Bajak Laut era Kerajaan Sriwijaya

 

                            sumber: https://www.kompasiana.com


oleh: Hanania Amalina Putri, Maulidya Rahman, Muhammad Razzan Putra, Raden Muhammad Abyan, Zabrida Zarra Zetta


    Istilah “negara kepulauan” merupakan padanan kata dari bahasa Indonesia yang berasal dari kata archipelago state yang berarti negara laut dengan taburan pulau, bukan negara kepulauan yang dikelilingi laut. Hal ini mengingat 2/3 bagian dari Indonesia adalah perairan. Meskipun secara geopolitik Indonesia berada di kawasan yang strategis, namun dari segi pembangunan Indonesia tertinggal jauh dengan negara-negara di Asia lainnya loh! seperti Malaysia dan Singapura. Kok bisa? Hal tersebut dikarenakan rendahnya indeks pembangunan di Indonesia yang salah satunya disebabkan kurangnya memanfaatkan sumber daya alam Indonesia, terutama potensi maritim.

 

Berdasarkan sumber sejarah, di Nusantara pernah berdiri kerajaan dengan basis maritimnya yang kuat loh! Pasca kerajaan majapahit runtuh, di fase ini muncullah kerajaan baru di jawa maupun di luar jawa yaitu Sriwijaya. Kerajaan ini tidak serta merta langsung menjadi kerajaan besar. Pada awalnya nama Kerajaan Sriwijaya belum dikenal khalayak seperti Kerajaan Majapahit. Nama Kerajaan  Sriwijaya sendiri selanjutnya menjadi perdebatan oleh para kalangan peneliti sejarah, seperti yang diungkapkan oleh H. Kern, ia menyatakan bahwa kata Sriwijaya yang tertulis di Prasasti Kota Kapur bukan nama kerajaan melainkan nama seorang raja.

 

Sebagai kerajaan maritim dengan ciri khas pengembangan tradisi diplomasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai pusat perdagangan. Keberhasilan ini tidak lepas karena Sriwijaya mampu menguasai selat Malaka yang pada waktu itu menjadi pintu masuk bagi para pedagang dari berbagai negara. Selain sektor perdagangan yang sudah tidak diragukan, Sriwijaya juga memiliki strategi pengamanan wilayah maritimnya dengan mengangkat kepala bajak laut untuk bergabung dalam ikatan kerajaan. Hal ini dilakukan untuk memastikan jalur pelayaran aman dari serangan bajak laut. Dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai respon dari pemerintah Kerajaan Sriwijaya terhadap konsep bajak laut yang cenderung bias. terdapat beberapa poin yang akan dibahas. Pertama, bagaimana konsep pelayaran yang dibuat Kerajaan Sriwijaya hingga memiliki wilayah kekuasaan yang besar. Kedua, dampak keberadaan bajak laut terhadap perdagangan internasional di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Melihat permasalahan dalam penelitian ini, penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal reseach) dengan pendekatan historis (historical approach).


Pendekatan ini dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu untuk memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut. Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan bantuan Mangkubumi Nya, Patih Gajah Mada. Pada waktu itu, Majapahit mampu menyatukan seluruh kerajaan di Nusantara termasuk, Pahang, Palembang dan Temasik. Sepeninggal Patih Gajah Mada pada tahun 1363, Kerajaan Majapahit berada diambang kemegahan. Disusul dengan meninggalnya Hayam Wuruk pada 1389.


Pasca Kerajaan Majapahit runtuh, pada fase inilah muncul kerajaan baru baik di Jawa maupun luar Jawa salah satunya Kerajaan Sriwijaya. Meskipun begitu, Kerajaan ini tidak serta merta langsung menjadi kerajaan besar. Pada awalnya nama Kerajaan Sriwijaya belum dikenal khalayak seperti Kerajaan Majapahit. Nama Kerajaan sriwijaya sendiri selanjutnya menjadi perdebatan oleh para kalangan peneliti sejarah, seperti yang diungkapkan oleh H. Kern, ia menyatakan bahwa kata Sriwijaya yang tertulis di Prasasti Kota Kapur bukan nama kerajaan melainkan nama seorang raja.

 

Informasi terkait kekuasaan dan kebesaran Sriwijaya sebagai penguasa laut yang handal dan terkenal dengan kemaharajaan maritimnya ditemukan dalam Prasasti Kedukan Bukit di Palembang. Dalam prasasti tersebut berisikan 10 baris dan baris pada bagian ke-4 sampai baris ke-7 yang isinya :

-       Baris ke-4, wulan Jyestha dapunta hyang marlapas dari minana,

-       Baris ke-5, tamwan mamawa yag wala dua laksa danan kesa

-       Baris ke-6, dua ratus cara di samwau danan jalan sariwu

-       Baris ke-7, tlu ratus sepuluh dua manakna datang di mukha upa (n)

 

Kemampuan sriwijaya dalam mengamankan wilayah nya dengan menggunakan kepala bajak laut menjadi bagian dari organisasi perdagangan dan juga menjadi pengaman di jalurjalur pelayaran. Kenapa begitu? itu dikarenakan jalur pelayaran yang dari barat ketimur dan dari utara ke selatan memberikan ancaman tersendiri bagi Sriwijaya.

 

Tapi ternyata, usaha sriwijaya menggunakan bajak laut malah membuat kerajaan mereka terdampak, lho! Kok bisa? Jadi, dengan keberadaan bajak laut para pedagang merasa khawatir dan akhirnya perdagangan laut mulai berkurang. Selain itu, juga perompakan yang ingin mengganggu hingga merampas barang-barang para pedagang asing.

 

Akhirnya, sriwijaya memperbaiki sistem keamanan dan ketertiban wilayahnya dan membuat strategi dengan cara memperkuat armada lautnya. Tentara armada Sriwijaya memiliki tugas bahwa ia harus mengatasi rintangan yang dihalangi oleh para perompak atau bajak laut. Tujuan mereka pun berhasil diwujudkan dengan upaya Sriwijaya hingga memberikan kenyamanan bagi para pedagang yang melintasi jalur tersebut.

 

Terdapat teori yang mengemukakan bahwa bajak laut adalah lanjutan atau extension dari perburuan. Perburuan bagi masyarakat bahari ini merupakan penangkapan ikan. Jika ditelusuri lebih lanjut lagi, maka penangkapan ikan berarti penangkapan apa saja yang ada di wilayah laut. Wilayah laut dianggap sebagai tempat berusaha yang bebas (seperti halnya daerah hutan bagi masyarakat darat yang mengembara di hutan untuk mengumpulkan makanan).

 

Dalam hal ini kepemilikan pribadi tidaklah berlaku. Maka siapapun dapat mengambil apapun dengan kehendak sendiri. Fenomena ini dilihat sebagai perompakan, suatu yang dilakukan oleh bajak laut.

 

Berita tertua tentang pelayaran di Asia Tenggara juga telah menyebutkan keberadaan bajak laut. Di Nusantara sendiri dapat ditemukan berita tentang bajak laut yang berada pada bagian utara Selat Malaka yang pada waktu itu menjadi pintu masuk ke Kerajaan Sriwijaya. Pada abad ke XII dilaporkan bahwa Fo-lo-an, sebuah kerajaan yang tunduk kepada sanfoqi (Sriwijaya) berhasil menangkis serangan dari bajak laut. Dikatakan bahwa bajak laut ini dipukul mundur oleh angin yang menurut kepercayaan orang setempat “karena pengaruh sang Budha”.

 

Dari abad ke V sampai abad ke XIV terdapat pusat bajak laut di Selat Malaka, yaitu Gegezengshi di sebelah utara, dan Longyamen di sebelah selatan. Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas tidak membiarkan perairannya menjadi tempat operasi bajak laut. Gegesengzhi terletak di sebelah barat laut dan Foloan sebagai kerajaan takhluk berhasil menangkis serangan dari bajak laut tersebut.


Oleh karena itu, Sriwijaya memperkuat keamanannya dan mengembangkan strategi untuk memberikan kenyamanan bagi para pedagang yang melewati perairannya. Teori tentang bajak laut sebagai perpanjangan dari berburu atau memancing berakar pada keyakinan bahwa laut adalah daerah bebas, dan siapa saja dapat mengambil apa yang mereka inginkan. Berita pertama tentang bajak laut di Asia Tenggara berasal dari zaman Kerajaan Sriwijaya. Keberadaan bajak laut di Indonesia merupakan masalah yang menjadi perhatian, dan upaya untuk mengatasi hal tersebut terus dilakukan.


Lapian, Adrian. 2009. “Orang Laut Bajak Laut Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi, http://kin.perpusnas.go.id/DisplayData.aspx?pId=54655&pRegionCode=UNES&pClientId=634, diakses pada 1 April 2023 pukul 09.55

 

George Coedes, Asia Tenggara Masa Hindu-Budha, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1127500, diakses pada 2 April pukul 19.30

 

O.W. Wolters, Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III - Abad VII, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=810695, diakses pada 2 April pukul 17.30

 

Safri Burhanuddin, dkk., Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia dalam Proses Integrasi Bangsa (Sejak Jaman Prasejarah hingga Abad XVII)http://perpustakaan.kkp.go.id/knowledgerepository/index.php?p=show_detail&id=3449 diakses pada 2 April pukul 20.10

Bajak Laut era Kerajaan Sriwijaya