Sumber: Lukisan Tuanku Imam Bonjol dalam Perang Padri. FOTO/Istimewa
Oleh: Anindya Putri Defana
Perang
Padri adalah perang saudara yang pernah terjadi di Minangkabau, tepatnya di
wilayah Kerajaan Pagaruyung yang kini termasuk Kabupaten Tanah Datar, Sumatera
Barat. Perang ini dikenal dengan nama Perang padri karena merupakan perang
antara kaum padri/kaum putih/golongan agama melawan kaum hitam/ kaum Adat dan
Belanda.
Latar
belakang sejarah Perang Padri berawal dari masalah agama (Islam) dan adat,
sebelum penjajah Belanda ikut campur tangan. Pemimpin perang padri adalah
Tuanku Imam Bonjol dan tokoh-tokoh pendukung kaum padri adalah Tuanku Nan
Renceh, Tuanku Kota Tua, Tuanku Mensiangan, Tuanku Pasaman, Tuanku Tambusi, dan
Tuanku Imam.
Pada
abad ke-19, Islam berkembang pesat di daerah Minangkabau. Tokoh-tokoh Islam
berusaha menjalankan ajaran Islam sesuai Al-Quran dan Al-Hadis. Gerakan mereka
kemudian dinamakan gerakan Padri. Gerakan padri bertujuan memperbaiki
masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran
Islam.
Gerakan
ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari
kaum adat. Pertikaian antara sesama orang Minang ini berlangsung pada awal abad
ke-17 Masehi, tepatnya dari tahun 1803 hingga 1838. Terlihat terdapat beberapa
golongan yang terlibat, yakni kaum Padri (kelompok agamis), kaum adat, serta
Belanda yang kemudian menerapkan taktik licik untuk memecah-belah rakyat
Minangkabau. Pada akhirnya, peperangan ini menjadi ajang perlawanan rakyat
Minangkabau melawan penjajah Belanda yang dimotori oleh beberapa tokoh
terkemuka.
Perang
Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki
sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh
kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan
sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam,
penggunaan madat, minum-minuman keras, tembakau tercuali sirih, dan juga aspek
hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban
ritual formal agama Islam. Kebiasaan itu dipandang oleh kaum Padri sangat
bertentangan dengan agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat (yang
padahal telah memeluk Islam) untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu
kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Gerakan
Padri di Sumatera Barat, bermula dengan kedatangan tiga orang haji asal
Minangkabau dari Mekkah tahun 1803. Ketiga haji tersebut adalah Haji Miskin,
Haji Sumanik, dan Haji Piabang. Ketiga haji itu membawa perubahan baru dalam
masyarakat Minangkabau dan sekaligus ingin menghentikan kebiasaan yang
dianggapnya menyimpang dari ajaran agama Islam.
Tujuan
gerakan Padri adalah untuk membersihkan kehidupan agama Islam dari
pengaruh-pengaruh kebudayaan dan adat istiadat setempat yang dianggap menyalahi
ajaran agama Islam. Diberantasnya perjudian, adu ayam, pesta-pesta dengan
hiburan yang dianggap merusak kehidupan beragama.
Musuh
kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai tahun 1821
dengan serbuan ke berbagai pos Belanda dan pencegatan terhadap patroli Belanda.
Pasukan Padri bersenjatakan senjata tradisional, sedangkan pihak musuh
menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya.
Pertempuran
berlangsung sengit sehingga banyak menimbulkan korban kedua belah pihak.
Pasukan Belanda mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar diberi nama Fort
Van Der Capellen. Benteng pertahanan kaum Padri dibangun di berbagai tempat,
antara lain Agam dan Bonjol yang diperkuat dengan pasukan yang banyak
jumlahnya.
Tanggal
22 Januari 1824, diadakan perjanjian Mosang dengan kaum Padri, namun kemudian
dilanggar oleh Belanda. Pada April 1824, Raaf meninggal digantikan oleh Kolonel
De Stuers. Dia membangun Benteng Fort De Kock, di Bukit Tinggi. Tanggal 15
November 1825, diadakan perjanjian Padang.
Kaum
Padri diwakili oleh Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman. Seorang Arab, Said
Salimuljafrid bertindak sebagai perantara. Pada hakikatnya berulang-ulang
Belanda mengadakan perjanjian itu dilatarbelakangi kekuatannya yang tidak mampu
menghadapi serangan kaum Padri, di samping itu bantuan dari Jawa tidak dapat
diharapkan, karena di Jawa sedang pecah Perang Diponegoro.
Hingga
tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Orang Minang dan Suku Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin
oleh Harimau Nan Salapan, sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan
Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak,
meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun, keterlibatan Belanda ini
justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan
Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri. Yang walaupun pada akhirnya
peperangan ini dapat dimenangkan oleh Belanda.
Setelah
daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan ditujukan
langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku Imam Bonjol
menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa perdamaian ini
disertai dengan penyerahan. Tetapi, Imam Bonjol berpendirian lain. Perundingan
perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan
lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng
dengan luar benteng, disamping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar benteng.
Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada
tanggal 12 Agustus 1837.
Belanda
memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol, yang didahului
dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol tidak banyak
menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu
tidak dapat dihindarkan lagi.
Korban
berjatuhan dari kedua belah pihak. Pasukan Padri terdesak dan benteng Bonjol
dapat dimasuki oleh pasukan Belanda, menyebabkan Tuanku Imam Bonjol beserta
sisa pasukannya menyerah pada tanggal 25 Oktober 1937. Walaupun Tuanku Imam
Bonjol telah menyerah, tidak berarti perlawanan kaum Padri telah dapat
dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi
pada tahun 1838. Setelah itu, berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau
dikuasai oleh Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat di sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.