BABY CAFÉ: Sebuah Alternatif Penyelesaian Stunting Anak

BABY CAFÉ: Sebuah Alternatif Penyelesaian Stunting Anak

                        sumber: https://www.solopos.com/

oleh: Mayra Cahyawaty


"Kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan, segalanya menjadi tidak ada gunanya."

 

Kata mutiara di atas, bukan hanya sekadar “kata-kata” yang hanya menjadi pajangan orang-orang untuk mengisi caption pada Instagram, Facebook, atau sosial media lainnya. Memang singkat, tapi jika kita memperhatikan kata  demi kata pada kalimat tersebut, maknanya sungguh luar biasa. Tanpa kesehatan, segalanya menjadi tidak ada gunanya. Apalagi di masa pandemi seperti ini, jika terkena virus, maka kita tidak bisa bekerja, bersekolah, bermain, dan melakukan aktivitas-aktivitas normal lainnya, melainkan hanya bisa berkutik di atas tempat tidur, makan, minum obat, tidur lagi. Itulah sebabnya, kesehatan merupakan kunci pembuka kesuksesan dalam segala bidang dan aspek yang ada di dalam hidup.

 

Belakangan ini, di beberapa negara termasuk Indonesia, kasus Covid-19 meningkat, terutama pada anak-anak akibat penularan varian “Omicron”. Bahkan, jumlah kematian anak balita meningkat hingga 50 persen atau ada 1.000 kematian pada anak setiap minggunya selama pandemi. Berkaitan dengan masalah tersebut, kesehatan anak harus lebih diperhatikan mengingat anak adalah calon penerus generasi bangsa. Anak  akan mudah terserang virus apabila tidak mengonsumsi makanan dengan gizi yang cukup. Kekurangan gizi akan membuat tubuh lemah sehingga virus dan kuman mudah untuk masuk. Oleh karena itu, pada esai ini saya akan membahas tentang rencana pengembangan Baby Café sebagai upaya mencegah stunting, yang merupakan salah satu permasalahan akan kurangnya gizi pada anak.

 

Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan anak lain seusianya. Jika ditinjau dari segi kesehatan, stunting menyebabkan adanya gangguan kesehatan di masa yang akan datang, di mana penderita lebih rentan terhadap penyakit di masa pertumbuhan dan berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif saat dewasa. Jika ditinjau dari segi kognitif, Intelligence Quotient (IQ) anak yang menderita stunting lebih rendah dibandingkan rata-rata IQ anak normal.

 

Dari total sebanyak 5 juta bayi yang lahir, sekitar 1,2 juta bayi mengalami stunting. Menurut data yang diperoleh dari Survei Status Gizi Balita Indonesia pada tahun 2019, angka stunting Indonesia berada pada 27,67%. Angka itu berhasil ditekan dari 37,8% di tahun 2013. Namun, persentase stunting di Indonesia masih lebih tinggi dari toleransi maksimal WHO yaitu 20%. Dilansir dari Program Percepatan Penurunan Stunting, 29% dari 5 juta bayi lahir dalam keadaan prematur. Sedangkan, sebanyak 11,7% bayi mengalami Berat Baru Lahir Rendah (BBLR) dengan hasil pengukuran panjang tubuh tidak lebih dari 48 sentimeter dan berat badan yang tidak mencapai 2,5 kilogram. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan bahwa 4 tahun ke depan, dari 20 juta kelahiran, 7 juta di antaranya berpotensi mengalami stunting. Perkiraan ini menunjukkan bahwa persentase stunting Indonesia dapat meningkat kembali. Untuk itu, pada tahun 2022, pemerintah menambahkan 154 kabupaten yang diangkat menjadi prioritas pencegahan stunting. Penambahan tersebut menggenapkan 514 kabupaten di Indonesia yang berkomitmen dalam pencegahan stunting. Oleh karena masih banyaknya kasus stunting yang ditemukan di Indonesia, saya berharap adanya sebuah inovasi. Inovasi ini harus dikemas dengan kreatif dan berbasis tren agar mendapat perhatian banyak orang, salah satunya dengan mengembangkan Baby Café.

 

Baby Cafe merupakan sebuah restoran khusus ibu hamil dan balita di Desa Pandes, Klaten yang bertujuan untuk memenuhi gizi balita setelah pemberian ASI eksklusif. Baby Cafe menjual makanan-makanan bergizi untuk balita seperti bubur bayi dengan harga yang terjangkau, serta menyediakan dan memfasilitasi konsultasi gratis untuk pembuatan makanan bagi anak di rumah. Pada tahun 2015, dilakukan evaluasi berat badan badan bayi di Desa Pandes. Dari hasil evaluasi, ternyata masih banyak balita yang berat badannya statis. Oleh karena itu, dibangunlah Baby Cafe untuk menyokong dan menanggulangi kasus stunting di Desa Pandes, Klaten. Program Baby Cafe yang sudah ada sejak tahun 2015 tersebut berperan besar dalam mengurangi kasus stunting di Desa Pandes.

 

Hal ini membuahkan hasil yang sangat baik. Kini, para balita di Desa Pandes mendapatkan perkembangan perilaku yang jauh lebih baik dibandingkan bayi-bayi yang mengonsumsi makanan pabrikan. Buktinya, saat diadakan penelitian mengenai status gizi bayi di bawah dua tahun (Baduta) di Desa Pandes pada tahun 2017, dari total 107 bayi yang diobservasi, hanya terdapat 19 bayi pendek yang diukur menurut antropometri WHO. Artinya, sekitar 80% bayi dalam keadaan sehat, sedangkan 20% lainnya mengalami stunting.

 

Program Baby Cafe dapat terbilang sukses dan efektif dengan berkurangnya banyak kasus stunting yang ada di Desa Pandes, Klaten. Oleh karena itu, saya ingin mengusulkan pembukaan cabang Baby Cafe di seluruh Indonesia dengan memprioritaskan daerah-daerah yang memiliki kasus stunting tinggi seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Tidak hanya membuka cabang, renovasi tempat pun perlu dilakukan secara bertahap agar ibu hamil dan balita dapat berkonsultasi dengan nyaman di Baby Cafe.

 

Agar menarik perhatian masyarakat terutama generasi milenial, Baby Cafe dapat dibangun dengan desain bangunan yang sederhana namun nyaman, modern, menarik, dan memiliki nilai estetika tinggi. Apalagi pada zaman sekarang, peran generasi millenial sangat besar dalam memviralkan suatu kasus. Dengan itu, kita dapat mengangkat kasus stunting dengan meminta publik figur atau influencer untuk melakukan kampanye stunting (seperti membuka donasi), mengingat platform sosial media merupakan salah satu metode efektif yang dapat membuat suatu isu menjadi sebuah tren. Sosial media yang dapat digunakan antara lain adalah Instagram, Twitter, dan TikTok.

 

Diantara generasi milenial yang aktif di sosial media, sebagian besar dari mereka adalah penggemar K-Pop. Bekerjasama dengan UNICEF, Indonesia dapat mengundang salah satu artis K-Pop ternama yang juga merupakan duta UNICEF dari Korea Selatan untuk mengunjungi salah satu Baby Cafe yang sudah dibangun, berinteraksi dengan anak-anak yang mengalami stunting, sekaligus mengimbau masyarakat Indonesia untuk memberikan donasi terhadap anak-anak yang mengalami stunting. Tentunya, hal ini akan memberikan dampak yang sangat besar dan pastinya akan mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat.

 

Tidak hanya sejarah dan pembangunan, kesehatan juga harus memiliiki konsep keberlanjutan. Menjaga kesehatan harus dimulai sejak anak berada di dalam kandungan ibunya, hingga anak tersebut tumbuh dewasa. Artinya, menjaga kesehatan anak sama dengan kita menjaga kesehatan masa depannya, menjaga kesehatan masa depan Indonesia.
 

Baca selengkapnya »
Logical Fallacy (Kesesatan Berpikir) dan Jenis-jenisnya

Logical Fallacy (Kesesatan Berpikir) dan Jenis-jenisnya

oleh: tauflam the silentio


    Pernahkah pasangan atau selingkuhan kalian mengutarakan pertanyaan, “Mengapa cinta itu ada?” dan kalian menjawab dengan, “Ya, karena ada kamu”. Sekilas memang dapat dikatakan romantis — jika tidak ingin dikatakan gombalan yang sedikit membosankan, tetapi jika dideteksi dari kerangka berpikir logika, jelas ini adalah kesesatan berpikir atau Logical Fallacy. Proses berargumen adalah upaya seseorang untuk mengungkapkan pendapat yang ada di dalam alam pikirannya dan dituangkan dalam bahasa.

Namun, terkadang, seseorang tidak melewati alur kerangka pemikiran yang lurus dan jernih. Mungkin, untuk mendukung argumennya dan mempertahankan posisi ke-eksklusif-an seseorang tersebut, rela melanggar struktur logika yang mengakibatkan ketidakaturan pendapatnya, yang dinyana, adalah wujud dari cara berpikir dari memandang segala sesuatu. Ringkasnya, kesesatan berpikir atau Logical Fallacy adalah kesesatan logika berpikir yang timbul karena terjadi ketidaksesuaian antara apa yang dipikirkan dan bahasa yang digunakan untuk merumuskan pokok pemikiran.

Penalaran yang sesat ini dapat terjadi apabila susunan premis yang ada tidak menghasilkan suatu kesimpulan yang benar. Dalam artian kesesatan atau fallacy muncul Ketika suatu argumen terbentuk dari premis-premis yang tidak berkaitan dengan argumen yang ada. (LaBoissiere, 2010:1)

Ada beberapa macam bentuk logical fallacies yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari:

Appeal to the Mind

Appeal to Authority

Anggap sesuatu benar hanya karena disampaikan oleh pihak dengan gelar / otoritas tertentu, walau belum tentu qualified / reputable

“Materi ini ditulis oleh seorang guru yang sudah mengajar lebih dari 20 tahun” —> Taunya, Guru Silat

Appeal to Anonymous Authority

Mengutip informasi dari “sumber terpercaya” tanpa identitas yang dapat dipertanggungjawabkan, dan dianggap benar.

“Saya pernah dengar dari akun palsu instagram yang vokal, bahwa ada konspirasi cinta untuk menghancurkan hubungan kita!”

Appeal to Ignorance

Sebuah klaim dianggap benar, apabila sejauh yang ia ketahui, tanpa berusaha mencari tahu, belum terbukti salah.

“Loh, tapi kan teori evolusi itu hanya teori, tidak terbukti benar? Apa? Baca biochemistry? Saya ga pernah. Yang jelas evolusi itu salah!”

Appeal to Common Practice

Percaya sesuatu benar karena sudah terbiasa dilakukan.

“Kamu itu juga selingkuh. Dari zaman Belanda juga kirim pesan ke yang lain udah biasa, bukan hanya urusan pekerjaan saja. Ga usah ajari aku segala lah”

Appeal to Popular Belief

Klaim sesuatu benar karena dipercaya oleh mayoritas orang sebagai keyakinan umum.

“Pada umur sekarang, kalau belum menikah ya aneh banget. Show off sesekali juga perlu dong, lagian kamu doang yang belum menikah!”

Appeal to Novelty

Menganggap sesuatu yang baru pasti lebih baik dari pada yang lama.

“Kok lo masih olahraga lari? Sekarang itu lebih happening naik sepeda, lebih sehat dan lebih bisa kumpul juga. Lebih OK sepedaan lah daripada lari”

Appeal to Money

Seseorang yang lebih kaya / sesuatu yang lebih mahal dianggap lebih benar.

“Udah ga usah sok gaya kritik si pengusaha sebagai pendukung oligarki segala. Buktinya, dia lebih kaya dan sukses dari lo. Omongan dia lebih bisa dipercaya lah!”

Appeal to Tradition

Anggap sesuatu benar karena telah dilakukan dan dijaga secara turun-temurun.

“Gini ya dek, dari zaman guru di sini jadi murid baru, MOS udah kayak gini! Junior harus nurut dan hormat sama senior! Paham!?”

Appeal to Probability

Hanya karena sesuatu “mungkin” terjadi, walau dengan “kemungkinan sangat kecil”, pasti akan terjadi kepada dirinya.

“Dunia itu adil. Anak orang paling miskin pun pasti bisa PhD Harvard dan jadi 10 orang terkaya. Jangan salahkan keadaan. Yuk bisa yuk!”

Appeal to Incredulity

Hanya karena sesuatu rumit dan sulit dipercaya, maka dianggap mustahil.

“Gimana caranya coba scientist tahu kalau >90% DNA Manusia sama seperti Simpanse? Gimana coba cara baca DNA? Terlalu rumit lah. Ngarang aja itu!”

Appeal to Emotion

Appeal to Fear

Menganggap suatu argumen benar berlandaskan rasa takut yang besar terharap pihak lain.

“Ini kok lambang + di pelajaran matematika mirip tanda salib? Lambang PMI juga? Ini pasti bentuk kristenisasi!”

Appeal to the Consequences of a Belief

Menganggap sesuatu salah karena bertentangan dengan apa yang selama ini dipercaya.

“Guru saya tidak mungkin sampaikan sesuatu yang salah. Dia guru teladan yang baik, dan saya percaya padanya. Orang seperti dia tak mungkin keliru!”

Appeal to Wishful Thinking

Percaya sesuatu benar akan terjadi hanya karena sungguh berharap itu akan terjadi.

“Walau ada pandemi, bulan depan ekonomi kita akan tumbuh melesat lebih dari 5%! Vaksin bulan depan ketemu dan diproduksi! Semua baik-baik saja!”

Appeal to Spite

Anggap klaim seseorang layak dibantah karena membencinya.

“Jangan dengarkan dia! Semua pejabat, pengusaha, kelas menengah, siapapun mereka yang bukan kita, tidak usah didengar karena pasti berpihak pada kepentingan kapitalis!”

Appeal to Flattery

Gunakan pujian yang tidak relevan untuk selipkan klaim yang tidak berdasar.

“Bagi orang dengan kecerdasan dengan tingkat pendidikan setidaknya setara master di Ivy League akan memahami bahwa apa yang saya sampaikan adalah benar”.

Appeal to Nature

Klaim bahwa sesuatu lebih benar dengan menggunakan analogi tentang apa yang seharusnya ada di alam.

“Pemimpin itu sudah sewajarnya harus laki-laki, karena di alam pun, binatang mamalia berkelompok seperti Singa dan Gorilla pasti dipimpin yang jantan”.

Appeal to Ridicule

Mengejek argumen yang berseberangan dengan membuatnya terdengar absurd.

“Bumi yang kompleks terbentuk secara kebetulan dari tabrakan benda langit padat saat awal terbentuknya matahari? Bukankah itu sama saja bilang ada mobil yg kebetulan terakit sendiri?”

Appeal to Pity

Menggunakan rasa kasihan untuk menggiring pendapat lawan.

“Memang betul pejabat itu ada salah dan khilaf sudah ambil uang yang bukan haknya. Namun, apa kita tidak kasihan, umurnya sudah tua, pengabdian selama ini tidak sedikit. Bukankah kita seharusnya pemaaf?

Data Fallacies

Cherry Picking

Memilih dan menggunakan data secara selektif agar sesuatu dengan hasil yang diinginkan.

“Menurut riset opini dengan sampel 90% pengusaha energi fosil, mayoritas nyatakan bahwa energi fosil ramah lingkungan dan memajukan ekonomi”

Data Dredging

Klaim bahwa pattern data menunjukkan korelasi tertentu tanpa sebelumnya mengajukan hipotesis yang jelas.

“Saat saya memimpin, ekonomi tumbuh. Oh ya, jangan semata dihubungkam dengan harga komoditas yang kebetulan sedang boom, pokoknya karena saya memimpin”.

Survivorship Bias

Menarik kesimpulan hanya berdasarkan data yang “selamat” dan bisa dianalisis.

“Dari jumlah lubang tembak di pesawat yang pulang perang, paling banyak ada di sayap. Ini bagian pesawat paling rawan!” -> padahal yang ketembak di bagian fuel langsung jatuh”.

Cobra Effect

Menciptakan insentif yang justru akibatkan hasil sebaliknya dari yang diharapkan.

“Di kota ini banyak Kobra. Kita buat insentif, siapa yang bisa bunuh dan serahkan bangkai kobra, akan dibayar pemerintah” -> bukannya berkurang, warga malah jadi ternak Kobra!”.

False Causality

Kesalahan asumsi bahwa 2 hal yang terjadi pasti saling menyebabkan satu sama lain.

“Data tunjukkan naiknya penjualan ice cream menyebabkan naiknya jumlah perenang di laut yang digigit hiu!” -> padahal keduanya hanya sama-sama terjadi saat summer

Gerrymandering

Manipulasi kumpulan data dengan mengatur batas pengelompokkan untuk mengubah hasil.

“Hillary menang secara total suara pemilih nasional, tapi Trump menang berdasarkan jumlah daerah yang dimenangkan”

Sampling Bias

Menarik kesimpulan dari sampling data yang tidak representatif untuk gambarkan populasi yang ingin dimengerti.

“Berdasarkan survey opini Indonesia tentang pembangunan di Papua, dengan 95% sampel hidup di Jakarta, nyatakan bahwa pembangunan Papua sudah OK”.

Gambler’s Fallacy

Anggap sesuatu yang sudah terjadi lebih sering sebelumnya tidak akan muncul lagi.

“Di game lempar koin ini, sudah 10x berturut-turut muncul ‘head’, jadi pasti selanjutnya ‘tail’ yang akan muncul”.

Observer Effect

Tindakan mengamati mempengaruhi / mengubah perilaku subjek yang diamati.

“Katanya kinerja PNS malas. Nyatanya tidak. Buktinya, saat saya lakukan kunjungan terjadwal, semua sedang sibuk kerja dengan serius”.

Simpson’s Paradox

Pola data yang seharusnya terdiri dari beberapa kelompok dipaksakan jadi satu dan justru tunjukkan pola sebaliknya.

Susah pakai contoh deskriptif, jadi pakai visual aja ya.




 McNamara Fallacy

Hanya memperhitungkan data yang mudah diukur sehingga kehilangam gambaran utuh.

“Negara kita pertimbuhan GDP nya bagus kok. Index Kebahagiaan? Itu sulit diukur dengan reliable. Toh, kalau GDP tumbuh seharusnya kebahagiaan secara umum juga naik kan?”

Publication Bias

Riset yang menarik lebih banyak dibaca sehingga membentuk persepsi terhadap realitas.

“Lebih baik fokus ke riset pengembangan obat dan vaksin COVID-19. Apa? Sebelumnya sudah ada riset yang prediksi pandemi? Kok ga pernah dibahas sebelum pandemi terjadi ya?”.

Faulty Deduction

Anecdotal Evidence

Mereduksi standar pembuktian untuk buat / bantah klaim dengan gunakan pengalaman pribadi / orang lain.

“Aneh kalau ada survey yang bilang lebih dari 70% siswa tidak suka belajar di sekolah. Saya pribadi sangat suka. Bagi saya sekolah menyenangkan!”

Undistributed Middle

Anggap bahwa 2 hal yang menggunakan atribut yang sama maka pasti saling berhubungan.

“Teori itu kan bisa salah, lah itu Evolusi kan cuma Teori. Makanya Teori Evolusi itu tidak terbukti benar”

Composition Fallacy

Anggap bahwa karakteristik dari suatu kelompok menggambarkan kelompok secara keseluruhan.

“Kebanyakan pelaku kriminal di sini itu kan imigran. Makanya imigran itu pasti cenderung berperilaku seperti kriminal!”

Spotlight

Pengamatan terhadap suatu hal yang menjadi sorotan menggambarkan sesuatu secara keseluruhan.

“Kan sudah banyak yang bilang COVID-19 itu konspirasi. Berapa orang? Wah gatau juga, tapi kan itu rame dibicarakan sama artis dan musisi? Konspirasi lah itu!”

Design Fallacy

Anggap bahwa sesuatu yang didesain dengan bagus / indah lebih mungkin benar.

“Infografis bagus dari akun anonim facebook ini bagus sekali. Coba bandingkan dengan grafik di paper ilmiah ini, ruwet, jelas lebih meyakinkan infografis ini lah!”

Sweeping Generalization

Mengeneralisir sesuatu dengan terlalu luas.

“Semua ketertinggalan kita, dari segi ekonomi maupun teknologi, disebabkan karena anak muda kita kurang bermoral dan terlalu sering berbuat mesum”.

Division Fallacy

Anggap karakteristik dari suatu kelompok pasti diikuti oleh seluruh anggota kelompoknya.

“Saya sering lihat di TV kalau yang jenggotan dan celana cingkrang itu pasti setuju poligami. Kamu jenggotan dan pakai celana cingkrang, kamu pasti mau poligami ya?”.

Relativist Fallacy

Menolak suatu klaim karena percaya bahwa kebenaran relatif bagi setiap kelompok.

“Kamu percaya vaksin medis untuk anak itu penting, saya percaya madu herbal sudah cukup. Ya sudah, kita anggap saja keduanya benar menurut kepercayaan masing-masing”.

Hasty Generalization

Mengambil kesimpulan hanya dari sampel yang sangat kecil.

“Aku dulu pernah pacaran satu kali, terus aku diselingkuhin. Emang semua cowok brengsek!”

Perfectionist Fallacy

Anggap kebenaran hanya ada di posisi yang sempurna / mutlak. Segala yang di luar itu salah.

“Jadi posisi kamu menentang kebijakan ini atau tidak? Percuma kalau cuma klarifikasi, itu sama saja dengan mendukung!”

Jumping to Conclusions

Menarik kesimpulan terlalu cepat tanpa bukti yang cukup.

“Ngapain perempuan muda keluar malam kayak gini? Kamu pasti perempuan penghibur ya?”

Middle Ground

Anggap bahwa sesuatu yang saling bertentangan pasti memiliki titik tengah.

“Untuk kasus pemerkosaan ini, sudah jangan diperpanjang secara hukum. Sebagai jalan tengah, pemerkosa bersedia tanggung jawab dengan menikahi korban”.

Manipulating Content

Unfalsifiability

Membuat klaim yang tidak bisa dibuktikan salah atau benar.

“Anak ini jadi gay karena kemasukan setan, harus dikeluarin ini setannya. Bukti? Ya ga ada bukti, setan mana kelihatan. Masa kamu ga percaya sama saya?”

Ad Hoc Rescue

Membela terus hal yang dipercaya dengan terus merevisi argumen.

“OK lah, membantu mudahkan hidup, tingkatkan produktivitas, gerakkan ekonomi, permudah konektivitas, tidak ada kan dampak positif teknologi untuk manusia?”

False Dilemma

Menyajikan hanya 2 alternatif solusi yang bertentangan dan menyembunyikan alternatif lain.

“Pilihan kita hanya lockdown sementara atau membiarkan ekonomi berjalan. Tidak ada opsi lain, dan lockdown akan hentikan ekonomi. Bantuan pemerintah? Itu bukan opsi!”

Misleading Vividness

Menjelaskan sesuatu dengan sangat detail, walaupun jarang terjadi, sehingga sangat meyakinkan sebagai kebenaran.

“Ini adalah Budi Setiawan. Dia adalah anak tukang becak yang lulus dari MIT dan bekerja di Google. Kisahnya sejak bayi blablabla…”

Red Hearing

Mengalihkan pembicaraan dengan topik yang menarik kita ke kesimpulan lain.

“Memang betul anggota partai kami ada yang korupsi, tapi kan lebih banyak koruptor di partai sebelah? Coba, skandal besar korupsi partai sebelah sudah sampai mana?”

Slippery Slope

Menggunakan satu langkah untuk menarik rentetan kesimpulan yang seolah pasti akan terjadi.

“Kalau kita terapkan standar kurikulum seperti kampus top di Eropa, nilai Barat akan masuk. Barat itu liberal, nanti anak muda kita jadi pro sex bebas!”

Garbled Cause and Effect

Post Hoc Ergo Propter Hoc

Karena suatu hal terjadi setelah suatu hal, maka keduanya memiliki hubungan sebab akibat.

“Habis kucing hitam menyeberang jalan, aku langsung jatuh dari motor karena menabrak tepi jalan. Kucing hitam memang pembawa sial!”

Circular Logic

Mengambil kesimpulan dari premis yang telah memiliki kesimpulan.

“Hanya orang yang ingin sex bebas yang tidak setuju aturan mempidanakan pelaku sex bebas. Kamu tidak setuju, maka kamu pasti pelaku sex bebas!”

Two Wrongs Make a Right

Anggap bahwa suatu kesalahan dapat menjadi benar dengan tunjukkan kesalahan lain.

“Memang pelaku pemerkosaan itu jahat, tapi korban juga yang salah karena pakai baju seksi!”

Affirming the Consequent

Anggap hanya ada 1 penjelasan atas fenomena yang sedang diamati.

“Habis menikah, biasanya orang punya anak. Karena itu, orang yang menikah pastilah karena ingin punya anak”.

Cum Hoc Ergo Propter Hoc

Anggap fenomena yang terjadi bersamaaan pasti punya hubungan sebab akibat.

“Orang yang pakai narkoba seringkali bertato. Karena itu, orang bertato pasti pakai narkoba!”.

Ignoring a Common Cause

Anggap A yang menyebabkan B, padahal A dan B sama-sama disebabkan oleh C.

“Anak di SD Negeri non percontohan malas, jadi nilainya jelek” —> padahal anak malas dan nilai jelek sama-sama disebabkan guru tak kompeten mengajar

Denying the Antecedent

Tidak mengakui bahwa penyebab suatu hal bisa lebih dari satu hal.

“Kalau kamu masuk PTN, kamu pasti jadi orang sukses. Kalau kamu gagal masuk PTN, kamu pasti gagal jadi orang sukses”.

On the Attack

(Probably the most common logical fallacy yang sering ditemui dan dilakukan, karena jadi jurus standar saat argumen seseorang terpojok tapi tetap tidak mau kalah)

Ad Hominem

Membantah argumen dengan menyerang pribadi seseorang yang tak berhubungan dengan argumen.

“Halah banyak omong, ga usah sok pinter dan paling paham tentang cinta deh. Lo aja belum menikah”.

Burden of Proof

Si pembuat klaim merasa tak wajib menyajikan bukti dia benar. Anda yang harus buktikan dia salah.

“Loh saya kan cuma share berita kalau si Panjul ini titisan Dajjal. Kamu bisa buktikan saya salah ga? Kalau nggak, ya berarti benar dia titisan Dajjal!”.

Genetic Fallacy

Menyerang sumber dari argumen, bukan argumennya itu sendiri.

“Ya Biologi modern dikembangkan oleh scientist dan kampus yang namanya terkenal tapi pemikirannya liberal dan kebarat-baratan. Mana bisa kita terima Teori Evolusi?”.

Straw Man

Mendistorsi informasi dengan menyempitkan konteksnya sampai kehilangan maksud yang sebenarnya.

“Anda memberi penekanan bahwa mendidik anak dengan cara berpikir scientific itu penting? Berarti anda bilang pendidikan agama itu tidak penting?”

Guilt by Associasion

Menyudutkan argumen dengan mengasosiasikan dengan kelompok yang tidak populer.

“Oh jadi anda ingin memperkuat serikat pekerja, sama seperti keinginan para komunis? Jadi apa anda ini komunis?”.

Circumtance Ad Hominem

Menyudutkan argumen dengan menekankan ada kepentingan si penyampai informasi dalam argumen.

“Tentu saja dokter kampanye rokok buruk untuk kesehatan. Dokter dekat dengan perusahaan farmasi yang jual obat lepas candu rokok. Jadi klaim tak bisa diterima”.

sebagian besar mengambil materi dari Adrian Danar W (@adriandanarw , Tech Business Enthusiast | In Science We Trust)

Sengaja tulis list panjang beberapa jenis logical fallacy, supaya kalau nanti ada yang melakukan logical fallacy, tinggal kutip salah satu dari thread di atas. Sekalian belajar membiasakan diri juga supaya tidak jatuh ke logical fallacy :p

Baca selengkapnya »
Gladiator Colosseum

Gladiator Colosseum

oleh: Yvonne Maurafayza Kurniawan


    Colosseum adalah Amfiteater besar yang menyelenggarakan acara  permainan gladiator. Colosseum, juga bernama Flavian Amphitheatre, dibangun di Roma, Italia, pada masa pemerintahan kaisar Flavia sebagai hadiah kepada orang—orang Romawi.


Asal mula penamaan gedung ini didasari oleh nama sebuah patung di area bangunan. Tinggi patung ini 40 meter atau dalam hitungan kaki setara dengan 130 kaki. Patung ini merepresentasikan Colossus, yaitu bentuk ulang dari pengganti Nero. Nero sendiri adalah perwakilan Dewa Matahari orang—orang Roma yang dikenal dengan nama Sol. Mereka menambahkan mahkota matahari ke patung Colossus untuk menyempurnakan maknanya mewakili pengganti Dewa Matahari. Di Italia sendiri ada nama lain yang disematkan ke bangunan Colosseum, yaitu Il Colosseo. Dalam bahasa Roma di sebut ‘Le Colisee’ serta ‘El Coliseo’.


Colosseum dibangun pada tahun 70 M, tepatnya setelah Kekaisaran Romawi menaklukkan Yudea atau Yerusalem. Tidak ingin pulang dengan tangan kosong, kaisar Vespasianus membawa pulang harta rampasan perang ke Roma. Bukan hanya senjata atau emas, kaisar Vespasianus juga mengambil sejumlah artefak dari kuil—kuil Yahudi. Setelah sampai di Roma, sang kaisar memutuskan untuk menggunakan artefak - artefak itu dan membangun sebuah Amfiteater untuk rakyatnya. Pembangunan Amfiteater ini membutuhkan waktu sepuluh tahun, dan baru selesai pada tahun 80 M. Selain membawa pulang harta rampasan perang, kaisar Vespasianus juga membawa serta 100 ribu tawanan perang ke Roma, Italia. Di kota Roma, para tawanan ini di jadikan budak dan dipekerjakan dalam proyek pembangunan Colosseum. Bukan hanya dipaksa untuk menyeret batu —batu yang berat dari Tivoli ke Roma, para pekerja juga tidak mendapatkan bayaran atas pekerjaannya. Selain dikerjakan oleh para budak, penduduk kota Roma juga berpartisipasi dalam pembangunan Colosseum. Namun, bukan sebagai pekerja kasar, melainkan sebagai arsitek, pekerja seni, dan posisi lainnya yang memiliki kedudukan lebih tinggi.


Sebagai sebuah bangunan milik warga kota, badan bangunan Colosseum dirancang dengan ukuran besar. Tingginya mencapai 48 meter, panjang 188 meter, serta lebar nya 156 meter. Keseluruhan bangunan memiliki luas 2 hingga 5 hektar. Colosseum dibangun dengan bentuk bundar atau elips. Perancangnya tidak menghendaki pemain pertarungan kabur tiba—tiba dan mendapatkan celah untuk berhasil melarikan diri ke bagian sudut bangunan. Sementara itu, para penonton akan tetap aman dengan tetap menjaga jarak dengan arena utama pertarungan.


Dengan kapasitas 87 ribu penonton, Colosseum memiliki 80 pintu masuk. Meski begitu, hanya ada 76 pintu yang bisa digunakan oleh rakyat biasa. Sedangkan empat pintu lainnya adalah pintu khusus yang digunakan oleh kaisar, pejabat, juga para gladiator yang akan bertarung. Para kaisar dan pejabat menggunakan pintu di sebelah selatan dan utara untuk memasuki arena. Dua pintu lainnya adalah pintu untuk para gladiator. Pintu pertama terletak di sebelah timur, dikenal dengan nama Gerbang Kehidupan, di mana gladiator yang akan bertarung memasuki arena melalui pintu ini. Sebaliknya, pintu barat adalah Gerbang Kematian, di mana gladiator yang meninggal setelah pertempuran dibawa keluar.


Jika sekarang dijadikan destinasi pariwisata, dulu Colosseum merupakan tempat hiburan sekaligus juga tempat eksekusi bagi para narapidana. Acara akan di mulai dengan parade hewan liar atau perburuan yang diikuti oleh para bangsawan pada pagi hari. Pada siang hari, Colosseum berubah jadi tempat eksekusi, di mana para narapidana akan diikat dan menjadi sasaran hewan buas. Sedangkan pada sore hari, barulah Colosseum berubah jadi arena gladiator. Sebagian besar pejuang yang bertempur di depan penonton Colosseum adalah laki—laki (meskipun ada beberapa gladiator perempuan). Gladiator umumnya adalah budak, penjahat yang dihukum, atau tawanan perang.


Colosseum sendiri terakhir digunakan pada tahun 435 M, untuk pertandingan gladiator. Dan, selama 350 tahun masa pemakaiannya, Colosseum diperkirakan telah menelan korban hingga setengah juta jiwa, baik itu para gladiator yang tewas dalam pertandingan atau para narapidana yang dihukum mati di tempat ini. Bukan hanya manusia yang jadi korban keganasan pertandingan gladiator di Colosseum, nasib hewan liar nya pun tidak kalah tragis. Pada awal pembukaannya tahun 80 M, kaisar Titus (putra kaisar Vespasianus) mengadakan pertandingan gladiator selama 100 hari penuh. Hasilnya, sekitar 9.000 hewan mati selama pertandingan dan 5.000 di antaranya mati dalam waktu satu hari. Tiga puluh tahun kemudian, kaisar Trajan melakukan pertandingan selama 123 hari yang menewaskan sekitar 11.000 hewan. Diperkirakan sekitar satu juta hewan mulai dari singa, jaguar, gajah, beruang, hingga kuda nil mati karena terluka parah selama pertandingan ini berlangsung.


Saat ini untuk masuk ke Colosseum,  para turis akan dikenakan biaya yang cukup mahal. Namun, pada masa peradaban Romawi kuno, siapa pun bisa masuk dan menyaksikan pertandingan gladiator secara gratis, dengan catatan mereka adalah orang Romawi. Selain itu, para pengunjung juga bisa mendapatkan makanan dan minuman secara cuma—cuma. Meski gratis, pengunjung yang datang tidak bisa bebas memilih tempat duduknya. Rakyat Roma membangun Colosseum dengan banyak tingkatan tempat duduk. Tempat duduk di dalam Colosseum dibagi berdasarkan status dan golongan seseorang dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Mereka yang memiliki darah bangsawan atau jabatan tinggi akan duduk di dekat arena. Sedangka,  rakyat biasa akan duduk di kursi paling atas.


Colosseum tetap aktif selama lebih dari 500 tahun. Pertandingan terakhir yang tercatat dalam sejarah dirayakan pada abad ke-6. Pada abad ke-6 tersebut, Colosseum telah mengalami penjarahan, gempa bumi, dan bahkan pemboman selama Perang Dunia Kedua. Menunjukkan naluri bertahan hidup yang hebat, Colosseum digunakan selama beberapa dekade sebagai gudang, gereja, kuburan, dan bahkan kastil untuk kaum bangsawan. Pada abad ke-20, hampir dua pertiga dari bangunan aslinya telah hancur. Namun demikian, proyek restorasi di mulai pada 1990-an untuk memperbaiki Colosseum. Meskipun dua pertiga dari Colosseum asli telah di hancurkan dari waktu ke waktu, Amfiteater tetap menjadi tujuan wisata yang populer, serta simbol ikon Roma dan sejarahnya yang panjang dan penuh gejolak.


Colosseum adalah simbol utama Roma. Ini adalah konstruksi yang mengesankan, dengan sejarah hampir 2.000 tahun. Saat ini Colosseum, bersama dengan Kota Vatikan, merupakan atraksi wisata terbesar di Roma. Setiap tahun, 6 juta wisatawan mengunjungi nya. Pada 7 Juli 2007, Colosseum menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia modern.


Colosseum buka dari pukul 10:30 hingga 16:30 dari Senin sampai Jumat dan tutup pada hari Sabtu dan Minggu. Tiket masuk umum dan tur dapat di beli secara online seharga €16 ($19,21) ditambah biaya pemesanan €2 ($2,40). Jika tidak ingin membeli tiket secara online, dan antrean di lokasi cukup panjang, pengunjung bisa membeli tiket masuk di Bukit Palatine. karena biasanya ada lebih sedikit orang di sana dan biaya masuknya digabungkan. Cara lain untuk menghindari antrean adalah dengan membeli “Roma Pass”, kartu diskon yang menawarkan tiket masuk gratis ke Colosseum tanpa harus mengantre.


Dan, cara terbaik untuk melewati antrean saat memasuki dan mengenal monumen terkenal secara detail, adalah dengan mengikuti tur berpemandu. Yang ini, mengunjungi Colosseum, Roman Forum, dan Palatine Hill, melewati batas dan dengan pemandu lokal yang ahli.


Sumber :

https://www.britannica.com/topic/Colosseum


https://www.history.com/topics/ancient-history/colosseum


https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/colosseum/


https://www.idntimes.com/science/discovery/lia-89/fakta-mengerikan-seputar-colosseum-c1c2


https://sejarahlengkap.com/bangunan/sejarah-colosseum


https://www.rome.net/colosseum


https://www.lonelyplanet.com/italy/rome/attractions/colosseum/a/poi-sig/1160430/359975
 

Baca selengkapnya »