Bajak Laut era Kerajaan Sriwijaya

Bajak Laut era Kerajaan Sriwijaya

 

                            sumber: https://www.kompasiana.com


oleh: Hanania Amalina Putri, Maulidya Rahman, Muhammad Razzan Putra, Raden Muhammad Abyan, Zabrida Zarra Zetta


    Istilah “negara kepulauan” merupakan padanan kata dari bahasa Indonesia yang berasal dari kata archipelago state yang berarti negara laut dengan taburan pulau, bukan negara kepulauan yang dikelilingi laut. Hal ini mengingat 2/3 bagian dari Indonesia adalah perairan. Meskipun secara geopolitik Indonesia berada di kawasan yang strategis, namun dari segi pembangunan Indonesia tertinggal jauh dengan negara-negara di Asia lainnya loh! seperti Malaysia dan Singapura. Kok bisa? Hal tersebut dikarenakan rendahnya indeks pembangunan di Indonesia yang salah satunya disebabkan kurangnya memanfaatkan sumber daya alam Indonesia, terutama potensi maritim.

 

Berdasarkan sumber sejarah, di Nusantara pernah berdiri kerajaan dengan basis maritimnya yang kuat loh! Pasca kerajaan majapahit runtuh, di fase ini muncullah kerajaan baru di jawa maupun di luar jawa yaitu Sriwijaya. Kerajaan ini tidak serta merta langsung menjadi kerajaan besar. Pada awalnya nama Kerajaan Sriwijaya belum dikenal khalayak seperti Kerajaan Majapahit. Nama Kerajaan  Sriwijaya sendiri selanjutnya menjadi perdebatan oleh para kalangan peneliti sejarah, seperti yang diungkapkan oleh H. Kern, ia menyatakan bahwa kata Sriwijaya yang tertulis di Prasasti Kota Kapur bukan nama kerajaan melainkan nama seorang raja.

 

Sebagai kerajaan maritim dengan ciri khas pengembangan tradisi diplomasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai pusat perdagangan. Keberhasilan ini tidak lepas karena Sriwijaya mampu menguasai selat Malaka yang pada waktu itu menjadi pintu masuk bagi para pedagang dari berbagai negara. Selain sektor perdagangan yang sudah tidak diragukan, Sriwijaya juga memiliki strategi pengamanan wilayah maritimnya dengan mengangkat kepala bajak laut untuk bergabung dalam ikatan kerajaan. Hal ini dilakukan untuk memastikan jalur pelayaran aman dari serangan bajak laut. Dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai respon dari pemerintah Kerajaan Sriwijaya terhadap konsep bajak laut yang cenderung bias. terdapat beberapa poin yang akan dibahas. Pertama, bagaimana konsep pelayaran yang dibuat Kerajaan Sriwijaya hingga memiliki wilayah kekuasaan yang besar. Kedua, dampak keberadaan bajak laut terhadap perdagangan internasional di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Melihat permasalahan dalam penelitian ini, penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal reseach) dengan pendekatan historis (historical approach).


Pendekatan ini dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu untuk memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut. Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan bantuan Mangkubumi Nya, Patih Gajah Mada. Pada waktu itu, Majapahit mampu menyatukan seluruh kerajaan di Nusantara termasuk, Pahang, Palembang dan Temasik. Sepeninggal Patih Gajah Mada pada tahun 1363, Kerajaan Majapahit berada diambang kemegahan. Disusul dengan meninggalnya Hayam Wuruk pada 1389.


Pasca Kerajaan Majapahit runtuh, pada fase inilah muncul kerajaan baru baik di Jawa maupun luar Jawa salah satunya Kerajaan Sriwijaya. Meskipun begitu, Kerajaan ini tidak serta merta langsung menjadi kerajaan besar. Pada awalnya nama Kerajaan Sriwijaya belum dikenal khalayak seperti Kerajaan Majapahit. Nama Kerajaan sriwijaya sendiri selanjutnya menjadi perdebatan oleh para kalangan peneliti sejarah, seperti yang diungkapkan oleh H. Kern, ia menyatakan bahwa kata Sriwijaya yang tertulis di Prasasti Kota Kapur bukan nama kerajaan melainkan nama seorang raja.

 

Informasi terkait kekuasaan dan kebesaran Sriwijaya sebagai penguasa laut yang handal dan terkenal dengan kemaharajaan maritimnya ditemukan dalam Prasasti Kedukan Bukit di Palembang. Dalam prasasti tersebut berisikan 10 baris dan baris pada bagian ke-4 sampai baris ke-7 yang isinya :

-       Baris ke-4, wulan Jyestha dapunta hyang marlapas dari minana,

-       Baris ke-5, tamwan mamawa yag wala dua laksa danan kesa

-       Baris ke-6, dua ratus cara di samwau danan jalan sariwu

-       Baris ke-7, tlu ratus sepuluh dua manakna datang di mukha upa (n)

 

Kemampuan sriwijaya dalam mengamankan wilayah nya dengan menggunakan kepala bajak laut menjadi bagian dari organisasi perdagangan dan juga menjadi pengaman di jalurjalur pelayaran. Kenapa begitu? itu dikarenakan jalur pelayaran yang dari barat ketimur dan dari utara ke selatan memberikan ancaman tersendiri bagi Sriwijaya.

 

Tapi ternyata, usaha sriwijaya menggunakan bajak laut malah membuat kerajaan mereka terdampak, lho! Kok bisa? Jadi, dengan keberadaan bajak laut para pedagang merasa khawatir dan akhirnya perdagangan laut mulai berkurang. Selain itu, juga perompakan yang ingin mengganggu hingga merampas barang-barang para pedagang asing.

 

Akhirnya, sriwijaya memperbaiki sistem keamanan dan ketertiban wilayahnya dan membuat strategi dengan cara memperkuat armada lautnya. Tentara armada Sriwijaya memiliki tugas bahwa ia harus mengatasi rintangan yang dihalangi oleh para perompak atau bajak laut. Tujuan mereka pun berhasil diwujudkan dengan upaya Sriwijaya hingga memberikan kenyamanan bagi para pedagang yang melintasi jalur tersebut.

 

Terdapat teori yang mengemukakan bahwa bajak laut adalah lanjutan atau extension dari perburuan. Perburuan bagi masyarakat bahari ini merupakan penangkapan ikan. Jika ditelusuri lebih lanjut lagi, maka penangkapan ikan berarti penangkapan apa saja yang ada di wilayah laut. Wilayah laut dianggap sebagai tempat berusaha yang bebas (seperti halnya daerah hutan bagi masyarakat darat yang mengembara di hutan untuk mengumpulkan makanan).

 

Dalam hal ini kepemilikan pribadi tidaklah berlaku. Maka siapapun dapat mengambil apapun dengan kehendak sendiri. Fenomena ini dilihat sebagai perompakan, suatu yang dilakukan oleh bajak laut.

 

Berita tertua tentang pelayaran di Asia Tenggara juga telah menyebutkan keberadaan bajak laut. Di Nusantara sendiri dapat ditemukan berita tentang bajak laut yang berada pada bagian utara Selat Malaka yang pada waktu itu menjadi pintu masuk ke Kerajaan Sriwijaya. Pada abad ke XII dilaporkan bahwa Fo-lo-an, sebuah kerajaan yang tunduk kepada sanfoqi (Sriwijaya) berhasil menangkis serangan dari bajak laut. Dikatakan bahwa bajak laut ini dipukul mundur oleh angin yang menurut kepercayaan orang setempat “karena pengaruh sang Budha”.

 

Dari abad ke V sampai abad ke XIV terdapat pusat bajak laut di Selat Malaka, yaitu Gegezengshi di sebelah utara, dan Longyamen di sebelah selatan. Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas tidak membiarkan perairannya menjadi tempat operasi bajak laut. Gegesengzhi terletak di sebelah barat laut dan Foloan sebagai kerajaan takhluk berhasil menangkis serangan dari bajak laut tersebut.


Oleh karena itu, Sriwijaya memperkuat keamanannya dan mengembangkan strategi untuk memberikan kenyamanan bagi para pedagang yang melewati perairannya. Teori tentang bajak laut sebagai perpanjangan dari berburu atau memancing berakar pada keyakinan bahwa laut adalah daerah bebas, dan siapa saja dapat mengambil apa yang mereka inginkan. Berita pertama tentang bajak laut di Asia Tenggara berasal dari zaman Kerajaan Sriwijaya. Keberadaan bajak laut di Indonesia merupakan masalah yang menjadi perhatian, dan upaya untuk mengatasi hal tersebut terus dilakukan.


Lapian, Adrian. 2009. “Orang Laut Bajak Laut Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi, http://kin.perpusnas.go.id/DisplayData.aspx?pId=54655&pRegionCode=UNES&pClientId=634, diakses pada 1 April 2023 pukul 09.55

 

George Coedes, Asia Tenggara Masa Hindu-Budha, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1127500, diakses pada 2 April pukul 19.30

 

O.W. Wolters, Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III - Abad VII, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=810695, diakses pada 2 April pukul 17.30

 

Safri Burhanuddin, dkk., Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia dalam Proses Integrasi Bangsa (Sejak Jaman Prasejarah hingga Abad XVII)http://perpustakaan.kkp.go.id/knowledgerepository/index.php?p=show_detail&id=3449 diakses pada 2 April pukul 20.10

Baca selengkapnya »
Pendidikan Keagamaan Buddha di Kerajaan Sriwijaya

Pendidikan Keagamaan Buddha di Kerajaan Sriwijaya

                                        Sumber: kompas.com
 

oleh: Alodia Chesta Quinevera, Febby Keysya Navita, Fani Fadillah, Reckha Virginia, Mochammad Yozie


    Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang berjaya pada masanya. Selain sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya juga merupakan pusat pengajaran agama Buddha dan bahasa Sansekerta. Sriwijaya banyak dikunjungi oleh biksu dari berbagai negara. Akibat dari hubungan kerjasama dengan negara lain, di Sriwijaya juga terdapat kelompok masyarakat yang beragama lain seperti Hindu, Tantris, hingga Islam.

 

Sejak abad ke-7, di Sriwijaya telah tumbuh dan berkembang agama Buddha. Pada prasasti Bukit Siguntang, terdapat kata-kata yang terdiri atas siksa dan prajna, yaitu dua pengertian dasar agama Buddha Mahayana dan Hinayana. Hingga abad ke-11, Sriwijaya menjadi pusat keagamaan Buddha terbesar di Asia Tenggara. Para biksu dari Asia bagian timur yang hendak belajar agama di Nalanda (India) akan singgah terlebih dahulu di Sriwijaya untuk persiapan dalam mempelajari agama Buddha.

 

Sriwijaya bukan saja pusat kekuasaan yang besar, melainkan juga sebagai sentral kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan Buddha. Para biksu yang berkunjung ke Sriwijaya mendapatkan tempat khusus. Mereka sangat disegani oleh para penguasa dan rakyat Sriwijaya. Para biksu yang datang tidak hanya singgah melainkan menetap dalam waktu lama untuk belajar agama Buddha. Selain datangnya para biksu dari negara lain, Sriwijaya juga mengirim rakyatnya untuk belajar agama Buddha ke India. Bahkan, seluruh biaya pendidikan dan fasilitas sudah ditanggung oleh Kerajaan Sriwijaya. Buktinya terdapat dalam prasasti Nalanda.


Dalam prasasti tersebut dijelaskan bahwa Balaputradewa dari Sriwijaya meminta kepada Dewapaladeva untuk pembangunan asrama bagi pelajar Sriwijaya yang datang ke India. Prasasti Nalanda juga membahas tentang Balaputradewa yang membebaskan tanah-tanah sima di beberapa desa yang terdapat di Nalanda supaya dijadikan asrama untuk para pelajar dari Sriwijaya. Isi prasasti tersebut membuktikan bahwa Raja Sriwijaya memberi perhatian besar dalam pengajaran dan pendidikan agama Buddha sampai mengirim rakyatnya ke India.

 

Hubungan diplomatik melalui pendidikan keagamaan ini terus terjalin hingga beberapa waktu setelahnya. Para biksu yang belajar di Nalanda tidak hanya belajar ilmu agama, melainkan juga kepandaian arsitektur dan arca. Menurut Agus Widiatmoko, seorang arkeolog, terdapat kesamaan antara situs Muaro Jambi di Provinsi Jambi dengan situs Nalanda dan situs Vikramasila di India. Dilihat dari segi arsitektur dan teknologi bangunan, ketiganya tampak mirip. Ketiga situs tersebut sama-sama menggunakan bata sebagai bahan penyusun utama. Dari pola dan satuan bangunan juga terdapat kesamaan meski ada penyesuaian dengan kondisi geografi wilayah.

 

Sekembalinya para pelajar dari India, mereka akan melanjutkan pendidikannya di Sriwijaya. Sumber dari Tiongkok menjelaskan bahwa Sriwijaya memiliki perguruan agama Buddha yang sangat baik. Hal tersebut dicatat dalam catatan I-Tsing, seorang biksu dari Tiongkok. I-Tsing menetap selama enam bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta dan Melayu. Menurut I-Tsing, perkembangan kehidupan beragama di Sriwijaya sangat baik. I-Tsing kagum dengan perkembangan Buddha di Sriwijaya. I-Tsing bahkan menyarankan para biksu negeranya untuk belajar di Sriwijaya. Catatan I-Tsing tersebut membuktikan bahwa Sriwijaya pernah menjadi pusat kegiatan agama Buddha.

 

Menurut I-Tsing, tempat pendidikan Buddha terdapat di sekitar wilayah kekuasaan Foshi. Lokasinya disebut Suvarnadivipa atau Sumatera. Berdasarkan prasasti India, ditemukan hubungan kerjasama bilateral Raja Pala dengan keturunan Syailendra. Sriwijaya membangun vihara di Nalanda untuk kepentingan pengembangan pendidikan agama Buddha. Setelah dilakukan eksplorasi, ditemukan situs Muaro Jambi. Kawasan ini telah ada sejak abad 7-12 M bersamaan dengan Sriwijaya dan Melayu Kuno di Sumatera. Adanya situs ini menunjukkan bahwa ajaran Buddha telah berkembang pesat di bumi Nusantara.

 

 

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan bahwa hubungan Sriwijaya-Nalanda melalui pendidikan, khususnya pertukaran pelajar, terbukti ampuh membangun hubungan antar bangsa. Para penguasa melakukan pembinaan kehidupan umat beragama untuk mendukung Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha. Di Sriwijaya, banyak terdapat pendeta Buddha yang terkenal. Salah satu guru agama yang terkenal saat itu adalah Sakyakirti. Ia telah mengunjungi lima negeri di India untuk memperdalam ilmu dan mengarang kitab Hastadandasastra. Kitab Hastadandasastra berisi permohonan untuk keselamatan rakyat kepada dewa-dewa. Selanjutnya, terdapat guru agama lainnya yaitu Dharmapala dan Dharmakirti.


Dharmakirti adalah biksu tertinggi Sriwijaya yang memberi kritik atas kitab Abhisamayalamkara. Berkat peran mahaguru tersebut, Sriwijaya dikunjungi oleh banyak biksu dari berbagai negeri. Dalam rentang tahun 1011-1023, datang biksu dari Tibet bernama Attisa untuk belajar kepada Dharmakirti. Menurut Attisa, tidak lengkap belajar Buddhisme bila tidak pergi ke Sriwijaya. Padahal, Attisa memiliki pengaruh besar tidak hanya di India tapi juga sampai Tibet. Para biksu yang datang ke Sriwijaya mendapat tempat khusus dan sangat disegani oleh para raja maupun rakyat Sriwijaya.

 

Sriwijaya memiliki peran penting dalam perkembangan agama Buddha. Sriwijaya sangat royal dalam memberi bantuan kepada kerajaan asing. Kerajaan Sriwijaya pernah menyumbang sebuah bangunan biara ke Nalanda. Selain itu, Sriwijaya juga memperoleh konsesi tanah dari raja setempat yang disumbangkan untuk perawatan biara dan beasiswa.

 

Seseorang yang ingin memperdalam ilmu Buddha harus masuk asrama dahulu. Rambut mereka akan dicukur habis lalu akan menggunakan jubah berwarna kuning. Orang-orang tersebut dinamakan cantrik. Seorang cantrik harus hidup dengan sederhana. Mereka dilarang membawa uang atau harta benda dari luar. Cantrik juga dituntut untuk belajar keras dan tekun serta menjaga kebersihan lingkungan belajar maupun asrama. Hal tersebut yang sampai saat ini masih diterapkan. Dengan sistem tersebut, pendidikan agama di Sriwijaya terkenal sampai seluruh dunia.

 

Sebagai sentra keagamaan Buddha, pendidikan pada masa Sriwijaya merupakan pendidikan dengan misi penyebaran agama dan ajaran kehidupan secara menyeluruh. Ajaran tersebut dikenal dengan Pancavidya. Pancavidya merupakan salah satu sistem pendidikan agama Buddha di Sriwijaya selain dengan sistem asrama. Pancavidya dikenal dengan penerapan lima aspek ilmu pengetahuan, yaitu Śabdavidyā (tata bahasa), Hetuvidyā (logika), Cikitsāvidyā (pengetahuan pengobatan), Śilakarmasthānavidyā (kesenian dan kerajinan), dan Adhyātmavidyā (teknik dan pengetahuan spiritualitas).

 

Dalam Buddha terdapat berbagai aliran, antara lain Mahayana dan Hinayana. Sumber tulisan dan prasasti yang ditemukan menunjukkan bahwa agama Buddha yang berkembang di Sriwijaya adalah Mahayana. Dikenalnya Sriwijaya sebagai pusat Buddha Mahayana tidak lepas dari peran Suvarnadvipi Dharmakirti yang dianggap Guru Bodhichitta. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi para biksu lainnya mempelajari aliran Buddha lainnya.

 

Aktivitas keagamaan masyarakat Kadatuan Sriwijaya bukan hanya Buddha Mahayana saja, melainkan agama-agama lain juga turut berkembang. Ditemukan juga bukti arkeologis berupa arca batu yang mewakili agama Hindu dan Tantris. Berita di Arab juga menyebut bahwa adanya persuratan antara Maharaja Sriwijaya dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis. Surat itu berisi permintaan Maharaja kepada Khalifah untuk mengirim mubaligh ke Sriwijaya.

 

Candi Borobudur merupakan bentuk kejayaan perkembangan Buddha di Nusantara pada masa Sriwijaya. Meskipun agama Buddha bukan asli Indonesia, tetapi catatan jejaknya menunjukkan kemajuan bangsa Indonesia pada zaman itu. Sriwijaya tidak menutup kemungkinan bagi agama-agama lain untuk berkembang di wilayah kadatuannya. Kebesaran Sriwijaya dalam perkembangan Buddha tidak hanya terkenal dalam kawasan regional Nusantara saja, melainkan sampai kepada regional Asia.


Sriwijaya berhasil mengembangkan peradaban Buddha di Nusantara, dimana sistem pendidikan yang pernah diterapkan pada masa itu masih bisa dirasakan hingga saat kini. Dari hubungan dan sikap Sriwijaya kepada bangsa asing menunjukkan bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan yang sangat ramah, terbuka, dan mau membantu kerajaan-kerajaan asing.


SUMBER REFERENSI

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 2016. Kehidupan Beragama di Sriwijaya. https://arkenas.kemdikbud.go.id/contents/read/article/h9jpzv_1481793025/kehidupan-beragama-di-sriwijaya#gsc.tab=0


 Ningsih, Widya Lestari. 2022. Upaya Kerajaan Sriwijaya untuk Menyebarkan Agama Buddha. https://www.kompas.com/stori/read/2022/11/17/100000979/upaya-kerajaan-sriwijaya-untuk-menyebarkan-agama-buddha?page=all


 Bodhidharma. 2021. Sistem Pendidikan Agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya. https://bodhidharma.ac.id/artikel/42/Sistem-Pendidikan-Agama-Buddha-di-Kerajaan-Sriwijaya.html#:~:text=Pancavidya%20sendiri%20adalah%20sebuah%20sistem,Hetuvidy%C4%81%20(logika)


Mandala, Eka. 2023. Perkembangan Agama Buddha di Sriwijaya. https://www.pinhome.id/blog/perkembangan-agama-buddha-di-sriwijaya/#:~:text=Agama%20Buddha%20yang%20dianut%20di,menganut%20agama%20Buddha%20aliran%20Mahayana

.

Kusumo, Rizky. 2022. Sriwijaya, Pusat Pendidikan Agama Buddha Terbesar di Asia Tenggara. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/05/16/sriwijaya-pusat-pendidikan-agama-buddha-terbesar-di-asia-tenggara

 

Indonesia. 2019. Buddhisme, antara Sriwijaya dan Borobudur. https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/buddhisme-antara-sriwijaya-dan-borobudur

Baca selengkapnya »
RITUAL THUDONG PARA BHANTE dan HARI BESAR WAISAK DI CANDI BOROBUDUR

RITUAL THUDONG PARA BHANTE dan HARI BESAR WAISAK DI CANDI BOROBUDUR

 

Gambar : Puluhan Bhante Beribadah di Candi Borobudur

Sumber : buddhazine.com


    Hallo sobat Historia 34! Gimana, nih, kabar kalian semua? Semoga sehat selalu ya, amin. Sebagai warga negara kita patut merasa bangga dengan keberagaman yang ada di Nusantara. Nusantara memiliki banyak keberagaman yang terletak pada setiap identitas individu maupun golongan.  Contohnya, adalah pada keberagaman aliran Candi di Nusantara. Sobat tahu nggak, sih? Salah satu Candi yang populer di Indonesia peninggalan Dinasti Syailendra, Kerajaan Mataram Kuno, ternyata menjadi salah satu tempat puluhan Bhante dari Asia Tenggara, khususnya negara Thailand untuk merayakan hari besar Tri Suci Waisak dengan berjalan kaki menuju Candi Borobudur! kok bisa? yuk sobat kita simak pembahasannya!

 

Negara Indonesia adalah negara yang memiliki banyak sekali suku, agama, ras, dan budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Seperti yang kita ketahui negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak peninggalan candi dari berbagai kerajaan. Kerajaan di Indonesia memiliki bermacam-macam corak, mulai dari kerajaan Islam, hingga kerajaan Hindu-Buddha. Sebelum itu, perlu diketahui bahwa kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara dimulai sekitar abad ke-IV Masehi. Peristiwa inilah yang menyebabkan semakin banyak peninggalan pada tiap-tiap kerajaan yang ada di Indonesia sehingga mempengaruhi banyaknya peninggalan pada tiap corak kerajaan di Nusantara.

 

Salah satunya dari banyaknya kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara adalah kerajaan Mataram Kuno. Seperti yang diketahui, Candi Borobudur merupakan salah satu dari peninggalan wangsa Syailendra pada masa kerajaan Mataram Kuno, wangsa merupakan keturunan raja. Wangsa Syailendra merupakan wangsa yang bercorak agama Buddha. Agama Buddha merupakan salah satu bentuk dari sistem kepercayaan manusia kepada Tuhan yang lahir dan berkembang pada abad ke-6. Agama Buddha diperoleh dari panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang mula-mula, yaitu Siddharta Gautama atau Sang Buddha, berasal dari akar kata Bodhi (hikmat), yang di dalam deklensi (tashrif) selanjutnya menjadi buddhi (nurani), dan selanjutnya menjadi Buddha. Sebab itulah, sebutan Buddha pada masa selanjutnya memperoleh berbagai pengertian; Yang sadar, Yang Cemerlang, dan Yang beroleh terang.

 

Agama Buddha memiliki tiga perbedaan aliran, yang pertama adalah Theravada. Theravada adalah bentuk Buddhisme yang paling tua. Penganutnya aliran Theravada ini kebanyakan berasal dari negara-negara Asia Tenggara. Yang kedua, merupakan Mahayana, Mahayana mengandung 2 ajaran Buddhisme yang paling populer, Buddha Tanah Murni (Amidisme) dan Buddhisme Zen. Buddha Tanah Murni cenderung tidak berfokus pada Buddha Gautama, tapi kepada Buddha Amitabha dan meyakini bahwa mereka yang telah mencapai penerangan akan terlahir kembali di Tanah Murni bersama Amitabha. 


Sedangkan Buddhisme Zen kebanyakan berfokus pada penggunaan meditasi sebagai bentuk kesadaran dan pencarian jati diri yang dapat menuntun praktisinya mencapai penerangan. Terakhir merupakan Vajrayana, Vajrayana adalah suatu aliran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Vajrayana berfokus pada mengajarkan penganut bagaimana menjadi Buddha dalam satu kehidupan yang melibatkan praktik-praktik seperti membaca mantra, menggunakan mandalas, memvisualisasikan para dewa dan Buddha, serta memanfaatkan mudras.

 

Seperti umat beragama pada umumnya, umat Buddha memiliki hari agung keagamaan contohnya adalah hari raya Waisak. Di Nusantara, umat Buddha merayakan Tri Suci Waisak sejak tahun 1930 pada area Candi Borobudur. Candi yang berlokasi di Magelang, Jawa Tengah ini merupakan candi yang bercorak agama Buddha Mahayana. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan masa 75 - 100 tahun. Pembangunan Candi Borobudur dibangun sebagai tempat pemujaan Buddha. Guys ada fun fact seru nih buat kalian! Tahu nggak sih kalo Candi Borobudur itu telah mendapat predikat sebagai warisan budaya dan tempat ziarah dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) World Heritage Committee, Pada 13 Desember 1991.

 

Dapat diketahui Candi Borobudur memiliki tiga tingkatan. Tingkatan pada Candi Borobudur memiliki arti pada gambaran umat Buddha yaitu sebagai berikut:


Gambar : Tiga tingkatan pada Candi Borobudur

Sumber : https://sammaditthi.org


  1. Kamadhatu adalah tingkatan terbawah dari Candi Borobudur yang menggambarkan mengenai alam dunia yang dialami oleh manusia sekarang dengan berbagai sifat dan nafsu manusia. Kamadhatu terdiri dari 160 relief yang menjelaskan Karma Vibhanga Sutta, yaitu hukum sebab akibat, menggambarkan sifat dan nafsu manusia.
  2. Rupadhatu adalah tingkatan tengah dari Candi Borobudur yang menggambarkan bahwa manusia sudah mulai meninggalkan segala bentuk keinginan duniawi walaupun masih terikat dengan dunia nyata. Bagian ini terdiri dari empat undak teras berbentuk persegi yang dindingnya dihiasi relief. Rupadhatu terdiri dari galeri ukiran relief batu dan patung Buddha, secara keseluruhan ada 328 patung Buddha yang juga memiliki hiasan relief pada ukirannya.
  3. Arupadhatu adalah tingkatan teratas dari Candi Borobudur yang menggambarkan mengenal kehidupan Sang Buddha telah sampai pada puncak kesempurnaan karena telah meninggalkan kehidupan duniawi untuk mencapai pencerahan. Arupadhatu terdiri dari tiga pelataran. Pelataran pada bagian ini terdiri dari stupa berbentuk lingkaran yang berlubang berisi patung Buddha yang mengarah ke bagian luar candi. Di sini terdapat 72 stupa dengan satu buah stupa terbesar yang memiliki tinggi 42 meter diatas tanah dengan diameter 9.9 meter.

 

Tiga tingkatan ini memiliki makna bahwa manusia dapat terbebas dari nafsu keinginan dan kekotoran batin dengan melatih diri menghindari perbuatan jahat, menambah kebajikan, dan menyucikan hati serta pikiran untuk mencapai kebahagiaan sejati yaitu Nibbana.

 

Selain itu, Candi Borobudur merupakan salah satu tempat beribadah umat Buddha untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan salah satunya adalah hari raya Waisak. Hari raya Waisak adalah salah satu dari hari besar umat Buddha yang dimuat dalam kitab suci Tripitaka. Hari raya Waisak atau seringkali disebut Tri Suci Waisak, pada sejarahnya terdapat tiga peristiwa penting dalam umat Buddha, yaitu kelahiran Pangeran Siddharta Gautama, tercapainya penerangan sempurna oleh Pertapa Gautama, serta wafatnya Sang Buddha Gautama. Sebagai hari yang disucikan umat Buddha, hari raya Waisak dilakukan oleh semua umat beragama Buddha pada seluruh negara dengan melakukan puja, perenungan serta upacara ritual untuk memahami makna Waisak.

 

Sebelum memperingati hari raya Tri Suci Waisak ternyata umat Buddha mempunyai ritual yang bisa dijalankan lho guys khususnya bagi para Bhante, contohnya adalah ritual perjalanan religi Thudong. Dalam menyambut hari raya Tri Suci Waisak, kalian tahu nggak sih guys kalau puluhan Bhante yang berasal dari Asia Tenggara khususnya negara Gajah Putih ini berkumpul dan berjalan beriringan menuju Candi Borobudur untuk memperingati hari raya Waisak, ritual yang dijalankan ini harus menempuh ribuan kilometer bagi para Bhante dalam melaksanakan ritual Thudong.


Thudong merupakan perjalanan ritual para Bhante yang dilakukan dengan berjalan kaki ribuan kilometer. Mereka memulai perjalanan ini pada 23 Maret 2023 dari Nakhon Si Thammarat, Thailand melewati Malaysia, Singapura, dan tiba Batam pada 8 Mei lalu. Bhante Dhammavuddho menjelaskan bahwa Thudong merupakan tradisi berjalan yang sudah berlangsung sejak dahulu. Zaman Sang Buddha, belum ada vihara, belumada tempat tinggal para Bhante. Oleh sang Buddha, para Bhante diberikesempatan tinggal di hutan, gunung, atau gua.

 

“Jadi dalam setahun, mereka akan berjalan seperti ini selama empat bulan untuk melaksanakan tradisi ini. Kebetulan karena di Indonesia ada Candi Borobudur, bertepatan Hari Raya Waisak, dan mereka jalan dari Thailand,” terangnya. Bhante berharap selama perjalananan, mereka melatih kesabaran. Sebab, Sang Buddha mengajarkan bahwa kesabaran adalah praktik dhamma yang paling tinggi. “Meraka terkena panas, hujan, dan ini juga makan satu hari satu kali dan minuman seadanya,” sebut Bhante.


Dalam kesempatannya para Bhante melakukan puja bakti di Cetiya Jambala Jaya dan menerima Pindapata dari pegawai Bimas Buddha dan pegawai lainnya dan melanjutkan perjalanan dari Kementerian Agama Jalan MH. Thamrin Jakarta Pusat menuju ke Candi Borobudur dengan melewati jalan raya Bekasi, Cirebon, Semarang dan sampai di Magelang untuk mengikuti perayaan Waisak 2567 BE /2023 tanggal 4 Juni 2023.


Gambar : Ritual Thudong oleh para Bhante menuju Candi Borobudur

Sumber : news.detik.com

Wah tidak terasa sudah dipenghujung pembahasan. Kami harap pembahasan dari kami bisa bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua yang membaca artikel ini, sampai bertemu lagi di pertemuan selanjutnya. Bella Ciao!

SUMBER

 

Anonim, “Borobudur”

http://p2kp.stiki.ac.id/id3/2-3060-2956/Candi-Borobudur_27657_p2kp-stiki.html

diakses pada 22 Mei 2023 (pukul 18.38)

 

Anonim, “Waisak adalah salah satu hari raya agama Buddha”

https://repository.usd.ac.id/18334/1/126322008.pdf

diakses pada 22 Mei 2023 (pukul 21.30)

 

Anonim, “Mengenal lebih dalam tiga tingkatan dalam Candi Borobudur”

https://sammaditthi.org/?p=7870

diakses pada 9 Mei 2023 (pukul 14.40)

 

Anonim, “Hari raya Waisak”

https://repository.uin-suska.ac.id/20794/6/6.%20BAB%20I%20%281%29.pdf

diakses pada 10 Mei 2023 (pukul 09.20)

 

Hasnur Irwansyah (2017), “Upacara Waisak Di Candi Muara Takus (Studi terhadap Komunitas Buddha dalam Melaksanakan Upacara Waisak 2016)”

https://repository.uin-suska.ac.id/20794/  diakses pada 23 Mei 2023 (pukul 12.00)

 

Melisa (2019), “Perbedaan 3 Aliran Dalam Agama Buddha”

https://student-activity.binus.ac.id/kmbd/2019/08/perbedaan-3-aliran-dalam-agama-buddha/ diakses pada 25 Mei 2023 (pukul 18.38) 

Baca selengkapnya »
Sekilas Kerajaan Kutai

Sekilas Kerajaan Kutai

oleh: Alya Hanifa, Aulia Nur Rahma, Muhammad Fahrul, Rangga Dwi, Sahasika Cetta


    Hai teman - teman historia 34! Pernahkah kalian mendengar Kerajaan Kutai? Apa yang pertama kali yang terlintas dalam pikiran kalian mengenai Kerajaan Kutai? Jika kalian mengira kerajaan Kutai terletak dari daerah Bali, kalian salah! Kerajaan Kutai terletak dari Kalimantan Timur, Muara Kaman, di tepi sungai mahakam yang sangat terkenal itu, lho!

 

Walau jarang kita dengar, ternyata, Kerajaan Kutai termasuk Kerajaan Hindu tertua di Indonesia lho, teman - teman! Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Kutai Martapura yang didirikan pada abad ke-3 oleh Maharaja Kudungga. Masuknya agama Hindu ke Indonesia menjadi alasan mengapa Maharaja Kudungga mengubah struktur pemerintahan dan mendirikan sebuah kerajaan, Maharaja Kudungga sebelumnya merupakan seorang kepala suku yang mengangkat dirinya menjadi seorang raja Kerajaan Kutai Martapura.

 

Selain menjadi kerajaan Hindu tertua di Indonesia, Kerajaan Kutai Martapura memiliki banyak peninggalan menarik yang masih ada sampai sekarang lho! Apaan aje tuh? Pasti penasaran dong!

 

Peninggalan pertama yang paling terkenal dari Kerajaan Kutai Martapura salah satunya adalah Prasasti Yupa. Prasasti Yupa ditemukan pada tahun 1890. Yupa merupakan tiang batu yang bertuliskan berita tentang Kerajaan Kutai. Tidak hanya bertuliskan berita, prasasti yupa berisikan berupa silsilah keluarga, aspek ekonomi, sosial dan informasi penting mengenai Kerajaan Kutai Martapura. Prasasti Yupa Ini dibuat dengan tulisan huruf Pallawa dengan bahasa Sansekerta yang banyak digunakan di India Selatan. Hingga saat ini ada 7 Prasasti Yupa yang sangat terkenal dari Kerajaan Kutai Martapura. Antara lain, Prasasti Muarakaman I yang menjelaskan silsilah Raja Mulawarman. Prasasti Muarakaman II yang menjelaskan persembahan Raja Mulawarman kepada para brahmana. Prasasti Muarakaman III yang menceritakan kembali budi dan kebesaran raja mulawarman.


Prasasti Muarakaman IV yang sudah tidak bisa terbaca. Prasasti Muarakaman V yang menceritakan para brahmana yang menjadi peringatan atas dua sedekah yang telah diberikan oleh raja mulawarman, sedekah raja mulawarman tersebut berupa segunung minyak kental dan lampu dengan malai (kelopak) bunga. Prasasti Muarakaman VI menceritakan seruan selamat bagi Sri Maha Raja. Prasasti Muarakaman VII yang menceritakan raja mulawarman yang berhasil menaklukan raja lain seperti Raja Yudhistira. 7 Prasasti Yupa ini semuanya menceritakan tentang Raja Mulawarman karena ia menjadi salah satu tokoh yang sangat penting bagi Kerajaan Kutai.


Selanjutnya, peninggalan kedua yang tidak kalah unik yaitu Kura-Kura Emas. saat ini Kura-Kura Emas masih tersimpan dengan baik di Museum Mulawarman. Kura-kura Mas pada awalnya merupakan benda koleksi dari Kerajaan Kutai. Namun setelah terjadi perang antara Kerajaan Kutai dengan Kerajaan Kutai Kartanegara pada pertengahan abad ke-17, Kura-kura Mas menjadi milik Kerajaan Kutai Kartanegara sebagai pihak pemenang perang Perang tersebut terjadi ketika Kerajaan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura (1605-1635 M).


Patung Kura-Kura ini berukuran setengah kepalan tangan dan merupakan persembahan pangeran dari Kerajaan China pada Putri Sultan Kutai yang bernama Aji Bidara Putih. Kerajaan China memberikan persembahan ini kepada Kerajaan Kutai Martapura sebagai bukti bahwa ada pangeran dari Kerajaan China yang hendak mempersunting sang putri dari kerajaan kutai martapura. Sebagai wujud kesungguhan hati sang pangeran untuk memperistri Aji Bidara Putih, maka pangeran menghadiahkan berbagai perhiasan yang terbuat dari emas dan intan, yang salah satunya adalah Kura-kura Mas ini. Kura-Kura Emas ini dapat ditemukan di daerah Long Lalang, hulu Sungai Mahakam.


Peninggalan yang tidak kalah keren salah satunya adalah Kalung Ciwa, Kalung Ciwa yang terbuat dari emas yang ada sejak zaman pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Kalung tersebut ditemukan oleh warga sekitar pada tahun 1890 di sekitar Danau Lipan Muara Kaman. Pada saat itu kalung ciwa digunakan oleh sultan dan hanya dipakai ketika acara penobatan sultan baru. Dan ternyata sampai saat ini, kalung ciwa masih dipakai.


Berikutnya, ada peninggalan Keris Bukit Kang. Keris Bukit Kang merupakan sebuah keris yang digunakan oleh Permaisuri Aji Putri Karang Melenu yang merupakan permaisuri Raja Kutai yang pertama yaitu Raja Kudungga. Keris ini menjadi satu dari tiga benda pusaka yang kerap digunakan dalam setiap ritual adat penobatan raja. Konon, keris ini merupakan tusuk konde milik permaisuri Aji Putri Karang Melenu, yang tak lain adalah permaisuri dari Raja Kutai bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, yaitu sosok penguasa kerajaan Kutai yang pertama.Dan juga menurut cerita yang tersebar, dulunya putri pernah ditemukan dalam sebuah gong yang hanyut di atas bambu. Di dalam gong itu bukan hanya ada putri tapi juga telur ayam dan sebuah Keris di dalam gong tersebut. Hingga saat ini dipercaya bahwa Keris tersebut adalah Keris Bukit Kang.


Tak hanya itu, ada juga peninggalan Ketopong Sultan. ketopong sultan adalah mahkota yang dipakai sultan Kerajaan Kutai yang terbuat dari emas. Benda ini sebagai simbol penguasa Kesultanan Kutai Kartanegara.. Ketopong ini berbentuk mahkota brunjungan dan bagian muka berbentuk meru bertingkat. Ketopong ini juga dihiasi dengan motif spiral yang dikombinasikan dengan motif sulur. Hiasan belakang pada ketopong terdapat berbentuk garuda mungkur yang berhiaskan motif bunga, kijang dan burung. Mahkota Sultan Kutai Kartanegara diperkirakan mulai digunakan sejak pertengahan abad ke-19 atau ketika Kesultanan Kutai Kartanegara diperintah oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1845-1899 M). Ketopong Sultan memiliki berat 1,98 kilogram dan hingga saat ini masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta.


Sama halnya dengan prasasti Yupa, Ketopong Sultan juga ditemukan pada tahun 1890 di Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Sedangkan yang disimpan di Museum Mulawarman adalah Ketopong Sultan tiruan. Salah satu alasan kenapa Ketopong Sultan asli disimpan di Museum Nasional Jakarta karena museum tersebut memiliki keamanan yang lebih baik dan ketat pengawasannya.


Dan selanjutnya ada Pedang Sultan Kutai. Pedang yang lebih dikenal dengan Pedang Kalimantan adalah pedang peninggalan dari sultan kutai pada abad ke 13. Pedang tersebut terbuat dari emas padat. Pada bagian gagang pedang terdapat ukiran harimau yang akan menerkam mangsanya. Harimau merupakan binatang yang terdapat pada lambang Kesultanan Kutai Kartanegara. Sedangkan pada bagian ujung sarung pedang berhiaskan seekor buaya.Pedang Sultan Kutai dapat kita saksikan saat berkunjung ke Museum Nasional Jakarta.


Peninggalan Kerajaan Kutai selanjutnya adalah singgasana sultan. singgasana sultan adalah 2 buah kursi yang berwarna kuning. Singgasana ini berfungsi untuk peraduan pengantin kutai atau biasa disebut geta berwarna biru tua. Di sekitar singgasana dilengkapi dengan payung dan umbul-umbul yang berwarna putih. Singgasana ini telah dipakai oleh dua orang Sultan, yaitu Aji Sultan Muhammad Sulaiman (1845-1899 M) dan Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960 M).


Selanjutnya, peninggalan dari Kerajaan Kutai adalah Kalung Uncal. Kalung Uncal merupakan suatu tanda kerajaan turun temurun yang wajib digunakan oleh seorang ketika sedang ditabalkan atau dinobatkan menjadi Sultan Kutai. Kalung Uncal ini berbahan emas dan memiliki bobot 170 gram dengan hiasan liontin berelief Kisah Ramayana. Kalung Uncal menjadi salah satu atribut dari Kerajaan Kutai yang dipakai Sultan Kutai Kartanegara semenjak Kutai Martadipura bisa dijajah dan ditaklukkan. Kalung ini kemungkinan berasal dari daerah India dan merupakan milik Dewi Sinta istri dari Sri Rama. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kalung ini hanya terdapat 2 buah saja di dunia. Yang satu diletakkan di India dan satunya tersimpan di Museum Mulawarman yang terdapat di daerah Kalimantan Timur.


Dan yang terakhir peninggalan kerajaan kutai yaitu, Tali Juwita. Tali Juwita berasal dari kata Upavita atau kalung yang diberikan untuk Raja. Tali Juwita terdiri dari 21 helai berbahan dasar emas, perak, dan perunggu. Terdapat 3 liontin berbentuk gelang dan 2 buah mata kucing dan barjad putih. Sedangkan untuk liontin yang lain berbentuk lentera dengan 2 bandul kecil. Tali ini memiliki arti penting, yaitu melambangkan 7 simbol muara, dan 3 anak sungai. Meliputi sungai Kelinjau, Belayan, serta Kadang Pahu yang berada di sungai Mahakam. Biasanya tali ini digunakan ketika Upacara Bepelas. Upacara adat Bepelas dimaksudkan untuk memuja sukma dan raga Sultan dari ujung kaki hingga ujung rambut agar Sultan mendapatkan kekuatan dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan melaksanakan adat.


Itulah tadi sejumlah penjelasan tentang peninggalan Kerajaan Kutai Martapura yang dapat kami sampaikan.


Sekian dari kami, sore sore membeli buah, jangan lupa mempelajari sejarah! Bella Ciao!


DAFTAR PUSTAKA

 

Ananda. 2022. “Pendiri Kerajaan Kutai: Sejarah, Masa Kejayaan & Peninggalan, https://www.gramedia.com/literasi/pendiri-kerajaan-kutai/, diakses pada 24 Mei 2023

pada pukul 19.05

 

Ningsih, Widya Lestari. 2021. “Kerajaan Kutai: Masa Kejayaan, Silsilah Raja, dan Peninggalan,

https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/18/143115579/kerajaan-kutai-masa-kejayaan

-silsilah-raja-dan-peninggalan?page=all, diakses pada 24 Mei 2023 pada pukul 19.12

 

Nisa, Amirul. 2023. “7 Peninggalan Kerajaan Kutai, Kerajaan Hindu Tertua dan Terbesar di Indonesia”,

https://bobo.grid.id/read/083722539/7-peninggalan-kerajaan-kutai-kerajaan-hindu-tertua-d an-terbesar-di-indonesia?page=all, diakses pada 24 Mei 2023 pada pukul 18.43

 

Ditamei, Stefani. 2022. "10 Peninggalan Kerajaan Kutai Beserta Sejarahnya", https://www.detik.com/jabar/berita/d-6260473/10-peninggalan-kerajaan-kutai-beserta-seja rahnya, diakses pada 24 Mei 2023 pada pukul 18.45

 

Kompas.com. 2022. "7 Prasasti Sumber Sejarah Kerajaan Kutai", https://regional.kompas.com/read/2022/08/16/222722478/7-prasasti-sumber-sejarah-kera jaan-kutai?page=all, diakses pada 24 Mei 2023 pada pukul 18.45

 

Roro. 2019. “Keris Bukit Kang”, https://budaya-indonesia.org/Keris-Bukit-Kang, diakses pada 24 Mei 2023 pada pukul 18.52

 

Apriyono, Ahmad. 2015. "Ini Pedang Kalimantan yang Bertahtakan Batu Akik", https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2264967/ini-pedang-kalimantan-yang-bertahtakan- batu-akik, diakses pada 24 Mei 2023 pada pukul 19.26

 

Aldi, Riandana. 2014. “Kalung Uncal”, https://budaya-indonesia.org/Kalung-Uncal/, diakses pada 24 Mei 2023 pada pukul 19.56

 

Bermuda.com.                                2023.                           “Peninggalan                               Kerajaan                             Kutai”, https://bermudabda.com/peninggalan-kerajaan-kutai/#google_vignette, diakses pada 24 Mei 2023 pada pukul 19.53

 

Nadilla Syabriya. 2022. "8 Peninggalan Kerajaan Kutai, dari Prasasti hingga Singgasana Sultan",

https://nasional.okezone.com/read/2022/10/18/337/2689681/8-peninggalan-kerajaan-kutai-d ari-prasasti-hingga-singgasana-sultan?page=2, diakses pada 24 Mei 2023 pada pukul 19.32

Baca selengkapnya »