Memoirs of Geisha: Perempuan yang Dipertuankan

 

Oleh: Britania Gusti Putria


    Konnichiwa, Ogenki desu ka Nakama? Semoga baik-baik saja dan terus semangat! Nah, mumpung masih suasana libur, aku ingin memberikan rekomendasi film untuk menemani kalian semuanya, yaitu Memoirs of Geisha. Memoirs of Geisha merupakan film yang diadaptasi dari buku dengan judul yang sama milik Arthur Golden. Film Memoirs Of A Geisha ini bersetting di tahun 1929.

 

Berlatar belakang awal Perang Dunia ke -2 di Jepang, kedua saudari yang dipisahkan dan dijual kepada Okasan (Ibu) pemilik Okiya (rumah Geisha) yang berbeda. Sang karakter utama, Chiyo yang berumur 9 tahun, awalnya berusaha untuk kabur dan mencari kakaknya, namun sepertinya sia-sia. Di rumah tersebut, Chiyo menjadi seorang pesuruh dan harus berurusan dengan seorang Geisha ternama di Jepang dan seorang Okasan yang memperlakukan Chiyo dengan buruk.

 

Di tengah keputusasaan Chiyo, ia mencoba untuk menghibur diri dengan berjalan di luar rumah dan berpapasan dengan seorang Pria yang dipanggil Mr. Chairman. Pria tersebut menghiburnya di saat ia merasa tidak ada tujuan hidup. Sejak saat itu, setiap langkah yang Chiyo ambil, ia lakukan agar dapat lebih dekat bersama Mr. Chairman.

 

Menurut saya, cerita ini lebih cenderung ke ungkapan hati dan pemikiran dari seorang Chiyo yang ingin memiliki kebebasan dan ingin tahu arti hidupnya. Namun, untuk mencapai keinginannya, ia juga perlu bertahan hidup dengan menjadi seorang Geisha. Geisha sendiri memiliki arti seorang seniman. Sialnya, masih banyak yang meng-ideologikan Geisha sebagai seorang penghibur dalam konotasi yang buruk.

 

Geisha merupakan ahli seni yang menghibur para tamu dengan memainkan shamisen, tarian, upacara minum teh (sadō), puisi, percakapan atau obrolan serta bermain. Geisha muncul pada awal pemerintahan Tokugawa. Geisha terus melayani pelanggan sampai tahun - tahun terakhir perang. Tepatnya di tahun 1944 di mana semua kedai teh, dan rumah geisha ditutup.

 

Kemudian profesi geisha sempat dilarang dikarenakan para geisha diwajibkan untuk kerja menjadi buruh pabrik. Selama masa perang, sebagian besar geisha di seluruh Jepang memiliki debut seksual (Mizuage) ketika mereka “lulus” dari magang ke geisha penuh. Pada akhir tahun 1970-an jumlah geisha mengalami penurunan. Salah satu alasan penurunan jumlah ini adalah karena munculnya bar-bar bergaya barat. Banyak orang Jepang modern tidak mengenal lagi tata cara pertunjukan geisha dan merasa bahwa gadis-gadis bar lebih menyenangkan, praktis, dan tarifnya murah.

 

Sinema dalam layar terlihat begitu dramatis dan memikat mata, sehingga ketika film dimulai, penonton langsung terbawa suasana yang ada di dalam film tersebut. Dapat dikatakan, tayangan ini memiliki warna film yang spektakuler. Sinematografernya menggunakan warna-warna jenuh untuk benda-benda, sehingga karakter yang muncul di layar terlihat timbul dan memikat. Ada adegan di mana Chiyo muda berlari melalui aula pilar oranye besar, adegan lain dengan Chiyo yang lebih tua dengan nama Sayuri, menari di resepsi dengan latar belakang hitam dan kepingan salju putih cerah jatuh dari langit-langit. Warna merah cerah, putih bersih, kuning cerah, dan jingga menonjol di antara cokelat pada bangunan dan dinding.

 

Jika membandingkan buku dengan film, tentunya saya sendiri lebih memilih buku. Mengapa? Karena buku menceritakan setiap detail dan ceritanya terpampang dengan jelas. Sudah menjadi rumus umum bagi para pencinta buku untuk tidak berekspektasi lebih dari sebuah film hasil garapan novel. Karena imajinasi yang kita miliki tidak dapat direalisasikan satu persatu. Namun, dibalik itu semua, film ini cukup mengesankan dan memuaskan imajinasi saya dari segi latar dan karakter.

 

Berbicara mengenai karya sastra, Memoirs of Geisha masuk ke dalam kategori sastra feminis. Berdasarkan hasil analisis data tentang Memoirs of Geisha dalam Analisis Kritik Sastra Feminis, penulis menyimpulkan bahwa cakapan/dialog dan scene yang telah dianalisis penulis mengungkapkan bahwa tokoh Chiyo dalam film “Memoirs of Geisha” menunjukkan eksistensi dirinya dalam mencapai tujuan dengan melalui semua usaha dan konflik. Kesadaran, tanggung jawab, realisasi dan lain sebagainya yang telah dilakukan mendorong Chiyo kepada keberhasilan dan kepuasan dalam eksistensi diri dan keberadaannya. (MEMOIRS OF GEISHA DALAM ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS, Sri Oemiati, Rahmanti Asmarani, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang).

 

Film Memoirs of Geisha merupakan salah satu film yang mengangkat masalah perempuan pada pusat hiburan. Keistimewaan dalam film Memoirs of Geisha karya Arthur Golden ini adalah bahwa tokoh yang terlibat dalam novel tersebut diungkapkan dengan cermat dalam jalinan cerita sehingga alur cerita tetap terjaga dari awal sampai akhir. Dalam film ini pembaca dihadapkan pada ketidakadilan yang dialami oleh perempuan pada Sayuri.

 

Melalui film yang diadaptasi dari novel Memoirs of Geisha ini pengarang memberikan refleksi kepada pembaca tentang ketidakadilan yang dialami oleh perempuan pada masa itu tanpa dapat melakukan pembelaan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh para tokoh perempuan dalam film tersebut. Sebagai contoh, ketika seorang wanita yang dijual ke sebuah tempat hiburan mencoba untuk melarikan diri, justru membuat dia terancam menjadi pelayan seumur hidupnya.Selain itu, perempuan juga dijadikan sebagai objek seksual oleh laki-laki tanpa dapat memberikan perlawanan sehingga menimbulkan trauma yang berkepanjangan.

 

Ketidakadilan yang dialami oleh perempuan juga masih sering terjadi sampai sekarang, baik itu ketidakadilan dalam berumah tangga, seksual maupun ekonomi.

Memoirs of Geisha: Perempuan yang Dipertuankan