Kisah Tentang Orang yang Tak Mau Mati

 

                  Sumber: https://kalam.sindonews.com/


Oleh: Devi Bonita Pasaribu


    Dahulu kala, hidup seorang lak-laki bernama Sachio. Namanya itu berarti “keberuntungan”. Meskipun ia tidak seberuntung namanya, hidupnya juga tak bisa dibilang sesial itu. Dia mewarisi sedikit dari kekayaan ayahnya dan hidup dari uang itu. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk bekerja. Suatu hari, tanpa sebab yang jelas, dia memikirkan tentang kematian dan sakit.

 

Membayangkan dirinya suatu saat dalam keadaan sakit atau sekarat membuatnya sangat gundah. “Aku lebih suka hidup”, katanya pada dirinya sendiri, “Paling tidak sampai umurku lima atau enam ratus tahun, terbebas dari segala penyakit. Rentang hidup manusia biasa umumnya sangatlah singkat.” Dia bertanya-tanya apakah itu mungkin, kalau dia hidup sederhana dan berhemat sejak saat itu, untuk memperpanjang hidupnya selama yang dia inginkan. Jika itu bisa terjadi pasti banyak kisah dalam sejarah kuno yang bisa ia ketahui. Ia juga bisa memiliki semua yang diinginkannya di dunia ini. Itulah yang terlintas di pikirannya.

 

Ketika Sachio tidur di malam hari, dan terbangun di pagi harinya, juga ketika dia melewati hari harinya, bayangan akan kematian selalu membebaninya. Ia tidak bisa melepaskan diri dari pikiran itu. Oh… Seandainya saja dia bisa menemukan “Jimat Kehidupan”, yang sering didengar dan dibacanya itu untuk diberikan kepadanya.

 

Suatu malam, tampak seseorang menghampirinya, orang itu adalah penasihat bernama Jofuku, berkata kepadanya kalau nun jauh di sana, di seberang lautan, terdapat sebuah negeri yang dinamakan Pandora. Di sana tinggal petapa yang memiliki rahasia “Jimat Kehidupan” itu. Siapa pun yang meneguk air ajaib itu akan hidup selama-lamanya.

 

Sachio lalu berlayar menuju negeri Pandora. Sachio bertekad pergi untuk menemukan para petapa itu yang diceritakan orang-orang, dan jika bisa, juga menjadi seperti mereka, sehingga dia bisa mendapatkan air keabadian itu.

 

Maka ditinggalkannya rumah peninggalan keluarganya itu dalam tanggung jawab kerabatnya dan memulai penjelajahannya. Sachio mengembara melewati semua daerah-daerah pegunungan di negeri itu, mendaki sampai puncak-puncak gunung yang tertinggi, tetapi tidak satu pun petapa yang berhasil ditemukannya.

 

Akhirnya, setelah berjalan tak tentu arah di suatu daerah yang asing selama beberapa hari, Sachio bertemu dengan seorang pemburu. “Bisakah tuan tunjukkan di mana tempat tinggal para petapa yang memiliki Jimat Kehidupan itu?” tanya Sachio. “Tidak” jawab si pemburu itu, “Aku tak bisa mengatakan padamu di mana petapa-petapa yang kau maksudkan itu tinggal, tetapi ada seorang pencuri ulung yang tinggal di sekitar sini. Orang bilang kalau dia adalah pimpinan gerombolon dengan pengikut sebanyak dua ratus orang.”

 

Jawaban yang aneh itu membuat Sachio sangat jengkel, dia merasa sangat bodoh menghabiskan waktu percuma mencari petapa-petapa itu dengan menanyai orang tadi. Maka, diputuskannya untuk segera pergi ke Horazain yaitu daerah di sebelah selatan negeri Pandora.

 

Sesampainya di sana, Sachio berdoa selama tujuh hari, memohon pada Jofuku agar mau menunjukkan padanya jalan menemui petapa yang bisa memberikan “Jimat Kehidupan” yang diinginkannya itu.  Saat tengah malam di hari ketujuh, yaitu ketika Sachio sedang berdoa, sontak datang angin yang hebat dan Jofuku muncul dalam bentuk awan bercahaya, memanggil Sachio untuk mendekat dan berkata, “Keinginanmu itu sangat… sangat egois dan oleh karenanya, tak mudah untuk dikabulkan. Namun sebagai jawaban dari doa-doamu, aku tetap akan mengabulkannya tetapi dengan caraku. Akan kukirimkan kau ke negeri Kehidupan Abadi, di mana kematian tak pernah datang menjemput, di mana orang-orangnya hidup selama-lamanya”.

 

Sambil berkata demikian, Jofuku meletakkan biji-bijian di atas telapak tangan Sachio, dan seketika itu juga Sachio sudah berada di negeri lain, ya negeri Kehidupan Abadi. Sachio melihat-lihat ke sekelilingnya dengan takjub, penasaran seperti apa wujud negeri Kehidupan Kekal itu. Pertama-tama, ia berjalan di sekitar tempatnya mendarat tadi, lalu melewati kotanya.

 

Semuanya tampak aneh, tentu saja, dan tampak berbeda dari negerinya sendiri. Tak seperti Sachio dan kebanyakan orang pada umumnya, bukannya malah ketakutan setengah mati menghadapi kematian, penduduk di negeri itu justru merindukan kematian sebagai sesuatu yang indah dan didamba-dambakan. Mereka semua lelah atas hidup mereka yang panjang.

 

Semuanya ini Sachio ketahui dari perbincangannya dengan para penduduk di negeri itu. Menurut Sachio, di negeri ini semunya serba terbalik. Dia sendiri berharap bisa luput dari kematian. Kini, ia telah sampai di negeri Kehidupan Kekal dengan senang dan gembira, tetapi hanya untuk melihat kenyataan kalau para penduduknya sendiri, yang ditakdirkan tak pernah mati, menganggap kematian sebagai suatu berkah.

 

Makanan yang diketahui Sachio adalah racun, malah dimakan orang-orang di sini sebagai santapan yang enak. Racun itu mereka telan dengan bersemangatnya, berharap kematian akan datang menjemput. Namun, apapun yang dianggap racun mematikan, tetap saja tidak akan menimbulkan efek apa-apa di tempat yang aneh ini, dan orang-orang yang berharap akan mati setelah menelannya, malah akan merasa semakin sehat, bukan efek buruk yang diharapkan sebaliknya.

 

Sachio merasa senang. Dikatakan pada dirinya sendiri kalau dia tak akan pernah bosan hidup, bahkan dianggapnya tak pantas kalau menginginkan kematian. Dia merasa bahagia. Sachio berharap bisa hidup ribuan tahun dan menikmati hidup. Dia lalu menyibukkan diri dengan berbisnis dan untuk saat itu sama sekali tak bermimpi untuk kembali ke negeri asalnya. Namun, ketika tahun berganti tahun segala sesuatu tidak berjalan mulus seperti awalnya. Sachio mulai mengalami kerugian besar dalam bisnisnya dan beberapa kali ia mengalami masalah yang cukup sulit. Semua ini sangat merisaukan hatinya.

 

Waktu berlalu secepat melesetnya anak panah bagi Sachio, karena ia sibuk dari pagi sampai malam. Tiga ratus tahun sudah berlalu persis sama setiap harinya, hingga akhirnya ia merasa bosan hidup di negeri itu dan dia mendambakan bisa melihat kembali negerinya sendiri dan keluar dari kehidupan kekalnya. Sachio dalam pengharapannya memanggil Jofuku yang telah menolongnya, sebelum ini ketika ia berharap bisa melarikan diri dari kematian, dan kini ia berdoa pada orang suci itu untuk mengembalikannya pulang ke negerinya dan kembali seperti semula.

 

Jofuku pun muncul dan berkata “Percuma saja bagimu untuk berharap bisa hidup selamanya. Semua ini bukan untuk orang sepertimu, kehidupanmu tak cukup tangguh. Pilihan terbaik bagimu adalah pulang ke rumah orang tuamu, hidup secara baik-baik dan produktif. Jangan pernah lalai dan jadikan tanggung jawabmu untuk menyiapkan masa depan yang baik bagi anak-anakmu kelak. Jadi, kau akan hidup sampai usia tua dan berbahagia, tetapi singkirkan keinginan sia-siamu itu untuk bisa lari dari kematian, karena tak ada seorang manusia pun yang bisa melakukannya, dan tentu sekarang kau sudah menyadari bahwa keinginan yang paling egois sekalipun bila dikabulkan, itu tak akan mendatangkan kebahagiaan.”

 

Lalu, Jofuku menghilang saat sudah selesai bicara, dan seketika Sachio seperti terlempar dari langit yang paling tinggi. Tanpa disadarinya, Sachio terbangun oleh teriakannya sendiri, tersadar bahwa semua petualangannya yang luar biasa dan menakutkan tadi hanyalah mimpi buruk. Sachio sampai berkeringat dingin karena ketakutan dan bingung setengah mati.

 

Setelah menenangkan dirinya, ia mulai berpikir sejenak untuk menyingkirkan semua harapan sia-sianya dulu itu. Sachio mencoba menjalani hidup dengan lebih baik dan bermanfaat dari perkataan terakhir Jofuku. Sejak saat dia menerapkan ajaran-ajaran yang ia pelajari dalam mimpinya itu. Ia dan keluarganya pun hidup dengan makmur.

Kisah Tentang Orang yang Tak Mau Mati