 

"Kamu jangan main layangan terus, nanti hitam jadi jelek"

 

Walaupun terkesan sepele dan guyonan belaka, namun dari sinilah akar dari ketidakadilan dan diskriminasi dalam ruang lingkup yang lebih luas.

 

Bayangkan, apa jadinya jika nilai-nilai tersebut terinternalisasi dalam diri seorang anak kecil? Ia akan tumbuh dengan membawa bias warna kulit kepada teman sepermainan, teman kerja, bahkan masyarakat luas.

 

A memiliki privilese sebagai seorang laki-laki, lahir dari keluarga menengah ke atas, etnis mayoritas, dan tinggal di kota yang cukup besar. Jika stigma itu saja bisa melekat pada seseorang yang memiliki cukup banyak privilese, lantas bagaimana dengan perempuan dari etnis minoritas, kelompok marjinal, tinggal di daerah yang tidak tersentuh pembangunan, dan dari kelas pekerja? Berapa banyak kesempatan mereka yang hilang akibat diskriminasi? Berapa besar beban yang mereka tanggung akibat hinaan, stereotip, dan stigma tersebut? Berapa banyak ketidakadilan yang menimpa mereka akibat prejudice yang ada?

 

Sungguh, tidak bijak melanggengkan colorisme di tengah heterogenitas masyarakat kita. Mempercayai kulit putih sebagai standar kecantikan tunggal, sama saja menyangkal fakta, bahwa manusia terlahir dengan perbedaan dan keunikannya masing-masing, termasuk warna kulit. Jangan sampai kemajemukan bangsa ini diciderai oleh colorisme.                                   

 

Referensi:

https://voi.id/berita/5681/resensi-buku-i-putih-i-menelusuri-lahirnya-obsesi-kecantikan-kulit-putih


https://ksm.ui.ac.id/obsesi-kulit-putih-dan-colorism-di-indonesia/


https://www.youtube.com/watch?v=QuHWnC6xBg8


https://www.parapuan.co/read/532564384/mengenal-colorisme-anggapan-soal-warna-kulit-yang-harus-dihindari


https://www.kompasiana.com/lunaseptalisa/5f1816bc097f3637245f82e2/colorism

Menentang Glorifikasi Kulit Putih Sebagai Standar Kecantikan