Prinsip dan Nilai

oleh: Salsabilla Sicillia Arya Putri


    Semua usaha yang dilakukan tidaklah sia-sia. Setidaknya, kalimat itulah yang terukir di dalam benakku sampai saat ini.

Namaku Alvian Farraz. Kata orang, SMA itu masa-masa yang paling indah. Namun, semua itu tidak berlaku kepadaku dan teman-temanku. Baru saja satu semester kami lalui, pandemi korona menyerang Indonesia begitu saja.

Pembelajaran pun terpaksa dilakukan secara daring. Memang awalnya biasa saja, tapi lama-kelamaan jenuh juga jika belajar di rumah terus.

Tidak ada pemandangan asri yang bisa memanjakan mata. Yang ada hanyalah tembok kamarku yang berwarna biru dan rak bukuku yang isinya sudah berserakan di mana-mana karena aku terlalu malas untuk merapikannya.

Bukan itu saja yang mengangguku. Fokus belajarku jadi berkurang karena suasana kamar yang bikin mengantuk. Aku jadi sering tertidur di kelas. Untungnya guru-guru tidak ada yang mencidukku. Namun tentu saja, itu bukanlah hal yang patut disyukuri. Bagaimana tidak? Aku jadi tidak paham materi yang dijelaskan. Rasanya jadi sia-sia ikut pembelajaran.

Akupun berniat untuk mengulang materi dengan menonton video pembelajaran yang ada di youtube. Sialnya, ada saja rasa malas yang menggelayutiku. Aku terus-terusan beralasan, “Ah, PTS masih lama ini.” Memang sih, penilaian tengah semesternya masih sebulan lagi. Tapi, aku tahu, aku bukan orang yang bisa SKS alias sistem kebut semalam. Aku harus belajar jauh-jauh hari supaya materinya terserap sempurna di otakku.

Ting

Sebuah pesan masuk dikala aku bingung ingin belajar atau tidak. Ternyata dari Adel, teman mainku.

Raz, Pabji kuy

Akupun ditambah bimbang dengan chat yang dikirim Adel.

“Main ga ya...

“Main aja deh.”

Setan sukses menghasutku untuk bermalas-malasan. Tidak hanya sekali, tapi berulang kali. Seminggu sebelum PTS pun tiba. Aku menyibukkan diriku dengan menonton materi-materi yang sama sekali aku belum paham. Biar kuulangi, SAMA SEKALI.

Aku benar-benar kewalahan mengejar materi yang selama ini aku tinggal tidur saat dijelaskan. Belum lagi latihan soalnya. Ditengah-tengah kewalahan itu, tiba-tiba aku terpikir,

Aku udah ngerti. Jadi, mending aku istirahat dulu.”

Segera petaka mendatangiku saat PTS. Pada hari pertama, aku sukses tidak bisa mengerjakan soal Matematika Wajib. Rasanya aku ingin menangis kencang, menyesal karena tidak belajar dengan baik.

Aku buru-buru memeriksa gawaiku saat PTS hari pertama usai. Daritadi gawaiku berdering terus, khawatir ada sesuatu yang penting.

Di grup kelas terpampang ratusan screenshoot-an soal beserta jawaban milik temanku. Aku hanya bisa menghela napas saat melihat itu.

Sebagai bocah yang idealis, aku tidak ingin melanggar salah satu prinsipku yaitu tidak menyontek, entah saat ulangan harian, PTS maupun PAS. Rasanya jijik jika aku harus menyontek atau membohongi guruku demi nilai.

Kembali ke cerita. Rapor Tengah Semester telah dibagikan. Ya, tentu saja nilaiku jeblok.

“Farraz!”

Ibu memanggilku dengan suara kasar. “Farraz! Sini kamu,” ujarnya dengan nada yang sama.

Ibuku adalah orang yang memuja nilai. Baginya, nilai adalah segalanya. Padahal, bisa saja orang yang mendapat nilai bagus dengan cara yang tidak jujur.

“Apa ini?” ujar Ibuku sambil menunjuk kolom nilai PTS yang ada di gawainya. Aku hanya menunduk. Tidak berani menatap mata Ibuku yang sedang murka. “Kamu ga belajar, ya!” ujar Ibuku menuduh. “Belajar kok, Bu,” ujarku dengan suara bergetar. “HALAH BELAJAR APA. GAK MUNGKIN,” bentaknya.

Habislah aku seharian diomeli oleh Ibuku.

Jika teman-temanku mendapat dukungan keluarga, aku sebaliknya. Tidak enak rasanya memiliki prinsip yang berseberangan dengan orang tua. Ibu yang memuja nilai, aku yang memuja kejujuran. Prioritas kami sangatlah kontras.

Malam harinya, aku mengunci diri di kamar. Aku tidak ingin makan atau hal lain yang membuatku bertemu dengan Ibu.

“Apa melakukan kejujuran itu salah?”

“Kenapa orang hanya memandang kecil besarnya nilai? Kenapa mereka tidak melihat dari usaha yang dilakukan seseorang?”

“Apa kejujuran sudah tidak ada harganya lagi?”

Pada malam itu juga, setan tengah berbisik manis di telingaku, menyuruhku melepaskan prinsipku itu. Aku pun berhasil dirayunya.

Sebulan kemudian, PAS pun dilaksanakan. Gawai sudah kusiapkan di depan layar laptopku. Dengan begitu, pengawas tidak mencurigaiku menyontek karena mataku tetap tertuju ke layar.

Aku yang benar-benar nekat saat itu tidak berpikir bagaimana akhir dari perbuatanku.

Sekitar seminggu setelah PAS, Guru-guru per mata pelajaran mulai memberi tahu nilai perolehan PAS.

Nilaiku? Tentu bagus. Namun, ada bayaran untuk hal itu yaitu terus-terusan dihantui rasa bersalah karena menyontek dan membohongi guruku. Di hadapan orang tuaku, aku tersenyum, tetapi sungguh, aku benar-benar merasa jijik dengan perbuatanku.

“Astaga, apa yang aku lakukan?”

Aku... menodai diriku sendiri...”

Rasanya seperti ada tangan-tangan tak terlihat yang mencekikku. Sulit rasanya untuk bernapas.

Aku menutupi mataku dengan salah satu tanganku lalu mulai menangis dan meraung. Meraung-raung meminta pertolongan kepada Tuhan untuk menghilangkan rasa sakit ini.

“Bodoh.”

“Sudah melakukan dosa, tapi masih meminta pertolongan Tuhan?”

“Tidak tahu malu.”

Aku bangkit dari kasur. Aku mengambil gunting lalu mengarahkannya ke leherku. Saat aku sudah berniat menghujamkannya, aku berhenti tepat sepuluh sentimeter dari leher.

Lagi-lagi aku tidak bisa melakukannya.

Aku menjatuhkan guntingku lalu memukul-mukul kasur sambil terisak dan menjerit tertahan karena frustrasi.

Lelah melakukannya, aku kembali merebahkan diri di atas kasur. Air mataku masih mengalir tapi diriku sudah lebih tenang.

Aku memejamkan mataku. Tanpa sadar aku tertidur karena kelelahan.

“Alvi.”

“Alvi.”

Aku merasa seperti ada yang memanggilku. Aku membuka mataku dan terlihat sosok putih di depanku. “Siapa kau?” tanyaku. “Bukan siapa-siapa kok,” ujarnya.

“Kasihan sekali dirimu. Sudah berjuang tapi kalah dengan yang berbuat curang,” ujar sosok itu. Entah mengapa aku merasa kesal mendengarnya tetapi aku memilih untuk tidak menganggapi. “Dan lebih ironisnya, kamu terjatuh ke dalam lubang kegelapan itu,” lanjutnya.

“Kau tahu, aku seperti melihat orang putus asa yang lalu menutup mata dan menghalalkan segala cara untuk apapun,” ujarnya. Mataku kembali berair. Sambil membenamkan kepada di kedua lutut, aku berkata, “Sebenarnya... Aku tidak ingin melakukan itu. Namun, ibuku ialah pemuja nilai. Dia akan mengomeliku habis-habisan. Bukan hanya itu, dia tak pernah sekalipun menghargai usahaku. Aku muak akan pemikiran sampahnya itu.”

“Kalau begitu, kau harus tau dirimu sendiri, Alvi,” ujarnya. Aku mengangkat kepalaku, menatapnya yang kini di hadapanku.“Kau tau kau tidak bisa SKS, maka jangan lakukan itu. Itu hanya akan menyiksa dirimu di akhir,” ujar Sosok itu. “Selain itu, kau harus kuat. Walaupun Ibumu memiliki pemikiran yang berbeda darimu, dia masih Ibumu. Ah, atau tidak kau harus memberitahunya tentang prinsipmu itu. Aku yakin dia akan mengerti,” tambahnya.

“Kau juga harus ingat. Manusia itu tempatnya khilaf. Wajar jika kamu berbuat salah seperti menyontek. Jadi, jangan terlalu keras dan maafkanlah dirimu,” ujarnya lagi. Air mata berlinang di pelupuk mataku. Aku benar-benar lupa jika diriku manusia yang bisa saja berbuat salah.

Sosok itu tiba-tiba berubah wujud menjadi sosok yang amat kukenali.

Ya, diriku sendiri.

Air mataku semakin deras. “Maaf, maafkan aku,” ujarku sambil terisak. Sosok itu tersenyum. “tidak apa-apa, Alvi. Yang penting kau sudah tahu,” ujarnya sambil menyeka air mataku.

“Prinsipmu itu sudah bagus. Kau hanya perlu memolesnya dengan keteguhan hati, kesabaran, dan ketekunan dalam belajar. Dengan berbuat jujur, kau jadi tau ‘kan jika kau tidak bisa menyerap ilmu dalam waktu singkat? Kau jadi bisa mengukur dirimu,” ujarnya.

Benar juga. Aku jadi tau jika diriku tidak bisa SKS karena jujur. Jika saja aku dari dulu menyontek, aku mungkin tidak bisa menyadari hal itu.

“Nah sekarang tinggal kau seimbangkan dengan self-awarness dan ingatan jika kau manusia,” ujarnya lagi sambil tersenyum.

Sosok itu memelukku. “Aku yakin kau pasti bisa. Dunia ini memang keras tapi juga indah. Lihatlah dunia ini dari segala sisi dan ambil sisi positifnya.”

“Oleh karena itu... Hiduplah dengan prinsipmu. Jangan buru-buru mati. Dunia ini masih membutuhkan orang jujur sepertimu.”

Aku terperangah akan perkataannya tadi.

Sosok itu melepaskan pelukannya lalu tersenyum. “Sekarang, kembalilah ke sana dengan prinsip barumu,” serunya bangga.

Benar saja abis itu aku terbangun.

Aku buru-buru mencatat tiga hal tadi. Itu karena aku tau aku orangnya pelupa.

Tunggu.

Tidak biasanya aku berpikir seperti itu.

Aku tertawa kecil, senang karena bisa mengenal diri lebih.

Setelah kejadian itu, aku menjadi lebih tenang. Aku belajar lebih tekun dan tidak membandingkan diri dengan orang lain. Aku juga mengomunikasikan prinsipku kepada orang tuaku dan ternyata benar orang tuaku, khususnya ibuku, mengerti.

Masa bodoh jika orang mendapat nilai bagus karena jujur atau menyontek, aku hanya ingin meraih cita-citaku dengan cara yang jujur dan usaha yang maksimal diiringi berdoa kepada Tuhan.

Akhirnya hari kelulusan tiba. Di sekolah terpasang spanduk anak-anak yang lolos SNMPTN. Betapa bangganya melihat nama dan wajahku terpampang di sana. Aku benar-benar mensyukuri hal itu. Mensyukuri jika aku bisa lolos dengan (kalau kata orang) jalur langit.

“Woi, Raz. Senyam-senyum aja.”

Aku terkekeh. “Iya nih. Seneng banget gw bisa lolos SNMPTN. Masih ga nyangka aja gitu,” tukasku. “You deserve it, Dude. Kau berusaha keras untuk tidak mengantuk lagi di kelas saat kelas 12, bertanya jika tidak paham,” ujarnya. “Thanks loh,” ujarku ke Adel.

Jika saja tidak ada korona menyerang, Aku dan Adel akan tiga tahun menjadi chairmate. Ya walaupun Adel tukang nyontek, bukan berarti aku harus membenci lalu menjauhinya ‘kan? Teman yang baik ialah teman yang mendoakan temannya supaya kembali ke jalan yang benar. Sisanya, tinggal dirinya sendiri ingin berubah atau tidak. Selain itu, Adel juga menghargai prinsipku, jadi dia tidak pernah meminta jawaban sama sekali kepadaku.

Rasanya lega sekaligus bangga bisa menggapai impian dengan cara yang benar.

Kutuliskan ini di atas buku catatanku supaya aku bisa membaca dan mengingat betapa hebatnya aku bisa bertahan sampai sejauh ini.

“Terima kasih ya Tuhan.”

“Terima kasih diriku.”

Teguhlah terhadap prinsip yang kamu pegang. Tapi jangan sampai lupa, jika kita manusia tempatnya salah dan khilaf.

Prinsip dan Nilai