Le Mythe de Sisyphe: Filsafat Absurdisme dan Kompatibilitas terhadap Novel L'Étranger

 

                                sumber: https://vientosur.info


oleh: Fatin Az Zahra, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta


    Le Mythe de Sisyphe merupakan sebuah karya filsafat pada abad ke-20 (tahun terbit 1942) yang paling berpengaruh. Ditulis oleh seorang sastrawan eksistensialis dan lebih terkenal sebagai absurdis, beliau adalah Albert Camus. Penulis asal Prancis-Spanyol kelahiran Aljazair ini memperkenalkan pandangan eksistensialisnya serta konsep yang berkaitan keabsurdan kehidupan manusia. Menurutnya, alam semesta atau manusia tidak absurd dengan sendirinya, namun menjadi absurd ketika keduanya saling diposisikan satu sama lain; manusia dan dunia berkedudukan dengan tidak saling kompatibel.

Dalam alegori mitos Sisifus karya Camus ini menggambarkan, bahwa kehidupan dunia memanglah suatu keabsurdan, digambarkan secara jelas oleh seseorang yang bernama Sisifus. Menurut mitos dari Yunani Kuno, Sisifus pada awalnya adalah seorang raja dari Kerajaan Efira. Perangainya tiran, bengis, dan kejam. Berkali-kali ia membangkang terhadap dewa, berbuat hal-hal mengerikan kepada rakyatnya, serta yang paling besar dosanya adalah membocorkan rahasia Dewa Zeus.

Atas perilaku itulah yang membuat dirinya mendapat hukuman dari Dewa di Gunung Olympus. Sisifus menjalani hukuman dan tepatnya ia dikutuk untuk mendorong batu raksasa ke puncak gunung, ketika batu itu sampai di atas, maka batu itu akan menggelinding kembali ke bawah dan Sisifus harus mengulanginya lagi dari awal secara berkelanjutan, hingga ditelan masa akhir hidupnya.

Parsial kehidupannya berjalan seperti itu. Monoton. Absurd, tentu. Interpretasi atas kesadaran itu dapat dikorelasikan oleh Camus tentang kehidupan dan nasib manusia di dunia. Logikanya mungkin kutukan abadi itu merupakan suatu anomali yang menyedihkan dan suram. Melainkan olehnya, fenomena ini diibaratkan seperti manusia yang lahir ke dunia, bergelut dengan kehidupan klise antara suka dan duka berjalan simultan, kesia-siaan, monoton, dan semuanya itu berujung dalam sinkhole keabsurdan.

Pemikirannya yang dituangkan dalam esainya ini (Le Mythe de Sisyphe) bukan hanya mengenai absurditas melainkan juga pemberontakan dan bunuh diri. Dalam kompleksitas mengenai keabsurdan melahirkan suatu masalah dalam filsafat yaitu bunuh diri. Bagi Camus, eksistensi bunuh diri merupakan salah satu resolusi dari absurditas, dikarenakan atas rasa absurd itu sendiri yang menitik fokuskan pada pertentangan antara kesadaran manusia dan kenyataan dunia yang paling dalam, bukan pada dunia ataupun manusia secara harfiah.

Kehidupan Sisifus (Sisyphe) melalui hidupnya yang penuh kutukan terus terulang itu memberikan kesadaran, bahwa mata rantai kehidupan yang mekanis menyebabkan manusia memiliki kesadaran tentang pembebasan diri dari kehidupan, akan tetapi bukan dengan cara bunuh diri. Dengan bekal kesadaran yang dimiliki itulah manusia kembali menjalani kehidupan yang penuh harapan dan gairah pemberontakan seperti Sisifus yang tidak pernah putus asa meski seluruh kehidupannya dihabiskan oleh kesia-siaan dengan menggotong batu.

"Seseorang harus membayangkan Sisifus bahagia." -Albert Camus

Pemikirian Albert Camus dalam paham absurdisnya yang tertuang dalam esai mitos Sisifus mempunyai hal yang tidak dapat dipisahkan relasinya dengan novel “L'Étranger”. Novel roman yang terbit pada tahun yang sama dengan esai mitos Sisifus (1942) berlatar di Aljazair, menggambarkan seorang tokoh bernama Meursault. Kehidupan yang monoton dan mekanistis melingkupi dunia Meursault.

Menurutnya, hakikat kepuasan dalam kehidupan hanyalah bersumber dari aktivitas sehari-harinya yang monoton. Jika kita lirik alur cerita kehidupannya dalam novel tersebut, Meursault menjalani kehidupan sebagai seorang pekerja. Ia mengawali hari-harinya untuk pergi ke kantor dengan naik trem pada pagi hari. Di siang harinya, ia ke restoran untuk makan siang dan waktu istirahat kantor ia manfaatkan untuk pulang ke rumah sejenak. Hingga malam harinya ia pulang dan tidur sebelum melakukan pekerjaan kembali di esok hari.

Aktivitas Meursault yang berulang-ulang sepanjang hidupnya membuat dirinya menjadi sosok yang tidak visioner. Adanya rasa cita dan duka pun tidak mampu menyentuh atau bahkan menyayat perasaannya. Dari kematian ibunya sampai rasa cinta pada kekasihnya, Marie Cardona; Meursault tak menganggap adanya eksistensi emosional dalam dirinya. Bahkan, peningkatan jabatan direktur dari atasannya pun ia tolak. Pemahaman atas kehidupan bagi Meursault adalah bahwa perubahan dalam hidup tidak akan pernah terjadi dan kepuasan tersendiri baginya adalah tetap berada dalam kegiatan repetitifnya sehari-hari.

Namun, suatu ketika di mana musibah menimpa dirinya. Di saat ia sedang berlibur bersama kekasihnya di sebuah pantai. Meursault terlibat dalam pertengkaran antara sahabatnya, Raymond dengan seorang pria asal Arab yang di mana, dia adalah saudara dari mantan pacar Raymond. Saat itu, Meursault mengalami disorientasi terhadap panas dan cahaya matahari, ia melihat orang tersebut sedang mencabut pisau.

Hingga pertengkaran berujung pada Meursault yang menarik pelatuk pistol untuk pertamanya dan berujung pembunuhan. Kondisi pantai saat itu sangat silau membuat Meursault menambah tembakan pistol sebanyak empat kali. Kejadian itu membawa perubahan dalam hidup Meursault.

Kutipan dalam novel L'Étranger:

 

J’ai compris que j'avais détruit l'équilibre du jour, le silence exceptionnel d’une plage où j’avais été heureux (Camus, 1957:95).

(Saya mengerti bahwa saya telah menghancurkan keseimbangan hari itu, kesunyian luar biasa dari pantai tempat saya bahagia).

Alhasil dari perbuatannya tersebut, ia ditangkap dan dibawa ke penjara. Kemudian ia diajukan ke pengadilan setelah melewati masa tahanan selama satu tahun. Secara pribadi, Meursault adalah sosok yang tidak mengerti atau memang merasa tak acuh dengan proses hukum yang sedang dijalankan. Hingga semua hal yang memang benar terjadi, ia ungkapkan. Meursault divonis mati.

Namun, penjatuhan hukum pidana tersebut didasarkan atas alat bukti yang tak lazim. Misalnya, dilatarbelakangi oleh sikap Meursault yang tidak berkabung atas masa kematian ibu kandungnya, tidak ingin melihat wajah ibunya untuk terakhir kali dalam hidupnya, kemudian berkencan dengan kekasihnya sehari setelah pemakaman. Terlebih lagi, saat pengadilan menimbulkan presumsi atas Meursault sebagai pembunuh yang sunyi dan liar dengan dasar pembunuhan satu kali penembakan, diikuti keempat tembakan selanjutnya. Semua didasarkan atas bukti yang tak valid; tidak seperti halnya hukum yang hidup dalam keabsahan.

Meursault seorang manusia yang pada awalnya jauh dari kata 'berharap' dengan sesuatu, kondisinya di dalam penjara membuatnya mengharapkan pembebasan. Bukan hanya itu, mendapatkan pengampunan dari berbagai pihak seperti halnya yang didapatkan oleh orang lain juga hadir sebagai kesadarannya.

N'avez-vous donc aucun espoir et vivez-vous avec la pensée que vous allez mourir tout entier? — Oui», ai-je répondu.

"Jadi, apakah Anda tidak punya harapan dan apakah Anda hidup dengan pikiran bahwa Anda akan mati sepenuhnya?” “Ya”, saya menjawab.”

Keabsurdan mencapai titik puncak pada pemberontakan. Meursault dianggap sebagai manusia absurd sejati. Sebutan itu dianggap berawal dari penyebab kemarahan atas kesadaran tentang kenyataan yang dihadapi. Singkatnya, sebelum pelaksanaan hukuman mati, ada seorang paderi mendatangi Meursault yang memberikan pencerahan dan harapan. Pada intinya, paderi menjelaskan bahwa walaupun vonis mati sudah dijatuhkan oleh pengadilan, Meursault tetap akan menanggung dosanya kepada Tuhan.

Selain itu, paderi memberikan harapan-harapan baru tentang kehidupan akhirat kepadanya.  Hingga pernyataan irasional dari paderi tersebut menyulut kemarahan Meursault sebagai korban atas provokasi. Kemarahan tersebutlah yang menandakan adanya eksistensi gairah pemberontakan dari dalam dirinya yang absurd; sekali lagi, Meursault sosok manusia absurd sejati.

Perjalanan kehidupan Meursault yang terbilang ‘flat’ diiringi dengan ketiadaan kesadaran dalam dirinya; pembunuhan sampai diadakannya proses pengadilan menimbulkan kesadaran untuk mulai mempertanyakan nilai serta norma dalam hidup.

Kehidupan itu sangat berarti dalam setiap bagiannya, begitulah yang dipandang oleh manusia absurd; sebagaimana kata-kata Meursault berikut:

Et moi aussi je me suis senti prêt à tout revivre. Comme si cette grande colère m’avait purgé du mal, vidé d’espoir, devant cette nuit chargée de signes et d’étoiles, je m’ouvrais pour la première fois à la tendre indifférence du monde. De l’éprouver si pareil à moi, si fraternel enfin, j’ai senti que j’avais été heureux, et que je l’étais encore. Pour que tout soit consommé, pour que je me sente moins seul, il me restait à souhaiter qu’il y ait beaucoup de spectateurs le jour de mon exécution et qu’ils m’accueillent avec des cris de haine (Camus, 1957:188).

“Dan aku juga, aku merasa siap untuk memulai hidupku yang baru. Seolah-olah kemarahanku telah membebaskanku dari segala derita dan membersihkan diri dari segala harapan. Di hadapan malam yang penuh dengan isyarat dan bintang-bintang, untuk pertama kali kubuka diriku bagi kemasabodohan dunia yang mesra. Untuk membuktikan bahwa begitu pula aku rasakan begitu dekatnya dan bersaudara. Kurasakan bahwa selama ini aku hidup bahagia dan sampai saat ini pun aku tetap merasa bahagia. Agar segalanya tercurahkan, agar aku tak merasa terlalu kesepian lagi, hanya satu yang kuharapkan, agar pada hari eksekusi ku nanti akan berduyun-duyun orang datang menonton, dan mereka menyambutku dengan teriakan-teriakan kebencian.”

Inti absurditas dalam esai mitos Sisifus dan novel L'Étranger adalah mengenai kehidupan dan dunia yang melingkarinya berjalan secara tidak bermakna dan irasional, tergambar dalam sikap Meursault yang hambar, sadrah, dan abnormal: dan Sisifus dengan gairah pemberontakannya dalam kesia-siaan.

Simpulnya, teori filsafat dalam esai Le Mythe de Sysiphe dihidupkan kembali oleh novel L'Étranger sehingga mengenai teori dan konsepnya dapat dimengerti dengan baik. Lalu, apakah kalian dapat meresepsi kehidupan dari hipogram mitos Sisifus yang terjadi di masa sekarang? Ya, tentu kehidupan sekarang. Kehidupan sehari-hari kita. Absurd, kah?

DAFTAR PUSTAKA:

 

Camus, Albert. 1942. Le Mythe de Sisyphe: Essai sur l’Absurd. Paris: Gallimard _______. 1957. L’Etranger. Paris: Gallimard

 

Fitch, Brian T. 1972. L’Etranger d’Albert Camus: Un Texte, Ses Lecteurs, Leurs Lecteurs. Paris: Librairie Larousse.

 

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/4596/4181

 

https://www.kompasiana.com/mochaldyma2224/602e2059d541df3912013cf2/si-pemberontak-camus-mitos-sisifus-bunuh-diri-leap-of-faith-dan-keabsurdan-yang-tulus?page=2

 

https://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme#Absurdisme

 

https://lpmperspektif.com/2018/01/26/orang-asing/

Le Mythe de Sisyphe: Filsafat Absurdisme dan Kompatibilitas terhadap Novel L'Étranger