Memetakan Makna "'Ikhlas" Sebagai Rencana Allah yang Lebih Indah

 


Oleh: Fatin Az Zahra, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta


Bismillahirrahmanirrahim.

 

   Di saat manusia berada dalam titik terendahnya, akankah dia dapat memahami hikmah atas keadaan tersebut? Bercermin pada diri sendiri saja, terkadang sikap tawakal tak terjelma, melainkan paradigma "menyalahkan-Nya" lebih terhegemonisasi, seakan menjajah pemikiran serta menutup pintu keikhlasan. Namun sejatinya, semua suratan sudah dalam skenario-Nya, tentang apa yang diharapkan tidak bisa selalu menjadi kenyataan. Serta tentang kerasnya kehidupan yang terkadang menguji keimanan dan kesabaran.

 

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kesabaran yang sempurna adalah saat manusia tertimpa musibah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Ketika kita berkaca pada kedudukan, siapakah manusia sebenarnya? Jika menganalogikan semesta ini mempunyai komponen sinematografi, maka di situ, manusia hanyalah tokoh yang memerankan pelbagai macam watak. Allah lah ibarat sutradara yang mengatur semua lika-liku kisah dalam naskah takdir yang telah diciptakan, tertuang dalam Lauhul Mahfudz. Lantas, apa yang diragukan kembali? Memandang stigma atas Dia yang kita sembah,  membalikkan euforia kebencian yang mendalam, menjauhi, dan mengingkari adalah cara yang teranggap jauh dari kata lumrah. Maka, tetap berhusnudzon kepada-Nya atas naskah takdir yang mencapai klimaks ini, karena kita tidak tahu kapan resolusi akan jatuh tempo.

 

Atas doa yang tak kunjung terkabul, harap yang tak terbalas; terbantah oleh takdir, dan kesulitan yang datang bertubi-tubi. Mengenai itu, Al-Qur'an sudah siapkan penyembuh (asy-syifa) serta nasihat (mau'izhah) untuk kita agar tetap berhusnudzon kepada Allah. Dalam Q. S. Al-Baqarah/2: 216, Allah SWT. berfirman:

 

وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

 

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui".

 

Dalam ayat tersebut, mengingatkan kita pada suatu kaidah yang agung atas salah satu pokok iman yaitu, “beriman kepada qadha dan qadar”. Allah Maha Mengetahui atas segala apa pun. Terutama, segala hal yang terbaik untuk kita. Maka, kita harus meletakkan kepercayaan dan harapan tertinggi pada Allah, sebab hanya kepada-Nya lah kita bergantung. Allah tahu cara mendekatkan kita pada takdir yang baik dan menjauhkan sesuatu yang akan berdampak buruk bagi kita. Tidak sedikitpun kita akan dirugikan dan disakiti atas takdir dari-Nya. Sebagai jaminan, Allah akan membalas semua rasa getirnya kehidupan dengan rencana-Nya yang lebih indah.

 

Ada suatu kisah dari Ummu Salamah radhiyallahu‘anha yang ditinggal wafat oleh suaminya Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah, lalu ia mengucapkan doa yang diperintahkan oleh Allah:

 

 إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

  

"Sesungguhnya kami milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, limpahkan pahala kepadaku atas musibah yang menimpaku dan berikanlah gantinya yang lebih baik."

 

Begitulah Ummu Salamah menjalankan apa yang diperintahkan saat menerima musibah yaitu dengan bersabar, membaca istirja’ (kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) dan mengucapkan doa di atas, maka Allah menggantinya dengan yang terbaik, bahkan hal yang tidak ia bayangkan sebelumnya.

 

Ada sebuah syair yang mengisyaratkan bahwa manusia tidak bisa membuat ketetapan, hanyalah sebuah “rencana” sebagai batas kemampuannya.  Berikut cuplikan syairnya:

 

عَلَى الْمَرْءِ أَنْ يَسْعَى إِلَى الْخَيْرِ جُهْدَهُ

وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ تَتِمَّ الْمَقَاصِدُ

 

“Seseorang seharusnya berusaha sekuat tenaganya mendapatkan kebaikan.


Tetapi, ia tidak akan bisa menetapkan keberhasilannya.”

 

Lain hal, ada seorang filsuf sekaligus psikolog asal New York, William James, yang mengatakan bahwa terkadang cacat yang kita derita justru dapat membantu kita meraih prestasi sehingga sampai pada titik yang tidak terduga. (Subur, 2008, 99 ideas happy for life). Pernyataan tersebut jika diimportasikan dan diinterpretasi maknanya, mengisyaratkan kepada kita untuk mengingat bahwa pada hakikatnya Allah tidak memberikan nikmat hanya melalui keadaan bahagia, melainkan juga dalam penderitaan.


Dengan hadirnya kesulitan dapat menjadikan diri kita sebagai insan yang tahan banting, sehingga atas segala sesuatu nantinya, hati sudah siap menerima untuk berserah diri. Atas rasa pahit itulah, akan datang keajaiban yang tak akan terduga oleh pemikiran kita. Karena sesungguhnya, ketetapan-Nya melebihi batas spekulasi kita.

 

Dalam menafsir hal tentang ujian hidup, tentunya Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kesanggupan hamba-Nya, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Q. S. Al-Baqarah: 286

 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَـــــــا

"Allah tak membebani hamba kecuali menurut kemampuannya."

 

Sebagai ayat penutup, ada penggalan QS. An-Nisa: 19, Allah berfirman:

 

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

 

“Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

 

Begitulah, tentang apa yang dipandang dan dipahami manusia tidak akan mampu menalar jalan cerita yang Allah rancang. Jika kita membenci atas ketetapan yang diberikan oleh Allah, lihatlah keagungan-Nya. Maka, tidak ada keraguan mengenai rencana indah yang akan datang atas hadirnya cobaan yang pedih.


Ketahuilah, dalam menciptakan dan menghancurkan alam semesta saja mudah bagi Allah. Tentunya, takdir kehidupan kita hanyalah sebagian kecil dari genggaman-Nya, mudah bagi Allah untuk menyembuhkan serta mengembalikan kebahagiaan yang sebelumnya diangkat.

 

Wallahu A'lam Bishawab.

Memetakan Makna "'Ikhlas" Sebagai Rencana Allah yang Lebih Indah