sumber: CNN
Oleh: Alamsyah Taufik, seorang manusia yang menikmati hidup dengan frasa “Lebih baik dibodohi cinta daripada dibodohi negara”
“Menangis itu Indah” – Didi Kempot
Tepat satu tahun yang
lalu, Sang The Godfather of Broken Heart,
Imam Patah Hati Nusantara, dan kiblat bagi kami kaum Sadboys & Sadgirl dan Sobat Ambyar dalam beribadah cinta telah
tiada. Kepergiannya -seperti yang terdapat dalam lirik-lirik lagunya- adalah sebuah
tangisan yang menyisakan kenangan begitu mendalam dan tertambat erat dalam
palung perasaan.
Setahu dan sejauh pengamatan saya, hanya Didi Kempot yang mampu menciptakan gelombang fenomena Generasi Millenial dan Generasi Z bersatu-padu merayakan sakit hati secara massal dengan tembang lagu jawa dan iringan lagu campursari! Lihatlah jadwal Didi Kempot manggung, dan lihatlah betapa penuh-sesaknya pemuda-pemudi melayangkan jiwanya dalam alur lagu yang begitu memilukan dan lirik yang teramat menyayat hati dan jiwa!
Kehilangan sosok Didi
Kempot membuat saya amat terpukul dan sedih. Saya tidak kenal dengan Didi
Kempot secara personal. Saya juga tidak pernah menonton konser nya secara
langsung (dan inilah salah satu penyesalan dalam hidup saya), saya juga menjadi
penggemarnya beberapa tahun ini juga. Seingat saya, saya mengetahui beliau dari
kanal linimasa media sosial milik saya. Entah akun siapa yang menyebarkan video
lagu Didi Kempot saat itu, tapi yang pasti saya langsung jatuh cinta ke pada
lagu-lagunya. Tak hanya berhenti di situ, saya mencoba mengekplorasi lagu-lagu
beliau, dan mencoba untuk mencari jua arti dibalik lagu karya beliau. Kita
tahu, hampir semuanya karya-karya beliau ditembangkan dalam Bahasa Jawa.
Dionisius Prasetya,
atau lebih dikenal dengan nama Didi Kempot lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 31
Desember 1966. Didi Kempot merupakan putra dari seniman tradisional terkenal,
Ranto Edi Gudel yang lebih dikenal dengan Mbah Ranto. Didi Kempot merupakan
adik kandung dari Mamiek Prakoso, pelawak senior Srimulat. Lahir dari keluarga
seniman, tidak membuat Didi Kempot menjadi beban. Justru sebaliknya, di sinilah
Didi Kempot menemukan jati diri dalam kehidupannya, menapaki jejak langkahnya
serta tak butuh waktu lama untuk memantapkan hati dan jiwanya, bahwa seni adalah
roh dari pengembaraan hidupnya. Dan ini bukan sekadar intuitif belaka, tetapi
sepenuhnya diaktualisasikan hingga akhir hidupnya.
Sebelum memulai
karirnya menjadi musisi jalanan, Didi Kempot pada waktu sesi wawancaranya
bercerita, bahwa keputusan Ia tidak mudah diterima oleh keluarganya,
wabilkhusus ayahnya. Sebab, memilih seni dengan menjadi musisi jalanan
bertolak-belakang dengan darah seni ayahnya dan abangnya yang menjadi seniman
tradisional, terutama dalam panggung lawak srimulat. Bahkan ada waktu di mana
ia bertengkar dengan ayahnya, sebab Didi Kempot menjual sepeda hanya untuk
membeli gitar! Tak hanya itu, ia bahkan meradikalisasi proses tujuan hidupnya
dengan membuat keputusan untuk berhenti bersekolah hanya untuk menekuni jalan
hidupnya, yaitu seni bermusik!
Didi Kempot memulai
kariernya pada tahun 1984 sebagai musisi jalanan. Bermodalkan ukulele dan
kendhang, penyanyi kondang Didi Kempot mulai mengamen di kota kelahirannya
Surakarta, Jawa Tengah, selama tiga tahun. Pada tahun 1987 Didi Kempot memulai
kariernya di Jakarta. Ia kerap berkumpul dan mengamen bersama teman-temannya di
daerah Slipi, Palmerah, Cakung, maupun Senen. Mulai dari situ, julukan
"Kempot" yang merupakan kependekan dari "Kelompok Pengamen
Trotoar" terbentuk, yang menjadi nama panggungnya hingga saat ini.
Entah sudah berapa
judul yang ia ciptakan (konon sampai 800 lagu!). Menurutnya, saking banyaknya
lagu yang ia ciptakan, sampai ia lupa bahwa itu memang lagu yang pernah ia
cipta! Lebih dari 90 persen bertema lara hati: entah perpisahan, cinta yang tak
bersambut, bertepuk sebelah tangan, cinta beda kasta sosial, cinta terhalang
tembok kemiskinan, dikhianati janji, atau
bahkan ditinggal nikah! Ngenes, lur!
Betul memang, banyak seniman musik yang menciptakan lagu bertemakan pedihnya cinta, tetapi yang membedakan dari Didi Kempot adalah, ia menciptakan lagu dengan gaya menulis memakai bahasa sederhana, bahasa sehari-hari masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah. Meski bahasa Jawa, tetapi seluruh lapisan masyarakat manapun tak akan sulit menterjemahkannya, sebab telinga kita tak asing lagi mendengar kalimat-kalimat yang termaktub dalam lirik lagu-lagu Didi Kempot. Bahasa-bahasa itulah yang kadung selalu terdengar bila kita mengunjungi ke segala tempat: pasar, terminal, warung kopi, angkot, tukang sayur, atau para pedagang-pedagang lainnya.
Kita akrab dengan bahasa yang diucapkan oleh Didi
Kempot. Didi Kempot sadar betul, bahwa fungsi bahasa bukan sekadar petunjuk
identitas belaka, tetapi ia berhasil menangkap pandangan jauh, bahwa bahasa
adalah koherensi dari pelbagai kehidupan segala sisi manusia. Ia mampu
mendobrak segala perbedaan-perbedaan yang selama ini bersekat: Suku, Ras,
Etnis, Agama, bangsa, dan negara. Ia sanggup melampaui itu semua.
Pun dalam penciptaan
lagu-lagunya. Selain bahasa, Ia juga sangat mampu membaca dan menembus batiniah
dan lahiriah bagi para pendengar, terutama dalam pengalaman maupun realitas
yang pahit dan ambyar dunia percintaan yang terjadi pada seseorang tersebut.
Pengkhianatan cinta, kasih tak sampai, menunggu kekasih yang tak kembali,
sampai ditinggal nikah belahan jiwa. Ia dengan cermat berhasil memadukan segala
duka cinta insan manusia dengan bahasa yang sederhana, dan iringan musik kental
budaya menjadi satu kesatuan makna: kepedihan cinta bukan berarti menyerah pada
semuanya, tetapi rehatkan jiwa dan tetap melangkah, serta jangan terlarut dalam
sendu berkepanjangan, alngkah baiknya kita jogeti saja supaya hati riang, sebab
di situ ada harapan akan cinta yang indah tepat berada pada cahaya di ujung
sana.
Bukan hanya kecerdasan
seni bermusik yang menjadikan ia sebagai: “The
Godfather of Brokenheart”, tetapi kepekaan terhadap akar kenyataan yang
membuat ia mampu menelanjangi fenomena dunia percintaan: bahwa ada “invisible
hand” yang bermukim pada tali percintaan dua insan manusia. Seperti yang kita
ketahui, ketulusan dan kemurnian cinta seseorang bukanlah jaminan seseorang menggapai
kesejatian cintanya, ada hal-hal yang berwujud salah satunya
kapitalisme-metafisis yang menjadi penghalang atau tembok yang amat besar yang
sulit dihancurkan, bahkan dilompati sekalipun.
Coba perhatikan lirik
berikut:
Cidro
janji tegane kowe ngapusi
Nganti
seprene suwene aku ngenteni
Nangis
batinku nggrantes uripku
Teles
kebes netes eluh neng dadaku
Mencederai janji
teganya engkau membohongi
Sampai saat ini aku
lama menanti
Tangis batinku terluka
hidupku
Basah menetes air mata
di dadaku
Atau coba perhatikan
lirik dalam lagu cidro:
Kowe
nganti tego mblenjani janji
Opo
mergo kahanan uripku iki
Mlarat
bondo seje karo uripmu
Aku
nelongso mergo kebacut tresno
Kau sampai tega
mengingkari janji
Apa karena keadaan
hidupku ini
Miskin harta benda
dibanding hidupmu
Aku merana karena
telanjur cinta
Lirik dalam lagu cidro ini mewakili perasaan saya –dan banyak manusia lainnya- yang pernah atau sedang terjadi dalam kisah cinta yang ngehek ini. Didi Kempot menyadari, bahwasanya di dunia ini, perpisahan cinta terjadi bukan hanya ketiadaan cinta semata, tetapi dipengaruhi dengan hadirnya komoditas-komoditas bendawi yang membuat disparitas antara layak dan tidak layak dalam hal mencintai, mana yang harus dipilih apakah orang yang mempunyai privilege atau tidak, mana yang kaya dan mana yang miskin, dan sebagainya dan sebagainya. Inilah yang dirasakan oleh Didi Kempot sekaligus memberi pemahaman kepada orang lainnya: cinta berdasarkan harta bukan hanya memisahkan arti cinta sesungguhnya, tetapi mereduksi cinta sesungguhnya menjadi sekadar benda-benda yang tampak di muka saja.
Cinta adalah adiluhung,
murni, tulus, serta keindahan yang tidak hanya tampak di luar, tetapi tampak
juga yang ada di dalam. Bila cinta berdasarkan harta bendawi saja, bayangkan,
bila harta bendawi itu musnah, musnah jugalah cinta itu! tetapi, bila kira kita
merasakan cinta mendalam, dengan segenap ketulusan , dan mencintai dengan
sepenuhnya segala yang ada dalam eksistensi orang yang kita cintai, percayalah
dalam keadaan apapun, katakanlah langit runtuh, cinta akan tetap berdiri tegak!
Jadi, sudah sewajarnya, bagi para pendengar dan penggemarnya, yang menonton secara langsung maupun hanya lewat media sosial, seperti adanya keterikatan kedekatan emosional yang kuat, airmata secara tak sadar menitik, atau kalau boleh jujur, membanjiri pipi dan seluruh wajah. Melihat, mendengar, dan menyanyi lagu-lagu Didi Kempot, seperti menimbulkan auratik. Aura adalah momen pertemuan antara subjek dengan sebuah benda, dan objek itu seolah memandang balik kepada subjek. Atau boleh menyebutnya sebagai memori tak sengaja (memorie involotaire).
Memori ini muncul
pada saat yang langka, karena ini lebih merupakan memori paling dasar dari
manusia; sebuah memori purba. Menonton Didi Kempot, mau tidak mau, suka atau
tidak suka, menarik history-line kenangan kita yang terdahulu, dan memaksa kita
untuk bertekuk lutut pada hamparan kenangan-kenangan yang pahit dan
menyakitkan.
Selain mendapat
pemahaman dari Didi Kempot mengenai bahayanya cinta ala borjuasi-kapitalistik,
saya juga menangkap bahwa Didi Kempot menampar keras para orang yang berpegang
teguh dengan maskulinitas. Orang-orang yang membanggakan dengan seluruh mitos
ke-laki-laki-an-nya, ke-macho-an-nya, bahwasanya laki-laki tidak boleh
menangis, sebab itu adalah cengeng, lanjut menambahkan dengan kalimat “perempuan
banyak ngapain nangis cari aja gak usah cengeng dan lemah dan bla bla bla…”. Di
tengah budaya maskulinitas toksik, Didi Kempot mampu mengajarkan bahwa tidak
apa-apa untuk kita (khususnya laki-laki) menangis, bersedih, dan menerima
kerentanan diri kita. Sebab laki-laki adalah manusia, dan manusia tidak pernah
lepas dari perasaan.
Begitulah kira-kira Didi Kempot. Dengan segala keterbatasan dalam tulisan ini, tentu masih banyak yang harus digali lagi mengenai makna filosofis kehidupan seni dan cinta darinya. Oh ya, saya juga tak gentar mengatakan, bahwa Didi Kempot selain sangat cerdas dalam memaknai cinta dengan seni, juga peka dan lihai mempreteli pereduksian cinta dari basis material ala Karl Marx. Seni mencintai, adalah ketulusan dan ketabahan, juga tanpa pamrih, tanpa dendam, tanpa sumpah-serapah. Bila di Jerman ada filsuf bernama Erich Fromm, saya tak segan mengatakan bahwa di Solo juga ada filsuf bernama Didi Kempot.
Selamat jalan Pakde Didi Kempot. Terima kasih atas segala semua karya-karyamu, lagu-lagumu, serta liriknya, yang membuat hati dan mata ini selalu menangis. Terima kasih Pakde, engkau memberikan ilham pada kami semua, bahwasanya, kita sebagai manusia, baik laki-laki dan perempuan, tak usah malu untuk menangis, apalagi menangisi persoalan cinta. Sebab, menangis itu indah, bukan?