Yuk, Ziarah Intelektual Eksistensialisme!

 

                sumber: https://m.theindependentbd.com/


Oleh: Galih Pambayun, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta


Halo semua!


Saya selalu menanyakan pertanyaan yang tidak jelas dan terkadang absurd saat saya mau tidur –atau biasa disebut dengan berfilosofi. Karena filosofi, bisa sedikit menjawab ruang  banyak hal-hal misalnya seperti,

 

‘’Apa artinya menjadi orang yang baik itu’’ –Aristotle

 

‘’Apa artinya menjadi itu’’ –Descartes

 

“Apa artinya itu?’’ –Nietzsche

 

‘’Apa ‘’itu’’ artinya?’’ –Russell

 

‘’Apa itu?’’ -C.S Lewis

 

‘’Apa?’’ –Saya

 

Filosofi atau filsafat adalah studi tentang sifat dasar pengetahuan, realitas, dan keberadaan, terutama bila dianggap sebagai disiplin akademis. Ada empat pilar filsafat: filsafat teoretis (metafisika dan epitemologi), filsafat praktis ( etika, filsafat sosial dan politik, estetika), logika, dan sejarah filsafat.

 

Sepanjang sejarah, ada banyak filsuf yang mengikuti sejumlah besar sekolah dan Gerakan Dari Zoroastrian ke transhumanisme. Seseorang pasti tidak bisa membahas semuanya dalam satu tulisan pendek ini. Jadi, mari kita lihat concern utamanya  terlebih dahulu.

 

Eksistensialisme mengatakan, bahwa, keberadaan sebuah individu adalah sebagai makhluk yang bebas menentukan perkembangan mereka sendiri melalui kehendak. Tapi, yang biasanya orang imajinasikan adalah ‘’Kehidupan itu tidak punya arti, jadi apa dong?’’

 

Søren Kierkegaard adalah seorang teolog yang berasal dari  Denmark dan filsuf eksistensialisme pertama. Untuk memperkenalkan dia, akan aku tunjukkan salah satu kata-katanya ‘’Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipecahkan, tetapi realita yang harus dialami’’. Dia  mengeklaim, kalau kebenaran tidak bisa ditemukan dengan melihat dunia secara objektif, tetapi bisa ditemukan secara merangkul subjektifitas kita dalam kaitannya dengan kenyataan.

 

Klaim agama apapun secara inheren, subjektif, karena tidak dapat divalidasi oleh sains. Tetapi, pada saat yang sama, Kierkegaard akan menulis tentang hubungan antara tuhan dan iman. Dalam Salah satu kutipan lainnya adalah ‘’Kecemasan adalah efek pusing dari kebebasan.’’ Artinya, kebebasan eksistensialis yang dimiliki seseorang, biasanya menghasilkan perasaan kecemasan dan ketakutan.

 

Beberapa tahun kemudian, datanglah Friedrich Wilhelm Nietzsche. Dia agak seperti fisika quantum yang semua orang suka membicarakannya, tetapi tidak ada yang mengerti. No! Nietzsche itu bukan seorang nihilis, tetapi dia memprediksi bahwa, nihilism yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu secara inheren tidak ada artinya, akan mengambil alih dunia dan menyebabkan krisis moral setelah kematian tuhan. Dalam kutipannya, ‘’Tuhan telah mati dan kita yang membunuhnya.’’ Yang dibunuh sebagai konsekuensi dari age of enlightment dan rasionalitas sains ilmiah yang menyertainya.

 

Secara keseluruhan, dia bukannlah penggemar berat agama. Nietzsche memperkenalkan konsep ubermensch. Bukan pengemudi uber super, melainkan manusia unggul yang dapat merangkul dan mengatasi masalah kehidupan apapun. Sialnya, seseorang dengan kumis yang pendek (Hitler) dengan sengaja menggunakan itu untuk agenda kepentingannya sendiri.

 

Sekarang, ayo pergi pada masa 75 tahun lebih jauh di Prancis. Di sini, kita bertemu dengan 2 orang filsuf, yaitu Albert Camus dan Jean Paul Sartre.

 

Ciri khasnya Albert Camus selain dari gaya kerennya, ciri-ciri yang berbeda dari filsuf yang lain, adalah filsafat absurdism-nya (konyol).

 

‘’Manusia adalah makhluk yang mencitakan arti. Tetapi, di dalam alam semesta yang tidak ada arti mencari sebuah tujuan itu, sangatlah absurd (konyol).” Camus bilang, ada tiga solusi untuk ini, yaitu bunuh diri, lompatan penuh iman, dan pelukan absurd.

 

Pilihan pertama adalah yang paling basic, menyatakan bahwa, kehidupan itu terlalu banyak dan berat. Lompatan iman itu seperti, akan percaya bahwa, ada yang lebih banyak dari dunia kehidupan seperti tuhan, yang memberi tujuan. Tapi camus menganggap ini sebagai bunuh diri filosofi, karena melarikan diri dari rasionalitas dan terakhir seseorang dapat memeluk kondisi absurd dalam mengakui pencarian makna yang melekat. Ketika masih melanjutkan pencarian ini apapun itu, seseorang bisa menjadi senang dan membuat makna dari pencarian itu sendiri, “Cara untuk berurusan dengan dunia yang tidak bebas adalah menjadikan diri sendiri sangat bebas sampai keberadaan Anda adalah sebuah pemberontakan.’’

 

Jika camus adalah seorang absurdist, Jean Paul Sartre mengkatalognya sebagai eksistensialis. Sama seperti absurdisme, mereka berdua setuju bahwa, alam semesta pada dasarnya tidak memiliki makna apapun. Eksistensialis mengatakan bahwa, seseorang harus menciptakan makna mereka sendiri. Eksisensialis mantra mengatakan bahwa, manusia lahir secara blank dan pada akhirnya, mereka bisa membuat esensi mereka sendiri. Tapi sayangnya, pertemanan Camus dan Sartre berakhir karena ada perbedaan pendapat.


Sekarang, ayo pergi ke sebuah wilayah Tsar Russia. Di sana, kita bertemu dengan Fyodor Dostoevsky. Saat dia mau ditembak oleh firing squad, ada catatan datang dari Tsar Russia yang membebaskan mereka dari hukuman mati, dan lebih mengirim mereka ke Siberia selama 4 tahun.

 

Tak perlu dikatakan bahwa, seluruh pengalaman ini memengaruhi karya sastra masa depan. Dostoevsky dengan cara yang cukup suram, dia klaim bahwa, manusia itu tidak akan pernah puas dengan apa yang dia punya dan tidak akan pernah bahagia. Hidup itu hanya sebuah proses mengubah fokus rasa sakit, tetapi tidak pernah menghilangkan rasa sakit itu.

 

Dari perkejaannya, orang juga dapat menyumpulkan bahwa, jauh di dalam lubuk hati setiap orang itu lebih manusiawi dari apa yang mereka kira. Bahkan, pembunuh berdarah dingin itu sama seperti kamu dari apa yang kamu pikirkan dan bahkan kamu orang yang baik dan berakhlak mulia tidak jauh beda dari pembunuh berdarah dingin. Dengan kata lain, bahkan orang baik pun melakukan sesuatu yang jahat. Datang dari pengalaman mendekati kematiannya, dia berbicara tentang bagaimana dengan senang hati bertukar tempat dengan seorang pria tunawisma yang dia lihat. Karena saat-saat itu, udara berasa lebih segar dan matahari lebih cerah hanya ketika seseorang hampir kehilangan hidup, hingga mereka dapat menghargai kehidupan.

 

Dan, akhirnya, mari lanjut pergi  ke Rumania. Di sini, kita bertemu dengan Emil Cioran, seorang penulis terkenal karena pesimisme yang sering terlibat dalam nihilism. Ini adalah intipan dari karyanya “Tidak perlu repot-repot untuk membunuh diri sendiri, karena Anda selalu terlambat untuk bunuh diri.”


Dia melihat peradaban sebagai gangguan absurd dari ke-tidak-ada-makna yang sebenarnya. ‘’Hanya orang goblok yang bisa berpikir kalau ini ada maknanya.’’ Dia bersikeras, mirip dengan Dostoevsky, dia menulis bahwa seseorang harus hidup seperti yang mati. Karena hanya dengan begitu, seseorang dapat benar-benar menghargai hidup. Dia menganggap bunuh diri sebagai kemungkinan pelega, ‘’Kita takut akan masa depan, ketika tidak yakin bisa bunuh diri di saat yang kita mau.’’ Tapi, pesimisme di dalam karyanya tidak bermaksud untuk menyeret anda ke bawah, malah sebaliknya, untuk memberikan kesempatan bagi kesedihan di dalam diri kita semua untuk diekspresikan secara komunal dan karenanya sedikit melunakkan yang merajalela.

 

Kebanyakan penggunaan kata-kata bunuh diri di tulisan ini, pasti akan membuat para manusia lain di luar sana geram. Tetapi, jika saya mempelajari sesuatu saat membuat tulisan ini, adalah orang harus membayangkan Sisyphus bahagia.

Yuk, Ziarah Intelektual Eksistensialisme!