Abstrak
Pancasila masih terus diperbincangkan, terutama menyangkut
konsekuensi sila pertama: apakah ia mendukung konsep negara sekuler atau
berbasis agama? Piagam Jakarta selalu kembali problematis karena memori itu
memang menyangkut fakta mayoritas penganut Islam. Karena itu, membayangkan
Pancasila sebagai ideologi non-doktriner akan lebih produktif bagi
penyelenggaraan demokrasi. Pancasila lebih layak dijadikan ide penuntun, dan
bukan sebagai ide pengatur. Kemajemukan harus tumbuh dari percakapan etika
politik.
Kata kunci: ideologi, kewarganegaraan, agama, rasionalitas
Pengantar
Sesungguhnya, apa yang dapat disebut sebagai “Problem
Pancasila?”, sehingga ia masih terus dibicarakan. Bukankah terasa kontradiktif
bila Pancasila dinyatakan “sudah final”, tapi ia masih diseminarkan? Bahkan
diperlukan suatu badan khusus untuk merawatnya dan memasyarakatkannya. Bila
pada masa lalu Pancasila diselenggarakan dengan cara “memurnikannya”, kita tahu
bahwa itu adalah bagian dari politik otoritarian Orde Baru. Istilah “Pemurnian
Pancasila” adalah proyek ideologi Orde Baru melalui Penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang sepenuhnya indoktrinatif. Pemurnian
Pancasila adalah indoktrinasi baru, menggantikan indoktrinasi Orde Lama yang
juga menjadikan Pancasila sebagai jimat politik. Sukarnoisme telah disejajarkan
sebagai “ideologi” melalui kampanye “ajaran pemimpin besar revolusi”, dengan
akibat pengkultusan Sukarno.
Sinopsisnya adalah: mobilisasi dukungan melalui -dalam tradisi
Alhhusserian- “aparatus ideologi negara”[1]. Sukarnoisme dan Pancasila hendak
dilekatkan untuk menggerakkan psikololgi publik menuju pengkultusan figur
Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Ajaran dan ujaran Sukarno menjadi
pedagogi politik tunggal. Dalam buku-buku materi pokok indoktrinasi, Sukarno,
Pancasila, Nasionalisme, dan Revolusi, diucapkan dalam satu nafas politik,
dalam retorika indoktrinasi.
Orde Baru tiba dengan pedagogi berbeda. Bukan “revolusi”, melainkan “pembangunan”. Pancasila diterjemahkan sebagai “ideologi pembangunan”, dan karena itu Penataran Pancasila dimaksudkan untuk membentuk mental bangsa yang siap berpartisipasi dalam “pembangunan”. Sebagai kontras terhadap Pancasila yang “revolusioner” di masa “Orde Lama”, pada era “Orde Baru” Pancasila harus dikembalikan bahkan dengan konsep “pemurnian” dan “konsekwen”. Di dalam materi Penataran P4, “sikap mental Pancasilais” diperinci sampai kedalam “butir-butir pedoman perilaku”. Juga di sini, mobilisasi ideologi ini bekerja dalam upaya indoktrinasi untuk menanamkan psikologi kepatuhan agar upaya pembangunan tidak terganggu oleh obsesi-obsesi politik ideologis. Operasi indoktrinasi ini juga berlangsung dalam model Althusserian: penanaman ideologi sekaligus pengendalian politik melalui lembaga-lembaga kebudayaan: sekolah, agama, pers, dll. Kulminasinya adalah penetapan Pancasila sebagai azaz tunggal partai-partai politik. Di sini langsung terbaca fungsi regimentasi dari Pancasila: yaitu penyeragaman politik dalam upaya menihilkan oposisi, dari kelompok politik Islam khususnya.
Tentu tak sepenuhnya Althusserian politik ideologi Orde Baru
itu, karena aktivitas indoktrinasi itu tidak mengandalkan penundukkan hegemonis
berdasarkan kemasukakalan materi-materi penataran P4 itu, melainkan suatu
pemaksaan yang diefektifkan oleh praktek politik nyata yang militeristik.
Dengan kata lain, di belakang proyek indoktrinasi ini berdiri bayang-bayang
kekuasaan aparat represif negara. Akibatnya, indoktrinasi P4 itu tidak menghasilkan
penerimaan hegemonik, karena argumentasi tentang pentingnya sikap mental
pancasilais itu dibayang-bayangi dengan ancaman undang-undang subversif yang
amat menakutkan itu. Sinopsisnya: penataran P4 Orde Baru memang hanya
diselenggarakan secara instrumental, yaitu untuk mengamankan “era pembangunan
Suharto” dari kritik oposisi. Jadi, fungsi Pancasila sesungguhnya sekedar
sebagai alat kekuasaan untuk mengamankan ideologi yang sesungguhnya, yaitu
“developmentalisme” (pembangunanisme). Slogannya sangat pragmatis: “Pembangunan
adalah pelaksanaan Pancasila”. Konsekwensinya, siapa yang anti pembangunan,
adalah anti Pancasila.
Jadi, baik pada masa Sukarno maupun pada era Suharto,
Pancasila bekerja sebagai ideologi reaksioner. Ia diaktifkan sekedar untuk
membungkam kritik, mematikan oposisi dan melanjutkan kekuasaan. Tentu bukan itu
pengertian ideologi dalam dialek akademis. Ideologi seharusnya memberi
penjelasan rasional terhadap konstruksi sejarah, terhadap arah masa depan, dan
terhadap kondisi sosietal masa kini. Karena itu, mendiskusikan Pancasila
sebagai “ideologi”, menuntut kritik akademis yang kuat. Terutama untuk menguji
apakah sila-sila dalam Pancasila itu membentuk suatu jalan pikiran yang
koheren, atau justru terdapat kontradiksi antar sila. Misalnya, apakah
substansi sila pertama (Ketuhanan) tak menghendaki sistem politik sekuler?
Bukankah konstitusi negara ini mengeksplisitkan prinsip “kedaulatan
rakyat”, dan bukan “kedaulatan tuhan”. Bagaimana soal ini harus diterangkan
dalam praktek politik? Atau bagaimana bila sila keempat ditafsirkan dalam
praktek demokrasi sekuler, sehingga soal pilihan keyakinan agama tak harus
berkesan monoteistik sebagaimana maksud implisit dari sila pertama? Juga,
bukankah soal agama itu dalam konstitusi tidak eksplisit disebut sebagai
“kewajiban”, dan karena itu warganegara boleh memakainya dan boleh tidak
memakainya. Artinya, soal agama itu adalah soal penggunaan “hak”, dan seperti
layaknya sebuah “hak”, ia dapat diaktifkan, juga dapat dipasifkan oleh si
pemilik hak.
Dari aspek asal-usul Pancasila, juga kontroversi dapat
berlanjut: Apakah sila-sila itu memang asli berasal dari bumi Indonesia? Bahkan
istilah “digali dari bumi Indonesia”, telah diterima sebagai standar penjelasan
genealogi Pancasila. Bila dujikan ke dalam arkeologi dan antropologi negeri
ini, apakah konsep “rakyat” dalam sila ke-4 merupakan interpretasi eksepsional
dari konsep yang sama dalam tradisi pemikiran demokrasi? Atau apakah sila ke-5,
“keadilan sosial” itu berkorelasi dengan ide sosialisme Marxis yang memang
dipahami secara cukup mendalam oleh Sukarno? Demikian halnya konsep
“nasionalisme” dalam sila ke-3, apakah “persatuan” itu mengacu pada
pikiran-pikiran teori “kontrak sosial” dalam filsafat politik Barat, atau
adakah sumber-sumber arkeologi lain yang asli nusantara selain sistem persatuan
kerajaan di Jawa, misalnya. Pun konsep “kemanusiaan” dalam sila ke-2, apakah
itu dapat disandingkan dengan konsep “humanisme” dalam sejarah transisi dari
sistem teokrasi Eropa, menuju era Pencerahan yang membebaskan otonomi manusia
dari kungkungan doktrinasi teologis, dengan konsekwensi pandangan ateistik juga
termasuk dalam konsep “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tentu pada sila-1
lah kontroversi timbul paling politis dalam sejarah pembicaraan tentang Pancasila.
Terutama karena endapan memori kolektif kita tentang “Piagam Jakarta” yang
dipandang menjiwai Pancasila. Pada setiap momen politik strtategis, soal ini
berulang muncul menjadi penanda kuatnya politik identitas dalam kultur politik
kita. Tetapi sesungguhnya ada soal yang lebih epistemik dalam rumusan sila ke-1
itu: Apakah konsep “Ketuhanan” mendalilkan monoteisme dalam pengertian “Yang
Maha Esa”, atau didalamnya termasuk kultur keagamaan yang politeistik, ateistik
dan mistisistik yang memang berakar dalam “kearifan lokal” nusantara. Dalam
problem itu juga diperlihatkan bahwa agama-agama yang dominan berumat hari ini,
justru tidak berasal dari “bumi nusantara”. Bila hak atas keyakinan, sebagai
hak asasi manusia, diujikan ke dalam problem ini, maka pembicaraan tentang
Pancasila menjadi jauh dari final.
Soal-soal kontroversial semacam ini sering dihindari untuk
dibicarakan, tentu karena sensitifitas politiknya. Tetapi justru penghindaran
itulah yang menyebabkan Pancasila tidak dapat dinyatakan final sebagai sebuah
ideologi, karena susunan dalilnya tidak hendak diperiksa koherensinya. Karena
itu, setiap upaya mempersoalkan Pancasila secara akademis, sudah sejak awal
terhalang oleh keinginan politik untuk tidak mempersoalkannya.
Agama dan Politik
Terutama karena obsesi laten untuk menghidupkan kembali Piagam
Jakarta, maka pembicaraan tentang Pancasila selalu akan mengalami pembatasan
politik. Memang secara konstitusional kita telah memilih “kedaulatan
rakyat”sebagai prinsip bernegara, tetapi psikologi obsesif itu tak mungkin
dinihilkan hanya oleh aturan normatif konstitusi. Fakta demografi mayoritas
Islam adalah satu soal, tapi hak untuk memelihara obsesi itu adalah juga hak
asasi manusia. Aspirasi politik identitas bukan saja tak dapat dibatalkan oleh
konstitusi, bahkan ia dijamin olehnya.
Karena itu, kendati konstitusi kita secara formil bertumpu
pada prinsip “kedaulatan rakyat”, dengan konsekwensi bahwa negara tidak
berdasarkan agama, tetapi praktek politik ril tetap menghidupkan aspirasi
Piagam Jakarta. Jadi, dinyatakan atau tidak, pengakuan terhadap Piagam Jakarta
sebagai aspirasi politik Islam akan selalu ada dalam praktek transaksi politik
elektoral. Dengan kata lain, politik kita akan selalu ada dalam tuntutan
faktual itu. Memang, maksimal yang dapat diloloskan ke dalam percakapan politik
adalah pengakuan faktual itu. Dapatlah ia disebut sebagai “politics of
recognition” pada dataran kultural. Tetapi setiap kali situasi politik
memungkinkan, ia akan berubah menjadi “politics of identity”, dengan dasar yang
lebih ideologis. Pada kualitas itulah normativitas konstitusi menjadi tak
efekif: memori kolektif berubah menjadi kekuatan politik. Statistik politik
Islam memang tak pernah mencapai status signifikan untuk merealisasikan obsesi
Piagam Jakarta. Kearifan para pemimpin politik Isam juga meyakinkan
ketakmungkinan itu. Artinya, secara konstitusional dan secara konvensi
ketatanegaraan, ada jaminan normatif untuk mempertahankan prinsip “kedaulatan
rakyat” (dan bukan kedaulatan agama), sebagai dasar etika politika publik.
Tetapi politik adalah “seni tentang yang mungkin”, dan
momentum selalu menggoda kemungkinan. Negara ada dalam wilayah kecemasan
psikologis itu, karena terbawa dalam kalkulasi berbagai faktor: politik
minoritas, basis material negara,dan sejarah konflik politik lokal maupun
global. Inilah psikologi yang melatari dalil “Pancasila sudah final”, bahkan
dalam versi sloganistis hari ini: “Aku Pancasila!”, suatu slogan yang terasa
reaksioner dan tendensius. Dalam upaya kultural untuk menghegemonikan Pancasila
sebagai “dasar negara”, diskriminasi justru terjadi akibat bawah sadar paranoid
negara. Mengherankan bahwa pemerintah hari ini tidak memiliki kecerdasan
politik dalam mengolah hubungan antara agama dan politik. Juga mengherankan
bahwa setiap kali terjadi “konflik horizontal”, reaksi standar pemerintah
adalah mengumpulkan “pemuka agama” di Istana Negara. Sejak zaman Sukarno rumus
ini telah digunakan: suatu kombinasi antara paternalisme dan pragmatisme
politik. Selain ada anggapan bahwa solusi keagamaan dapat meredakan konflik,
juga ada tendensi untuk mengendalikan politik melalui mekanisme material, suatu
keahlian yang berasal dari era Suharto.
Tetapi penundukan agama pada politik selalu menghasilkan reaksi
balik agama untuk mengevaluasi politik. Resiprokasi inilah yang justru
mempertahankan relasi tak sehat antara agama dan politik, karena masing-masing
akan saling mengintip kelemahan dan menaikkan proposal transasksi material.
Prosedur ini melemahkan upaya menghasilkan “overlapping consensus” sebagai
jalan keluar Rawlsian guna mencegah absolutisasi politik identitas yang
berbasis “comprehensive doctrine”.[2]
Negara memang memfasilitasi aspirasi politik identitas
agama melalui institusi publik. Ada Kementrian Agama, ada Majelis Ulama, juga
berbagai “forum umat beragama”. Tetapi semua fasilitas itu tetap berlatar
belakang politik pengendalian. Politik identitas selalu dilihat sebagai
realitas elektoral. Aspirasi politik identitas adalah tendensi kultural yang
hidup dalam sejarah politik kita sejak masa kolonial. Sastra dan produk-produk
kebudayaan lainnya juga menyimpan memori kolektif itu dalam-dalam. Bahkan di
era reformasi, sejumlah film, musik dan pentas seni dibuat dengan aspirasi
keagamaan yang kuat. Reproduksi memori kolektif Piagam Jakarta juga tumbuh
dalam konteks tuntutan “politics of recognition” Islam dalam tatanan global.
Dimensi ini memperkuat solidaritas ideologis dalam negeri. Pertumbuhan aspirasi
ini justru melembaga di luar fasilitas kooptasi yang disediakan negara. Gerakan
masyarakat sipil seperti “212” telah membentuk suatu kekuatan “hegemoni”
melampaui kepemimpinan tradisionil partai-partai politik Islam. Jelas terlihat
kepemimpinan intelektual dalam upaya aspirasi politik Islam memajukan tuntutan
politik riilnya. Suatu tahap konsolidasi intelektual telah dicapai melalui
rangkaian unjuk rasa damai dan hegemonik melalui politik simbolik yang cerdas:
Dari “212” hingga “#2019GantiPresiden”.
Sebaliknya, upaya kulturalisasi dan pribumisasi politik
Islam dalam rangka pluralisasi doktin, tidak diselenggarakan dalam straregi
“overlapping consensus”, melainkan melalui regulasi negara yang cenderung melanggar
prinsip Hak Asasi Manusia. Negara memakai istilah “ormas radikal” untuk
membubarkan mereka yang dianggap “anti Pancasila”, tanpa menjelaskan apa
sesungguhnya tafsir resmi negara tentang Pancasila. Ketiadaan tafsir itu
sebetulnya memungkinkan Pancasila diselenggarakan sebagai “ide penuntun”
kehidupan bernegara, tanpa obsesi menjadi alat ukur politik pemerintah. Tetapi
memang itulah fungsi Pancasila dalam praktek politik sejak Orde Baru: menjadi
alat politik pemerintah untuk menentukan sekaligus meminggirkan lawan politik (politics
of exclutionary): “Aku Pancasila” mensugestikan suatu politik penyingkiran,
yaitu mereka yang bukan pendukung pemerintah adalah tidak pancasilais. Reduksi
politik semacam ini telah menimbulkan psikologi diskriminatif terutama kepada
golongan Islam, dan dengan itu sekaligus memperkuat fantasi politik untuk
menghadirkan kembali Piagam Jakarta.
Yang dapat disimpulkan dari praktek “politics of
exclutionary” ini adalah penggunaan operasi ideologi untuk menghasilkan
pembenaran pada politik pemerintah. Dari pihak yang tersingkir, kesimpulanmya
adalah: Pancasila sebagai “dasar negara”, telah dipergunakan untuk membedakan
warga negara. Dalam logika itu, berlangsung pengerasan politik identitas dua
arah: mereka yang tersingkir akan mengakumulasi stigma fundamentalis, dan
mereka yang menyingkirkan akan mengakumulasi politik eksklusivisme. Transaksi
demokrasi deliberatif tak akan tumbuh dari situasi semacam ini, dengan akibat
ketegangan ideologis akan menetap dalam kehidupan politik.
Sosialisasi Pancasila yang terus digencarkan pemerintah
adalah ongkos dari ketegangan ideologis itu. Tetapi juga di dalam proyek
ideologisasi ini berlangsung paradoks pedagogi: semakin gencar sosialisasi,
semakin aktif juga penggunaan aspirasi agama dalam berbagai peristiwa politik
(pilkada, demonstrasi, bahkan seminar akademis). Artinya, ada hal yang tak
mampu dimenangkan secara hegemonis dalam “war of position” Gramscian itu.[3] Pertama, konstruksi epistemik
dari Pancasila itu yang memang tak utuh. Terutama dalam perebutan tafsir
tentang esensi sila ke-1, tak nyata konsepsi negara tentang isi antropologis
dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Monoteisme sebagai asumsi sila ke-1 itu, hanya
dapat dipertahankan sebagai fakta administratif: bahwa umumnya rakyat negeri
ini menganut agama monoteis. Tetapi itupun hanya memperlihatkan apa yang secara
formil diakui negara, yaitu agama-agama “besar” yang dianut rakyat. Bagaimana
dengan agama-agama antropologis yang juga memiliki sistem ritus, ajaran
“keesaan”, etika sosial, dan kitab kebudayaan yang disakralkan?
Formalisasi agama yang dipraktekkan negara, juga
menimbukkan “counter culture” pada masyarakat yang tak mampu mengartikulasikan
tuntutan konstitusionalnya tentang hak berkeyakinan (dan tak berkeyakinan,
sebagai konsekwensi logisnya). Di sini, hegemoni negara justru tak berhasil
meyakinkan kita bahwa “berkeyakinan” itu adalah kewajiban warga negara.
Perdebatan tentang apakah agama harus disebutkan dalam Kartu Tanda Penduduk,
juga menunjukkan meluasnnya medan interpretasi tentang keutuhan konstruksi
epistemik Pancasila. Tak ada gunanya mencari jejak akar budaya Pancasila untuk
menunjukkan asal-usul monoteisme sila ke-1, bila justru sumber genealogi
“keesaan” itu diformalkan hanya pada “agama-agama monoteis” yang justru akar
antropologinya adalah Barat.
Menganggap moneteisme sebagai satu-satunya tafsir “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, justru menyempitkan sila ke-1 itu menjadi klaim agama-agama yang
tak ingin teologinya disandingkan dengan sistem-sistem keyakinan lokal yang
memelihara juga konsep “Tuhan” dalam ruang tradisi dan praktek batiniah
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Monoteisme yang mengabsolutkan “metaphysics of
presence” (dalam filsafat Heidegger)[4] semacam itu justru bertentangan
dengan ide “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang justru lebih esensial
untuk menjadi “prinsip penuntun” masyarakat majemuk. Monoteisme yang absolutis
itu berasal dari ontologi otoriter: bahwa hanya boleh ada satu “ Ada”, dan
karena itu, “ada yang lain” harus ditiadakan. Humanisme, sebagai filsafat yang
menumbuhkan ide “kemanusiaan yang adil dan beradab”, justru merupakan solusi
terhadap praktek politik absolutisme teokratik yang merajalela di dunia
sepanjang seribu tahun yang disebut Abad Kegelapan.
Etika humanisme mengajarkan tanggung jawab terhadap
keadilan dan persahabatan manusia, tanpa harus berharap pahala di akhirat. Etik
ini justru kurang dikembangkan negara karena dianggap mengandung asumsi
sekularisme. Tetapi juga karena sugesti itu, maka ide toleransi menjadi sempit
sekedar “toleransi di antara umat beragama”. Di sini negara gagal
menyelenggarakan kemajemukan pandangan hidup karena mengaitkan semua hal
sosiologis kepada dalil teologis. Toleransi dinilai semata-mata dari segi
“keakraban beragama”, sementara dimensi lain dari pengalamaan kewarganegaraan
seperti orientasi seksual, perbedaan ritual keagamaan, kurang dijaga.
Humanisme adalah dataran baru setelah peradaban
meninggalkan sistem teokrasi. Kelelahan perang agama di Eropah menimbulkan
percakapan intelektual yang serius untuk memikirkan “human conditions” demi
menghasilkan tertib dan perdamaian dunia. Perdagangan dunia dan rasionalitas
ilmu menjadi acuan kemajuan humanisme. Metode ilmu dan rekayasa sosial
dipelajari dalam upaya memaksimalkan “idea of progress”. Era Pencerahan merebak
total memberi cahaya sekuler kepada dunia yang selama “seribu tahun” tertutup kegelapan
oleh doktrinasi teokrasi. Narasi tentang “perburuan nenek sihir”, tragedi
Bruno, Galileo, misalnya, adalah monumen keburukan teokrasi. Kekerasan dan
fanatisme adalah fenomena umum abad kegelapan itu. Penghayatan doktrinal atas
teologi adalah hasil dari “pedagogi akhirat” yang dikendalikan oleh elite yang
memonopoli makna dan metode tafsir kitab suci.
Konteks sejarah ini seharusnya dipergunakan juga untuk
memahami relasi antara agama dan politik, dalam upaya menjadikan Pancasila
sebagai “ide penuntun” bernegara. Literasi itu penting demi mengajarkan
generasi bahwa Pancasila tak dibuat dalam kekosongan sejarah dunia. Juga dengan
menempatkannya dalam narasi pikiran abad modern, kita dapat menghindarkan
tafsir yang terlalu atavistik terhadap Pancasila.
Ideologi dan Rasionalitas
Sebetulnya, tak ada yang polemis dalam interpretasi Pancasila,
kecuali tentang sila ke-1 itu. Terutama karena obsesi “negara agamis”, yang
paralel dengan fakta mayoritas penganut Islam di negeri ini. Terhadap
obsesi itulah negara telah bereaksi berlebih, yaitu dengan mensakralkan
Pancasila, bahkan menyatakannya sebagai “harga mati”. Tetapi sebetulnya, fakta
elektoral tak mendukung obsesi itu, karena suara partai-partai berbasis Islam
memang tak cukup untuk mewujudkan fantasi “negara berbasis agama”. Dengan kata
lain, pensakralan Pancasila tidak sekedar untuk “mengatasi” obsesi politik
Islam, tetapi memang menjadi kepentingan politik rezim, sebagai alasan untuk
mendisiplinkan masyarakat. Artinya, negara sebetulnya ikut memelihara proyek
“scapegoatism” ini untuk pengendalian politik ideologi yang lebih luas, yaitu
penguasaan hegemonik. Sampai hari ini, metode Orde Baru itu masih dipergunakan.
Gencarnya sosialisasi Pancasila menunjukkan psikologi tak
aman pada pemerintah, dalam arti ada keperluan mencari dalil pengatur
kebudayaan yang sekaligus berfungsi politis: menentukan mana lawan, mana kawan.
Semacam teknik politik “panopticon”, pemerintah mengkondisikan kepatuhan
sosietal melalui sejumlah slogan hegemonik, di masa Orde Baru misalnya:
Kesaktian Pancasila, Pers Pancasila, Ekonomi Pancasila, dll. Jadi terjadi
semacam teologisasi Pancasila kendati isi teologinya tak terurai menjadi
panduan hidup kongkrit. Artinya, kondisi teologis diperlukan untuk
memelihara kesakralan Pancasila dengan menunjukkan berbagai keunggulannya,
kendati sloganistik. Kini, sugesti yang sama diedarkan pemerintah hari ini:
“Saya Pancasila”, “Pancasila sudah final”. Tetapi demi apa slogan itu diedarkan
bila tidak ada kejelasan konseptual untuk memposisikan Pancasila ke dalam
pilihan etika publik: sekulerkah atau religius. Akibatnya,
Pancasila justru disatirekan sebagai ideologi “bukan ini, bukan itu” (neither-nor).
Menyebut Pancasila “sudah final”, lebih terasa sebagai
antisipasi politik untuk menjamin “persatuan”, ketimbang sebagai hasil kajian
akademis tentang koherensi epistemiknya. Akibatnya, akan timbul kesulitan untuk
menghasilkan kesepakatan hegemonis melalui operasi ideologi karena Pancasila
tak mampu mengolah rasionalitas publik, yaitu sayarat untuk penerimaan sukarela
terhadap ideologi. Hegemoni memerlukan penerimaan konsensual melalui rasio
publik, bukan melalui indoktrinasi dan pemaksaan situasionil. Seharusnya
pemerintah belajar dari kegagalan Orde Baru yang sekedar memobilisasi penerimaan
Pancasila melalui metode indoktrinasi, tanpa menguji kapasitas para penceramah
P4 yang sebenarnya juga tak mampu memahami kontradiksi internal antar sila.
Menanamkan ideologi adalah suaru proyek rasional. Ideologi harus
merupakan penjelasan rasional tentang “dunia dan sejarah”. Ideologi juga harus
menumbuhkan imajinasi yang masuk akal tentang masa depan. Persyaratan ini tak
tersedia, karena sosialisasi Pancasila tak mempertimbangkan tingkat
kesukarelaan rasional dari obyek indoktrinasi. Penerimaan Pancasila lebih
sekedar karena kewajiban jabatan atau maksimal sebagai penanda patriotisme.
Menyebut sejumlah ajaran doktrinal (kitab suci, doktrin
sosial, mitos) adalah petunjuk untuk mengenali ideologi. Ciri umumnya adalah
keyakinan terhadap perwujudan “utopia”. Kitab suci adalah ideologis dalam arti
meneguhkan keyakinan tentang “akhir zaman” dan konsekwensinya terhadap perilaku
manusia hari ini. Ada “penghakiman” berarti ada “kejahatan”, ada “pengampunan”
berarti ada “pertobatan”. Bahwa dalam konsep-konsep itu terdapat relasi
kekuasaan, itu adalah urusan analisa sosiologi dan filsafat. Bahwa terjadi juga
“bisnis iman” untuk mengakumulasi pahala, itu adalah wilayah kajian “ekonomi
politik tanda”. Bahwa persaingan “politik kebenaran” juga melatari faksionalisme
dalam sejarah agama, itu adalah urusan sejarawan. Tetapi yang fundamental dalam
ideologi adalah ia harus secara utuh dan menyeluruh memberi eksplanasi pada
“politics of hope”, dan menghubungkannya dengan “politics of memory”. Pada
tuntutan inilah Pancasila mengalami dilema, karena “politics of memory”
Pancasila justru berisi Piagam Jakarta. Dilema inilah yang pada setiap momen
politik strategis muncul kembali dalam psikologi kecemasan: Apakah negara agama
yang akan dituju? Terutama bagi kalangan “minoritas” kecemasan itu mudah
dieksploitasi untuk kepentingan elektoral pemerintah. Jadi, di dalam dirinya,
karena penghapusan Piagam Jakarta itu merupakan peristiwa dengan isi historis
yang kontroversil, maka pada setiap situasi historis memori kolektif itu akan kembali
menjadi acuan penyelesaian politik.
Sila ke-1 itu, dalam memori kolektif hari ini, justru
hadir kembali dalam obsesi teologisnya, bukan karena suatu impetus teokratis,
melainkan lebih sebagai ekspresi ketidakadilan terhadap kondisi moral dan
politik yang memburuk. Dimensi disparitas sosial adalah kondisi objektif dari
protes moral itu. Karena itu, proposal teologis seharusnya dibaca sebagai
kritik terhadap ketidakadilan sosial. Tetapi reaksi pemerintah tentang soal ini
justru sangat bersifat doktriner. Penggunaan istilah “ormas radikal” adalah
stigma yang tidak produktif bagi upaya mengaktifkan kultur “demokrasi
Pancasila”, karena diskriminasi segera terbaca sebagai “politics of exclusion”.
Hanya boleh ada satu “Ada”. Bukan saja agama yang
memelihara postulat itu. Pun dalam diskursus sekuler, ideologi dipahami sebagai
“politics of exclusion”. Istilah “pemurnian”, “otokritik” adalah konsekwensi
dari perebutan kekuasaan dalam diskursus ideologi. Eskatologi adalah konsep
pewahyuhan dalam kitab suci. Tapi juga dalam Marxisme terbaca semacam eskaton,
yaitu pemenuhan utopia (melalui keniscayaan dialektika) berupa “masyarakat
tanpa kelas”. Dimensi etis dari ideologi mendorong pemenuhan “the not-yet”.
Dapatkah Pancasila dipahami dalam paradigma itu? Hanya bila sebuah ideologi
diaktifkan melalui penerimaan rasional, dapatlah ia bertumbuh sebagai “ide
penuntun” dalam masyarakat majemuk. “The not-yet” selalu ada dalam potensi
kemungkinan, bukan dalam kepastian doktrinal.
Penutup
Dalam diskursus kritik, kebenaran adalah ampas dari perspektif.
Seketika perspektif berubah, kebenaran segera menjadi barang bekas. Jadi, tidak
ada sebetulnya persaingan kebenaran, karena perspektif selalu ada dalam kondisi
semiotis. Pertengkaran tentang kebenaran hanyalah ekspresi dari penyesalan
terhadap kondisi falibilis dari politik. Tetapi begitulah hakekat kemajemukan
dalam demokrasi, ia dibuat justru untuk menampung potensi falibilis manusia.
Bagaimana mempertahankan status Pancasila sebagai
“kesepakatan dasar” dari suatu masyarakat majemuk? Dari awal saya memakai tesis
ini untuk menghindari konsekwensi absolutisasi konsep “ideologi negara”.
Bernegara membutuhkan “kesepakatan dasar”. Formilnya, itu adalah “konstitusi”
(dalam arti luas, juga termasuk konvensi-konvensi ketatanegaraan). Tapi lebih
dari itu, diperlukan semen sosial untuk merekatkan kehangatan pergaulan antar
warganegara. Suatu “etika publik” harus diberlakukan agar transaksi politik
dalam proses bernegara dapat tumbuh dalam suasana “sekuler”, yaitu suasana yang
tanpa obsesi eskatologis. Saya menyebutnya sebagai “etika publik”, dalam arti
prinsip yang dihasilkan melalui transaksi argumen, dan bukan mengikuti
tutorisasi politik yang doktrinal. Tentu dalil agama dapat juga mengisi
diskursus sekuler etika publik dengan cara mentransliterasikan dalil-dalil
teologisnya ke dalam proposisi-proposisi sosiologis agar ia dapat
diargumentasikan secara majemuk. Konsep “adil dan sejahtera” dalam wilayah
teologis misalnya harus dapat ditranslasikan ke dalam model keadilan empirik,
dan diargumentasikan secara rasional agar tak berhenti sebagai postulat moral
yang ahistoris. Pun seluruh obsesi teologis adalah sah sebagai pengalaman nyata
warganega, dan karena itu ia menuntut pengakuan negara. Tetapi justru karena
itu, harus diterima pengandaian rasional bahwa ruang demokrasi tak boleh dihuni
secara menetap oleh suatu “comprehensive doctrine”, termasuk bila Pancasila
beralih menjadi juga “comprehensive doctrine”, yaitu sistem ideologi yang
berambisi mengatur semua soal sosiologis dengan ketentuan-ketentuan teologis
yang absolut.
Kesepakatan dasar bernegara tentu diperlukan, tapi bukan
untuk menghalangi ekspresi pikiran politik warganegara. Kesepakatan dasar itu
menjamin tertib sosial secara etis, tapi bukan secara hukum. Artinya, kedudukan
Pancasila sebagai “dasar negara”, maksimal dimaksudkan sebagai penanda bagi
relasi etis antar warganegara. Kematangan berdemokrasi tak memerlukan terlalu
banyak aturan hukum. Justru bila terdapat banyak aturan, maka pergaulan
warganegara menjadi terlalu teknis. Kehangatan bernegara harus diselenggarakan
dalam kultur kemajemukan pandangan hidup warganegara. Itu artinya harus
diaktifkan suatu etika sekuler yang memungkinkan percakapan (dan bahkan
perselisihan pendapat) tumbuh dalam ruang publik yang deliberatif. Hukum
menjamin pemenuhan hak dan pemulihan ketertiban, tetapi bernegara mengandaikan
kemampuan etis warganegara untuk hidup dalam perbedaan. Menjadi tugas negara
untuk mengaktifkan percakapan etis warganegara, tanpa mengarahkan pilihan hidup
masing-masing, karena demokrasi hanya mampu menyediakan “ruang hidup bersama”,
sambil meghormati “tujuan hidup masing-masing”.
Pancasila harus dipahami dalam paradigma itu. Menyebut Pancasila
sebagai “ideologi negara”, harus dipahami sebagai sekedar “ide penuntun”
dan bukan sebagai “ide pengatur”. Sebagai ide penuntun, ia tak boleh menentukan
pilihan orientasi politik dan semua preferensi hidup individu.
Pancasila memang tak boleh difinalkan agar ia tak berubah
menjadi doktrin.
Rocky Gerung
(Perhimpunan Pendidikan
Demokrasi)
Disalin dari :
http://ratnasarumpaet.id/latest-news/item/535-pancasila-
[1] Lihat,
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatus (London:
Verso, 2014). Konteks analisa Althusser adalah tentang reproduksi suatu sistem
kekuasaan melalui praktek ideologi. Saya meminjam konsep “Aparatus Ideologi
Negara” karena cuma itu jalan pikiran yang memadai untuk memahami aktivitas
ideologi dalam politik Indonesia. Reproduksi kekuasaan memanfaatkan kurikulum
dan peralatan kebudayaan. Tetapi Pancasila sendiri tak cukup ketat untuk
dikonsepkan sebagai ideologi. Jadi, yang lebih penting adalah memahami
aktivitas penanaman ideologi dalam politik Indonesia melalui Pancasila sebagai
alat reproduksinya, dan mengapa ia tak efektif.
[2] Lihat,
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia Classics
, 2011) “Overlapping consensus” adalah proposal untuk menghasilkan politik
plural supaya tak ada doktrin absolut yang memonopoli ruang publik. Istilah
“political liberalism” harus dibaca sebagai “liberalisme yang politis” (bukan
politik liberalisme). “Politis” di situ berarti “tidak absolut”, dapat
ditransaksikan. Berbeda dengan “comprehensive doctrine”, yaitu sistem-sistem
keyakinan yang bermakna final. Pancasila seharusnya sejalan dengan proposal
“overlapping consensus”, yaitu untuk mencairkan “comprehensive doctrines”.
[3] Lihat,
George Hoare and Nathan Sperber, An Introduction to Antonio Gramsci:
His Life, Thought and Legacy (New York: Bloosbury, 2016). Ide Gramsci
tentang hegemony telah dipakai untuk menerangkan soal “kepemimpinan”
intelektual dalam memenangkan ide dan politik.