Darurat Kurikulum Lingkungan Hidup di Sekolah!

 


Oleh: Indira Gusti Amiraditia, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta


     Senin pagi, 13 Januari tahun 2020 silam, Salsabila Khairunisa, kakak kelas saya di SMA, telah bolos sekolah demi menuju ke Gedung Manggala Wanabakti di Jakarta Pusat. Ia membentangkan sepotong kardus bertuliskan 'Mogok Sekolah Untuk Hutan' tepat di muka pintu Menteri Siti Nurbaya berkantor.

 

Tak sampai dua jam berdiri di depan gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Abil dikerubuti satpam dan polisi dari Polres Tanah Abang. Ia dicecar tentang maksud dari aksinya.

 

Selang tiga hari, tepatnya 17 Januari 2020, remaja yang biasa disapa dengan sebutan Abil ini kembali datang dan lagi-lagi diusir. Awalnya dia berkeras tak mau pulang, namun belakangan dia mengalah dengan berdemonstrasi di luar gedung. (https://www.bbc.com/indonesia/majalah-55120379).

 

Mungkin, sebagian kita, pelajar maupun masyarakat umum akan berpikir dan berkomentar demikian, “Ngapain bocah sekolah bolos demi demo sendirian? Mendingan sekolah yang benar deh.” Atau dengan kalimat, “Yailah capek doang, toh juga kagak didenger oleh pemerentah.” Dan kalimat bernada ejekan serta cemoohan lainnya. Tetapi, tidak dengan Abil, yang bukan hanya mengabaikan perkataan orang-orang, lebih daripada itu, ia bahkan menerabas jalan hidupnya sendiri; Keluar dari sekolah!

 

Bayangkan, keluar dari sekolah demi menuntut negara untuk berhenti mengeksploitasi hutan dan penghancuran hutan! Benar-benar tak disangka. Sontak membuat riuh keluarga, kawan-kawannya, dan sekolah!

 

Pertanyaan yang paling dasar adalah, mengapa harus keluar dari sekolah? Menurut Abil dalam sebuah acara di Centennial Ideas bulan Januari lalu ia menegaskan, “Sistem pendidikan adalah penjajahan”. Dari situlah ia mulai bersama kawan-kawannya seperti mengalami “Kesadaran Bersama”, artinya tidak lain adalah sebagai pelajar ia tersadar bahwasanya, negara, dan bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Apalagi, ditambah dengan Undang-Undang Omnibus Law yang berdampak pada kerusakan dan kehancuran lingkungan hidup. Di sekolah, lanjut Abil, hanya mengajarkan sedikit atau bahkan jauh dari dasar mengenai “Deforestasi Hutan”. Hanya sekadar teori, “Hutan ditebangi, bisa untuk dibangun infrastruktur, tapi bisa juga itu berdampak buruk buat lingkungan” tapi tidak secara radikal, “Dampak kehidupan hari ini dan dampaknya terhadap kehidupan kami di masa depan”. (https://www.youtube.com/watch?v=LLxwYWKlRXk).

 

Seperti yang kita tahu, Dana Lingkungan Hidup, World Wildlife Fund, memprediksi Kalimantan akan kehilangan 75 persen luas wilayah hutannya pada 2020 menyusul tingginya laju deforestasi. Hal itu diungkapkan dalam laporan tahunan mengenai situasi lingkungan di kalimantan yang dipublikasikan WWF Indonesia dan Malaysia. Dari sekitar 74 juta hektar hutan yang dimiliki Kalimantan, hanya 71% yang tersisa pada 2005. Sementara jumlahnya pada 2015 menyusut menjadi 55%. Jika laju penebangan hutan tidak berubah, Kalimantan diyakini akan kehilangan 6 juta hektar hutan hingga 2020, artinya hanya kurang dari sepertiga luas hutan yang tersisa. Hutan basah Kalimantan yang menjadi habitat alami bagi berbagai jenis satwa adalah yang paling terancam oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, penambangan dan pertanian. Menurut WWF Kalimantan akan kehilangan 10-13 juta hektar hutan antara 2015 hingga 2020. (https://www.dw.com/id/wwf-kalimantan-bakal-kehilangan-75-persen-hutan-pada-2020/a-39124270)

 

Itu baru sebagian dari Kalimantan ya, belum Sulawesi, Sumatera, Jawa, dan Papua. Dan kita, tidak tau apa yang terjadi dengan kehidupan kelak bila kerusakan, penghancuran, dan eksploitasi alam secara besar-besaran terus terjadi! Mungkin, anak cucu kita tidak akan bisa lagi menikmati udara segar, laut bersih, hutan lebat nan asri, dan pemandangan dunia yang begitu indah dan megah.

 

Lantas, bagaimana alternatif untuk melawan dan menahan laju kerusakan alam dan hutan tersebut? Sebab, konservasi adalah omong-kosong, tidak akan dapat mengubah apapun sebab masih terjangkitnya irisan kolonialis dan kapitalis. Berangkat dari pernyataan Abil, bagaimana dimulai dari Pendidikan Sekolah? Bagaimana kalau kurikulum negara kita mewajibkan isu-isu lingkungan, peraturan untuk setiap minggu sekali menanam pohon misalnya, atau bersama-sama mengkampanyekan hidup bersih mulai dari buang sampah di tempatnya, mengumpulkan sampah di sekitar sekolah, mengadakan sosialisasi kehutanan dan kelautan, dan sebagainya.

 

Saat ini, seharusnya sekolah-sekolah mengkorelasikan kurikulum yang ada dengan isu lingkungan alam atau muatan lokal yang ada di Indonesia seperti perubahan iklim, banjir, dan sebagainya sehingga para peserta didiknya dapat berwawasan lokal dan lebih peduli  terhadap keadaan lingkungan.

 

Seperti yang kita ketahui daerah-daerah di Indonesia memiliki kearifan lokalnya masing-masing. Sehingga, perlu penyesuaian untuk mengendalikan hal tersebut. Sampah plastik di Indonesia telah menjalar hingga ke daerah-daerah terpencil. Namun, sampah tersebut berasal dari pusat kota. Masyarakat masih belum meningkatkan kesadarannya terhadap jenis-jenis sampah di Indonesia. Jumlah penggunaan sampah plastik masih sangat tinggi. Mereka yang belum teredukasi masih menggunakan teknik ‘membakar sampah plastik’ tanpa mengetahui dampaknya.

 

Dengan cara membakar sampah di sembarang tempat memungkinkan terjadinya pengurangan potensi lahan di Indonesia.Karena lahan yang kita miliki sebagai negara di daerah tropis merupakan tanah yang berpotensi tinggi untuk ditanami. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan para pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke pulau Kalimantan, karena disebutkan bahwa DKI Jakarta mengalami penurunan jumlah tanah yang menyebabkan kota ini mungkin akan tenggelam nantinya.

 

Banyak orang yang beranggapan bahwa membakar sampah di sembarang lahan lebih mudah dan murah dibandingkan melalui proses menggunakan mesin yang memerlukan banyak biaya. Seharusnya, pemerintah bisa mengakomodasikan fasilitas pendauran ulang sampah dan mencontohkan sikap ramah lingkungan sebagai teladan para masyarakat. Di satu sisi, masyarakat juga harus berusaha sebisa mungkin menerapkan campaign zero waste’ atau mengurangi penggunaan sampah plastik dan mendaur ulangnya untuk dijadikan hal-hal yang lebih bermanfaat dari sekadar menjadi limbah sehingga angka penggunaan sampah plastik bisa ditekan jumlahnya.

 

Anggaran negara yang jarang kita ketahui penggunaannya juga ternyata dominan digunakan untuk membeli lahan. Padahal, seharusnya anggaran ini bisa dialihkan ke sektor pendidikan sehingga masyarakat yang di daerah pelosok pun bisa tersosialisasi dan terbuka matanya terhadap apa yang terjadi di negaranya serta mampu meningkatkan awareness mereka yang nantinya bisa membantu menyelesaikan isu-isu lingkungan dan mencegahnya terjadi lagi di kemudian hari.

 

Kehidupan kita sangat bergantung terhadap interaksi kita dengan lingkungan. Bila terus acuh tak acuh dan berlaku semaunya, sulit untuk kita mencapai kehidupan yang sehat. Menurut saya, itu semua bisa dimulai dari sekarang dengan cara menerapkan kurikulum ingkungan alam yang diperlukan dalam rangka membentuk karakter siswa sebagai generasi penerus bangsa yang mencintai lingkungan sekitar.

Darurat Kurikulum Lingkungan Hidup di Sekolah!