Oleh: Kamilah Indah, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta
Ondel-ondel
merupakan salah satu warisan budaya yang tercantum dalam Pergub No.11
Tahun 2017 sebagai ikon budaya Betawi yang perlu dijaga dan dilestarikan
dengan penuh kebanggaan. Namun, saat ini ondel-ondel mengalami pergeseran nilai
karena disinyalir marak digunakan sebagai sarana mengamen, mengemis, atau
meminta uang.
Oleh
karena itu, Pemprov DKI Jakarta mulai menertibkan ondel-ondel yang digunakan
untuk mengamen di jalanan. Melalui Instagram Dinas Perhubungan DKI Jakarta @dishubdkijakarta menampilkan gambar
ondel-ondel dengan pesan larangan menggunakan ondel-ondel sebagai sarana
mengamen di tempat umum. Hal itu sesuai dengan Pasal 39 (1) dan pasal 40 Perda No.8
Tahun 2007 tentang ketertiban umum. Larangan ini juga telah disepakati
dengan organisasi masyarakat Betawi.
Setelah
melarang ondel-ondel untuk mengamen, telah disepakati akan disediakannya tempat
dan fasilitas untuk para pemilik sanggar kesenian dan kebudayaan Betawi,
termasuk para pengrajin ondel-ondel.
Ondel-Ondel Dalam Lintasan Sejarah
Ondel-Ondel
–dan kebudayaan Betawi lainnya- tentu saja tidak langsung datang ujug-ujug begitu saja, tetapi mempunyai
keterikatan historis yang begitu panjang. Keterikatan historis ini juga
diperkuat dalam proses akulturasi dalam pelbagai bentuk budaya non-Betawi yang
seiring berjalannya waktu, membentuk semacam sebuah identitas kebudayaan yang
baru.
Pemerintahan
DKI dari dulu sampai sekarang, sepertinya belum mampu membaca gerak sejarah
dari kebudayaan ondel-ondel ini sepertinya. Ondel-ondel dan kebudayaan Betawi
lainnya, memang tidak bisa dilepaskan dari aktivitas “mengamen”. Tetapi, bila
hanya melihat dari sekadar “mengamen” pun, terasa tidak adil, dan cenderung
masuk ke dalam sebuah penyempitan makna kebudayaan tersebut.
Sejarawan
Betawi, JJ Rizal, yakin pedagang Inggris, Edmund Scott yang pertama mewartakan
keberadaan ondel-ondel. Edmund Scott ada di Banten selama 1603-1605. “Namun
asal-usul ondel-ondel Jakarta sukar dikatakan hasil adaptasi dari Banten, biar
kata kerajaan itu pernah membawahkan dan memberi banyak pengaruh kepada Sunda
Kalapa.
Ditemukan
data antropologis yang menunjukkan ondel-ondel tumbuh dari kebudayaan agraris
Betawi yang masih berjejak dalam upacara baritan atau bersih desa di beberapa
pinggiran Jakarta, terutama di Cireundeu dan Ciputat,” ungkap JJ Rizal dalam
tulisannya di Majalah Tempo berjudul Ondel-Ondel dan Korupsi (2011).
JJ
Rizal menjelaskan boneka raksasa yang ditulis Edmund Scott "een reuse en
een monster" sebagai manifestasi kekuatan pelindung kampung. Fakta itu
karena ondel-ondel yang dilihat oleh Edmund Scott pada 1605 jadi bagian
iring-iringan yang mengantar Pangeran Jayakarta, WIjaya Krama saat merayakan
upacaran sunatan Raja Banten, Abdul Mufakhir yang masih berusia sepuluh tahun.
Iring-iringan
itu terdiri dari tiga ratus penjaga istana, tiga ratus wanita pembawa banyak
hadiah --emas, uang, dan kain sutra-- serta sepasang boneka berbentuk raksasa.
(https://voi.id/memori/40674/sejarah-ondel-ondel-betawi-yang-tergerus-zaman).
Lanjut
lagi, ondel-ondel juga memuat filosofi yang sakral yang dianalogikan dengan
manifestasi Dewi Sri, Dewi Kesuburan.
Saat
itu, masyarakat agraris Betawi percaya ondel-ondel akan menjaga kesuburan
sawah. Boneka ini juga dipakai pada perayaan pasca-panen guna menghormati Dewi
Sri. Ia menjadi ungkapan syukur atas terhindarnya masyarakat dari gagal panen.
“Sedangkan [ondel-ondel] yang laki-laki [adalah] manifestasi hal buruk atau
jahat sehingga wajahnya merah bertaring”. (https://tirto.id/mengamen-dengan-ondel-ondel-merusak-tradisi-cvrg)
Tanggapan Publik
Kebijakan
pemerintah ini cukup mendapat banyak dukungan masyarakat. Berdasarkan beberapa
komentar masyarakat di Instagram Dinas Perhubungan DKI Jakarta, banyak masyarakat
yang mengalami perlakuan buruk dari para pengamen ondel-ondel.
“udah
makin berani, malah sampe masuk pagar buat minta duit dan itupun ditungguin
juga sama mereka, walaupun kita udah nolak halus” - @faaaadil
“Di
BKT kmaren ada yang ngamen pakai ondel-ondel gak di kasih uang sama saya eh
anak saya dikatain bahasa kasar sampe di pelototin… Ditegur galakan dia…
Astagfirullah sungguh meresahkan” - @prelovedbylarc.acc
Seniman
ondel-ondel, Hasanuddin, memiliki pendapat dengan melihat sisi teknis. Sebagai
seniman ondel-ondel asli Betawi yang sudah dilakukan secara turun-menurun, ia
kesal dengan pengamen ondel-ondel.
"Kebanyakan
mereka ini bukan seniman Betawi asli, mereka sewa ondel-ondel buat ngamen.
Kemudian dari pakaian dan musik juga tidak menjaga keaslian, musik tidak
dimainkan langsung tetapi dari flashdisk," kata Hasan.
Namun,
tetap terdapat pihak yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Salah satunya
adalah budayawan Betawi Ridwan Saidi. Menurutnya, selama Pemprov DKI tidak bisa
menyediakan lapangan kerja yang layak, sebaiknya tidak melarang pengamen
ondel-ondel mencari makannya sendiri. Dia meminta agar Pemprov DKI tidak
membawa alasan budaya dan peradaban untuk melarang seniman ondel-ondel mengamen
dan juga meminta agar Pemrov DKI menyediakan tempat layak untuk pengamen
ondel-ondel sehingga bisa lebih tertib.
Sejarawan
JJ Rizal menilai Pemprov DKI tuna budaya setelah berencana melarang penggunaan
ondel-ondel sebagai sarana mengamen. Mereka bahkan juga menyiapkan sanksi bagi
yang melanggar.
"Pelarangan
dan sanksi kepada ondel-ondel yang mengamen adalah contoh kebijakan yang tuna
budaya. Sebab dalam sejarahnya yang mentradisi di Betawi ondel-ondel memang
mengamen," kata Rizal kepada CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Rabu
(24/3).
Ia
menilai Pemprov DKI seharusnya memahami tradisi budaya ondel-ondel sebagai
produk kebudayaan terlebih dahulu sebelum berencana melarang. Dengan begitu
pemerintah bisa mengedukasi publik, bukan melegitimasi kesalahpahaman terhadap
ondel-ondel. (https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210324200443-234-621719/sejarawan-kritik-keras-pemprov-larang-pengamen-ondel-ondel)
Alwi
Shahab, pencatat kebudayaan Betawi yang tekun, menunjukkan ada orang Betawi
yang menganggap cara “ngamen” ringkas tersebut sebagai degradasi budaya.
Pertama, karena sebagai seni yang adiluhung, ondel-ondel tak seharusnya
dijadikan alat mengamen. Kedua, peran pemain musik telah digantikan oleh
rekaman, sehingga cita rasa seninya hilang. “Kelompok tersebut menganggap ondel-ondel
sebagai bagian sejarah. Sehingga lebih baik tidak digunakan untuk mengamen,”
kata Sejarawan Alwi.
Tanggapan Penulis
Saya
pribadi tidak terlalu setuju dengan dilarangnya pengamen ondel-ondel di
Jakarta. Bukan tanpa alasan, karena selama ini saya tidak pernah mendapat
perlakuan buruk dari para pengamen ondel-ondel tersebut. Kehadiran mereka cukup
sopan ketika berada di lingkungan tempat tinggal saya, justru dapat menghibur
anak-anak di sini. Mereka juga datang ketika sore hari, sehingga saya jarang
merasa terganggu ketika menjalani PJJ. Hal ini juga sama dengan para pengamen
tersebut yang sebagian besar merupakan anak-anak remaja yang masih bersekolah.
Selain
diperlukannya tempat layak dan fasilitas bagi para pengamen ondel-ondel, saya
rasa juga diperlukannya sosialisasi bagi para pengamen tersebut. Saya setuju
dengan Ridwan Saidi dan JJ Rizal, bagaimanapun para pengamen tersebut sedang
mencari uang dan sejarah ondel-ondel memabng berada di jalanan.
Dan negara, seharusnya mendukung dan mengevaluasi segala problematik ondel-ondel, bukan melarangnya tanpa sebab dan pemikiran yang utuh serta konheren. Sebab, bila negara sudah melarang semuanya dan segalanya tanpa ada diskursus public, sudah dipastikan ini adalah kekerasan budaya. Dan ini, adalah berbahaya!