Oleh: Aamira Dihyani Santosa, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta
Manusia bertindak
untuk kepentingan pribadi mereka sendiri. Mereka bertindak karena didorong oleh
suatu keinginan untuk melayani “aku” atau “sang diri”. Dalam arti lain, setiap
manusia memiliki ego di dalam dirinya. Pernahkah terlintas dalam benak Anda,
bagaimana cara ego bekerja dalam diri tiap-tiap individu? Kemudian, muncul
pertanyaan, apakah sifat egois adalah sifat buruk yang keberadaannya dalam diri
harus dimusnahkan? Apakah sifat altruisme adalah sesuatu yang bertentangan
dengan egoisme?
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, terlebih dahulu perlu dipahami makna keduanya. Egoisme
berasal dari kata “ego”, yang merupakan bahasa latin untuk “aku”. Hal ini
berkaitan erat dengan “narsisme” atau “mencintai diri sendiri”. Paham atau
sifat yang menempatkan diri sendiri di atas orang lain. Sifat egois hidup
berdampingan dengan kepentingan dirinya sendiri, serta tidak peduli pada
penderitaan orang lain. Sementara
“altruisme” adalah sifat lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang
lain berlandaskan pelbagai faktor seperti empati, respons otak, lingkungan,
hingga norma sosial.
Suatu perilaku
digambarkan sebagai altruistik ketika dimotivasi oleh keinginan untuk
menguntungkan orang lain selain diri sendiri. Tindakan altruistik tidak hanya
dilakukan untuk berbuat baik kepada orang lain, tetapi juga yang dilakukan
untuk menghindari atau mencegah kerugian bagi mereka. Istilah ini digunakan
sebagai kebalikan (antonim) dari "mementingkan diri sendiri" atau
"egois". Pada dasarnya, altruisme merupakan lawan dari kata-kata yang
diterapkan pada perilaku yang hanya dimotivasi oleh keinginan untuk
menguntungkan diri sendiri.
Kajian mengenai filsafat “Egoisme” dibahas oleh Johann Kaspar Schmidt atau lebih dikenal dengan nama samarannya Max Stirner, seorang filsuf jerman dan kritik sosial. Ia terkenal dengan teorinya tentang individualisme radikal, terutama individualisme anarkis, dan sebagai salah satu pendahulu nihilisme, eksistensialisme, teori psikoanalitika, dan pascamodernisme. Karya terpenting Stirner adalah buku berjudul "Individu dan Miliknya” atau “The Ego and His Own”.
Di dalamnya, Ia
menulis tentang ego empiris yang terbatas, yang dia lihat sebagai kekuatan motif
dari setiap tindakan manusia. Bagi Stirner, setiap manusia unik dan
bebas dari segala sesuatu yang mengikat atau mengekangnya, yang bernilai
hanyalah diri manusia itu sendiri. Sehingga, segala bentuk peraturan dan hukum,
paham-paham religius, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya dianggap sebagai
sebuah ilusi dan hipnosis bagi masyarakat.
Max Stirner
berpendapat bahwa egoisme mendorong manusia untuk mementingkan diri sendiri,
kurang moral, dan menginginkan otonomi pribadi total. Setiap individu bertindak
dengan cara mereka sendiri tanpa ada batasan yang dikenakan pada mereka.
Stirner mengatakan, bahwa egois menolak mengejar pengabdian pada "ide
bagus, tujuan baik, doktrin, sistem, panggilan luhur". Egois berarti
"hidup sendiri" tanpa memperhatikan "seberapa baik atau buruknya
kemanusiaan dapat terjadi dengan demikian".
Stirner memiliki konsep
"properti egois" yang mengacu pada tidak adanya batasan moral tentang
bagaimana individu menggunakan segala sesuatu di dunia, termasuk orang lain. Konsep ini dapat juga diartikan
sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan peningkatan kekuatan dan kesenangan
diri. Seperti kutipan klasik dari bukunya The
Ego and its Own, “Kekuatan saya adalah milik saya. Kekuatan saya memberi
saya properti. Kekuatan saya adalah saya sendiri, dan melalui itu saya adalah
milik saya."
Gagasan lain yang dipercaya mengenai egoisme adalah Union of Egoist. Gagasan ini adalah gagasan metaforis suatu pengorganisasian menurut Stirner. Persatuan egois adalah antar egois yang berhubungan satu sama lain berdasarkan kemauan murni mereka. Untuk mengikuti Persatuan ini, diperlukan partisipasi yang lahir dari egoisme dalam diri setiap anggotanya.
Konsep ini merupakan paradoks dari apa yang selama ini
kita yakini mengenai konsep persatuan dan kesatuan, di mana jika kita bersatu
maka kita tidak akan menjadi pribadi yang egois. Konsep persatuan
kaum egois dicetuskan Stirner, pertama kali
dituliskan dalam Ego dan Dirinya Sendiri.
Ide ini telah banyak diinterpretasikan untuk digunakan dalam politik,
ekonomi, serta konsep percintaan, dan seks.
Menjawab pertanyaan “Apakah altruisme bertentangan atau merupakan lawan dari egoisme?” Jawabannya adalah tidak. Stirner berpendapat bahwa altruisme adalah bentuk egoisme dengan dirinya sendiri. Ia mengatakan, altruisme adalah sebuah paham setiap wujud kerja sama dan masyarakat dibuat karena ego kita berfungsi dengan cara tertentu. Mengapa kita ingin bekerja bersama orang lain? Alasannya, adalah untuk kepentingan kita sendiri.
Ini merupakan bagian dari egoisme itu sendiri, untuk memahaminya sama
sekali tidak rumit. Keliru, jika
kita menyebut egoisme sebagai lawan dari altruisme. Egoisme bukanlah penolakan
dari altruisme. Egoisme dapat berarti merangkul ego yang ada di dalam diri kita
semua dan hidup untuk diri kita sendiri, juga untuk menghargai setiap ego,
keunikan, dan kepribadian satu sama lain.
Dalam bukunya, Max Stirner meluruskan pandangan-pandangan sesat mengenai egoisme dan orang-orang yang jatuh ke dalamnya. “Saya juga dapat mencintai -bukan hanya individu, tetapi setiap orang-. Tapi, saya mencintai mereka dengan kesadaran egoisme; Saya mencintai mereka, karena cinta membuat saya bahagia, saya mencintai karena cinta itu wajar bagi saya, karena itu menyenangkan saya. Saya tidak tahu "firman cinta".
Saya memiliki rasa simpati pada setiap keberadaan
perasaan, dan siksaan yang tersiksa, kesegaran mereka menyegarkan saya juga;
Saya bisa membunuh mereka, bukan hanya menyiksa mereka”. Egoisme yang
menjustifikasi pemerkosaan, penyiksaan, hingga pembunuhan adalah sekian banyak
dari pandangan atau paham sesat mengenai konsep egoisme itu sendiri.
Analisis egoisme dapat
digunakan untuk memahami timbulnya suatu konflik. Contoh konkretnya adalah
konflik kelas dan cara dari para borjuis menggunakan spooks untuk menghalangi ego kelas pekerja dan memaksa mereka,
hingga mereka tunduk karena telah mempercayai spook tersebut. Spook
sendiri adalah konstruksi sosial, konsep abstrak yang dibuat oleh masyarakat
tanpa basis material, bagian dari imajinasi. Spook dapat merujuk pada “hantu” atau “mata-mata”.
Spook ada di sekitar kita
semua, di bawah liberalisme AS, etno-nasionalisme Korea Utara, hingga konsep
nasionalisme adalah spook.
Sederhananya, seluruh gagasan tentang negara adalah spook atau suatu batasan yang telah dirancang. Semua spook diciptakan oleh kemanusiaan,
tujuan utamanya adalah sebagai kekuatan dan tujuan politik, untuk mencegah ego,
dan untuk mencegah kebebasan individu.
Analisis egoisme
memberikan kita penerangan mengenai banyak hal yang sebelumnya tak kita sadari
atau pahami sebelumnya. Salah satunya, adalah kemampuan manusia untuk
menyesuaikan diri dalam suatu masyarakat dan bagaimana para union of egoist berhubungan atau bekerja
sama atas kemauan mereka sendiri demi meraih keuntungan pribadi. Analisis egois
secara bersamaan menjelaskan mengapa kita tidak hanya egois, tetapi juga
altruistik.
Analisis ini, menyadarkan kita bahwa sifat egois tidak harus dipandang sebagai suatu keburukan. Namun, dipandang sebagai pendorong individu untuk bertindak atau berperilaku sesuai dengan ego yang dimilikinya masing-masing, dan itu tidak seluruhnya adalah buruk.
Dengan menyelaraskan antara ego dan altruisme dalam diri kita, maka akan tercapai tujuan baik, sesuai dengan yang diharapkan dan memberikan kontribusi kepada masyarakat.