sumber: https://jogja.tribunnews.com/
oleh: Galuh Sekar Kinnathi, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta
Manusia, dari sejak zaman Homo
Sapiens tercipta, hingga sekarang adalah sama. Berbadan tegak, volume otak yang
lebih tinggi dari manusia purba sebelumnya, memiliki akal dan pikiran serta
kekuatan fisik yang hampir sama. Namun, apa yang menjadi pembedanya? Waktu.
Waktu adalah pembeda yang paling
nyata, karena waktu melahirkan evolusi. Evolusi, pertumbuhan, perkembangan,
semua mengalir bersamaan dengan waktu. Sama seperti halnya dengan sebuah
generasi, mereka semua sama-sama manusia namun terlahir di waktu yang berbeda.
Dan, di setiap generasi terjadi perubahan pola pikir dan perbedaan gaya hidup.
Pada setiap generasi pun diterpa masalah, yang membedakan adalah cara mereka
mengatasinya.
Hidup
di zaman sekarang sangatlah enak! Teknologi sudah mutakhir, tidak seperti zaman
dulu yang ingin menanyakan kabar saya perlu waktu berminggu-minggu.
Tak jarang, mereka dari generasi
dahulu berpendapat begitu. Bisa dibilang, penyebabnya mungkin sudah benar,
namun intisari dari opininya sangatlah keliru –bila tidak ingin disebut salah
dan ngawur. Tidak pernah ada kata ‘lebih enak’ untuk hidup di generasi manapun,
karena pada akhirnya , ketika setiap permasalahan baru terpecahkan, bencana
lain akan segera muncul. Memang, sekarang komunikasi hanya perlu waktu beberapa
detik, namun dengan kemudahan seperti itu, arus berita-berita tidak benar (hoax) semakin sering bermunculan dan
tidak akan pernah bisa dibendung. Jaman sekarang, membuat penipuan hanya
tinggal mengetik 3 paragraf dengan pelbagai emoji dan disebar ke berbagai grup
yang membutuhkan durasi kurang dari 5 menit. Sedangkan dahulu, untuk menyebar
berita hoax entah harus pergi ke
tempat pemroduksian media dan koran, menyusun kata dengan hati-hati, entah
harus membuat ratusan brosur untuk ditempel di berbagai sudut kota, hal itu
pasti membuat orang yang ingin menyebarkan berita bohong akan berpikir dua
kali.
Generasi sekarang jangan bahagia
terlebih dahulu! Kemajuan teknologi harus digunakan untuk hal-hal yang benar.
Jangan hanya kecerdasan saja yang dimajukan, tetapi juga harus diimbangi dengan
akhlak, layaknya hidup berdampingan. Dengan dunia se-modern dan teknologi
se-pesat ini, kita harus bersyukur dan jangan sampai kita dimanjakan olehnya.
Contoh kedua, adalah pola pikir. Generasi sekarang, pikirannya cenderung terbuka dibandingkan zaman dulu, baik terhadap hal baik ataupun buruk. Sedangkan, zaman dahulu lebih terpaku –dan nyaris kaku- terhadap hal-hal yang sudah dianggap stigma ataupun tabu. Namun, apakah dengan begitu menjadikan generasi zaman dahulu lebih baik? Sekali lagi, pada setiap generasi tidak ada yang namanya ‘lebih enak’ ataupun ‘lebih baik’! Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Jika diulas dengan seksama, mungkin memang
kedengarannya klise bahwa generasi zaman sekarang lebih keren, lebih terbuka,
dan memikirkan lalu berkomentar mengenai setiap aspek dari setiap lapisan
masyarakat. Namun, jangan lupakan, bahwa generasi zaman sekarang pun juga
terbuka terhadap hal-hal menyimpang pula. Sebagian dari mereka bahkan juga
bertanya, “Memang yang dikatakan
menyimpang itu darimana? Bukankah itu hanya pandangan masyarakat terdahulu yang
berpikiran sempit?”
Dalam pendapat saya sendiri, perilaku menyimpang memang sedikit
rancu, setiap orang punya sudut pandang masing-masing . Seperti misalnya
merokok, mungkin terdengar negatif dan membuat kita bisa terserang pelbagai
penyakit. Tetapi, bagaimana jika fakta sebenernya ia merokok untuk lari dari
segala permasalah hidup yang ia jalani? Bagaimana jika ia tidak lari dari
masalah sebentar dan tidak menggunakan rokok sebagai penenang pikirannya, ia
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Bukankah itu jauh lebih buruk?
Dan, juga rokok merupakan sumber
devisa negara yang sangat besar. Secara
tidak langsung, bukankan para perokok membantu negara ini untuk mendapat penghasilan
yang nantinya uang tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur yang
dinyana amat membantu bagi banyak masyarakat luas?
Maka dari itu, jika ditelusuri lebih
dalam, ada kok yang menjadi pembeda suatu perbuatan memang menyimpang atau
hanya jadi negatif karena berbeda sudut pandang saja:
-Yang pertama, kita bisa mematok
kepada kitab suci agama. Bagaimanapun, kitab suci adalah firman Tuhan yang maha
benar. Jika memang tertulis dalam kitab agama hal itu salah, maka tidak bisa
lagi diperdebatkan. Contohnya, adalah penyuka sesama jenis, dalam agama manapun
tidak ada yang memperbolehkan manusia mencintai seseorang yang jenis kelaminnya
sama.
-Yang kedua, adalah dampaknya. Kita
lihat dari hasil dari perbuatan tersebut baik terhadap lingkungan dan terhadap diri
sendiri. Contoh, memperkosa. Dampaknya, begitu besar dan mahal! Karena bisa
membuat keluarga korban dan keluarga kita sendiri sedih dan terpuruk, membuat
kita malu dan dijauhi masyarakat, dan tentunya jauh lebih buruk, terpuruk, dan
hancur bagi sang korban yang tidak mempunyai salah apa-apa.
Kedua hal ini sekiranya bisa menjadi
patokan, apakah suatu hal merupakan hal yang memang negative, atau negatif
dikarenakan pandangan orang saja? Jadi, apakah berpikiran terbuka itu baik?
Tentu saja. Namun, apakah pandangan ‘pikiran
terbuka’ setiap orang sama? Tentu saja tidak. Bagaimana cara tahu kalau ‘pikiran terbuka’ yang dimaksud orang
itu benar atau tidak? Ya, bisa dikroscek dari 2 hal yang disebutkan di atas.
Itulah, kekurangan generasi sekarang, terlalu ‘open minded’ bukanlah hal yang baik juga, jangan apa-apa dihalalkan
hanya karena menyangkut ‘Human Right’,
karena kalau semua menyangkut hak asasi manusia secara individu maka semua
perbuatan yang dilakukan adalah kebenaran!
Generasi dahulu, memang cenderung mengikuti
norma dan tegas dalam mengharamkan suatu perbuatan menyimpang. Hal itu membuat
orang-orang yang berlaku tidak seharusnya sadar diri dan sadar tempat. Namun,
tidak bisa dipungkiri, yang namanya diskriminasi, zaman dahulu itu kuat sekali.
Dalam kitab sucipun, tertulis jelas bahwasanya, tidak akan pernah ada kebenaran yang menyalahkan suatu dosa dengan
dosa yang lain. Oke, misalnya, kalian punya teman seorang ateis, yang sudah
jelas salah secara pandangan agama. Tetapi, apakah diperbolehkan membully,
menjauhi, dan mengucilkannya? Bukankah itu perilaku yang salah juga? Itu tidak menjadikan kalian lebih suci di
mata Tuhan. kalian sama-sama melakukan dosa, soal lebih banyak atau lebih
sedikit dosa bukanlah urusan manusia memang, tetapi kewajiban kita itu
menghindari perbuatan dosa, bukan menimbang-nimbang lebih baik dalam melakukan
dosa yang mana.
Yang terakhir, adalah perbedaan gaya hidup. Pertama kita akan bahas gaya busana. Generasi dahulu lebih tertutup dan sesuai norma kesopanan yang berkiblat pada kepercayaan. Zaman sekarang, manusia bisa lebih bebas mengekspresikan gaya busananya. Mungkin kasus ini terjadi hanya pada kawasan dunia bagian barat, namun baju mereka sangat menarik perhatian dan terbuka. Sedangkan zaman dahulu, pasti akan berpikir dua kali jika ingin memakai baju terbuka. Seperti yang sudah saya bilang, diskriminasinyapun masih sangat kental.
Jika mereka membuat kesalahan, bisa
bisa langsung dijauhi segala teman-teman dan sahabat. Selanjutnya adalah gaya
hidup berupa pertemanan, asmara, dan sekolah. Tidak akan dijelaskan
satu-persatu. Tetapi, dalam poin ini tidak adasebuah penekanan mana yang benar ataupun salah. Semua jawaban tergantung
dari prespektif dan pandangan masing-masing manusia tentang perbedaan. Tidak
akan ada akhirnya jika kita terus saja membandingkannya.
Jadi, bisa disimpulkan generasi sekarang adalah generasi yang ingin memberontak dari stigma lama, sedangkan masyarakat dulu terpatok pada alur pandangan manusia yang lebih terdahulu. Ada satu teori, teori alasan dibalik mengapa generasi sekarang lebih terbuka. Teorinya berkata, orang-orang yang menjadi petinggi, yang menjadi influencer yang membentuk pola pikir masyarakat adalah manusia zaman dahulu yang terkucilkan. Seperti yang kita semua tahu, banyak sekali kasus orang yang dianggap ‘aneh’ malah besarnya jadi sukses. Tekanan memang bisa menghancurkan seseorang, namun banyak manusia beruntung dan hidupnya selamat.
Nah, karena
akhirnya sekarang mereka berada dipuncak, orang orang itu membuka kisah-kisanya
dari sudut pandang mereka sendiri, yaitu sudut pandang korban. Mengapa mereka
melakukan itu? Supaya hal yang sama tidak terjadi untuk kali kedua. Mereka tahu
betul, betapa sakitnya dikucilkan dan mereka menolak untuk membiarkan anak-cucu
mereka merasakan hal yang sama, sehingga pencegahanpun dilakukan. Berbagai
opini dari sudut pandang masing-masing itu mengundang empati, empati membuat
orang berpikir dua kali, dan pada akhirnya, pandangannya berubah sedikit demi
sedikit. Itulah teori mengapa masyarakat zaman sekarang lebih mempunyai sifat
dan karakter pemikiran terbuka.
Apapun perbedaan dari kedua generasi tersebut, jika dibuat dalam lomba perdebatan, tidak akan selesai, apalagi dengan kepala panas. Jika melakukan perbandingan, hal tersebut malah tidak akan menemui ujungnya. Solusi paling tepat adalah untuk saling menerima kekurangan dan kelebihan, singkirkan senioritas “ah kamu mah enggak tau apa apa, cuman anak ingusan” dan hargai perbedaan pemikiran dan pendapat.