Sumber: https://twitter.com/BEMUI_Official
Oleh: Alamsyah Taufik, seorang manusia yang memegang azimat, “Hanya dalam cinta dan rindu lip service tidak berlaku.”
“Satu
fakta tentang India: jika ingin menemukan kebenaran tentang India, Anda tinggal
mengutip nyaris semua ucapan dari perdana menteri tentang negara ini, lalu
memutarbaliknya.” Begitulah bunyi teks dari novel Harimau Putih karya Aravind Adiga, pemenang
Man Booker Prize ke-40 tahun 2008. Sekilas, saya teringat, dan juga berpikir
serta mengandaikan, bagaimana bisa fenomena yang ada negara India, persis terjadi
dengan apa yang ada di Indonesia?
Adalah Bilven Sandalista, seorang pustawakan dan penjual buku penerbit Ultimus, yang menjadi arsipatoris terbaik di negeri ini. Yang merekam bagaimana jejak digital memuat pemutarbalikkan antara ucapan yang diucapkan oleh presiden, jajaran pemerintahannya, sampai pada para politisi dengan tindak-tanduk realisasinya yang begitu jauh.
Sebut saja setahun terakhir, mulai dari awal kedatangan pandemi
dan kebijakannya, koruptor di masa pandemi di hukum seberat-beratnya,
pertumbuhan ekonomi, sampai target vaksinasi, semuanya berbanding terbalik!
Akhir-akhir
ini, publik dibuat gentar dengan postingan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dari
Universitas Indonesia pada tanggal 26 Juni 2021, yang memuat gambar Jokowi
dengan atribut mahkota di atas kepalanya, dan ditambahkan caption di bawahnya, “Jokowi The King of Lip Service”. Secara
harfiah, Lip Service jika diartikan
dalam bahasa Inggris adalah layanan bibir. Adapun arti nomina dari kata lip
service yaitu janji di bibir saja, janji yang berpura-pura saja, janji yang
tidak jujur. Sehingga, lip service
itu dimaknai untuk orang-orang yang hanya ramah di mulut saja. Dalam makna
lebih jauh tidak sesuai janji yang diucapkan dengan tindakan praktiknya. Kedua,
King kalau diterjemahkan maksudnya
raja. Jadi, Jokowi adalah Raja kebohongan!
Pertanyaannya
adalah, apakah Jokowi demikian? Tentu, BEM UI tidak asal mengatakan begitu
saja. Secara argumentatif, BEM UI melansir jejak digital dari Jokowi yang
pernah mengatakan, “Saya kangen sebetulnya didemo. Karena apa? Apapun… apapun…
pemerintah itu perlu dikontrol. Pemerintah itu perlu ada yang peringatin kalo
keliru. Jadi kalau gak ada demo itu keliru. Jadi sekarang saya sering ngomong
di mana-mana ‘tolong saya didemo’. Pasti suruh saya masuk.” Kata Jokowi,
Selasa(8/11).
Tetapi
faktanya, temuan tindakan kekerasan aparat dan pembungkaman negara terhadap aksi-aksi
protes menolak Omnibus Law di pelbagai wilayah, May Day 2021 Jakarta berakhir
dengan kekerasan, pembatasan, dan penangkapan ratusan orang serta penghalangan
akses bantuan hukum. Lanjut, KONTRAS terima 1500 aduan kekerasan aparat selama
demo tolak UU Cipta Kerja, dan Hardiknas 2021 aparat menangkap mahasiswa.
Tidak
sampai berhenti di situ, UU ITE juga termasuk suatu kebohongan publik, yang
katanya, “Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta
DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini, karena di sinilah hulunya, hulunya ada
di sini. Revisi,” kata Jokowi dalam acara Pengarahan kepada Pimpinan TNI Polri,
Senin 15 Februari 2021.
Faktanya,
TII soal usulan pasal 45C UU ITE: Cuma tambah pasal karet, UU ITE menjadi-jadi,
bahaya usulan pasal baru UU ITE. Di tengah polemik multiinterpretasi UU ITE,
Jokowi melontarkan janji untuk merevisi undang-undang tersebut. Namun, bukannya
memberikan jaminan berdemokrasi, rencana revisi tersebut kian merepresi
kebebasan berekspresi dengan ditambahkannya sederet pasal karet!
Soal
KPK, kata Jokowi, perlu dilakukan dengan penambahan penyidik. Penambahan penyidik
dilakukan supaya KPK semakin kuat. “Kemudian memperbanyak penyidik yang ada. Saya
kira ribuanlah perlu ditambahkan agar kekuatan KPK betul-betul sebagai
institusi yang betul-betul begitu kuat,” tutupnya. Akan tetapi, faktanya adalah
deretan upaya pelemahan KPK, dari Revisi UU, Kontroversi Firli Bahuri, hingga
Tes Alih Status ASN.
Peneliti
Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, deretan upaya
melemahkan KPK sudah dirancang dan dilakukan secara runut. Mulai dari revisi
undang-undang KPK, kontroversi kepempimpinan Firli Bahuri, serta perubahan
status kepegawaian independen menjadi ASN. Terbaru, tidak lulusnya 75 pegawai
KPK dalam tes wawasan kebangsaan untuk beralih status menjadi ASN yang memulai polemik.
Pada masa pencalonan sebagai presiden, Jokowi pernah berjanji untuk memperkuat
KPK dan menambah jumlah penyidik. Namun faktanya, saat ini terdapat pelbagai
upaya pelemahan KPK mulai dari revisi UU KPK, kontroversi Firli, hingga TWK.
Unggahan
tersebut memulai diskursus publik. Bagaimana masyarakat sebagian besar
mendukung penuh BEM UI yang dinyana mewakili keresahan dan kegundahan publik. Sebaliknya,
bagian penghuni istana, seperti biasa, mengerahkan jajaran pemerintahannya, dan
juga para buzzer untuk mengkonfrotasikan narasi yang dibawa BEM UI.
Dalam
situasi yang mengaromakan otoriterianisme, BEM UI cenderung berani membuat postingan
tersebut, meski sudah tahu akan bagaimana nasip mereka. Dan, benar saja, selang
beberapa waktu, mereka dipanggil rektorat UI untuk menghadapnya demi dimintai
keterangan. Sialnya lagi, akun pribadi media sosial ketua BEM UI dan anggotanya
diretas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab! Mendapat perlakuan seperti itu
di sebuah negeri yang katanya menganut demokrasi, jelas aneh dan mengerikan.
Solidaritas
mahasiswa pun muncul. Memantik pergerakan mahasiswa dari pelbagai universitas
dari satu kota ke kota lainnya. Mereka menolak upaya pembungkaman atas nama
pencemaran nama baik kekuasaan! Mereka melawan dengan ikut demonstrasi maupun
mengunggah postingan sebagai aktivisme perlawanan publik.
Peristiwa-peristiwa
dari hari ke hari semakin mencerminkan kecurigaan publik, bahwasanya, memang
benar kekuasaan tidak sungguh-sungguh bekerja demi kepentingan rakyat banyak;
miskin, proletar, tidak punya akses ke pelbagai bidang dan sistem. Tampak bahwa
rezim Jokowi akhir-akhir ini ditandai dengan suasana antipolitik, antipikiran,
dan antiintelektual. Argumentasi ini tentu tidak berpretensi menggeneralisasi
suasana rezim ini pada semua dimensi. Namun, dari sejumlah produk undang-undang
dan kebijakan yang sebagiannya sudah diulas sebelumnya, tampak karakter itu
cukup kuat mewarnai masa akhir rezim ini.
Politik
yang dimaksudkan ialah politik sebagai sebuah dimensi antagonistik yang oleh
Chantal Mouffe disebut sebagai yang politis (political). Mouffe membuat
distingsi antara politik (politics)
dan yang politis (political). Political, menurut Mouffe, merupakan
ruang kontestasi terbuka. Dalam political selalu ada distingsi antara
kawan/lawan. Lawan (adversary) dan bukan musuh (enemy).
Lawan
adalah mereka yang gagasan-gagasannya dipertentangkan. Lawan bukanlah musuh
yang harus dihabisi, melainkan mereka yang posisinya harus dilindungi. Mouffe
menyebut lawan sebagai musuh yang legitim (the
legitimate enemy) (Mouffe, 2005: 20) atau musuh yang ramah (friendly enemy) (Mouffe, 2000: 13).
Sedangkan, politik mengacu pada serangkaian praktik dan institusi yang
melaluinya sebuah tatanan diciptakan dan koeksistensi manusia diorganisasi
dalam konteks konflik yang disediakan oleh political
(Mouffe, 2005: 9). (https://indoprogress.com/2019/10/rezim-jokowi-krisis-reformasi-dan-tanda-kehancuran-politik/)
Berdasarkan
pandangan Mouffe di atas, tampak bahwa tindakan penangkapan terhadap aktivis
HAM, penangkapan terhadap pengkritik pemerintah, razia buku-buku kiri, dan
tindakan represif terhadap para demonstran merupakan ciri khas rezim yang
anti-politik (dalam arti political). Di sini, pemerintah berusaha menghabisi
kelompok-kelompok pengkritik yang selalu kritis menilai kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Mereka
ditempatkan sebagai musuh politik dan bukannya lawan yang posisinya harus
dilindungi. Padahal, seharusnya kehadiran mereka ini mesti disambut dengan
baik, karena justru merekalah yang membuat politik dan demokrasi itu hidup.
Politik dan demokrasi itu hidup jika keragaman pikiran dan pandangan dibiarkan,
dihargai, dan malah dipertentangkan secara rasional. Politik dan demokrasi itu
hidup jika kritikan-kritikan terhadap pemerintah dibiarkan. Sebab memang
politik dan demokrasi itu hidup dari kritik. Kritiklah yang mendewasakan
politik dan demokrasi. Tanpa kritik politik dan demokrasi menjadi hancur. Tanda
kehancuran itu ada dalam rezim yang menginginkan pikiran-pikiran yang
monolitis.
Jadi, dengan logika sederhana dari ketiga postulat di atas, Aravind Adiga, Bilven Sandalista, dan BEM UI, saya menyimpulkan, bahwa, adalah sebuah kebenaran dalam melacak situasi psikologis kepempipinan dalam sebuah negara; Apa yang dikatakan oleh presiden dan jajarannya mengenai isu, kondisi riil, dan kebijakan publik, yang terjadi adalah kebalikkannya dengan apa yang diucapkan.