Ilustrasi.(FREEPIK)
Oleh: Fathimah Tuzzahra, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta
Saling mengenal adalah langkah yang baik sebelum
cerita dimulai. Namaku Fara Adinda, biasa disapa Fara. Kini aku berada di kelas
12 yang beberapa bulan lagi akan segera lulus.
Sejak SMA, aku memiliki 2 sahabat yang bernama Ica
dan Naya. Mereka berdua adalah orang yang sangat ambisius. Sedangkan aku, hanya
orang biasa yang mempunyai pikiran “nilai bukan lah segalanya.”
Bersaing nilai menurutku bukanlah suatu hal yang
mengandung kekerasan. Nilai hanyalah suatu angka yang tidak dapat di rasakan
secara fisik.
Namun berbeda dengan Ica, sejak kelas 10 dia sudah
mempersiapkan nilai-nilainya agar masuk ke dalam kuota SNMPTN. Bahkan jika dia
memiliki nilai dibawah 85, perempuan ini rela menyakiti dirinya sendiri dengan
begadang untuk memperbaiki kesalahan, dan belajar mulai dari pagi sampai ke
pagi tanpa jeda.
Menurutku, ini terlalu berlebihan. Namun ia bilang,
ia sudah terbiasa melakukan ini sejak kecil.
Beruntungnya aku mengenal mereka, aku jadi lebih rajin
belajar, menggunakan waktu sebaik mungkin untuk hal-hal produktif, dan tentunya
menjadi pribadi yang lebih baik untuk masa depan.
Kini, kita sedang menyusuri koridor, berjalan
bersisian menuju ruang BK untuk mendaftar jurusan yang sudah kita pikirkan
matang-matang.
"Kamu serius gak mau ganti jurusan?" Tanya
Ica kepada Naya. Naya mengangguk yakin dengan pilihannya.
"Itu jurusan impian aku, Ca. Aku gak bakal
ganti."
"Tapi kita ada di Jurusan dan Universitas yang
sama." Ica menatap Naya sepenuhnya, jalan kita terhenti.
"Iya tau kok. Tapi yakin aja, kita pasti bisa
masuk ke jurusan itu bareng-bareng." Naya menjawab dengan tenang. Senyuman
merekah di pipi perempuan itu.
Ica menghela napasnya. Ia tidak percaya diri, dan
takut tidak lolos karena nilai Naya lebih tinggi darinya.
Aku hanya diam melihat mereka berdua, situasi ini
terkesan canggung. Ingin ikut bicara, namun bingung.
"Yaudah, ayo ke ruang BK. Keburu sore."
Ujarku memecah keheningan. Kita melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.
...
Hari ini adalah hari Selasa, aku sampai di sekolah
jam setengah 8 pagi. Kelas 12 sudah bebas dengan tugas-tugas, kita hadir hanya
untuk sekadar absen.
Ada juga beberapa murid yang datang untuk
bertanya-tanya tentang jalur masuk perguruan tinggi, dan melakukan konsultasi
mengenai jurusan.
Ini adalah tahun terakhirku di sekolah, dan
beruntung kita bertiga masuk kuota SNMPTN.
Naya mendapatkan peringkat 1 paralel, Ica berada di
peringkat 2 paralel, dan aku mendapat peringkat 10 paralel.
Wah… Jarak peringkatku dengan kedua temanku sangat
jauh, ya.
Sedikit menyedihkan untuk Ica dan aku, namun
menurutku, lebih menyedihkan Ica. Ia sudah belajar setengah mati, namun kalah
dengan Naya yang cara belajarnya lebih santai.
Aku ingat kejadian di ruang BK kemarin, Ica bertanya
tentang peluangnya untuk masuk ke jurusan yang sama dengan Naya.
Ia sangat takut jika tidak masuk ke jurusan yang diimpikan,
Hukum. Mereka memilih jurusan yang
sama, namun berbeda denganku yang memilih jurusan Desain Interior.
Pagi ini aku baru bertemu dengan Naya, kita sedang
berada di kantin setelah absen sidik jari.
Aku menyeruput es teh yang baru saja datang, namun
tiba-tiba Naya memukul lenganku.
"Itu bukannya Ica?" Naya menujuk kearah
koridor, di sana terlihat Ica yang tampak kacau dengan beberapa lembar kertas
di tangannya. Berjalan dengan kaki yang tergontai.
"Iya, betul." Sahutku dengan anggukkan.
Sedikit heran dengan tingkah Ica.
"Dia mau daftar jalur prestasi, kah?" Naya
bertanya dengan alis yang terangkat.
Dagu aku tumpu dengan tangan kanan sembari berpikir.
"Aku yakin dia pasti masuk PTN lewat jalur
SNMPTN. Secara, dia peringkat kedua." ucapku.
Naya mengangguk menyetujui. "Aku juga yakin
gitu."
"Menurut aku, dia takut kalah saing. Dari
kemarin dia gelisah banget."
Naya menghela napas panjang, nilai mereka berdua
memang tidak berbeda jauh. Namun jika di bandingkan dengan peringkat ketiga
paralel, nilai Ica yang lebih tinggi.
Naya sangat yakin kalau Ica akan masuk ke jurusan
yang dia inginkan.
Di sisi lain, perempuan dengan seragam acak-acakan dan garis hitam yang melingkar di mata nya, sedang berdiri di depan meja sang guru.
Ia memberikan beberapa piagam, piala, dan
penghargaan lainnya yang ia dapat selama sekolah.
"Pak, apakah dengan ini semua bisa menambah
nilai saya untuk mendapatkan peringkat pertama paralel?" Tanya Ica dengan
nafas yang terengah-engah.
Sang guru menatap tidak percaya muridnya ini.
"Apa mendapatkan peringkat 2 paralel membuat kamu merasa tidak puas?"
Ica menundukkan kepalanya, ia menelan susah
salivanya. Tangannya ia kepal kuat-kuat.
"Atau kamu mau di keluarkan dari kuota SNMPTN
dan beralih masuk lewat jalur prestasi?" Tanya guru itu. Ica menggelengkan
kepalanya lemah.
"Duduk," titah sang guru. Ica mengikuti
perintahnya.
"Yang kamu butuhkan saat ini hanya doa, dan
yakin terhadap diri kamu sendiri. Kamu pasti bisa masuk ke jurusan yang kamu
inginkan." Sang guru berusaha menenangkan Ica. Tidak banyak orang-orang
yang bertingkah seperti satu muridnya ini.
"Jurusan Hukum gak mungkin hanya ambil satu
murid dari sekolah kita. Apalagi dengan nilai yang tinggi. Kamu berpeluang
besar." Ujarnya penuh keyakinan.
"Tapi tahun kemarin, hanya terpilih 1 dari 15
orang yang mendaftar di jurusan ini, Pak."
"Iya, tahun kemarin. Sekarang berbeda."
Tegas sang guru. Ica memejamkan matanya lelah.
Semalam, ia tidak tidur lagi.
Sang guru mengganti posisi duduknya. "Saya
yakin kamu bisa masuk ke jurusan yang kamu inginkan. Lebih baik sekarang kamu
pulang dan istirahat." Sarannya.
Ica mengangguk mengiyakan, perempuan itu mengambil
penghargaan nya kembali.
Setelah di rasa semua barangnya tidak ada yang
tertinggal, ia bergegas keluar ruangan.
"Ya ampun!" Pekik Naya saat menabrak
seseorang di belokan koridor. Aku menoleh kearah orang yang di tabrak oleh
Naya.
"Ica?" Panggilku.
"Duh, Ca!! Sorry banget, gue gak sengaja
sumpah." Naya merasa bersalah.
Ica dengan wajah lelahnya memang sudah biasa kita
lihat. Namun untuk kali ini, kita sama sekali tidak melihat adanya senyuman di
wajah Ica. Tatapannya lurus ke depan dengan datar, tidak menghiraukan aku dan
Naya yang sedang menunggu jawabannya.
"Awas." Ica berbicara dengan ketus. Jelas
sekali, suaranya menunjukkan bahwa ia sedang marah.
"Ca, kamu kenapa?" Tanyaku. Namun Ica
malah menubruk tubuhku, lalu meninggalkan kita berdua.
"Kamu ada masalah sama dia, Far?" Naya
bertanya dengan wajah yang penasaran.
Aku mengangkat bahu sembari menggelengkan kepala.
"Aku ngerasa gak punya masalah sama dia."
...
Sudah dua hari sejak kejadian itu, kita tidak pernah
hadir ke sekolah lagi. Hari ini cukup membosankan, tidak ada yang mengajakku
keluar. Beberapa film sudah banyak yang aku tonton hingga tamat.
Aku mengambil handphone yang berada di atas nakas,
membuka aplikasi chat yang terlihat sangat sepi.
Aku mendengus sebal. "Ica sama Naya juga gak chat
sama sekali. Grup sepi banget. Terus aku ngapain?"
"Rapih-rapih rumah juga udah, gini banget sih
nasib." Aku menatap kosong ruangan. Pengumuman SNMPTN sudah kehitung jari.
Trrttt.. trrtt..
Fokusku teralihkan, dengan segera aku mengangkat
telepon yang masuk.
Naya ternyata menelepon. Aku terkekeh sebentar,
pasti dia ingin mengajakku pergi jalan-jalan karena bosan.
"Halo, Nay! Kamu kemana aja? Keluar yuk, gabut
banget." Sapa ku lewat telepon.
"Apa benar kamu teman Naya? Bisa ke sekolah
sekarang?" Aku melihat nama kontak yang tertera, awalnya kukira salah
sambung, namun saat lawan bicara ku menyebut nama Naya, perasaan ku mendadak
tidak enak.
"Iya bisa, maaf, ini dengan siapa ya? Kenapa
handphone teman saya ada di anda?" Tanyaku berbobot, namun tetap berusaha untuk bertanya sesopan mungkin.
"Kepolisian. Naya di temukan tewas di
toilet utama sekolah." Jawabnya dari sambungan telepon. Aku mendadak
bisu. Telepon mati begitu saja, dengan cepat aku pergi ke sekolah.
Di depan gerbang sekolah kini banyak sekali polisi
yang berjaga. Aku segera lari ke toilet lantai dasar. Toilet ini di beri garis
kuning, tidak ada yang boleh menyentuh atau memasuki area tersebut.
Aku menatap tak percaya, keadaan Naya sangat parah.
Rambutnya berantakan, baju nya pun ada yang sobek.
Aku menoleh kearah polisi, "Pak, teman saya
kenapa? Kok dia bisa kayak gini?" Tanya ku panik.
Sang polisi mengarahkan pandanganku kearah shotgun
yang tergeletak di sebelah Naya. "Kita belum menemukan bukti yang pasti,
sidik jari belum di temukan, di duga pelaku menutup CCTV sejak dua hari yang
lalu. Dan ada benda itu disini."
Aku menutup mulut tidak percaya, ia tidak menyangka
jika hal ini terjadi pada temannya. "Apa Naya masih hidup?" Aku
bertanya dengan gugup, jantungku berdebar dengan kencang. Sang polisi
menggelengkan kepalanya.
Bahu ku bergetar, aku berjongkok sembari melihat
Naya terbaring tidak berdaya. Tanganku beralih mengambil handphone, lalu
menghubungi Ica. Bagaimanapun ia harus tau tentang kasus ini.
"Ica, Naya.."
"Kenapa?"
"Naya di temukan tewas, di—" ucapanku
terputus saat Ica memotong perkataanku. "Aku otw kesana!" Ujarnya
cepat, lalu menutup telepon.
"Pak, kita menemukan ini." Salah satu
polisi memberikan sebuah anting, guru BK pun ada di sini.
"Ini bisa jadi barang bukti!" Perkataanku
keluar begitu saja. Namun banyak orang yang menyetujui.
"Simpan, kita akan mengadakan penyelidikan
dengan orang-orang sekitar." Tegas sang polisi.
"Fara!" Teriakan itu berasal dari suara
Ica. Aku berdiri, ia langsung memelukku erat. Aku mendengar Ica menangis di
dekapanku, kami berdua menjadi pusat perhatian di sini.
Ica melepas pelukannya, lalu beralih menatap Naya
yang tidak berdaya di dalam toilet. "Siapa yang pukul Naya sampai
meninggal, Far?" Tanya Ica kepadaku, polisi memperhatikan Ica dengan alis
yang berkerut.
"Tolong temukan pelakunya, Pak. Atau saya akan mengundurkan
diri dari daftar kuota SNMPTN." Ujarnya kepada sang polisi dengan suara
yang cukup lantang. Polisi itu melihat Ica dari atas sampai bawah. Mengapa Ica
bisa menyimpulkan kalau Naya tewas karena di pukul?
Lalu mengapa ia mengaitkan kejadian ini dengan
SNMPTN?
Aku mengusap bahu Ica agar perempuan ini sedikit
lebih tenang.
"Tidak perlu, kita sudah menemukan
pelakunya." Sang polisi menjawab dengan yakin. Ica menegang sebentar,
"Siapa?"
"Kamu."
...
Awalnya, aku sangat kesal karena polisi menuduh dan
menyudutkan Ica tentang kasus pembunuhan Naya. Penyelidikan sudah berlangsung
sejak kemarin, dan aku sangat terkejut saat Ica mengakui bahwa dia lah yang
membunuh Naya di toilet sekolah.
"Pembunuhan ini sudah direncanakan 2 hari
sebelumnya. Pelaku datang ke TKP tanpa di beritahu terlebih dahulu, dia pun tau
jika korban tewas karena di pukul, bukan karena di tembak. Anting yang di
temukan di samping wastafel ini milik Ica—pelaku. Bukti terakhir, pelaku
mengakui perbuatannya sendiri saat kami datang ke rumahnya."
Anting milik Ica bisa terjatuh karena Naya sempat
melawan sebelum ia terjatuh di toilet. Saat Naya menarik rambut Ica, perempuan
itu melawan dengan tarikan di baju Naya.
Sang polisi melapor, banyak sekali wartawan yang
berkerumun di depan gerbang sekolah.
Ica menunduk agar wajahnya tidak tersorot kamera,
dan ia sudah memakai baju tahanan. Ica bilang kepadaku, ia melakukan ini semua
agar bisa mendapatkan peringkat pertama di SNMPTN. Dan ini semua berakhir
dengan penyesalan. Nama dia pun di coret dari daftar kuota SNMPTN.
Seperti yang aku bilang sebelumnya, bagiku bersaing
nilai memang bukan suatu hal yang mengandung kekerasan. Namun berbeda dengan
Ica, ia akan melakukan segala cara agar bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.
Kekerasan sekalipun.
Ternyata tahun terakhir aku di sekolah, sejarah baru
muncul. Di tambah sekolah ku cukup terkenal, berita yang tersebar pun semakin
banyak. Tidak hanya di media massa, media sosial pun banyak yang
memperbincangkan kasus ini.
Menyedihkan sekali.