Sumber: https://magdalene.co/
Oleh: Imandita Putri Shafira dan Salma Salsabila
Perang Puputan Bayu
Cornelis Lekkerkerker, dalam “Balambangan:
Indische Gids II” (1923), menuliskan bahwa Perang Puputan Bayu adalah perang
paling menegangkan, paling mengerikan, paling kejam, dan paling banyak memakan
korban dalam sejarah pertempuran VOC atau Belanda di Nusantara. Puputan Bayu
atau Pemberontakan Jagapati adalah perlawanan dari rakyat Blambangan terhadap kependudukan
Belanda di Banyuwangi. Perang yang dipimpin oleh Mas Rempeg atau Pangeran
Jagapati ini berkecamuk di ujung timur Pulau Jawa dan berpuncak pada 18
Desember 1771.
Perang Puputan Bayu
merupakan efek dari perjanjian antara penguasa Mataram, Pakubuwana (PB) II,
dengan pihak VOC pada tahun 1743. Intinya, sang raja harus menyerahkan sejumlah
wilayah kekuasaan Mataram di timur, termasuk Blambangan, dan sebagai imbalan PB
II menerima uang sebesar 20 real saban tahun dari VOC.
Pada tahun 1766, lepasnya Blambangan
dari Mataram membuat Kerajaan Mengwi di Bali mengklaim kepemilikan wilayah itu
karena pernah menguasainya dulu. Mengwi kemudian memberikan izin kepada Inggris
untuk mendirikan kantor dagang di daerah tersebut. Belanda atau VOC yang tidak
terima lantas menggasak Inggris pada tahun 1767. Setelah itu, VOC berupaya
menguasai Blambangan. Ekspedisi militer VOC ke Blambangan terdiri dari ratusan
serdadu Eropa, ditambah bantuan 3.000 prajurit dari Madura dan Pasuruan.
VOC juga mengirimkan 25 kapal besar dan
kapal-kapal lainnya yang berukuran lebih kecil. Kedatangan VOC dengan membawa puluhan kapal besar serta ribuan tentara
membuat rakyat Blambangan marah dan melakukan perlawanan. Terlebih lagi,
pasukan Belanda bersikap semena-mena terhadap penduduk. Keinginan VOC untuk
menguasai Blambangan pun harus ditentang oleh perlawanan rakyat yang dipimpin
Wong Agung Wilis dan Pangeran Jagapati.
Wong Agung Wilis merupakan penguasa Blambangan pada saat itu. Ia merupakan orang yang ditunjuk VOC untuk memimpin Blambangan, tetapi ia justru memanfaatkan posisinya sebagai penguasa untuk menghimpun kekuatan yang nantinya digunakan untuk menyerang VOC.
Pada Oktober 1767, Wong Agung Wilis bersiap menyerang. Di Ulu Pampang, ia membagi wilayah pertempuran menjadi dua bagian, sebagian dipimpin Pangeran Jagapati dan sebagian lagi dipimpin langsung oleh dirinya. Pada akhirnya, pasukan Blambangan di bawah pimpinan Wong Agung Wilis belum mampu mengungguli Belanda yang dipersenjatai alat-alat mutakhir. Wilis dan pengikutnya pun tertangkap dan diasingkan ke Banda, Kepulauan Maluku, pada 1768.
Sepeninggal Wilis, kesewenang-wenangan
VOC terhadap rakyat Blambangan semakin menjadi-jadi. Bahan pangan milik
penduduk dirampas, petani dipaksa menanam padi yang hasilnya harus diserahkan
kepada Belanda, kaum muda dipekerjakan paksa tanpa upah, dan seterusnya.
Akhirnya, pada tahun 1771, terjadi
serangkaian pertempuran. Di bawah komando Pangeran Jagapati, rakyat Blambangan
sepakat untuk melakukan perang puputan, atau pertempuran habis-habisan.
Mereka memilih gugur di
medan laga ketimbang harus menyerah kepada VOC. Puncaknya pada 18 Desember
1771, Pangeran Jagapati beserta rakyat Blambangan berperang habis-habisan dalam
pertempuran yang dikenal dengan nama Puputan Bayu. Puluhan ribu orang
Banyuwangi tewas akibat pertempuran ini, belum termasuk mereka yang luka-luka
atau hilang. Adapun VOC kehilangan ratusan orang yang tewas atau terluka, tidak
hanya serdadu, tetapi juga perwira militer dan pejabat penting, serta mengalami
kerugian besar lantaran dana yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang ini
tidak sedikit.
Laskar-laskar rakyat yang
masih tersisa terus melawan VOC. Pangeran Jagapati pun gugur pada 18 Desember
1771. Hari wafatnya diperingati sebagai hari jadi Banyuwangi. Tanggal 7
November 1772, tentara VOC menangkapi warga Blambangan. Ribuan orang ditangkap
dan banyak yang dihukum mati, belum termasuk mereka yang tewas karena
kelaparan. Benteng pertahanan terakhir Blambangan jatuh ke tangan VOC pada
1773. Pertempuran pun berakhir, Blambangan sepenuhnya dikuasai VOC. Kompeni membangun
kota baru di Banyuwangi yang sebelumnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan
Blambangan.
Perang ini memiliki dampak
yang cukup besar. Menurut Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java
yang diterbitkan pertama kali pada 1817, warga Blambangan sebelum Puputan Bayu
berjumlah lebih dari 80 ribu jiwa. Lebih dari satu dekade setelah perang besar
itu berkecamuk, tahun 1881, Banyuwangi ditinggali oleh 8 ribu orang saja.
Di sisi lain, VOC
mengerahkan 10 ribu personil dilengkapi senjata canggih dan menghabiskan 8 ton
emas untuk biaya perang. VOC dalam hal ini sebenarnya merugi, karena apa yang
dikeluarkan ternyata tak sepadan dengan apa yang didapat. Blambangan tidak
memberikan keuntungan yang signifikan bagi Belanda selama berkuasa di
Indonesia.
Tautan sumber:
https://tirto.id/sejarah-puputan-bayu-di-banyuwangi-perang-terkejam-untuk-belanda-dccm
https://tirto.id/puputan-bayu-perang-habis-habisan-blambangan-vs-belanda-cBSX
Perlawanan Kesultanan Palembang
Latar belakang:
Ada dua pendapat berbeda mengenai latar belakang perlawanan ini.
Pertama, awal mula timbulnya peperangan di Kesultanan Palembang tidak dapat
dilepaskan dari faktor ekstern, yaitu keinginan Inggris (Raffles) untuk
menguasai Palembang yang terkenal sangat kaya. Kekayaan tersebut berasal dari
pertambangan dan perkebunan, serta hasil hutan. Lain halnya dengan pendapat
kedua, pendapat ini menyatakan bahwa peperangan di Kesultanan Palembang berakar
dari Sebuah peristiwa pembunuhan orang-orang Eropa di Palembang yang dikenal
dengan "Palembang Massacre" membuat Raffles geram kepada pemimpin
kesultanan saat itu, Sultan Mahmud Badaruddin II. Sehingga, masih diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai latar belakang perlawanan Kesultanan Palembag
ini.
Proses terjadinya:
Perlawanan Kesultanan Palembang terhdap sistem pemerintahan Belanda
berlangsung selama tahun 1819 sampai tahun1821. Peperangan ini berlangsung
selama 4 kali penyerbuan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Penyerbuan pertama
oleh Belanda:
Belanda mengirim 200 prajurit Belanda berikut dua kapal perangnya ke
dalam Kuto Besak, sebuah benteng setinggi dua meter yang berdiri kokoh di
Palembang. Hal ini dilakukan sebagai kelanjutan dari latar belakang konflik
kedua kubu tersebut. Namun, Belanda gagal dalam penyerbuan pertama akibat
kokohnya pertahanan benteng yang dijaga oleh rakyat Palembang. Belanda pun
memutuskan mundur ke Batavia pada 15 Juni 1819
Penyerbuan kedua oleh
Belanda:
Sultan Badaruddin II mengatur strategi rencana sekiranya Belanda kembali
untuk menyerang Palembang. Tanggal 18 September 1819, prediksi bahwa Belanda
kembali benar terjadi. Kini Belanda mengerahkan 2000 personil dan puluhan kapal
tempur yang dipimpin oleh Laksamana laut Wolterbeck. Namun usaha Belanda yang
kedua ini juga menemui kegagalan, karena semua strategi yang dipasang oleh
Sultan Mahmud Badarudin berjalan sesuai rencana. Kapal-kapal Belanda itu tidak
bisa maju karena tertahan oleh pancang-pancang kayu yang ditanam di dalam
sungai. Adu tembak-menembak meriam terjadi antara benteng-benteng di Pulau
Kembaro dan Plaju dan kapal-kapal tempur Belanda. Karena semakin terdesak, maka
Wolterbeck memutuskan untuk mundur ke Bangka.
Penyerbuan ketiga
oleh Belanda:
Kekalahan di penyerbuan kedua membuat geram petinggi-petinggi di
Batavia. Kali ini Belanda dipimpin oleh de Kock, mempersiapkan secara
besar-besaran keperluan perangnya. Untuk memperkuat armada tempurnya, Belanda
memesan kapal-kapal langsung dari Amsterdam. Beberapa dari kapal itu adalah
kapal khusus yang digunakan untuk mencabut pancang-pancang kayu. Kekuatan
Belanda saat itu ditaksir mencapai 10 kali lipat lebih besar dari serangan
keduanya, dengan jumlah personil sebanyak 7000 orang dan kapal tempur berjumlah
47 buah. Armada besar itu akhirnya berangkat ke Palembang pada 9 Mei 1821 dari
Batavia.
Seorang ulama berkhianat dengan membocorkan peta strategi Badaruddin II.
Meski begitu, Belanda juga mengalami kendala dimana banyak anak buahnya belum
terbiasa berada di negara tropis. Banyak dari mereka yang terserang wabah
penyakit tropis. Sehingga selama perjalanan menuju medan peperangan
berlangsung, kondisi di kapal tidak berlangsung kondusif. Di saat kapal-kapal
itu berupaya menerobos pancang kayu, tembakan meriam dan rakit-rakit api
memporak-porandakan formasi armada de Kock. Banyak kapal de Kock yang
kehilangan tiang layarnya dan menjadi sasaran empuk meriam benteng pasukan
Palembang.
Kekacauan itu akhirnya membuat armada tersebut kepayahan dan memutuskan
untuk mundur. Jumlah korban tewas di pihak Belanda ada sekitar 101 orang,
sedangkan di pihak Palembang tidak diketahui. Karena tidak ingin menderita
kerugian yang lebih besar lagi, maka de Kock akhirnya mundur dari Palembang.
Penyerbuan keempat
oleh Belanda:
Penyerbuan keempat ini sekaligus menjadi akhir dari rentetan perlawanan
Kesultanan Palembang terhadap pemerintah kolonial. secara mendadak pasukan
Belanda menggempur benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju pada saat subuh.
Perang jarak dekat terjadi, senapan-senapan Belanda melawan tombak dan sangkur
pasukan Palembang. Karena diserang mendadak, maka pertahanan di Pulau Kembaro
dan Plaju jatuh.
Armada de Kock pun berlayar ke pusat kota Palembang dan bermaksud
menghancurkan benteng Kuto Besak. Namun tembok setebal 2 meter dan barisan
meriam yang kokoh membuat armada yang sudah porak-poranda itu semakin frustasi.
Akhirnya de Kock mengeluarkan siasat licik lainnya. Dia menunjukkan Sultan
Najamuddin IV (kerabat Badaruddin II yang diangkat menjadi sultan secara
sepihak oleh Belanda) di salah satu kapal perangnya. Badaruddin II kemudian
memutuskan untuk menghentikan serangannya karena tidak ingin membunuh
kerabatnya sendiri hanya demi kepuasan untuk mengalahkan de Kock. Akhirnya,
benteng Kuto Besak jatuh dan Badaruddin II beserta panglima-panglima perangnya
ditangkap oleh Belanda.
Maka berakhirlah pertempuran ketiga dan terakhir antara Kesultanan
Palembang melawan Pemerintah Kolonial. Gelar sultan akhirnya diserahkan pada
Najamuddin IV dari Pangeran Ratu pada 29 Juni 1821. Badaruddin II dan
keluarganya pun akhirnya diasingkan oleh Belanda ke Ternate pada 3 Juli 1821.
Ternyata, Najamuddin IV tidak sanggup memerintah kesultanan karena rakyat
Palembang tidak mendukungnya. Akibatnya Belanda turun tangan dan akhirnya
menghapuskan sistem kesultanan dan menggantinya dengan keresidenan Palembang
pada tanggal 7 Oktober 1823.
Dengan itu, maka berakhirlah perlawanan Kesultanan Palembang terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebagai informasi tambahan, pertempuran Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Kesultanan Palembang menjadi perang termahal bagi angkatan laut Kerajaan Belanda di Bumi Pertiwi saat itu.