Pandemi dan Kepentingan Kesehatan Mental

 

             Sumber: https://www.psychologytoday.com/


Oleh: Cahaya Pertiwi Putri Hamid, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta


    Pada bulan Maret 2020, sekolah dan kantor-kantor di Indonesia diliburkan selama dua minggu. Hal itu dikarenakan telah ditemukan dua warga Indonesia yang terjangkit virus corona. Yaitu virus baru dari Tiongkok yang belum ditemukan obatnya, tersebar luas sampai ke negara-negara lain, dan menyebabkan terjadinya pandemi. Libur yang tadinya direncanakan hanya dua minggu, sangat tak disangka ternyata berlangsung sampai saat ini, Juni 2021 –dan kemunginan sampai tahun-tahun seterusnya. Yang berarti sudah satu tahun lebih sekolah offline diliburkan.

 

Penyebaran virus ini terjadi, karena adanya kontak langsung dengan yang terjangkit. Maka dari itu, banyak pemerintah dari pelbagai negara yang mengeluarkan kebijakan baru mulai dari mengkarantina wilayah kota, sampai lockdown negara. Hal itu dilakukan dalam upaya mengurangi penyebaran virus corona. Dengan adanya pandemi dan keharusan masyarakat untuk meminimalisir kuantitas dari aktifitas di luar rumah, tentu saja memberikan banyak dampak berbagai aspek. Mulai dari anjloknya perekonomian negara, program-program pendidikan yang harus tertunda, meningkatnya angka kematian, kesehatan fisik, dan bahkan kesehatan mental dalam diri manusia pun banyak yang memburuk dikarenakan adanya pandemi ini.

 

Memangnya, kesehatan mental yang baik itu seperti apa, sih? Kesehatan mental yang baik adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tentram dan tenang, sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain di sekitar. Tak kalah dengan kesehatan fisik, kesehatan mental pun merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan. Kegiatan yang kita lakukan sehari-hari, perlu dilakukan dengan kondisi pikiran dan hati yang tenang juga sehat. Karena tanpa mental yang stabil, akan muncul perasaan-perasaan negatif yang bisa juga disebut mental health problem.

 

Mental health problem mengganggu cara seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku (Dunn, 2016). Jika dibandingkan dengan Mental Illness, keduanya memiliki perbedaan yang dilihat dari tingkat terganggunya. Mental health problem lebih umum, dapat dialami dalam waktu sementara sebagai reaksi terhadap tekanan hidup dan memang lebih ringan dibanding mental illness. Tetapi, masalah ini mungkin berkembang menjadi mental illness jika tidak ditangani secara efektif. Mental health problem dapat muncul dari pelbagai aspek, seperti emosi, perilaku, atensi, serta regulasi diri. Mengalami kekerasan di masa kecil, merasa terasing dari lingkungan, kehilangan orang yang dicintai, stres yang berkepanjangan, kehilangan pekerjaan, penyalahgunaan obat-obatan adalah beberapa contoh faktor yang dapat memicu seseorang memiliki mental health problem.

 

Zaman dahulu, kesehatan mental seringkali dikaitkan dengan kekuatan gaib, makhluk halus, ilmu sihir, dan sejenisnya. Oleh karena itu, jika terjadi sesuatu pada mental seseorang, penanganannya dilakukan dengan mengadakan upacara ritual atau suatu kegiatan yang dipercaya dapat mengeluarkan roh halus dari dalam tubuh manusia. Bahkan sampai sekarang pun, ketika seseorang sedang mengeluhkan perasaan, masih banyak yang memberikan respons seperti, “Ah, makanya ibadah!” atau “Itu sih gara-gara kamu kebanyakan main dan kurang deket sama Tuhan”.

 

Respons seperti itu bukanlah respons yang salah, tapi juga bukan respons yang baik pula. Ketika ada yang berani untuk menceritakan tentang perasaannya, pendengar harus memberikan respons yang suportif dan positif.

 

Mengapa? Karena bagi beberapa orang, membuka sebagian cerita tentang diri mereka yang jarang diketahui orang lain bukan merupakan hal yang mudah dan sepele. Berani speak up mengenai kondisi mental terkadang membutuhkan keberanian yang besar. Berikanlah apresiasi untuk mereka yang sudah berani membuka diri.

 

Namun, seiring berjalannya waktu, kini sudah banyak sekali orang maupun lembaga yang sadar akan pentingnya kesehatan mental bagi semua orang tanpa memandang umur. Mulai dari komunitas kecil di media sosial, sampai organisasi besar seperti WHO (World Health Organization).

 

Dalam masa pandemi seperti ini, sulit bagi kita untuk bertemu dengan teman-teman yang biasanya bisa kita temui dengan mudahnya. Jangankan teman, keluarga yang berbeda rumah pun sulit dikarenakan kekhawatiran yang begitu pekat apabila tertular covid. Keadaan yang kita hadapi, pasti memberikan tekanan besar untuk mental semua orang, tak terkecuali para remaja.

 

WHO menyebutkan, anak muda alias generasi milenial dan Gen Z saat ini lebih rentan terkena gangguan mental. Hal itu disebabkan karena seringnya overthinking, terlalu memikirkan banyak hal dalam kehidupan mulai dari yang sudah lama terjadi, sampai kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terjadi di masa depan. Tak hanya itu, seringkali remaja yang menjelang dewasa membandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain dan membandingkan bentuk fisik sampai pencapaian diri sendiri dengan orang lain juga memengaruhi kesehatan mental menjadi semakin rentan.

 

Menurut Ikhsan Bella Persada, M.Psi, kesehatan mental remaja di masa pandemi sangat rentan dan mudah terganggu, karena mereka belum memiliki kemampuan problem solving, kontrol diri, dan emosi yang optimal. Seperti yang kita ketahui, masa remaja adalah masa di mana manusia sedang mengembangkan area sosialnya, tahap untuk melakukan eksplorasi untuk mencari identitas diri. Seharusnya, di masa remaja ini mereka melakukan banyak interaksi dengan teman-teman, melakukan berbagai macam hal, mencari pengalaman, dan lain-lain.

 

Namun sangat disayangkan, semua hal tersebut menjadi sangat terbatas dikarenakan adanya pandemi. Keterbatasan tersebut tentu menyebabkan stres yang memicu kecemasan dan perasaan kecewa.

 

Seperti yang tadi sudah kita ketahui, kondisi pandemi saat ini memberikan tekanan yang berat untuk batin beberapa remaja. Tekanan batin yang dialami bisa menjadi pemicu datangnya stres. Jika tekanan, kesedihan dan stres tersebut berlangsung dengan sangat berat dan lama, yang nantinya bisa menjadi masa traumatik bagi para remaja. Suatu hal yang membuat trauma merupakan salah satu pemicu depresi remaja selain dari lingkungan, perubahan hormon, hingga genetic, atau faktor keturunan. Depresi adalah salah satu mental health problem yang sering ditemui dalam kalangan remaja, yang menyebabkan perasaan sedih yang berkelanjutan dan terus-menerus kehilangan minat dalam beraktivitas. Tak hanya itu, mudah menangis  tersinggung, marah karena hal-hal yang sederhana hingga berniat untuk mengakhiri hidup bisa menjadi sedikit contoh dari gejala depresi.

 

Namun, tidak perlu khawatir berlebihan karena di zaman sekarang ini, sudah banyak kok orang yang aware terhadap mental health problems. Yuk cari tau bagaimana cara menjaga kesehatan mental untuk remaja di masa pandemi!

 

Pertama, kenali emosi diri sendiri. Ada suatu pepatah yang mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”. Begitu pula dengan diri dan emosi kita. Untuk menemukan jalan keluar sehingga keadaan mental menjadi baik, penting bagi kita untuk mengenali emosi sendiri. Misalkan, kamu sedang merasakan cemas. Cari tau pemicunya, jika penutupan sekolah dan berita utama yang mengkhawatirkan membuat cemas, kamu bukan satu-satunya.

 

Apa yang kamu rasakan adalah hal yang wajar. "Psikolog telah lama menyadari bahwa kecemasan adalah fungsi normal dan sehat yang mengingatkan kita akan ancaman dan membantu kita mengambil tindakan untuk melindungi diri kita sendiri", kata Dr. Lisa Damour, psikolog remaja ahli, penulis buku terlaris dan kolumnis bulanan New York Times.

 

Komunikasi yang baik juga merupakan hal yang penting dalam menjaga kesehatan mental. Untuk bisa menemukan keteduhan hati dan solusi, remaja bisa menceritakan isi hatinya kepada keluarga atau teman yang dipercaya. Memenuhi ‘asupan’ sosial adalah hal penting yang tidak boleh dilewatkan oleh para remaja. Salah satu psikolog, Ikhsan Bella Persada, M.Ps menjelaskan, bahwa sebisa mungkin remaja tetap terhubung dengan teman sekalipun lewat virtual. Itulah alasan-alasan mengapa diperlukan komunikasi yang baik antara diri sendiri dengan emosi, juga diri sendiri dengan orang lain.


Tingkatkan self-love dan mulailah untuk fokus pada diri sendiri. Kesehatan fisik maupun kesehatan mentalmu, adalah prioritasmu. Berfokus pada diri sendiri dan mencari cara untuk menggunakan waktu yang sekarang tersedia adalah cara yang bagus untuk menjaga kesehatan mental. Kenali dirimu, mulailah untuk mencoba menghargai dan menyayangi diri sendiri. Jika kamu sedang merasa lelah, maka ambil waktu yang kamu butuhkan untuk beristirahat, lakukan meditasi, kelilingi dirimu dengan hal-hal positif.

 

Tingkatkan kepercayaan diri dengan cara merawat diri, mengejar pencapaian-pencapaian untuk meng-upgrade diri, dan melakukan apa yang memang kamu sukai. Lakukan dari hal kecil misalkan mencari hobi dan kegiatan baru, membaca buku, menerapkan pola hidup yang sehat, sampai yang paling sederhana seperti mandi air hangat dengan penuh ketenangan juga bisa dijadikan salah satu langkah kecil.

 

Harus diingat bahwa mendiagnosis diri sendiri merupakan hal yang bahaya dan dilarang. Kamu harus melakukan konsultasi dengan yang profesional yaitu psikolog untuk memahami dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi kepada diri kamu, hal itu dilakukan supaya tidak salah langkah kedepannya. Karena seperti yang kita ketahui, ini bukanlah hal yang bisa dianggap sepele dan dipermainkan. Jika kamu merasa bahwa kamu membutuhkan pertolongan, jangan takut untuk konsultasi dengan yang profesional. Di masa pandemi seperti ini, banyak juga psikolog yang membuka konsultasi online.

 

Konsultasi ke psikolog bukan selalu berarti kamu adalah orang dengan gangguan mental berat dan lemah, namun kebalikannya, itu berarti kamu adalah orang yang kuat dan berani untuk mengenal lebih dalam tentang diri sendiri. Know yourself, be yourself, love yourself, and always take good care of your mental health.

Pandemi dan Kepentingan Kesehatan Mental