Keadilan Hukum di Indonesia? Maaf, Nggak Dulu

Dewi Themis, sang dewi keadilan sebagai lambang hukum yang lurus, adil, dan bijaksana


Oleh: Septiara Avisa Azzahra Putri


    Hukum dibuat untuk mengatur tingkah laku manusia yang, pada hakikatnya, bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. Hukum dan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia yang membuat aturan, dan manusia juga yang dapat mengubah tatanan undang-undang dalam hukum. Hukum semestinya dapat berjalan secara efektif, apabila semua sadar diri akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai hukum yang berada dalam masyarakat.

Penegakan hukum seharusnya berjalan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yang telah disepakati bersama agar tidak menyebabkan sebuah masalah baru yang berkepanjangan. Hukum ditegakkan, barang siapa yang melanggar, maka sanksi yang didapatkan tegas dan memaksa. Hukum diterapkan tanpa pandang status, setiap masyarakat baik yang berasal dari golongan kelas atas harus mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Hukum di junjung tinggi, sebagai nilai-nilai hukum akan mendapat tempat bagi seluruh masyarakat

Sebelumnya, apa sih kesenjangan hukum itu? Kesenjangan hukum merupakan suatu keadaan di mana terdapat ketidaksesuaian dan ketidakseimbangan dalam tuntutan, vonis, atau putusan hukum yang diberikan di tengah masyarakat. Kesenjangan dalam penegakan hukum di Indonesia bukan saja melahirkan ketidakadilan, bahkan dalam konteks Indonesia akan berubah menjadi konflik. Baik konflik antar sesama masyarakat, maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Beberapa kerusuhan yang terjadi belakangan ini mencerminkan hal tersebut, karena itu perlu ketegasan dalam implementasi penegakan hukum. Untuk memunculkan pentingnya kesadaran dalam penegakan hukum di Indonesia, seluruh elemen masyarakat diharapkan memahami dan menyadari pentingnya penegakan hukum pada aturan hukum untuk menciptakan kenyamanan dan keadilan.

Menurut Teori Hukum Keadilan John Rawls, keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau mengganggu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. Agar lebih paham, berikut contoh kasus yang dikaitkan dengan Teori Keadilan John Rawls:

Transformasi kesetaraan buruh. Tulisan ini bertujuan untuk mengubah paradigma tentang buruh yang selalu dipandang sebagai sekelompok masyarakat yang terbelakang dan tertindas. Dalam memandang relasi buruh dan majikan, sebagian orang sering kali menggunakan paradigma perbudakan daripada paradigma kemanusiaan. Menurut saya, ini menunjukan bahwa ketidakadilan dalam sebuah struktur sosial masyarakat diakibatkan oleh hilangnya rasa empati yang mendalam terkait dengan argumen kesetaraan. Rawls menawarkan konsep tentang justice as fairness yang harus menjadi pijakan utama dalam memperjuangkan kesetaraan buruh dalam berbagai aspek, terutama menyangkut pemenuhan hak, kewajiban, dan kesenjangan hidup.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Di Indonesia, KKN telah merajalela bertahun-tahun lamanya. Meskipun perasaan keadilan mengatakan, bahwa praktik-praktik semacam itu tidak adil, kita semakin memahami ketidakadilan tersebut berkat teori keadilan John Rawls. Selain menciptakan segolongan kecil masyarakat yang elitis dan kaya, kolusi, korupsi, dan nepotisme juga menutup kemungkinan bagi tersedianya kesempatan berusaha yang fair. Lowongan pekerjaan atau jabatan tertentu diisi oleh orang-orang yang memiliki koneksi dengan penguasa. Sementara mayoritas masyarakat umumnya mengalami kesulitan untuk mengakses kesempatan-kesempatan itu.

Kesenjangan hukum merupakan salah satu permasalahan sosial yang sering terjadi di setiap negara terutama di Indonesia. Banyak masyarakat yang menyuarakan bahwa hukum di Indonesia diibaratkan dengan pepatah “Tajam ke bawah, Tumpul ke atas”. Opini ini melahirkan ketidakpercayaan masyarakat akan hukum yang bisa menyebabkan kegaduhan atau bahkan kekacauan yang bisa membahayakan negara.

Berikut 7 Kasus Hukum di Indonesia yang “Terkesan Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas”

Mencuri sebuah semangka – tuntutan 2 bulan 10 hari

Dua pria bernama Basar Suyanto dan Kholil, akhirnya dijatuhi hukuman 2 bulan lebih 10 hari penjara oleh Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, pada tahun 2009 lalu, karena terbukti telah mencuri sebuah semangka. Dikarenakan keputusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Kediri dirasa tidak berperikemanusiaan, maka sejumlah perwakilan mahasiswa melakukan protes dan memberikan dukungan kepada kedua terdakwa. Setelah dilaksanakan sidang lanjutan, akhirnya kedua pria tersebut hanya dijatuhi hukuman penjara selama 15 hari saja. 

Penjual petasan – tuntutan 5 bulan

Seorang perempuan berusia lanjut bernama Meri, asal Tegal, Jawa Tengah harus berurusan dengan hukum karena kedapatan menjual petasan di rumahnya sendiri. Nenek Meri sendiri tidak mengetahui, bahwa menjual petasan tersebut dilarang karena sejak pemerintahan Presiden Soekarno, dia sudah menjualnya dan baru kali ini terjerat hukum.

Mengambil kain lusuh – tuntutan 5 tahun

Seorang buruh tani berusia 19 tahun bernama Aspuri, harus berurusan dengan hukum karena memungut sebuah kaus lusuh di pagar rumah tetangganya. Sang pemilik kaus akhirnya melaporkan Aspuri ke pihak kepolisian dengan tuduhan pencurian. Padahal, sebelumnya, pembantu pemilik rumah sudah menyatakan bahwa memang dia sengaja membuang kaus tersebut karena sudah tidak terpakai. Dikarenakan hal ini, Aspuri harus mendekam di sel Rumah Tahanan Kota Serang, Banten selama 3 bulan sambil menunggu keputusan pihak pengadilan. Dia terancam hukuman penjara selama 5 tahun maksimal.

Mencuri 3 buah Kakao – tuntutan 1 bulan

Seorang perempuan yang sudah pantas dipanggil nenek, karena usianya yang memang sudah tua, bernama Minah, harus mendapatkan hukuman 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan, karena terbukti mencuri 3 buah kakao seharga Rp2.000 milik PT Rumpun Sari Antan yang berada di Banyumas, Jawa Tengah. Walaupun sudah mengembalikannya, sesaat setelah ketahuan, namun, pihak manajemen PT Rumpun Sari Antan tetap memperkarakannya untuk memberikan efek jera dan agar tidak ditiru oleh masyarakat lainnya. Setelah putusan dijatuhkan, pihak perusahaan mengaku puas.

Diduga mencuri 7 batang kayu jati berukuran 15 cm – tuntutan 5 tahun

Kasus Nenek Asyani yang diduga mencuri 7 batang katu jati milik Perum Perhutani. Menurut perempuan tua dari Situbondo, Jawa Timur tersebut, kayu jati itu dulunya ditebang oleh almarhum suaminya dari lahan mereka sendiri yang kini telah dijual. Namun, pihak Perhutani tetap mengatakan bahwa kayu jati itu berasal dari lahan milik mereka dan bersikeras memperkarakan ulah Nenek Asyani itu. Dikarenakan hal ini, sejak bulan Juli – Desember 2014, Nenek Asyani mendekam di dalam penjara untuk menunggu proses persidangan. Pihak pengadilan memberikan ancaman maksimal 5 tahun  penjara.

Menebang pohon mangrove – 2 tahun + denda 2 miliar

Tidak pernah terbersit sekalipun dalam pikiran seorang pria yang sudah lanjut usia bernama Busrin ini akan berhadapan dengan hukum dan mendapatkan hukuman selama 2 tahun penjara serta denda Rp 2 miliar atau subsider 1 bulan kurungan karena kedapatan menebang pohon mangrove untuk dibuatnya sebagai bahan bakar memasak. Busrin, yang sehari-hari hanya sebagai kuli pasir ini, ditangkap oleh polisi Probolinggo karena perbuatannya dianggap melanggar hukum.

Mencuri satu tandan pisang – langsung ditahan

Di tahun 2009 lalu, seorang kakek berusia 76 tahun bernama Klijo dituduh mencuri setandan pisang yang bila dijual hanya seharga Rp2.000 saja. Bermula dari permintaan sekelompok anak untuk menebang pisang di pinggir jalan, warga yang mengetahui apa yang dilakukan Mbah Klijo tersebut langsung melaporkannya ke kepolisian.Tidak menunggu lama, pihak Kepolisian Sektor Godean, Yogyakarta, langsung menangkap Mbah Klijo dan menitipkannya ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan. Banyak yang menyayangkan aksi tangkap dan penjeblosan langsung oleh pihak aparat tersebut kepada Mbah Klijo mengingat dia adalah seorang yang sudah tua.

Melihat contoh kasus di atas, proses penegakan hukum masih jauh dari harapan kita semua. Rasa keadilan tidak menyentuh bagi kelas bawah, sedangkan mereka yang memiliki kelas sosial lebih tinggi, maka akan dengan mudah mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa, bahkan memiliki kerugian lebih besar, tetapi tidak ada penanganan yang jelas. Justru, seolah-olah dilindungi oleh negara dan dapat dengan mudahnya lolos dari jeratan hukum. Seolah-olah hukum dapat diperjualbelikan.
 

Keadilan Hukum di Indonesia? Maaf, Nggak Dulu