oleh: Alodia Chesta Quinevera, Febby Keysya Navita, Fani Fadillah, Reckha Virginia, Mochammad Yozie
Sriwijaya
dikenal sebagai kerajaan maritim yang berjaya pada masanya. Selain sebagai
kerajaan maritim, Sriwijaya juga merupakan pusat pengajaran agama Buddha dan
bahasa Sansekerta. Sriwijaya banyak dikunjungi oleh biksu dari berbagai negara.
Akibat dari hubungan kerjasama dengan negara lain, di Sriwijaya juga terdapat
kelompok masyarakat yang beragama lain seperti Hindu, Tantris, hingga Islam.
Sejak
abad ke-7, di Sriwijaya telah tumbuh dan berkembang agama Buddha. Pada prasasti
Bukit Siguntang, terdapat kata-kata yang terdiri atas siksa dan prajna, yaitu
dua pengertian dasar agama Buddha Mahayana dan Hinayana. Hingga abad ke-11,
Sriwijaya menjadi pusat keagamaan Buddha terbesar di Asia Tenggara. Para biksu
dari Asia bagian timur yang hendak belajar agama di Nalanda (India) akan
singgah terlebih dahulu di Sriwijaya untuk persiapan dalam mempelajari agama
Buddha.
Sriwijaya bukan saja pusat kekuasaan yang besar, melainkan juga sebagai sentral kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan Buddha. Para biksu yang berkunjung ke Sriwijaya mendapatkan tempat khusus. Mereka sangat disegani oleh para penguasa dan rakyat Sriwijaya. Para biksu yang datang tidak hanya singgah melainkan menetap dalam waktu lama untuk belajar agama Buddha. Selain datangnya para biksu dari negara lain, Sriwijaya juga mengirim rakyatnya untuk belajar agama Buddha ke India. Bahkan, seluruh biaya pendidikan dan fasilitas sudah ditanggung oleh Kerajaan Sriwijaya. Buktinya terdapat dalam prasasti Nalanda.
Dalam prasasti tersebut dijelaskan bahwa Balaputradewa dari Sriwijaya meminta
kepada Dewapaladeva untuk pembangunan asrama bagi pelajar Sriwijaya yang datang
ke India. Prasasti Nalanda juga membahas tentang Balaputradewa yang membebaskan
tanah-tanah sima di beberapa desa yang terdapat di Nalanda supaya dijadikan
asrama untuk para pelajar dari Sriwijaya. Isi prasasti tersebut membuktikan
bahwa Raja Sriwijaya memberi perhatian besar dalam pengajaran dan pendidikan
agama Buddha sampai mengirim rakyatnya ke India.
Hubungan
diplomatik melalui pendidikan keagamaan ini terus terjalin hingga beberapa
waktu setelahnya. Para biksu yang belajar di Nalanda tidak hanya belajar ilmu
agama, melainkan juga kepandaian arsitektur dan arca. Menurut Agus Widiatmoko,
seorang arkeolog, terdapat kesamaan antara situs Muaro Jambi di Provinsi Jambi
dengan situs Nalanda dan situs Vikramasila di India. Dilihat dari segi
arsitektur dan teknologi bangunan, ketiganya tampak mirip. Ketiga situs
tersebut sama-sama menggunakan bata sebagai bahan penyusun utama. Dari pola dan
satuan bangunan juga terdapat kesamaan meski ada penyesuaian dengan kondisi
geografi wilayah.
Sekembalinya
para pelajar dari India, mereka akan melanjutkan pendidikannya di Sriwijaya.
Sumber dari Tiongkok menjelaskan bahwa Sriwijaya memiliki perguruan agama
Buddha yang sangat baik. Hal tersebut dicatat dalam catatan I-Tsing, seorang
biksu dari Tiongkok. I-Tsing menetap selama enam bulan di Sriwijaya untuk
belajar bahasa Sansekerta dan Melayu. Menurut I-Tsing, perkembangan kehidupan
beragama di Sriwijaya sangat baik. I-Tsing kagum dengan perkembangan Buddha di
Sriwijaya. I-Tsing bahkan menyarankan para biksu negeranya untuk belajar di
Sriwijaya. Catatan I-Tsing tersebut membuktikan bahwa Sriwijaya pernah menjadi
pusat kegiatan agama Buddha.
Menurut
I-Tsing, tempat pendidikan Buddha terdapat di sekitar wilayah kekuasaan Foshi.
Lokasinya disebut Suvarnadivipa atau Sumatera. Berdasarkan prasasti India,
ditemukan hubungan kerjasama bilateral Raja Pala dengan keturunan Syailendra.
Sriwijaya membangun vihara di Nalanda untuk kepentingan pengembangan pendidikan
agama Buddha. Setelah dilakukan eksplorasi, ditemukan situs Muaro Jambi.
Kawasan ini telah ada sejak abad 7-12 M bersamaan dengan Sriwijaya dan Melayu
Kuno di Sumatera. Adanya situs ini menunjukkan bahwa ajaran Buddha telah
berkembang pesat di bumi Nusantara.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan bahwa hubungan Sriwijaya-Nalanda melalui pendidikan, khususnya pertukaran pelajar, terbukti ampuh membangun hubungan antar bangsa. Para penguasa melakukan pembinaan kehidupan umat beragama untuk mendukung Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha. Di Sriwijaya, banyak terdapat pendeta Buddha yang terkenal. Salah satu guru agama yang terkenal saat itu adalah Sakyakirti. Ia telah mengunjungi lima negeri di India untuk memperdalam ilmu dan mengarang kitab Hastadandasastra. Kitab Hastadandasastra berisi permohonan untuk keselamatan rakyat kepada dewa-dewa. Selanjutnya, terdapat guru agama lainnya yaitu Dharmapala dan Dharmakirti.
Dharmakirti
adalah biksu tertinggi Sriwijaya yang memberi kritik atas kitab
Abhisamayalamkara. Berkat peran mahaguru tersebut, Sriwijaya dikunjungi oleh
banyak biksu dari berbagai negeri. Dalam rentang tahun 1011-1023, datang biksu
dari Tibet bernama Attisa untuk belajar kepada Dharmakirti. Menurut Attisa,
tidak lengkap belajar Buddhisme bila tidak pergi ke Sriwijaya. Padahal, Attisa
memiliki pengaruh besar tidak hanya di India tapi juga sampai Tibet. Para biksu
yang datang ke Sriwijaya mendapat tempat khusus dan sangat disegani oleh para
raja maupun rakyat Sriwijaya.
Sriwijaya
memiliki peran penting dalam perkembangan agama Buddha. Sriwijaya sangat royal
dalam memberi bantuan kepada kerajaan asing. Kerajaan Sriwijaya pernah
menyumbang sebuah bangunan biara ke Nalanda. Selain itu, Sriwijaya juga memperoleh
konsesi tanah dari raja setempat yang disumbangkan untuk perawatan biara dan
beasiswa.
Seseorang
yang ingin memperdalam ilmu Buddha harus masuk asrama dahulu. Rambut mereka
akan dicukur habis lalu akan menggunakan jubah berwarna kuning. Orang-orang
tersebut dinamakan cantrik. Seorang cantrik harus hidup dengan sederhana.
Mereka dilarang membawa uang atau harta benda dari luar. Cantrik juga dituntut
untuk belajar keras dan tekun serta menjaga kebersihan lingkungan belajar
maupun asrama. Hal tersebut yang sampai saat ini masih diterapkan. Dengan
sistem tersebut, pendidikan agama di Sriwijaya terkenal sampai seluruh dunia.
Sebagai
sentra keagamaan Buddha, pendidikan pada masa Sriwijaya merupakan pendidikan
dengan misi penyebaran agama dan ajaran kehidupan secara menyeluruh. Ajaran
tersebut dikenal dengan Pancavidya. Pancavidya merupakan salah satu sistem
pendidikan agama Buddha di Sriwijaya selain dengan sistem asrama. Pancavidya
dikenal dengan penerapan lima aspek ilmu pengetahuan, yaitu Śabdavidyā (tata
bahasa), Hetuvidyā (logika), Cikitsāvidyā (pengetahuan pengobatan),
Śilakarmasthānavidyā (kesenian dan kerajinan), dan Adhyātmavidyā (teknik dan
pengetahuan spiritualitas).
Dalam
Buddha terdapat berbagai aliran, antara lain Mahayana dan Hinayana. Sumber
tulisan dan prasasti yang ditemukan menunjukkan bahwa agama Buddha yang
berkembang di Sriwijaya adalah Mahayana. Dikenalnya Sriwijaya sebagai pusat
Buddha Mahayana tidak lepas dari peran Suvarnadvipi Dharmakirti yang dianggap
Guru Bodhichitta. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi para biksu lainnya
mempelajari aliran Buddha lainnya.
Aktivitas
keagamaan masyarakat Kadatuan Sriwijaya bukan hanya Buddha Mahayana saja,
melainkan agama-agama lain juga turut berkembang. Ditemukan juga bukti
arkeologis berupa arca batu yang mewakili agama Hindu dan Tantris. Berita di
Arab juga menyebut bahwa adanya persuratan antara Maharaja Sriwijaya dengan
Khalifah Umar bin Abdul Azis. Surat itu berisi permintaan Maharaja kepada
Khalifah untuk mengirim mubaligh ke Sriwijaya.
Candi Borobudur merupakan bentuk kejayaan perkembangan Buddha di Nusantara pada masa Sriwijaya. Meskipun agama Buddha bukan asli Indonesia, tetapi catatan jejaknya menunjukkan kemajuan bangsa Indonesia pada zaman itu. Sriwijaya tidak menutup kemungkinan bagi agama-agama lain untuk berkembang di wilayah kadatuannya. Kebesaran Sriwijaya dalam perkembangan Buddha tidak hanya terkenal dalam kawasan regional Nusantara saja, melainkan sampai kepada regional Asia.
Sriwijaya berhasil mengembangkan peradaban Buddha di Nusantara, dimana sistem pendidikan yang pernah diterapkan pada masa itu masih bisa dirasakan hingga saat kini. Dari hubungan dan sikap Sriwijaya kepada bangsa asing menunjukkan bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan yang sangat ramah, terbuka, dan mau membantu kerajaan-kerajaan asing.
SUMBER REFERENSI
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 2016. Kehidupan Beragama di Sriwijaya. https://arkenas.kemdikbud.go.id/contents/read/article/h9jpzv_1481793025/kehidupan-beragama-di-sriwijaya#gsc.tab=0
Ningsih, Widya Lestari. 2022. Upaya Kerajaan Sriwijaya untuk Menyebarkan Agama Buddha. https://www.kompas.com/stori/read/2022/11/17/100000979/upaya-kerajaan-sriwijaya-untuk-menyebarkan-agama-buddha?page=all
Bodhidharma. 2021. Sistem Pendidikan Agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya. https://bodhidharma.ac.id/artikel/42/Sistem-Pendidikan-Agama-Buddha-di-Kerajaan-Sriwijaya.html#:~:text=Pancavidya%20sendiri%20adalah%20sebuah%20sistem,Hetuvidy%C4%81%20(logika)
Mandala, Eka. 2023. Perkembangan Agama Buddha di Sriwijaya. https://www.pinhome.id/blog/perkembangan-agama-buddha-di-sriwijaya/#:~:text=Agama%20Buddha%20yang%20dianut%20di,menganut%20agama%20Buddha%20aliran%20Mahayana
.
Kusumo, Rizky. 2022. Sriwijaya, Pusat Pendidikan Agama Buddha Terbesar di Asia Tenggara. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/05/16/sriwijaya-pusat-pendidikan-agama-buddha-terbesar-di-asia-tenggara
Indonesia. 2019. Buddhisme, antara Sriwijaya dan Borobudur. https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/buddhisme-antara-sriwijaya-dan-borobudur