BABY CAFÉ: Sebuah Alternatif Penyelesaian Stunting Anak

                        sumber: https://www.solopos.com/

oleh: Mayra Cahyawaty


"Kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan, segalanya menjadi tidak ada gunanya."

 

Kata mutiara di atas, bukan hanya sekadar “kata-kata” yang hanya menjadi pajangan orang-orang untuk mengisi caption pada Instagram, Facebook, atau sosial media lainnya. Memang singkat, tapi jika kita memperhatikan kata  demi kata pada kalimat tersebut, maknanya sungguh luar biasa. Tanpa kesehatan, segalanya menjadi tidak ada gunanya. Apalagi di masa pandemi seperti ini, jika terkena virus, maka kita tidak bisa bekerja, bersekolah, bermain, dan melakukan aktivitas-aktivitas normal lainnya, melainkan hanya bisa berkutik di atas tempat tidur, makan, minum obat, tidur lagi. Itulah sebabnya, kesehatan merupakan kunci pembuka kesuksesan dalam segala bidang dan aspek yang ada di dalam hidup.

 

Belakangan ini, di beberapa negara termasuk Indonesia, kasus Covid-19 meningkat, terutama pada anak-anak akibat penularan varian “Omicron”. Bahkan, jumlah kematian anak balita meningkat hingga 50 persen atau ada 1.000 kematian pada anak setiap minggunya selama pandemi. Berkaitan dengan masalah tersebut, kesehatan anak harus lebih diperhatikan mengingat anak adalah calon penerus generasi bangsa. Anak  akan mudah terserang virus apabila tidak mengonsumsi makanan dengan gizi yang cukup. Kekurangan gizi akan membuat tubuh lemah sehingga virus dan kuman mudah untuk masuk. Oleh karena itu, pada esai ini saya akan membahas tentang rencana pengembangan Baby Café sebagai upaya mencegah stunting, yang merupakan salah satu permasalahan akan kurangnya gizi pada anak.

 

Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan anak lain seusianya. Jika ditinjau dari segi kesehatan, stunting menyebabkan adanya gangguan kesehatan di masa yang akan datang, di mana penderita lebih rentan terhadap penyakit di masa pertumbuhan dan berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif saat dewasa. Jika ditinjau dari segi kognitif, Intelligence Quotient (IQ) anak yang menderita stunting lebih rendah dibandingkan rata-rata IQ anak normal.

 

Dari total sebanyak 5 juta bayi yang lahir, sekitar 1,2 juta bayi mengalami stunting. Menurut data yang diperoleh dari Survei Status Gizi Balita Indonesia pada tahun 2019, angka stunting Indonesia berada pada 27,67%. Angka itu berhasil ditekan dari 37,8% di tahun 2013. Namun, persentase stunting di Indonesia masih lebih tinggi dari toleransi maksimal WHO yaitu 20%. Dilansir dari Program Percepatan Penurunan Stunting, 29% dari 5 juta bayi lahir dalam keadaan prematur. Sedangkan, sebanyak 11,7% bayi mengalami Berat Baru Lahir Rendah (BBLR) dengan hasil pengukuran panjang tubuh tidak lebih dari 48 sentimeter dan berat badan yang tidak mencapai 2,5 kilogram. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan bahwa 4 tahun ke depan, dari 20 juta kelahiran, 7 juta di antaranya berpotensi mengalami stunting. Perkiraan ini menunjukkan bahwa persentase stunting Indonesia dapat meningkat kembali. Untuk itu, pada tahun 2022, pemerintah menambahkan 154 kabupaten yang diangkat menjadi prioritas pencegahan stunting. Penambahan tersebut menggenapkan 514 kabupaten di Indonesia yang berkomitmen dalam pencegahan stunting. Oleh karena masih banyaknya kasus stunting yang ditemukan di Indonesia, saya berharap adanya sebuah inovasi. Inovasi ini harus dikemas dengan kreatif dan berbasis tren agar mendapat perhatian banyak orang, salah satunya dengan mengembangkan Baby Café.

 

Baby Cafe merupakan sebuah restoran khusus ibu hamil dan balita di Desa Pandes, Klaten yang bertujuan untuk memenuhi gizi balita setelah pemberian ASI eksklusif. Baby Cafe menjual makanan-makanan bergizi untuk balita seperti bubur bayi dengan harga yang terjangkau, serta menyediakan dan memfasilitasi konsultasi gratis untuk pembuatan makanan bagi anak di rumah. Pada tahun 2015, dilakukan evaluasi berat badan badan bayi di Desa Pandes. Dari hasil evaluasi, ternyata masih banyak balita yang berat badannya statis. Oleh karena itu, dibangunlah Baby Cafe untuk menyokong dan menanggulangi kasus stunting di Desa Pandes, Klaten. Program Baby Cafe yang sudah ada sejak tahun 2015 tersebut berperan besar dalam mengurangi kasus stunting di Desa Pandes.

 

Hal ini membuahkan hasil yang sangat baik. Kini, para balita di Desa Pandes mendapatkan perkembangan perilaku yang jauh lebih baik dibandingkan bayi-bayi yang mengonsumsi makanan pabrikan. Buktinya, saat diadakan penelitian mengenai status gizi bayi di bawah dua tahun (Baduta) di Desa Pandes pada tahun 2017, dari total 107 bayi yang diobservasi, hanya terdapat 19 bayi pendek yang diukur menurut antropometri WHO. Artinya, sekitar 80% bayi dalam keadaan sehat, sedangkan 20% lainnya mengalami stunting.

 

Program Baby Cafe dapat terbilang sukses dan efektif dengan berkurangnya banyak kasus stunting yang ada di Desa Pandes, Klaten. Oleh karena itu, saya ingin mengusulkan pembukaan cabang Baby Cafe di seluruh Indonesia dengan memprioritaskan daerah-daerah yang memiliki kasus stunting tinggi seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Tidak hanya membuka cabang, renovasi tempat pun perlu dilakukan secara bertahap agar ibu hamil dan balita dapat berkonsultasi dengan nyaman di Baby Cafe.

 

Agar menarik perhatian masyarakat terutama generasi milenial, Baby Cafe dapat dibangun dengan desain bangunan yang sederhana namun nyaman, modern, menarik, dan memiliki nilai estetika tinggi. Apalagi pada zaman sekarang, peran generasi millenial sangat besar dalam memviralkan suatu kasus. Dengan itu, kita dapat mengangkat kasus stunting dengan meminta publik figur atau influencer untuk melakukan kampanye stunting (seperti membuka donasi), mengingat platform sosial media merupakan salah satu metode efektif yang dapat membuat suatu isu menjadi sebuah tren. Sosial media yang dapat digunakan antara lain adalah Instagram, Twitter, dan TikTok.

 

Diantara generasi milenial yang aktif di sosial media, sebagian besar dari mereka adalah penggemar K-Pop. Bekerjasama dengan UNICEF, Indonesia dapat mengundang salah satu artis K-Pop ternama yang juga merupakan duta UNICEF dari Korea Selatan untuk mengunjungi salah satu Baby Cafe yang sudah dibangun, berinteraksi dengan anak-anak yang mengalami stunting, sekaligus mengimbau masyarakat Indonesia untuk memberikan donasi terhadap anak-anak yang mengalami stunting. Tentunya, hal ini akan memberikan dampak yang sangat besar dan pastinya akan mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat.

 

Tidak hanya sejarah dan pembangunan, kesehatan juga harus memiliiki konsep keberlanjutan. Menjaga kesehatan harus dimulai sejak anak berada di dalam kandungan ibunya, hingga anak tersebut tumbuh dewasa. Artinya, menjaga kesehatan anak sama dengan kita menjaga kesehatan masa depannya, menjaga kesehatan masa depan Indonesia.
 

BABY CAFÉ: Sebuah Alternatif Penyelesaian Stunting Anak