oleh: tauflam the silentio
Pernahkah
pasangan atau selingkuhan kalian mengutarakan pertanyaan, “Mengapa cinta itu
ada?” dan kalian menjawab dengan, “Ya, karena ada kamu”. Sekilas memang dapat
dikatakan romantis — jika tidak ingin dikatakan gombalan yang sedikit membosankan,
tetapi jika dideteksi dari kerangka berpikir logika, jelas ini adalah kesesatan
berpikir atau Logical Fallacy. Proses berargumen adalah upaya seseorang
untuk mengungkapkan pendapat yang ada di dalam alam pikirannya dan dituangkan
dalam bahasa.
Namun,
terkadang, seseorang tidak melewati alur kerangka pemikiran yang lurus dan
jernih. Mungkin, untuk mendukung argumennya dan mempertahankan posisi
ke-eksklusif-an seseorang tersebut, rela melanggar struktur logika yang
mengakibatkan ketidakaturan pendapatnya, yang dinyana, adalah wujud dari cara
berpikir dari memandang segala sesuatu. Ringkasnya, kesesatan berpikir atau Logical
Fallacy adalah kesesatan logika berpikir yang timbul karena terjadi
ketidaksesuaian antara apa yang dipikirkan dan bahasa yang digunakan untuk
merumuskan pokok pemikiran.
Penalaran
yang sesat ini dapat terjadi apabila susunan premis yang ada tidak menghasilkan
suatu kesimpulan yang benar. Dalam artian kesesatan atau fallacy muncul
Ketika suatu argumen terbentuk dari premis-premis yang tidak berkaitan dengan
argumen yang ada. (LaBoissiere, 2010:1)
Ada
beberapa macam bentuk logical fallacies yang biasa digunakan dalam
kehidupan sehari-hari:
Appeal
to the Mind
Appeal
to Authority
Anggap
sesuatu benar hanya karena disampaikan oleh pihak dengan gelar / otoritas
tertentu, walau belum tentu qualified / reputable
“Materi
ini ditulis oleh seorang guru yang sudah mengajar lebih dari 20 tahun” —>
Taunya, Guru Silat
Appeal
to Anonymous Authority
Mengutip
informasi dari “sumber terpercaya” tanpa identitas yang dapat
dipertanggungjawabkan, dan dianggap benar.
“Saya
pernah dengar dari akun palsu instagram yang vokal, bahwa ada konspirasi cinta untuk
menghancurkan hubungan kita!”
Appeal
to Ignorance
Sebuah
klaim dianggap benar, apabila sejauh yang ia ketahui, tanpa berusaha mencari
tahu, belum terbukti salah.
“Loh,
tapi kan teori evolusi itu hanya teori, tidak terbukti benar? Apa? Baca
biochemistry? Saya ga pernah. Yang jelas evolusi itu salah!”
Appeal
to Common Practice
Percaya
sesuatu benar karena sudah terbiasa dilakukan.
“Kamu
itu juga selingkuh. Dari zaman Belanda juga kirim pesan ke yang lain udah
biasa, bukan hanya urusan pekerjaan saja. Ga usah ajari aku segala lah”
Appeal
to Popular Belief
Klaim
sesuatu benar karena dipercaya oleh mayoritas orang sebagai keyakinan umum.
“Pada
umur sekarang, kalau belum menikah ya aneh banget. Show off sesekali
juga perlu dong, lagian kamu doang yang belum menikah!”
Appeal
to Novelty
Menganggap
sesuatu yang baru pasti lebih baik dari pada yang lama.
“Kok
lo masih olahraga lari? Sekarang itu lebih happening naik sepeda, lebih
sehat dan lebih bisa kumpul juga. Lebih OK sepedaan lah daripada lari”
Appeal
to Money
Seseorang
yang lebih kaya / sesuatu yang lebih mahal dianggap lebih benar.
“Udah
ga usah sok gaya kritik si pengusaha sebagai pendukung oligarki segala.
Buktinya, dia lebih kaya dan sukses dari lo. Omongan dia lebih bisa dipercaya
lah!”
Appeal
to Tradition
Anggap
sesuatu benar karena telah dilakukan dan dijaga secara turun-temurun.
“Gini
ya dek, dari zaman guru di sini jadi murid baru, MOS udah kayak gini! Junior
harus nurut dan hormat sama senior! Paham!?”
Appeal
to Probability
Hanya
karena sesuatu “mungkin” terjadi, walau dengan “kemungkinan sangat kecil”,
pasti akan terjadi kepada dirinya.
“Dunia
itu adil. Anak orang paling miskin pun pasti bisa PhD Harvard dan jadi 10 orang
terkaya. Jangan salahkan keadaan. Yuk bisa yuk!”
Appeal
to Incredulity
Hanya
karena sesuatu rumit dan sulit dipercaya, maka dianggap mustahil.
“Gimana
caranya coba scientist tahu kalau >90% DNA Manusia sama seperti Simpanse?
Gimana coba cara baca DNA? Terlalu rumit lah. Ngarang aja itu!”
Appeal
to Emotion
Appeal
to Fear
Menganggap
suatu argumen benar berlandaskan rasa takut yang besar terharap pihak lain.
“Ini
kok lambang + di pelajaran matematika mirip tanda salib? Lambang PMI juga? Ini
pasti bentuk kristenisasi!”
Appeal
to the Consequences of a Belief
Menganggap
sesuatu salah karena bertentangan dengan apa yang selama ini dipercaya.
“Guru
saya tidak mungkin sampaikan sesuatu yang salah. Dia guru teladan yang baik,
dan saya percaya padanya. Orang seperti dia tak mungkin keliru!”
Appeal
to Wishful Thinking
Percaya
sesuatu benar akan terjadi hanya karena sungguh berharap itu akan terjadi.
“Walau
ada pandemi, bulan depan ekonomi kita akan tumbuh melesat lebih dari 5%! Vaksin
bulan depan ketemu dan diproduksi! Semua baik-baik saja!”
Appeal
to Spite
Anggap
klaim seseorang layak dibantah karena membencinya.
“Jangan
dengarkan dia! Semua pejabat, pengusaha, kelas menengah, siapapun mereka yang
bukan kita, tidak usah didengar karena pasti berpihak pada kepentingan
kapitalis!”
Appeal
to Flattery
Gunakan
pujian yang tidak relevan untuk selipkan klaim yang tidak berdasar.
“Bagi
orang dengan kecerdasan dengan tingkat pendidikan setidaknya setara master di
Ivy League akan memahami bahwa apa yang saya sampaikan adalah benar”.
Appeal
to Nature
Klaim
bahwa sesuatu lebih benar dengan menggunakan analogi tentang apa yang
seharusnya ada di alam.
“Pemimpin
itu sudah sewajarnya harus laki-laki, karena di alam pun, binatang mamalia
berkelompok seperti Singa dan Gorilla pasti dipimpin yang jantan”.
Appeal
to Ridicule
Mengejek
argumen yang berseberangan dengan membuatnya terdengar absurd.
“Bumi
yang kompleks terbentuk secara kebetulan dari tabrakan benda langit padat saat
awal terbentuknya matahari? Bukankah itu sama saja bilang ada mobil yg
kebetulan terakit sendiri?”
Appeal
to Pity
Menggunakan
rasa kasihan untuk menggiring pendapat lawan.
“Memang
betul pejabat itu ada salah dan khilaf sudah ambil uang yang bukan haknya. Namun,
apa kita tidak kasihan, umurnya sudah tua, pengabdian selama ini tidak sedikit.
Bukankah kita seharusnya pemaaf?
Data
Fallacies
Cherry
Picking
Memilih
dan menggunakan data secara selektif agar sesuatu dengan hasil yang diinginkan.
“Menurut
riset opini dengan sampel 90% pengusaha energi fosil, mayoritas nyatakan bahwa
energi fosil ramah lingkungan dan memajukan ekonomi”
Data
Dredging
Klaim
bahwa pattern data menunjukkan korelasi tertentu tanpa sebelumnya mengajukan
hipotesis yang jelas.
“Saat
saya memimpin, ekonomi tumbuh. Oh ya, jangan semata dihubungkam dengan harga
komoditas yang kebetulan sedang boom, pokoknya karena saya memimpin”.
Survivorship
Bias
Menarik
kesimpulan hanya berdasarkan data yang “selamat” dan bisa dianalisis.
“Dari
jumlah lubang tembak di pesawat yang pulang perang, paling banyak ada di sayap.
Ini bagian pesawat paling rawan!” -> padahal yang ketembak di bagian fuel
langsung jatuh”.
Cobra
Effect
Menciptakan
insentif yang justru akibatkan hasil sebaliknya dari yang diharapkan.
“Di
kota ini banyak Kobra. Kita buat insentif, siapa yang bisa bunuh dan serahkan
bangkai kobra, akan dibayar pemerintah” -> bukannya berkurang, warga malah
jadi ternak Kobra!”.
False
Causality
Kesalahan
asumsi bahwa 2 hal yang terjadi pasti saling menyebabkan satu sama lain.
“Data
tunjukkan naiknya penjualan ice cream menyebabkan naiknya jumlah
perenang di laut yang digigit hiu!” -> padahal keduanya hanya sama-sama
terjadi saat summer
Gerrymandering
Manipulasi
kumpulan data dengan mengatur batas pengelompokkan untuk mengubah hasil.
“Hillary
menang secara total suara pemilih nasional, tapi Trump menang berdasarkan
jumlah daerah yang dimenangkan”
Sampling
Bias
Menarik
kesimpulan dari sampling data yang tidak representatif untuk gambarkan
populasi yang ingin dimengerti.
“Berdasarkan
survey opini Indonesia tentang pembangunan di Papua, dengan 95% sampel hidup di
Jakarta, nyatakan bahwa pembangunan Papua sudah OK”.
Gambler’s
Fallacy
Anggap
sesuatu yang sudah terjadi lebih sering sebelumnya tidak akan muncul lagi.
“Di
game lempar koin ini, sudah 10x berturut-turut muncul ‘head’, jadi pasti
selanjutnya ‘tail’ yang akan muncul”.
Observer
Effect
Tindakan
mengamati mempengaruhi / mengubah perilaku subjek yang diamati.
“Katanya
kinerja PNS malas. Nyatanya tidak. Buktinya, saat saya lakukan kunjungan
terjadwal, semua sedang sibuk kerja dengan serius”.
Simpson’s
Paradox
Pola
data yang seharusnya terdiri dari beberapa kelompok dipaksakan jadi satu dan
justru tunjukkan pola sebaliknya.
Susah pakai contoh
deskriptif, jadi pakai visual aja ya.
McNamara
Fallacy
Hanya
memperhitungkan data yang mudah diukur sehingga kehilangam gambaran utuh.
“Negara
kita pertimbuhan GDP nya bagus kok. Index Kebahagiaan? Itu sulit diukur dengan reliable.
Toh, kalau GDP tumbuh seharusnya kebahagiaan secara umum juga naik kan?”
Publication
Bias
Riset
yang menarik lebih banyak dibaca sehingga membentuk persepsi terhadap realitas.
“Lebih
baik fokus ke riset pengembangan obat dan vaksin COVID-19. Apa? Sebelumnya
sudah ada riset yang prediksi pandemi? Kok ga pernah dibahas sebelum pandemi
terjadi ya?”.
Faulty
Deduction
Anecdotal
Evidence
Mereduksi
standar pembuktian untuk buat / bantah klaim dengan gunakan pengalaman pribadi
/ orang lain.
“Aneh
kalau ada survey yang bilang lebih dari 70% siswa tidak suka belajar di
sekolah. Saya pribadi sangat suka. Bagi saya sekolah menyenangkan!”
Undistributed
Middle
Anggap
bahwa 2 hal yang menggunakan atribut yang sama maka pasti saling berhubungan.
“Teori
itu kan bisa salah, lah itu Evolusi kan cuma Teori. Makanya Teori Evolusi itu
tidak terbukti benar”
Composition
Fallacy
Anggap
bahwa karakteristik dari suatu kelompok menggambarkan kelompok secara
keseluruhan.
“Kebanyakan
pelaku kriminal di sini itu kan imigran. Makanya imigran itu pasti cenderung
berperilaku seperti kriminal!”
Spotlight
Pengamatan
terhadap suatu hal yang menjadi sorotan menggambarkan sesuatu secara
keseluruhan.
“Kan
sudah banyak yang bilang COVID-19 itu konspirasi. Berapa orang? Wah gatau juga,
tapi kan itu rame dibicarakan sama artis dan musisi? Konspirasi lah itu!”
Design
Fallacy
Anggap
bahwa sesuatu yang didesain dengan bagus / indah lebih mungkin benar.
“Infografis
bagus dari akun anonim facebook ini bagus sekali. Coba bandingkan dengan grafik
di paper ilmiah ini, ruwet, jelas lebih meyakinkan infografis ini lah!”
Sweeping
Generalization
Mengeneralisir
sesuatu dengan terlalu luas.
“Semua
ketertinggalan kita, dari segi ekonomi maupun teknologi, disebabkan karena anak
muda kita kurang bermoral dan terlalu sering berbuat mesum”.
Division
Fallacy
Anggap
karakteristik dari suatu kelompok pasti diikuti oleh seluruh anggota
kelompoknya.
“Saya
sering lihat di TV kalau yang jenggotan dan celana cingkrang itu pasti setuju
poligami. Kamu jenggotan dan pakai celana cingkrang, kamu pasti mau poligami
ya?”.
Relativist
Fallacy
Menolak
suatu klaim karena percaya bahwa kebenaran relatif bagi setiap kelompok.
“Kamu
percaya vaksin medis untuk anak itu penting, saya percaya madu herbal sudah
cukup. Ya sudah, kita anggap saja keduanya benar menurut kepercayaan masing-masing”.
Hasty
Generalization
Mengambil
kesimpulan hanya dari sampel yang sangat kecil.
“Aku
dulu pernah pacaran satu kali, terus aku diselingkuhin. Emang semua cowok
brengsek!”
Perfectionist
Fallacy
Anggap
kebenaran hanya ada di posisi yang sempurna / mutlak. Segala yang di luar itu
salah.
“Jadi
posisi kamu menentang kebijakan ini atau tidak? Percuma kalau cuma klarifikasi,
itu sama saja dengan mendukung!”
Jumping
to Conclusions
Menarik
kesimpulan terlalu cepat tanpa bukti yang cukup.
“Ngapain
perempuan muda keluar malam kayak gini? Kamu pasti perempuan penghibur ya?”
Middle
Ground
Anggap
bahwa sesuatu yang saling bertentangan pasti memiliki titik tengah.
“Untuk
kasus pemerkosaan ini, sudah jangan diperpanjang secara hukum. Sebagai jalan
tengah, pemerkosa bersedia tanggung jawab dengan menikahi korban”.
Manipulating
Content
Unfalsifiability
Membuat
klaim yang tidak bisa dibuktikan salah atau benar.
“Anak
ini jadi gay karena kemasukan setan, harus dikeluarin ini setannya. Bukti? Ya
ga ada bukti, setan mana kelihatan. Masa kamu ga percaya sama saya?”
Ad
Hoc Rescue
Membela
terus hal yang dipercaya dengan terus merevisi argumen.
“OK
lah, membantu mudahkan hidup, tingkatkan produktivitas, gerakkan ekonomi,
permudah konektivitas, tidak ada kan dampak positif teknologi untuk manusia?”
False
Dilemma
Menyajikan
hanya 2 alternatif solusi yang bertentangan dan menyembunyikan alternatif lain.
“Pilihan
kita hanya lockdown sementara atau membiarkan ekonomi berjalan. Tidak
ada opsi lain, dan lockdown akan hentikan ekonomi. Bantuan pemerintah?
Itu bukan opsi!”
Misleading
Vividness
Menjelaskan
sesuatu dengan sangat detail, walaupun jarang terjadi, sehingga sangat
meyakinkan sebagai kebenaran.
“Ini
adalah Budi Setiawan. Dia adalah anak tukang becak yang lulus dari MIT dan
bekerja di Google. Kisahnya sejak bayi blablabla…”
Red
Hearing
Mengalihkan
pembicaraan dengan topik yang menarik kita ke kesimpulan lain.
“Memang
betul anggota partai kami ada yang korupsi, tapi kan lebih banyak koruptor di
partai sebelah? Coba, skandal besar korupsi partai sebelah sudah sampai mana?”
Slippery
Slope
Menggunakan
satu langkah untuk menarik rentetan kesimpulan yang seolah pasti akan terjadi.
“Kalau
kita terapkan standar kurikulum seperti kampus top di Eropa, nilai Barat akan
masuk. Barat itu liberal, nanti anak muda kita jadi pro sex bebas!”
Garbled
Cause and Effect
Post
Hoc Ergo Propter Hoc
Karena
suatu hal terjadi setelah suatu hal, maka keduanya memiliki hubungan sebab
akibat.
“Habis
kucing hitam menyeberang jalan, aku langsung jatuh dari motor karena menabrak
tepi jalan. Kucing hitam memang pembawa sial!”
Circular
Logic
Mengambil
kesimpulan dari premis yang telah memiliki kesimpulan.
“Hanya
orang yang ingin sex bebas yang tidak setuju aturan mempidanakan pelaku sex
bebas. Kamu tidak setuju, maka kamu pasti pelaku sex bebas!”
Two
Wrongs Make a Right
Anggap
bahwa suatu kesalahan dapat menjadi benar dengan tunjukkan kesalahan lain.
“Memang
pelaku pemerkosaan itu jahat, tapi korban juga yang salah karena pakai baju seksi!”
Affirming
the Consequent
Anggap
hanya ada 1 penjelasan atas fenomena yang sedang diamati.
“Habis
menikah, biasanya orang punya anak. Karena itu, orang yang menikah pastilah
karena ingin punya anak”.
Cum
Hoc Ergo Propter Hoc
Anggap
fenomena yang terjadi bersamaaan pasti punya hubungan sebab akibat.
“Orang
yang pakai narkoba seringkali bertato. Karena itu, orang bertato pasti pakai
narkoba!”.
Ignoring
a Common Cause
Anggap
A yang menyebabkan B, padahal A dan B sama-sama disebabkan oleh C.
“Anak
di SD Negeri non percontohan malas, jadi nilainya jelek” —> padahal anak
malas dan nilai jelek sama-sama disebabkan guru tak kompeten mengajar
Denying
the Antecedent
Tidak
mengakui bahwa penyebab suatu hal bisa lebih dari satu hal.
“Kalau
kamu masuk PTN, kamu pasti jadi orang sukses. Kalau kamu gagal masuk PTN, kamu
pasti gagal jadi orang sukses”.
On
the Attack
(Probably
the most common logical fallacy yang sering ditemui dan dilakukan, karena jadi
jurus standar saat argumen seseorang terpojok tapi tetap tidak mau kalah)
Ad
Hominem
Membantah
argumen dengan menyerang pribadi seseorang yang tak berhubungan dengan argumen.
“Halah
banyak omong, ga usah sok pinter dan paling paham tentang cinta deh. Lo aja
belum menikah”.
Burden
of Proof
Si
pembuat klaim merasa tak wajib menyajikan bukti dia benar. Anda yang harus
buktikan dia salah.
“Loh
saya kan cuma share berita kalau si Panjul ini titisan Dajjal. Kamu bisa
buktikan saya salah ga? Kalau nggak, ya berarti benar dia titisan Dajjal!”.
Genetic
Fallacy
Menyerang
sumber dari argumen, bukan argumennya itu sendiri.
“Ya
Biologi modern dikembangkan oleh scientist dan kampus yang namanya
terkenal tapi pemikirannya liberal dan kebarat-baratan. Mana bisa kita terima
Teori Evolusi?”.
Straw
Man
Mendistorsi
informasi dengan menyempitkan konteksnya sampai kehilangan maksud yang
sebenarnya.
“Anda
memberi penekanan bahwa mendidik anak dengan cara berpikir scientific
itu penting? Berarti anda bilang pendidikan agama itu tidak penting?”
Guilt
by Associasion
Menyudutkan
argumen dengan mengasosiasikan dengan kelompok yang tidak populer.
“Oh
jadi anda ingin memperkuat serikat pekerja, sama seperti keinginan para
komunis? Jadi apa anda ini komunis?”.
Circumtance
Ad Hominem
Menyudutkan
argumen dengan menekankan ada kepentingan si penyampai informasi dalam argumen.
“Tentu
saja dokter kampanye rokok buruk untuk kesehatan. Dokter dekat dengan
perusahaan farmasi yang jual obat lepas candu rokok. Jadi klaim tak bisa
diterima”.
sebagian besar mengambil materi dari Adrian Danar W (@adriandanarw , Tech Business Enthusiast | In Science We Trust)
Sengaja tulis list
panjang beberapa jenis logical fallacy, supaya kalau nanti ada yang
melakukan logical fallacy, tinggal kutip salah satu dari thread
di atas. Sekalian belajar membiasakan diri juga supaya tidak jatuh ke logical
fallacy :p