Gelombang Covid dan Kesimpangsiuran Kebijakan

Gelombang Covid dan Kesimpangsiuran Kebijakan

 

                        Sumber: www.shutterstock.com


Oleh: Vido Shahputra Permata, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta


     Tahun 2020, kita menghadapi sebuah virus baru bernama Covid-19 yang menyebabkan status pandemi di seluruh Dunia. Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia mengonfirmasikan kasus pertama Covid-19. Sejak saat itu, Indonesia memberlakukan status keadaan darurat bencana nasional. Berbagai pembatasan telah dilakukan seperti; Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota dan provinsi, pelarangan mudik lebaran, hingga pengetatan liburan akhir tahun 2020. Tentu berbagai pembatasan tersebut sangat memukul perekonomian terutama di sektor pariwisata, jasa, dan perdagangan.

 

Memasuki tahun 2021, masyarakat memiliki harapan baru agar pandemi bisa berakhir di tahun ini. Harapan itu muncul setelah melalui tahun 2020 dengan pelbagai pembatasan mobilitas dan rasa jenuh, akibat terlalu lama tidak bisa beraktivitas secara bebas. Pertumbuhan ekonomi yang negatif hingga terjadi resesi dan PHK dimana-mana, membuat para pelaku usaha berharap besar pada tahun ini, agar ekonomi bisa pulih kembali. Beredar banyak kabar mengenai akan dibukanya kembali sekolah tatap muka di semester baru menjadikan para peserta didik antusias untuk kembali ke sekolahan. Selain itu, program vaksinasi yang berjalan pada tahun 2021 menambah harapan masyarakat untuk dapat kembali hidup normal dan kegiatan perekonomian meningkat seiring berjalannya waktu.

 

Namun, bulan Januari 2021 disambut dengan lonjakan kasus yang tinggi hingga mencapai puncaknya. Lonjakan kasus tersebut terjadi setelah Indonesia mengadakan Pilkada dan libur akhir tahun, di mana banyak masyarakat yang berwisata. Tercatat, rata-rata penambahan kasus positif per harinya adalah 10.810 selama bulan Januari dengan positivity rate sebesar 26,90%. Rekor penambahan kasus positif juga terjadi di bulan ini pada tanggal 30 Januari sebanyak 14.518. Dengan lonjakan kasus positif tersebut berdampak besar pada ketersediaan ruang isolasi dan ICU rumah sakit yang semakin penuh.

 

Akibatnya, banyak pasien yang terlantar dan terlambat untuk ditangani secara medis sehingga banyak diantara dari mereka meninggal dunia. Lahan pemakaman untuk Covid-19 juga semakin penuh dan banyak beredar video antrean ambulans yang sedang menunggu giliran untuk memakamkan pasiennya. Tidak hanya masyarakat umum saja yang terkena Covid, namun para tenaga kesehatan juga kewalahan dan terkena Covid hingga banyak yang meninggal dunia.

 

Pemerintah melakukan pelbagai usaha untuk menghadapi lonjakan kasus Covid seperti menambah kapasitas rumah sakit, mendirikan rumah sakit lapangan, dan lain-lain. Namun, usaha tersebut belum juga berhasil menampung jumlah pasien yang terus berdatangan.

 

Pada akhirnya, pemerintah mengambil keputusan untuk melakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM di wilayah Jawa dan Bali, serta kota/kabupaten yang ditetapkan oleh Gubernur masing-masing Provinsi tersebut. Perbedaan PPKM dengan PSBB adalah PPKM merupakan kebijakan pembatasan dari pemerintah pusat, sedangkan PSBB adalah kebijakan yang diambil masing-masing pemerintah daerah. Selain itu, pembatasan yang dilakukan selama PPKM tidak seketat dari PSBB.

 

Pelbagai pembatasan yang dilakukan selama masa PPKM meliputi sektor perkantoran, ekonomi, keagamaan, dan lain-lain. Perkantoran mewajibkan untuk melakukan work from home sebesar 75% dari kapasitas. Kegiatan ekonomi seperti restoran dan pusat perbelanjaan juga dibatasi kapasitasnya sebesar 25% dan jam operasional hanya sampai jam 19.00. Fasilitas umum dan kegiatan sosial budaya seperti museum, taman, dan lain-lain juga ditutup sementara. Tempat ibadah juga dilakukan pembatasan kapasitas sebesar 50%.

 

Kebijakan PPKM dilaksanakan selama 4 minggu dari tanggal 11 Januari hingga 8 Februari di 7 Provinsi Jawa dan Bali. Setelah itu, pemerintah mengambil kebijakan baru yaitu PPKM Mikro. PPKM Mikro adalah kebijakan pembatasan seperti PPKM dengan ruang lingkup yang lebih kecil berskala RT. Isi dari pembatasan ini lebih menekankan pada pengendalian di tingkat RT yang memiliki kasus positif dan dibagi zona tertentu seperti zona hijau, kuning, oranye, dan merah. PPKM Mikro memiliki peraturan pembatasan yang lebih longgar dibanding PPKM sebelumnya. Sebagai contoh, fasilitas umum sudah mulai dibuka, kapasitas restoran dinaikkan hingga 50%, jam operasional mall sampai jam 21.00, dan lain-lain. Hingga saat ini, sudah ada 30 provinsi yang ditetapkan untuk melaksanakan PPKM Mikro dan setiap dua minggu dievaluasi oleh pemerintah pusat.

 

Memasuki bulan Ramadan, kondisi Covid-19 di Indonesia masih tinggi dan belum terkendali. Setiap tahunnya masyarakat akan memeriahkan bulan Ramadan dengan ngabuburit, buka bersama, dan lain-lain. Selain itu, hal yang paling ditunggu-tunggu adalah lebaran dan banyak masyarakat yang berbondong-bondong untuk melakukan mudik ke kampung halaman. Dengan kondisi pandemi yang belum mereda dan terdapat ancaman penularan lokal terkait varian baru mutasi Covid-19, pemerintah memutuskan untuk melanjutkan PPKM Mikro dimasa Ramadan sebagai pembatasan dan melakukan pelarangan mudik lebaran.

 

Kegiatan pelarangan mudik terdiri atas beberapa bagian dan peraturan yang berbeda. Pada awalnya, cuti bersama untuk lebaran dihapuskan, namun, masyarakat masih banyak yang ingin tetap mudik berdasarkan survei pemerintah. Kemudian, pemerintah memutuskan untuk melakukan pelarangan mudik dari tanggal 6-17 Mei dengan mewajibkan surat izin perjalanan bagi yang berkepentingan saja. Transportasi darat, laut, dan udara dibatasi jumlah perjalanannya, hanya untuk perjalanan penumpang darurat yang diizinkan ataupun mengangkut kargo.

 

Untuk transportasi pribadi akan dilakukan pemeriksaan di titik-titik tertentu setiap daerah untuk memeriksa kelengkapan surat izin. Namun, masih ada masyarakat yang melakukan mudik jauh-jauh hari sejak awal Ramadan. Melihat hal tersebut, pemerintah secara mendadak mengeluarkan keputusan untuk melakukan pengetatan perjalanan dalam negeri. Pengetatan perjalanan dalam negeri berlaku dari tanggal 22 April-5 Mei dan 18 Mei-24 Mei. Pengetatan perjalanan meliputi pengurangan masa berlaku tes Covid-19 sebagai syarat untuk perjalanan seperti tes PCR berlaku 1×24 jam, tes Antigen 1×24 jam, dan genose sebelum keberangkatan.

 

Keputusan PPKM dan pelarangan mudik lebaran ini, menimbulkan kekecewaan dari masyarakat serta para pelaku usaha. Harapan mereka untuk beraktivitas secara bebas kembali dan kegiatan ekonomi terus meningkat harus hilang begitu saja. Masyarakat diharuskan untuk tinggal di rumah kembali dan hanya sebagian yang boleh beraktivitas. Kegiatan ekonomi harus dibatasi dan menjadi sepi, karena banyak masyarakat yang tinggal di rumah. Terbukti di kuartal pertama tahun 2021 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tercatat negatif.

 

Pelarangan mudik membuat masyarakat harus menahan kerinduan yang kedua kalinya dengan keluarga besar dan kampung halamannya setelah tahun lalu juga dilarang mudik oleh pemerintah. Jika melakukan mudik di hari libur lain akan terasa berbeda suasananya dengan hari lebaran. Selain itu kegiatan ekonomi yang biasanya sangat ramai terutama pedagang makanan ataupun pasar tekstil untuk belanja lebaran dan membeli oleh-oleh untuk keluarga besar harus mengalami penurunan jumlah pembeli. Penurunan jumlah pembeli bisa disebabkan oleh pembatasan kapasitas, masyarakat yang masih takut dengan Covid-19, banyak yang tidak melakukan mudik, dan lain-lain.

 

Kebijakan pelarangan mudik pada awalnya sering berubah-ubah dan terdapat pernyataan-pernyataan yang berbeda. Sebelum bulan Ramadan, Kemenhub menyatakan bahwa mudik lebaran diperbolehkan. Setelah itu, pemerintah mengeluarkan peraturan pelarangan mudik berlaku dari tanggal 6-17 Mei. Pada saat itu, terdapat pernyataan-pernyataan bahwa sebelum tanggal tersebut diperbolehkan dengan syarat protokol kesehatan yang ketat.

 

Tidak lama kemudian, pernyataan tersebut di batalkan dan dilarang untuk mudik duluan. Hal tersebut didukung dengan kebijakan pengetatan perjalanan dalam negeri. Terdapat kesimpangsiuran kembali mengenai mudik lokal, terdapat pernyataan yang membolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Namun, pada akhirnya pemerintah secara tegas melarang untuk melakukan mudik lokal.

 

Permasalahan tidak hanya mengenai pelarangan mudik, terdapat juga kebijakan yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Seperti halnya dibukanya tempat-tempat wisata dan diperbolehkan masyarakat untuk mengunjungi tempat wisata tersebut. Masyarakat bisa mengakali para petugas atau pemerintah untuk pergi berwisata, padahal, akan melakukan mudik keluar kota atau mudik lokal.

 

Dengan diperbolehkannya berwisata di tengah pelarangan mudik, banyak masyarakat yang akan pergi ke lokasi wisata di wilayahnya dan akan mengalami penumpukan pengunjung di waktu yang sama. Mengingat juga pada setiap libur panjang atau akhir tahun, banyak sekali pelanggaran protokol kesehatan terutama kerumunan dan sudah terjadi berulang kali. Terbukti akhir-akhir ini banyak foto dan video yang beredar di media sosial memperlihatkan penuhnya pantai-pantai di pulau jawa oleh para pengunjung.

 

Terdapat juga kebijakan pelarangan ziarah yang terlihat sangat berbanding terbalik dengan diperbolehkannya berwisata. Selain itu, kedatangan Warga Negara Asing (WNA) ke Indonesia untuk kepentingan pekerjaan dan proyek negara mendapat perhatian dari masyarakat. Kedatangan WNA secara berbondong-bondong dinilai kurang tepat, karena masyarakat sedang tidak diperbolehkan untuk mudik dan dapat menimbulkan kekecewaan dari masyarakat luas.

 

Program vaksinasi juga cenderung terlalu lambat untuk seukuran negara dengan penduduk yang besar hingga 270 juta orang. Target vaksinasi yang ditetapkan pemerintah adalah 181,5 juta orang. Hingga tanggal 20 Mei, orang yang telah mendapatkan dosis pertama hanya 14,4 juta saja atau 5% dari jumlah penduduk Indonesia. Hal tersebut masih sangat jauh dari angka minimal herd immunity sebesar 70% dari populasi. Angka vaksinasi per harinya hanya 200.000-400.000 dosis dan cenderung menurun mendekati lebaran hanya sekitar 100.000 dosis.

 

Padahal, Presiden Jokowi pernah mengucapkan bahwa Indonesia bisa melakukan vaksinasi hingga 1 juta dosis perharinya dan menargetkan vaksinasi dapat rampung kurang dari satu tahun. Dengan angka realisasi vaksinasi yang rendah dan sudah berjalan kurang lebih 5 bulan, tidak mungkin target tersebut bisa terpenuhi hingga tahun depan.

 

Vaksinasi di Indonesia juga mengalami ketimpangan antara kelompok lansia dan pelayanan publik. Yang perlu diprioritaskan dalam vaksinasi adalah kelompok lansia terlebih dahulu karena memiliki risiko sakit berat dan kematian akibat Covid yang sangat tinggi dibandingkan usia muda. Namun, lansia yang sudah mendapatkan dosis pertama vaksin per tanggal 20 Mei hanya 2,9 juta orang atau 13,6% dari target 21 juta lansia. Sedangkan, untuk pelayan publik sudah mencapai 9,9 juta orang atau 57,7% dari target 17 juta orang.

 

Dengan ketimpangan jumlah vaksinasi tersebut, seolah-olah kelompok lansia tidak terlalu di perhatikan dan hanya berfokus pada pelayan publik. Seharusnya, lansia yang harus diutamakan, seperti di negara-negara lain misalnya, cakupan vaksinasi lansianya sudah sangat tinggi seperti Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain. Lebih baik lagi, kalau vaksinasi lansia dan pelayan publik berjalan secara cepat dan tidak ada ketimpangan antara keduanya.

 

Kegiatan testing, tracing, dan treatment yang dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini, masih belum maksimal dan dapat dikatakan lemah. Sudah setahun lebih pandemi di Indonesia kegiatan testing dan tracing tidak ada peningkatan yang berarti dan masih terpusat di Pulau Jawa. Sejak awal tahun hingga bulan Mei, rata-rata kemampuan testing orang perharinya hanya 40.000-50.000 orang saja. Itu pun sudah menggabungkan data tes PCR dan antigen.

 

Selain itu, kegiatan testing di Indonesia ada yang dilakukan oleh pemerintah, dan ada yang dilakukan secara mandiri oleh individu dengan membayar tes sendiri. Dengan jumlah tes 40.000-50.000 orang perharinya dan terdapat tes mandiri, pemerintah sangat sedikit sekali untuk mengadakan testing kepada orang-orang yang membutuhkan untuk seukuran penduduk yang berjumlah 270 juta. Permasalahan lain tentang testing di Indonesia adalah jumlah testing setiap akhir pekan dan hari libur selalu menurun dan sudah terjadi sejak awal pandemi. Dengan naik turunnya jumlah dan sedikitnya testing, menyulitkan untuk menganalisis kondisi pandemi yang sesungguhnya di Indonesia.

 

Masih banyak orang yang kesulitan mendapatkan testing gratis seperti pasien suspek, kontak erat pasien Covid, pekerja publik yang rentan tertular, dan lain-lain. Padahal, warga yang memiliki gejala seperti Covid dan kontak erat dengan pasien Covid, harus secara cepat melakukan tes untuk memutus penularan Covid-19. Bagi warga yang mempunyai biaya lebih untuk PCR akan lebih mudah dan cepat untuk melakukan tes jika diperlukan, tetapi bagi warga yang mengalami kendala biaya harus menunggu lebih lama untuk mengurus tes gratis.

 

Kegiatan tracing oleh pemerintah juga sangat kurang dan hanya sedikit daerah yang mengeluarkan data kontak erat. Tidak ada data yang pasti mengenai rata-rata tracing di Indonesia. Namun jika dilihat dari jumlah contact tracer, Menko Muhadjir pernah mengatakan, bahwa jumlah contact tracer di Indonesia tidak sampai 5000 orang. Dari 5000 orang tersebut, hampir 1600 orang contact tracer berada di DKI Jakarta. Dengan contact tracer sejumlah 5000 orang sangat tidak sebanding dengan kasus positif harian yang jumlahnya dapat ribuan dan penduduk Indonesia yang mencapai 270 Juta.

 

Kenyataannya, jumlah ideal tracing yang harus dilakukan menurut WHO adalah 30 Orang setiap pasien positif Covid. Kegiatan tracing harus dilakukan secepat mungkin agar warga yang kontak erat segera dites dan diisolasi. Dapat dibayangkan, bahwa betapa sibuknya contact tracer yang jumlahnya sedikit, harus melacak kontak erat yang berjumlah banyak hingga 30 orang. Setiap harinya pasien positif terus bertambah dan jumlahnya hingga ribuan, sedangkan contact tracer jumlahnya tidak bertambah-tambah sehingga ada kemungkinan pasien yang harus ditracing menjadi menumpuk dan tertunda.

 

Pengobatan atau treatment pasien Covid-19 sudah semakin membaik hingga saat ini. Dibandingkan dengan tahun lalu, yang masih kekurangan obat-obatan, ventilator, kamar rawat, dan lain-lain. Meskipun di awal tahun mengalami lonjakan kasus dan kapasitas rumah sakit penuh, pemerintah secara cepat menambah rumah sakit darurat di wilayah tertentu. Namun, masih ada saja kendala mengenai data realtime mengenai ketersediaan ruang isolasi maupun ruang ICU. Data realtime mengenai ruang perawatan sangat dibutuhkan bagi pasien yang harus ditangani secara cepat, terlebih di masa lonjakan kasus yang menyebabkan banyak rumah sakit penuh.

 

Karantina untuk para pendatang dari luar negeri bisa dikatakan kurang ketat. Setiap orang yang masuk ke Indonesia dari luar negeri harus dikarantina selama 5 hari dan akan dites PCR sebanyak 2 kali. Karantina selama 5 hari ini cukup sebentar bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura selama 3 minggu dan Malaysia selama 2 minggu. Ditengah-tengah ancaman varian mutasi baru Covid-19 dari luar negeri, karantina diharuskan bisa lebih lama dari biasanya.

 

Hal itu untuk mencegah masuknya varian baru Covid yang masih dalam masa inkubasi dan tidak terdeteksi jika hanya karantina selama 5 hari. Selain itu, masih ada saja para pendatang dari luar negeri yang lolos untuk keluar dari tempat karantina ataupun tidak melakukan karantina. Terdapat juga mafia karantina yang sudah tertangkap oleh kepolisian yang cara kerjanya menyamar menjadi petugas dan akan meloloskan para pendatang dari karantina yang menggunakan jasa mereka.

 

Kepatuhan masyarakat untuk memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan masih banyak yang abai terutama di daerah-daerah. Di kota besar saja masih banyak ditemukan warga yang tidak memakai masker ataupun memakai masker secara tidak benar. Jika ditegur dan disanksi oleh para petugas, banyak yang beralasan lupa membawa. Transportasi umum seperti bus dan kereta rel listrik sudah sulit menerapkan jaga jarak bahkan penuh di jam pergi pulang kantor. Sudah banyak penerbangan pesawat yang tidak menerapkan jaga jarak antar penumpangnya.

 

Masyarakat yang di daerah sudah beraktivitas secara normal seperti tidak ada Covid-19. Banyak yang mengadakan acara berkumpul seperti pesta, halalbihalal, dan lain-lain. Kafe dan restoran dipenuhi oleh para pengunjung dan banyak yang melanggar protokol kesehatan. Di hari libur panjang, banyak masyarakat yang berbondong-bondong untuk mengunjungi tempat wisata dan menimbulkan kerumunan. Tidak hanya masyarakat umum saja yang melanggar, banyak pegawai dan pejabat pemerintahan yang juga melanggar protokol kesehatan. Padahal, pandemi sudah berjalan lebih dari setahun dan seharusnya protokol kesehatan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.

 

Pandemi Covid-19 yang tidak selesai-selesai hingga pertengahan tahun 2021 membuat masyarakat semakin jenuh dan bosan. Masyarakat yang sudah jenuh menimbulkan pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan, terutama kerumunan di tempat wisata atau pusat perbelanjaan. Masih banyak masyarakat yang tetap memaksa untuk melakukan mudik. Walaupun, tidak sedikit juga masyarakat yang tetap patuh protokol kesehatan dan tetap di rumah jika tidak ada keperluan penting.

 

Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, saling bertentangan satu sama lain, dan implementasi kebijakan yang kurang maksimal membuat panjang pandemi di Indonesia. Kebijakan PPKM Mikro dan pelarangan mudik masih kurang implementasinya dan cenderung berkurang semangatnya dari hari ke hari. Pemberlakuan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan sering kali tidak adil dan kurang tegas.

 

Kebijakan yang sering berubah-ubah selama pelarangan mudik juga membingungkan masyarakat. Selain itu, kebijakan yang saling bertentangan satu sama lain seperti WNA masuk di waktu pelarangan mudik, diperbolehkan wisata selama lebaran, dan lain-lain. Semua hal tersebut dapat membuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin meningkat dan akan berdampak pada abainya warga dengan pandemi Covid-19.

 

Selain itu dunia internasional termasuk Indonesia sedang berjuang untuk menghadapi berbagai varian baru mutasi Covid-19 dari beberapa negara seperti India, Inggris, Afrika Selatan, dan lain-lain. Hingga saat ini sudah terdeteksi beberapa kasus impor dari varian baru tersebut dan sudah ada yang diduga sebagai kasus penularan lokal di beberapa daerah. Dengan kondisi penegakan protokol kesehatan yang semakin menurun dan strategi testing, tracing, dan treatment yang masih lemah, hal ini menjadi ancaman dan tantangan baru bagi pemerintah Indonesia.

 

Diperlukan langkah bersama untuk mengendalikan pandemi Covid-19 di Indonesia. Tidak hanya pemerintah yang harus dievaluasi, tetapi masyarakat juga harus introspeksi diri dalam menghadapi Covid-19. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakatnya sendiri.

 

Pemerintah harus memfokuskan dan memaksimalkan terlebih dahulu terhadap testing, tracing, treatment. Hal itu merupakan dasar utama dalam menuntaskan pandemi Covid-19. Diperlukan penambahan laboratorium dan kapasitas yang sudah ada untuk mempercepat kegiatan testing. Selain itu penambahan testing harus diutamakan di wilayah luar Jawa untuk pemerataan yang selama ini terpusat di Pulau Jawa.


Kegiatan testing juga harus tepat yang ditujukan kepada pasien suspek, orang kontak erat, dan pelayan publik yang bersinggungan langsung dengan masyarakat. Yang kedua adalah, penambahan contact tracer untuk mempercepat tracing dan mengejar 30 orang yang harus di tracing. Contact tracer bisa dibantu oleh pengurus RT/RW setempat untuk mempercepat kegiatan tracing di lapangan. Yang ketiga, adalah penambahan rumah sakit rujukan Covid-19 terutama di daerah-daerah dan perbaikan sistem data realtime untuk memantau ketersediaan ruang isolasi.

 

Penambahan rumah sakit rujukan untuk mengantisipasi jika terjadi lonjakan kasus dan data realtime sangat diperlukan untuk mempercepat penanganan pasien. Kemudian, penguatan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama seperti klinik dan puskesmas untuk menjangkau wilayah-wilayah terpencil dan mempercepat penanganan pasien Covid di lingkungan masyarakat. Puskesmas dan klinik harus diberi perhatian lebih seperti menjamin ketersediaan APD, adanya dokter praktek, dan petugas contact tracing.

 

Pelaksanaan PPKM Mikro harus lebih tegas lagi dan konsisten dalam melaksanakannya. Setelah berbulan-bulan PPKM Mikro, semakin banyak pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi terutama dalam hal kerumunan atau kelebihan kapasitas suatu tempat. Diperlukan razia-razia kembali yang dilakukan oleh Satpol PP, polisi atau tentara terhadap tempat-tempat umum seperti pasar, restoran, dan lain-lain. Razia dilakukan secara tegas, konsisten, dan setiap hari karena banyak yang kembali melanggar setelah dilakukan razia oleh petugas.

 

Pemberlakuan sanksi untuk para pelanggar protokol kesehatan atau PPKM Mikro harus diberikan secara adil dan tanpa pandang bulu untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terkait penerapan sanksi yang ada.  Pembatasan dalam skala RT harus lebih diperketat lagi jika terdapat warganya yang positif dan berkoordinasi dengan pihak puskesmas atau kelurahan setempat agar mendapat bantuan dalam melaksanakan PPKM Mikro.


Pengawasan penegakan protokol kesehatan di permukiman masyarakat dapat bekerja sama dengan tokoh masyarakat setempat, petugas siskamling, dan lain-lain. Ajak berdiskusi dengan tokoh masyarakat untuk dijadikan panutan dan sebagai pengawas dalam menegakkan protokol kesehatan. Masyarakat akan lebih patuh jika dilakukan pengawasan secara tegas dan terdapat panutan dalam melakukan protokol kesehatan.

 

Kegiatan vaksinasi harus dilakukan lebih gencar lagi terutama untuk kaum lansia. Mengingat lansia memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi dan mobilitas ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk vaksinasi, diperlukan sosialisasi secara manual ke setiap lansia, dibantu oleh keluarga atau pengurus RT/RW setempat. Untuk lansia yang memiliki keterbatasan mobilitas, bisa dilakukan penjemputan oleh pihak puskesmas terdekat ataupun mendatangi permukiman setempat untuk memperpendek jarak antara rumah lansia ke fasilitas vaksinasi. Transparansi terkait keamanan dan efektivitas vaksin harus diberikan secara jelas kepada semua warga.


Dan juga, diperlukan respons yang cepat dan baik terhadap efek samping yang dialami oleh para warga yang sudah divaksin, agar tidak mengalami trauma ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya. Semua hal tersebut untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap vaksin yang diberikan dan merasa aman karena sudah ada jaminan yang serius dari pemerintah.

 

Waktu Karantina untuk para pendatang dari luar negeri harus diperpanjang lebih lama seperti negara tetangga yang lamanya hingga 2-3 minggu. Karantina yang lama dimaksudkan untuk menghindari false negative akibat waktu inkubasi virus yang lebih lama sehingga bisa terdeteksi ketika dikarantina. Karantina menjadi titik krusial untuk mencegah masuknya berbagai varian baru yang diduga lebih menular dari biasanya.

 

Orang yang telah selesai menjalani karantina harus tetap dipantau kesehatannya agar bisa mendeteksi lebih dini jika dirinya sakit dan diberi akses tes yang cepat untuk memutus rantai penularan Covid-19. Pengawasan terhadap para pendatang yang menjalani karantina harus diperketat agar kejadian kabur dari tempat karantina dan mafia karantina dapat dihindari. Tempat karantina harus dipastikan steril dari orang lain yang tidak mengikuti karantina.

 

Masyarakat adalah garda terdepan dalam pencegahan penularan Covid-19. Hal yang terpenting dalam mencegah Covid adalah penerapan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun. Ketiga hal tersebut merupakan kewajiban yang sangat harus dilakukan oleh semua individu untuk kepentingan bersama. Tidak ada alasan lagi untuk tidak memakai masker karena sudah banyak jenis masker yang dijual secara murah dan mudah didapat.

 

Masker yang digunakan haruslah masker kain 2-3 lapis atau masker medis yang mempunyai daya filtrasi yang tinggi. Cara menggunakan masker juga harus benar dengan menutup hidung dan mulut. Menjaga jarak berhubungan dengan kesadaran diri sendiri untuk menjaga jarak dengan orang lain. Hal ini sangat sulit bila sudah bertemu dengan teman-teman atau keluarga sendiri. Oleh karena itu, usahakan tetap menjaga jarak dan memakai masker dengan benar walaupun bertemu dengan teman atau keluarga. Untuk di transportasi publik, jika tidak sedang terburu-buru usahakan untuk memilih atau menunggu kendaraan yang sepi penumpang agar tidak terjadi penumpukan di dalam kendaraan.

 

Mencuci tangan harus dilakukan sesering mungkin setelah kita memegang barang atau benda asing yang ada di luar rumah. Usahakan untuk mencuci tangan ketika bertemu dengan tempat cuci tangan atau handsanitizer yang disediakan di tempat umum. Akan lebih baik lagi untuk membawa selalu handsanitizer setiap bepergian ke luar rumah.

 

Masing-masing individu memiliki kewajiban untuk menjaga kesehatannya sendiri. Cara menjaga kesehatan diri sendiri adalah menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat atau PHBS. Penerapan PHBS dapat dilakukan di lingkungan rumah tangga, sekolah, kantor, dan lain-lain. Contoh penerapan PHBS dalam kehidupan sehari-hari antara lain mengonsumsi buah dan sayuran, rajin berolahraga, menjaga kebersihan diri sendiri, berjemur setiap pagi, mengonsumsi suplemen vitamin, tidak merokok, membuang sampah pada tempatnya, buang air di toilet yang bersih, dan lain-lain. Penerapan PHBS secara rajin dapat menjaga tubuh kita dari serangan berbagai penyakit khususnya virus Covid-19 yang sedang merajalela di masa sekarang.

 

Masyarakat juga harus berperan aktif dalam pencegahan dan penanganan Covid-19 diwilayah tempat tinggalnya masing-masing. Setiap warga saling mengingatkan dan menegakkan protokol kesehatan di lingkungan permukimannya. Tempat-tempat berkumpulnya warga seperti warung, musala atau masjid, dan lain-lain menjadi titik sering terjadinya pelanggaran protokol kesehatan.

 

Pengawasan protokol kesehatan di wilayah permukiman tidak mungkin dilakukan setiap hari oleh Satpol PP atau polisi, oleh karena itu setiap RT/RW harus memiliki satgas Covid untuk penanganan dan pengawasan di lingkungan setempat. Jika terdapat warga yang positif Covid, warga sekitarnya wajib saling membantu dalam hal bantuan makanan, bantuan obat atau vitamin, dan lain-lain.


Satgas Covid berserta pengurus RT/RW membantu penanganan dalam hal testing dan tracing bagi warga setempat yang kontak erat langsung dengan pasien positif dibantu pihak puskesmas. Tidak hanya membantu warga yang terkena Covid, tetapi juga saling membantu warga yang ekonominya turun akibat pandemi.

 

Para pelaku usaha dan perkantoran harus memastikan jalannya protokol kesehatan baik pengunjung ataupun karyawannya. Karyawan diperhatikan kesehatannya agar tidak tertular Covid-19 dan menularkan ke sesama teman atau pengunjung sehingga tidak terjadi klaster. Ventilasi di tempat usaha atau di perkantoran harus terbuka agar udara mengalir dan mengurangi risiko penularan airborne. Pembersihan dan disinfeksi secara rutin terhadap benda-benda yang sering dipegang oleh banyak orang, lebih baik lagi untuk disinfeksi ke seluruh ruangan. Letak kursi dan meja lebih diatur lagi agar jaga jarak dapat terpenuhi, tidak hanya menempelkan stiker tanda dilarang duduk tetapi harus dikurangi jumlah kursi dan mejanya.

 

Para pelaku usaha dapat melakukan inovasi seperti membangun konsep tempat usaha yang outdoor atau memindahkan kursi dan mejanya ke luar ruangan untuk menambah kapasitas. Penyediaan tempat cuci tangan dan handsanitizer di tempat yang mudah dijangkau oleh para pengunjung. Jika kapasitas sudah penuh, jangan dipaksakan lagi untuk menerima para pengunjung. Untuk perkantoran, berlakukan sistem shift bagi para karyawan dan jika sudah divaksin bukan berarti kapasitas dapat 100%.

 

Inti dari penanganan pandemi di Indonesia adalah niat serta kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam melawan pandemi. Kolaborasi menjadi barang penting, karena pandemi merupakan musuh bersama yang dampaknya sudah terasa ke seluruh masyarakat Indonesia. Niat harus diikuti dengan konsistensi dan implementasi kebijakan secara maksimal oleh pemerintah serta patuhnya protokol kesehatan dan penerapan PHBS secara rutin.

 

Tidak hanya kolaborasi dalam penanganan Covid, tetapi dalam pemulihan ekonomi, pendidikan, dan lain-lain juga harus diperhatikan. Setiap instansi pemerintah dan masyarakat menjalankan perannya masing-masing dengan konsisten dan maksimal. Tidak berjalannya masing-masing tugas dan perannya akan menimbulkan ketidakpercayaan di kedua belah pihak. Akan sulit untuk memulihkan kepercayaan tersebut dan dapat berakibat pada abainya terhadap pandemi.

 

Akhir kata penulis ingin menyampaikan untuk tetap menerapkan protokol kesehatan dan PHBS secara rutin. Saat ini sudah banyak orang bahkan kita sendiri yang bosan dan penat untuk di rumah secara terus-terusan.


Untuk menghilangkan kebosanan tersebut, kita diperbolehkan jalan-jalan keluar rumah untuk sekadar makan, wisata, bertemu dengan teman, dan lain-lain. Tetapi harus tetap memperhatikan waktu dan tempat yang aman serta menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

 

DAFTAR PUSTAKA:

 

https://instagram.com/kawalcovid19.id

 

https://instagram.com/lawancovid19_id

 

https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines

 

https://news.detik.com/berita/d-5541918/aturan-baru-perjalanan-h-14-larangan-mudik-wajib-swab-1x24-jam

Baca selengkapnya »
Mengimani "Seni Mencintai": Upaya Menyelesaikan Semua Permasalahan Eksistensi Manusia (Bagian I)

Mengimani "Seni Mencintai": Upaya Menyelesaikan Semua Permasalahan Eksistensi Manusia (Bagian I)

Oleh: Alamsyah Taufik, seorang manusia yang meyakini bahwa, “Tak ada kematian paling agung, selain mati karena cinta”.

Cinta adalah “satu-satunya jawaban yang waras dan memuaskan terhadap masalah eksistensi manusia”. - Erich Fromm

     Hampir setiap hari gawai saya berbunyi, entah dari sahabat, kawan, rekan kerja, peserta didik, mulai dari yang muda sampai yang tua, mereka serempak menanyakan mengenai cinta; Apa itu cinta, bagaimana cinta bekerja, dan yang paling fundamental adalah, “Mengapa ada penderitaan batin dan jiwa? Bukankah cinta adalah kegembiraan  dan kebahagiaan?”

 

Sudah tentu, saya tidak langsung menjawab begitu saja. Berbicara tentang cinta dan segala problematikannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Lagipula, saya manusia bukan Dewa Cupid yang dapat memberikan wejangan solutif sejurus segala kecemasan dan permasalahan perihal asmara hilang seketika.

 

Saya hanya mencoba menjadi pendengar terbaik, dan memberikan pendapat bila diminta. Bila saya kumpulkan hasil dari cerita mereka, saya dapat simpulkan kegelisahan mereka dengan, “Pencarian kebahagiaan individu manusia melalui cinta”. Tetapi sialnya, kontradiktif dengan realitas dunia percintaan mereka; dibohongi, diselingkuhi, dipermainkan, di-ghosting, bertepuk sebelah tangan, dipenuhi janji palsu, bertengkar karena sesuatu, diputusin secara sepihak tanpa tedeng aling-aling, ditinggal menikah, perceraian, tidak bisa move on, kasih tak sampai, cinta dalam hati, dan sebagainya dan sebagainya.

 

Membahas cinta tidak akan pernah ada habisnya. Selagi ada manusia di muka bumi ini, cinta pun akan selalu mengiringi. Karena itu, sebelum menyelami arti dan teori cinta, kita harus berangkat dari teori manusia terlebih dahulu. Saya mengambil sebagian besar materi dari pemikiran Erich Pinchas Fromm, seorang psikologi sosial, psikoanalis, sosiologi, humanisme, sosialis demokrat dan filsuf berkebangsaan Jerman, yang tertulis dalam bukunya, “Seni Mencintai”.

 

Manusia dianugerahi nalar; dia adalah kehidupan yang sadar akan dirinya sendiri; dia memiliki kesadaran atas dirinya sendiri, atas sesamanya, atas masa lalunya, dan kemungkinan-kemungkinan masa depannya. Kesadaran atas dirinya sebagai entitas tersendiri, kesadaran akan masa hidupnya yang singkat, atas kenyataan bahwa tanpa kehendaknyalah dia dilahirkan dan tanpa kehendaknya pulalah dia akan mati, bahwa dia akan mati meninggalkan orang-orang yang dia cintai, atau mereka yang akan mati meninggalkannya, kesadaran akan kesendiriannya dan keterpisahannya.

 

Ketakberdayaannya di hadapan kekuatan alam dan masyarakat, semua ini menjadikan eksistensinya yang terpisah dan tercerai sebagai penjara yang tak tertahankan. Dia akan menjadi gila jika tak dapat membebaskan diri dari penjara ini dan menjangkau keluar, menyatukan dirinya dalam berbagai cara dengan manusia lain, dengan dunia luar.

 

Pengalaman terpisah menumbuhkan kecemasan; itulah, sesungguhnya, sumber dari segala kecemasan. Terpisah berarti terputus, tanpa sanggup menggunakan daya manusiaku. Maka terpisah berarti tak berdaya, tak mampu menggenggam dunia secara aktif; artinya, dunia bisa menyerbuku tanpa aku bisa membalas. Maka, keterpisahan adalah sumber kecemasan intens. Lebih parah lagi, keterpisahan menimbulkan rasa malu dan bersalah.  Perasaan malu dan bersalah tentang keterpisahan ini digambarkan dalam kitab suci agama.

 

Maka dari itu, keinginan terdalam manusia adalah keinginan untuk mengatasi keterpisahannya, meninggalkan penjara kesendiriannya. Kegagalan mutlak dalam dalam meraih tujuan ini berarti kegilaan, karena rasa panik akibat keterasingan total hanya dapat diatasi dengan menarik diri secara radikal dari dunia luar sehingga rasa terpisah itu sirna –karena dunia luar, tempat seseorang terasing itu, juga telah sirna.

 

Manusia –dari segala zaman dan kebudayaan- ditantang memecahkan satu pertanyaan yang sama: pertanyaan tentang bagaimana mengatasi keterpisahan, bagaimana meraih penyatuan, bagaimana melampaui kehidupan individual dan menemukan kesatuan. Jawabanpun berbeda-beda; mulai dari melakukan aktivitas ritual orgiastic, non-orgiastic seperti alkohol, obat-obatan, sampai pada orgiastic seksual: pencarian aktivitas seksual yang serampangan, barbar, dan menjijikkan. Suatu upaya putus asa demi menghilangkan kecemasan yang ditimbulkan oleh keterpisahan, tetapi berakibat terus meningkatnya rasa keterpisahan itu, karena tindakan seksual tanpa cinta tak akan pernah menjembatani jarak antara dua manusia, kecuali hanya pelarian semata, dan sementara saja.

 

Jawaban ideal, lengkap, dan sempurna untuk mengatasi penyatuan keterpisahan itu semua hanya dalam cinta. Ya, hanya cinta! Hasrat bersatu dengan orang lain adalah perjuangan paling kuat manusia. itulah gairah yang paling dasar, kekuatan yang menjaga umat manusia dari kehancuran, menjaga klan, keluarga, masyarakat. Gagal meraihnya menyebabkan kegilaan atau kehancuran –kehancuran diri atau kehancuran orang lain.

 

Tanpa cinta, kemanusiaan tak mampu bertahan barang sehari. Akan tetapi, haruskah semuanya disebut dengan cinta? Atau haruskah kita simpan kata “cinta” itu hanya untuk jenis penyatuan yang spesifik, yang telah menjadim kebajikan ideal semua agama humanistis dan sistem filosofis? Jawaban pertanyaan di atas bisa berubah-ubah. Yang penting kita tahu penyatuan macam apa yang sedang kita bicarakan saat kita bicara tentang cinta. Apakah cinta yang kita sebut-sebut itu jawaban dewasa bagi persoalan eksistensi, atau apakah kita bicara tentang cinta dalam bentuk-bentuk tak dewasa, yang barangkali disebut sebagai penyatuan simbiotik?

 

Bentuk pasif penyatuan simbiotik adalah ketundukan, atau jika menggunakan istilah klinis, masokisme. Orang masokistis melarikan diri dari perasaan terasing dan terpisah yang tak terperi dengan cara menjadikan dirinya bagian tak terpisahkan dari orang lain yang mengarahkannya, memandunya, melindunginya; yang menjadi nyawanya dan oksigennya, bisa dikatakan demikian.

 

Kekuasaan orang yang diserahi kepasrahan itu pun meningkat, apakah dia itu manusia atau Tuhan; dia menjadi segalanya. Aku bukanapa-apa selain bahwa aku bagian darinya. Sebagai bagian, aku bagian dari kebesaran, kekuatan, kepastian. Orang masokistik tak perlu membuat keputusan, tak perlu mengambil risiko; dia tak pernah sendirian –tapi dia tidak mandiri; dia tak punya integritas; dia belum sepenuhnya lahir.

 

Dalam konteks keagamaan, obyek penyembahan disebut berhala; hubungan cinta masokistik dalam konteks sekuler, mekanisme dasarnya sama, yaitu pemberhalaan. Hubungan masokistik bisa bercampur dengan hasrat seksual dan fisik; dalam hal ini, tak hanya ketundukan pikiran, tapi juga ketundukan seluruh tubuh.

 

Bentuk aktif penyatuan simbiotik adalah dominasi, sadism adalah istilah psikologisnya yang terkait masokisme. Orang sadistik inin lepas dari kesendirian dan rasa terpenjaranya dengan menjadikan orang lain bagian tak terpisahkan dari dirinya. Dia menaikkan dan meninggikan dirinya dengan jalan menguasai orang lain, yang memujanya.

 

Seperti orang masokistik yang bergantung pada orang sadistik, orang sadistik pun sama bergantungnya pada orang yang tunduk itu; taka da yang bisa hidup tanpa yang lain. Bedanya cuma bahwa orang sadistik memerintah, mengeksploitasi, menyakiti, mempermalukan, sedangkan orang masokistik diperintah, dieksploitasi, disakiti, dan dipermalukan. Ini perbedaan besar yang kelihatan; namun, dalam ranah emosi yang lebih dalam, perbedaanya tak sebesar itu karena keduanya mirip: penyatuan tanpa keutuhan diri.

 

Kebalikan dari penyatuan simbiotik, yaitu cinta yang dewasa, adalah penyatuan dalam keadaan menjaga keutuhan diri, individualitas diri. Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri; kekuatan yang meruntuhkan tembok pemisah manusia dengan sesamanya, kekuatan yang menyatukan dia dengan manusia lain; cinta membuatnya mampu mengatasi rasa terasing dan terpisah, tapi membiarkannya menjadi diri sendiri, demi mempertahankan keutuhan dirinya. Dalam cinta terjadi paradoks bahwa dua insan menjadi satu tapi tetap dua.

 

Cinta adalah aktivitas, bukan afek pasif; cinta adalah keadaan “berada dalam”, bukan “jatuh”. Yang paling umum, karakter aktif cinta dapat digambarkan dalam pernyataan bahwa cinta itu memberi, bukan menerima.

 

Apakah memberi itu? Jawabannya tampak mudah, tetapi kenyataanya kerap ambigu dan kompleks. Banyak yang salah paham bahwa memberi sama dengan “menyerahkan” sesuatu, terampas, berkorban. Ada orang yang karakternya belum berkembang melampaui fase reseptif, eksploitatif, atau menimbun, maka dia bertindak memberi dalam cara ini. Orang dalam karakter dagang akan bersedia memberi, tetapi hanya sebagai ganti menerima; memberi tanpa menerima baginya berarti tertipu.

 

Orang-orang yang orientasi utamanya adalah orientasi non-produktif merasa memberi sama dengan pemiskinan. Karenanya, kebanyakan individu jenis ini tak senang memberi.  Beberapa orang berbuat kebaikan dengan memberi dalam perasaan berkorban. Bagi mereka, karena memberi itu menyakitkan, maka dia harus memberi; kebajikan memberi ada pada tindakan berkorban tersebut. Bagi mereka, norma bahwa lebih baik memberi daripada menerima, bermakna, lebih baik menderita kehilangan daripada mengalami kesenangan.

 

Bagi orang yang berkarakter produktif, memberi memiliki makna yang sepenuhnya berbeda. Memberi ialah ungkapan setinggi potensi. Dalam memberi, aku merasakan kekuatanku, kemakmuranku, kuasaku. Perasaan daya hidup dan potensi yang memuncak ini mengisiku dengan kegembiraan.

 

Kurasakan diriku dengan melimpah, lepas, hidup, karenanya aku gembira. Memberi lebih menggembirakan daripada menerima, bukan karena aku kehilangan, tapi karena dalam tindakan memberi ada ungkapan kehidupanku.

bersambung...
 

Baca selengkapnya »