Ilustrasi Amangkurat III. tirto.id/Fiz
Oleh: Mayra Cahyawaty
Setiap masyarakat, maupun setiap bangsa pasti
memiliki konsep tentang kekuasaan (power). Hal ini disebabkan, karena
kekuasaan erat kaitannya dengan masalah kepemimpinan, dan bahkan merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Konsep kekuasaan antara masyarakat
(bangsa) yang satu dengan masyarakat (bangsa) yang lain sudah barang
tentu berbeda-beda. Perbedaan ini tidak lain, disebabkan oleh perbedaan latar
belakang sosial-budaya dan pandangan hidupnya. Dalam masyarakat Indonesia yang
terdiri dari berbagai macam suku, bangsa, dan pandangan hidup, dengan
sendirinya terdapat bermacam persepsi mengenai kekuasaan.
Ditinjau dari ilmu politik, “Kekuasaan” menunjuk pada kegiatan, tingkah laku, serta
sikap serta keputusan-keputusan pelaku, kelompok, organisasi, dan kolektivitas,
di mana dalam masyarakat yang sedang berkembang di Indonesia, manifestasinya
lebih nampak pada kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan untuk menentukan
kebijaksanaan dalam pembangunan. Banyak asumsi yang mengatakan bahwa, sistem
politik Indonesia hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh sistem politik dan kekuasaan
tradisional Jawa.
Asumsi tersebut diperkuat dengan adanya
fakta, bahwa sebagian besar pusat pemerintahan di Indonesia berada di Pulau
Jawa, dan oleh karena itu selalu ada kecenderungan bagi suku-suku lain di
Indonesia, selain Jawa, untuk selalu mengadaptasikan diri dengan nilai-nilai
Jawa sebagai basis perspektif atau sudut pandang kegiatan politik mereka. Kenyataannya,
jumlah masyarakat Jawa yang cenderung mendominasi roda pemerintahan, baik di pusat maupun di
daerah, merupakan kontinuitas dalam sejarah geneologi kekuasaan politik di
Indonesia yang ternyata sudah berada di tangan Jawa sejak dahulu kala. Geneologi
kekuasaan Jawa di Indonesia sangat erat hubungannya dengan Jawanisasi.
Jawanisasi atau penjawaan adalah
proses ketika budaya Jawa mendominasi, menyerap, atau memengaruhi budaya
lain secara umum. Kata "Penjawaan" dapat berarti "untuk membuat
menjadi Jawa dalam bentuk, idiom, gaya, atau sifat." Dominasi ini bisa
terjadi dalam berbagai aspek, seperti budaya, bahasa, politik, dan sosial.
Jawanisasi sudah dimulai sejak pengaruh Hindu-Buddha masih berlaku di Indonesia
sampai dengan saat ini.
Jawanisasi dimulai dari adanya
perluasan kesenian Jawa dan ekspansi kerajaan – kerajaan Jawa di Indonesia.
Pulau Jawa telah
menjadi panggung sejarah Indonesia selama
berabad-abad, dan orang Jawa sebagai kelompok etnis terbesar telah mendominasi
lanskap sosial dan politik Indonesia pada
masa lampau maupun masa kini. Berikut adalah proses geneologi watak Jawa
terjadi, dikaji dalam tiga tahap yaitu tahap awal (sejarah awal), sejarah zaman
madya, dan sejarah modern hingga saat ini.
Sejarah awal
Pada tahap awal, budaya Jawa sangat
dipengaruhi oleh peradaban Hindu-Buddha dari
India. Contoh dari proses ini adalah sejumlah besar kata serapan dari bahasa Sanskerta ke
dalam bahasa Jawa Kuno, dan Jawanisasi dari wiracarita Hindu
India seperti Ramayana dan Mahabharata ke
dalam versi Jawanya, serta menggabungkan dewa lokal seperti Semar dan Punakawan ke
dalam kisah wayang purwa.
Contoh-contoh awal Jawanisasi adalah
perluasan kesenian Jawa Sailendra —
dikembangkan dalam abad ke-8 hingga 9 di Jawa Tengah — yang memengaruhi
estetika di Sriwijaya, seperti ditemukan pada seni Buddhis di
Sumatra, Thailand Selatan, dan Semenanjung Malaya. Meskipun awalnya menyerap
pengaruh dari India, seperti mencontoh seni Gupta dan Amarawati,
serta pengaruh Pallawa dari India Selatan, kesenian Sailendra Jawa pada
gilirannya memengaruhi seni dan estetika di kawasan Asia Tenggara.
Pada periode klasik awal, selama Kerajaan Medang periode
Jawa Timur pada abad ke-10, terjadi perluasan pengaruh Jawa ke Bali. Putri dari Jawa Timur, Mahendradatta,
menjadi permaisuri Raja Udayana Warmadewa
dari Bali. Hal ini menandakan meningkatnya pengaruh Jawa atas Bali. Selama masa
pemerintahan Airlangga, Bali sedikit-banyak menjadi bagian dari kerajaan Hindu
Jawa Timur.
Perluasan Kerajaan Singhasari melalui Ekspedisi Pamalayu pada abad ke-13 pada masa
pemerintahan Kertanegara telah memperkuat pengaruh Jawa di Nusantara,
khususnya atas Bali dan Kerajaan Melayu di
pantai Timur Sumatra. Pada tahun 1200, Mpu Jatmika dari Jawa mendirikan
Kerajaan Hindu Negara Dipa di tepi sungai Tapin, ini adalah
awal dari tumbuhnya pemerintahan bergaya Jawa di Kalimantan Selatan.
Diikuti oleh ekspansi Kemaharajaan Majapahit sekitar abad ke-14, Nusantara menyaksikan kembali ekspansi Jawa.
Mungkin selama periode ini beberapa unsur budaya Jawa, seperti gamelan dan keris, menyebar dan diperkenalkan ke
pulau-pulau di luar Jawa, seperti Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Kalimantan.
Selama era ini, kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan dan Sukadana di
Kalimantan Barat telah ditetapkan sebagai koloni Jawa sebagai negeri bawahan
Majapahit. Pada tahun 1400, Negara Dipa digantikan oleh Kerajaan Hindu Negara Daha.
Pengaruh Jawa dapat dilihat pada seni, budaya, dan busana orang Banjar yang
menunjukkan gaya Jawa.
Juga selama periode terakhir dari
Majapahit pada abad ke-15, unsur gaya asli Austronesia pra-Hindu
Jawa dihidupkan kembali, seperti yang ditunjukkan dalam bentuk Candi Sukuh dan Candi Cetho.
Gaya patung dan relief tokoh wayang yang kaku, dan struktur piramida bertingkat menggantikan bentuk candi klasik
Hindu yang menjulang. Ini kebalikan dari proses Indianisasi, yang juga disebut
"Jawanisasi" purwarupa Hindu-Buddha pada kesenian Jawa.
Sejarah
Zaman Madya
Setelah jatuhnya Majapahit, Kesultanan Demak menggantikan
hegemoninya di Sumatra Selatan dengan menunjuk bupati Jawa untuk
memerintah Palembang. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Palembang didirikan oleh Ki Gede ing Suro,
ningrat Jawa yang melarikan diri dari intrik politik Demak setelah kematian
Trenggana Sultan Demak. Kesultanan Palembang dikenal sebagai paduan dari
berbagai budaya; Melayu, Jawa, Islam, dan Tionghoa. Proses Jawanisasi kehidupan
istana Kesultanan Palembang terlihat jelas dalam penyerapan kata-kata dan
kosakata Jawa ke dalam bahasa Melayu dialek Palembang, seperti wong (orang) dan banyu (air).
Kesultanan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung yang
ambisius, di paruh pertama abad ke-17, budaya Jawa semakin diperluas. Sebagian
besar ke wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ekspedisi militer Mataram di
kerajaan Jawa Timur seperti Surabaya dan Pasuruan, memperluas pengaruh budaya
Jawa Mataraman. Ekspansi Mataram meliputi wilayah Sunda di
dataran tinggi Priangan, dari Galuh Ciamis, Sumedang, Bandung, dan Cianjur.
Selama periode inilah, orang-orang Sunda mulai terpapar dan menyerap lebih
lanjut budaya Jawa Kejawèn.
Wayang golek adalah
kesenian wayang versi Sunda yang banyak menyerap pengaruh budaya wayang kulit.
Budaya yang dimiliki bersama seperti gamelan dan batik juga berkembang. Mungkin pada
saat itulah bahasa Sunda mulai mengadopsi tingkat unggah-ungguh kehalusan
istilah dan kosakata untuk menunjukkan kesopanan, sebagaimana tecermin
dalam bahasa Jawa. Selain itu, aksara Jawa juga
digunakan untuk menulis bahasa Sunda sebagai Cacarakan.
Pengaruh dan ide-ide asing seperti
agama dan kepercayaan, kadang-kadang secara sadar dan sengaja mengalami
perubahan dan adaptasi, menjadi "dijawakan" agar dapat diterima oleh
khalayak Jawa. Contoh-contoh seperti proses yang terjadi pada abad ke-15
dijuluki sebagai "Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam". Wali Songo seperti Sunan Kalijaga diketahui
menggunakan ekspresi seni budaya Jawa seperti gamelan dan
wayang untuk menyebarkan ajaran Islam. Wayang sadat adalah
varian dari wayang yang digunakan dalam tablig dan dakwah untuk
menyebarkan pesan-pesan Islam. Contoh lain Jawanisasi Islam di Jawa adalah
pembangunan atap tumpang bertingkat pada masjid Jawa. Pada masjid Jawa awalnya
tidak terdapat kubah, menara, melainkan mengadopsi pertukangan kayu
bangunan pendopo dan atap meru — seperti yang berasal dari seni
arsitektur Jawa pra-Islam sebelumnya. Contoh dari masjid jenis ini adalah Masjid Agung Demak dan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta.
Sejarah Zaman Modern
Setelah revolusi Indonesia (1945–1949) dan kemerdekaan
Indonesia, banyak simbol nasional Indonesia yang berasal dari warisan Majapahit,
sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa pada ke-14 hingga 15. Bendera Indonesia menampilkan
warna Majapahit, merah dan putih, semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika dan ideologi negara Pancasila juga
menunjukkan warisan Majapahit. Bapak pendiri Indonesia, terutama Soekarno memang
menggali ke sejarah Indonesia untuk mencari filsafat dan kearifan lokal untuk
merumuskan kebangsaan baru bangsa Indonesia. Tentu saja, budaya Jawa sebagai
salah satu elemen yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia turut
menyumbangkan pengaruhnya.
Selama rezim Orde Baru Soeharto (1966–1998),
budaya politik Indonesia agak dianggap telah "dijawakan". Tingkat
administrasi juga diatur dalam gaya dan idiom Jawa, seperti kabupatèn dan désa, istilah yang awalnya tidak akrab di
beberapa provinsi di Indonesia, seperti Sumatra Barat (menggunakan
istilah "nagari") dan Papua (menggunakan istilah
"distrik"). Dalam kehidupan politik Indonesia pasca-kemerdekaan,
istilah "Jawanisasi" digunakan untuk menggambarkan proses di
mana etnis Jawa dan individu yang dijawakan, secara bertahap
menjadi mayoritas dan tidak proporsional dari elite pemerintahan di era
pasca-kemerdekaan Indonesia.
Dari uraian kronologi jawanisasi di
atas, saya beropini bahwa geneologi watak raja Jawa bisa terjadi hingga
sekarang karena orang Jawa sudah mendominasi Indonesia secara bertahap sejak
dahulu kala, baik dari segi budaya, bahasa, politik, dan sosial. Meskipun di
tanah rantau, orang-orang Jawa begitu
memegang tradisi dan budayanya. Di beberapa daerah di Indonesia masih kental
dengan tradisi-tradisi Jawa seperti Yogyakarta dan Solo. Meskipun era sudah
modern seperti sekarang ini, budaya keraton juga masih dipegang erat. Hal ini
membuktikan kuatnya tabiat orang Jawa untuk memegang tradisi dan budaya warisan
nenek moyang mereka. Banyak tradisi yang berasal dari leluhur Jawa yang masih
lestari dan dilakukan sampai sekarang. Bahkan, watak-watak raja Jawa yang
memiliki gairah ingin duduk di kursi kekuasaan masih berlanjut sampai generasi
orang Jawa saat ini.
Ajaran turun temurun itulah, baik
tradisi maupun watak, baik diturunkan dengan lisan maupun perbuatan, yang membuat
orang-orang Jawa masih memiliki watak raja Jawa yang memiliki gairah untuk
menduduki kursi kekuasaan dan menguasai Indonesia.
Selain ajaran turun temurun yang sangat kuat,
alasan mengapa kursi kekuasaan di Indonesia didominasi oleh orang Jawa adalah
karena orang Jawa sendiri yang mendominasi Indonesia. Populasi penduduk di
Pulau Jawa sangat padat, karena sejak lama konsentrasi pembangunan berfokus di
Jawa. Bahkan, secara historis kerajaan-kerajaan besar sebagaian besar berdiri
di Jawa. Lalu, apakah hal ini berkorelasi dengan dominasi kursi pemerintahan?
Tentu saja ada.
Tidak usah jauh-jauh, coba kita lihat
garis kepresidenan RI yang mayoritasnya ber-etnis Jawa. Tidak ada yang
mendasari bahwa Presiden Indonesia haruslah berasal dari suku Jawa. Namun, fakta
membuktikan bahwa mayoritas Presiden Indonesia dari Soekarno hingga Jokowi,
berasal dari suku Jawa. Penyebabnya bukan saja hanya dari kemauan, hasrat, atau
gairah para pemimpin tersebut yang ingin menguasai kursi kekuasaan. Justru, pengaruh
masyarakat yang memilih mereka- lah yang lebih besar.
Para calon pemimpin hanya bisa
mencalonkan diri, dan pada akhirnya rakyatlah yang nantinya akan memutuskan dan
memilih, mengingat sistem pemerintahan di Indonesia merupakan sistem demokrasi.
Oleh karena itu jika diadakan pemilu, merupakan kebiasaan atau repetisi bahwa
orang Jawa rata-rata (walaupun tidak semua) akan memilih pemimpin yang orang
Jawa pula. Tak heran, jika kekuasaan cenderung berada di tangan Jawa, karena
dukungan yang mereka peroleh dari sesama orang Jawa sangat banyak dan sangat
berpengaruh.
Walaupun begitu, selama menjabat sebagai
pemimpin, orang Jawa sangat memegang prinsip yang sudah ada dari nenek moyang
mereka. Buktinya, banyak ujaran-ujaran klasik dalam Bahasa Jawa yang masih
dikenal sampai sekarang. Salah satu ujaran yang sangat terkenal dan tidak asing
di telinga kita adalah “Adigang, Adigung, Adiguna”. Peribahasa Jawa ini ada di tembang Pakubuwana IV dalam Serat Wulang Reh, yaitu Gambuhwonten pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang
kidang adigung pan esthi, adiguna ula ikutelu pisan mati sampyuh. Adigang
artinya kekuatannya, Adigung artinya kebesarannya, dan adiguna artinya
kepandaiannya.
Ungkapan tersebut mengajarkan
kita agar tidak sombong dan tidak meremehkan orang lain dengan kekuatan,
kebesaran, dan kepandaian yang kita miliki saat kita berkuasa, karena apa yang
dimiliki dapat hilang sewaktu-waktu.
Bayangkan saja, peribahasa yang sudah ada sejak zaman Pakubuwana IV tersebut masih diingat dan dijadikan pedoman untuk masyarakat Jawa sampai sekarang. Tak heran, apabila watak dan gairah raja Jawa masih eksis hingga saat ini.