Rape Jokes Bukan Candaan

 

    Feminism hasn’t won. Yet. Illustration: R Fresson


Oleh: Alifia Jahra Macika


    Pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang waktu, tempat, umur, bahkan gender. Sebagian masyarakat masih berpikir bahwa pelecehan seksual hanya berupa meraba dan menyentuh bagian tubuh orang lain. Padahal, kenyataannya tidak sesempit itu. Hal-hal mendasar seperti catcalling dan rape jokes juga termasuk kekerasan seksual yang masih belum diketahui sebagian orang. Masih ada yang berpikir rape jokes atau candaan tentang pemerkosaan adalah hal yang lucu dan merupakan candaan biasa, padahal dibalik candaan itu ada korban yang masih terjebak dalam traumanya.

 

Ironisnya, rape jokes ini malah sering ditemui di postingan sosial media yang menyinggung korban kekerasan seksual. Pengolok seolah membuat bual-bualan terhadap korban yang mengalami kekerasan dan berlindung dibalik kata ‘bercanda’. Kenyataannya, kekerasan seksual sendiri tidak seharusnya dijadikan objek candaan.

 

Untuk memudahkan, University of Alberta Sexual Assault Center telah membuat ilustrasi Piramida Kekerasan Seksual. Piramida tersebut menggambarkan berbagai bentuk kekerasan hingga terbentuk rape culture. Rape culture sendiri adalah budaya menormalisasi kekerasan seksual karena kepercayaan dan sikap yang keliru soal gender.



Dapat dilihat bahwa rape jokes berada di tahapan awal dari rape culture. Rape jokes dapat memicu seseorang untuk percaya bahwa perempuan yang berpakaian seksi, tanda bahwa perempuan tersebut ‘minta’ dilecehkan. Kepercayaan seperti inilah yang menggiring masyarakat ke tahap victim blaming (menyalahkan korban) dan tahap berikutnya seperti catcalling hingga meraba korban tanpa izin.

 

Sebab utama rape jokes adalah kurangnya edukasi terutama seks edukasi. Di beberapa wilayah di Indonesia, mungkin masyarakatnya masih berpikir bahwa seks edukasi adalah hal tabu. Di sekolah sendiri, seks edukasi hanya diajarkan sesekali di mata pelajaran BK. Itupun, tergantung dengan sekolahnya. Dengan fasilitas pendidikan yang belum merata membuat pelajar kurang diberikan didikan dan arahan mengenai seks edukasi.

 

Orang dengan seks edukasi yang rendah akan berpikir bahwa ini adalah candaan biasa. Mereka tidak menyadari, bahwa candaan ini termasuk dalam kekerasan seksual dan merasa selagi mereka tidak melakukan pemerkosaan atau meraba-raba seseorang, maka mereka tidak melakukan kekerasan seksual dan menganggap diri mereka tidak bersalah.

 

Para pembuat rape jokes kemudian mengeluarkan ‘candaan’ mereka ke ruang publik. Komentar seperti ini kemudian dilirik oleh masyarakat lain dengan edukasi yang kurang juga sehingga mereka meniru dan menganggap rape jokes adalah jokes biasa. Tak ada rasa bersalah yang mereka rasakan ketika melontarkan rape jokes dan apabila ada yang tersinggung, mereka akan menilai orang yang tersinggung tidak asyik untuk bercanda.

 

Semakin tersebarnya rape jokes membuat banyak orang yang kurang edukasi mengikutinya. Komentar-komentar tersebut semakin lama akan semakin meluas dan ternormalisasi apabila masyarakat hanya menganggap sepele masalah seperti ini.

 

Kita mungkin pernah membaca komentar rape jokes di postingan media sosial yang menyangkut pelecehan seksual. Contoh mudah seperti jokes “kalau cowonya ganteng pasti rela diperkosa,” candaan seperti ini membuat seorang laki-laki yang merasa lebih akan menganggap tindakan merayu dan menjebak orang lain untuk berhubungan badan bukanlah kekerasan seksual.

 

Dalam berita, lebih sering ditemukan perempuan yang menjadi korban dari kekerasan seksual. Namun, ini tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki bisa menjadi korban kekerasan seksual. Justru, sebagian masyarakat berpikir bahwa korban pria malah akan merasa ‘keenakan’ apabila menjadi korban kekerasan seksual.

 

Contohnya seperti beberapa waktu lalu, seorang pria melapor bahwa dirinya telah mendapat kekerasan seksual selama tiga hari oleh seorang biduan. Alih-alih membela korban, beberapa masyarakat malah menilai bahwa korban menikmati hal tersebut. Mereka berpikir, bahwa semestinya laki-laki senang jika mendapat kekerasan seksual seperti ini secara gratis. Ada juga yang berpendapat bahwa sang korban menikmati sehingga baru melapor setelah tiga hari.

 

Beberapa netizen akhirnya menjadikan korban sebagai objek candaan dan menganggap korban bodoh untuk melapor bukannya menikmati. Padahal, kekerasan seksual sendiri merupakan paksaan yang tidak dapat dinikmati. Kekerasan seksual seperti ini malah akan membawa pengaruh besar terutama bagi kondisi mental korban kedepannya. Yang bodoh disini justru masyarakat yang memojokkan korban dengan sudut pandang tunggal mereka.

 

Akibat adanya rape jokes ini, masyarakat yang pernah mengalami kekerasan seksual menjadi takut untuk speak up tentang masalah yang mereka alami. Mereka takut akan dijadikan objek candaan atau dipandang rendah oleh masyarakat. Mendengar rape jokes dapat berpotensi memberi ingatan buruk pada korban dan membuat traumanya kembali. Ketika seseorang yang menjadi korban membaca candaan atau komentar tak pantas yang menyangkut dirinya, korban akan semakin menderita dan mentalnya bisa semakin memburuk. Apalagi jika candaan tersebut bersifat men-judge korban atas apa yang pernah menimpanya.

 

Korban akhirnya memendam penderitaan mereka yang apabila dipendam terus menerus, korban akan mengalami depresi hingga trauma dan menutup diri dari lingkungan.

 

Jika korban memilih untuk menutup diri, para pembuat rape jokes tidak akan belajar bahwa mereka salah. Tidak ada yang tergerak hatinya untuk memahami perasaan korban yang terkena kekerasan seksual. Terutama ketika mereka mengetahui bahwa masih ada orang lain yang menyukai ‘candaan’ yang mereka buat. Apabila terus menerus dibiarkan, pelaku rape jokes akan berpikir bahwa tindakan mereka benar tanpa memedulikan korban.

 

Semakin banyak rape jokes yang beredar akan membuat orang-orang merasa bahwa pemerkosaan dan kekerasan seksual adalah hal yang biasa. Efeknya, rape culture akan dipandang normal dan semakin meluas diterima oleh masyarakat.

 

Akibat normalisasi tersebut, orang menjadi tidak bisa mengidentifikasi atau tidak mempercayai tindak pemerkosaan. Masyarakat yang kurang terdidik akan merespons suatu peristiwa kekerasan seksual dengan menyalahi korban dan menormalkan tindakan pelaku. Dengan begitu, kasus kekerasan seksual akan merebak dan terus meningkat. Akibatnya, dari masalah yang dianggap sepele ini akan membawa menuju masalah baru di tingkatan kekerasan seksual yang lebih tinggi.

 

Apakah rape jokes bisa kita hindari? Ya, bisa. Rape jokes bisa kita hindari dengan memberi edukasi pada diri sendiri dan masyarakat, terutama seks edukasi yang masih dianggap tabu bagi sebagian orang. Dengan membuat seminar seks edukasi di tiap-tiap sekolah, akan membuat generasi muda membuka mata akan kekerasan seksual.

 

Berbagai platform di media sosial juga sudah memberi bimbingan mengenai seks edukasi sebagai alat agar rape culture tidak semakin berkembang di Indonesia. Bahkan, ada platform sebagai tempat korban mendapat save place dan tempat korban untuk mengadu. Tak sedikit orang yang membela korban dalam permasalahan kekerasan seksual. Tak jarang juga netizen memberikan dukungan mental pada korban kekerasan seksual dan saling mengingatkan dan menegur apabila ada orang yang melontarkan rape jokes.

 

Untuk memperjelas lagi, berbagai bentuk candaan yang menyangkut-pautkan perkosaan adalah rape jokes. Apabila terus dibiarkan, rape jokes akan berkembang menjadi rape culture.


Hanya orang bodoh yang menjadikan perkosaan sebagai candaan dan hanya orang bodoh yang tertawa pada hal itu. Mari kita sama-sama mengedukasi diri agar semakin banyak orang yang menganggap kekerasan seksual bukan hal sepele.


Rape Jokes Bukan Candaan