Senin pagi, 13 Januari tahun 2020 silam, Salsabila
Khairunisa, kakak kelas saya di SMA, telah bolos sekolah demi menuju ke Gedung
Manggala Wanabakti di Jakarta Pusat. Ia membentangkan sepotong kardus
bertuliskan 'Mogok Sekolah Untuk Hutan' tepat di muka pintu Menteri Siti
Nurbaya berkantor.
Tak sampai dua jam berdiri di depan gedung
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Abil dikerubuti satpam dan polisi
dari Polres Tanah Abang. Ia dicecar tentang maksud dari aksinya.
Selang tiga hari, tepatnya 17 Januari 2020, remaja
yang biasa disapa dengan sebutan Abil ini kembali datang dan lagi-lagi diusir.
Awalnya dia berkeras tak mau pulang, namun belakangan dia mengalah dengan
berdemonstrasi di luar gedung. (https://www.bbc.com/indonesia/majalah-55120379).
Mungkin, sebagian kita, pelajar maupun masyarakat
umum akan berpikir dan berkomentar demikian, “Ngapain bocah sekolah bolos demi
demo sendirian? Mendingan sekolah yang benar deh.” Atau dengan kalimat, “Yailah
capek doang, toh juga kagak didenger oleh pemerentah.” Dan kalimat bernada
ejekan serta cemoohan lainnya. Tetapi, tidak dengan Abil, yang bukan hanya
mengabaikan perkataan orang-orang, lebih daripada itu, ia bahkan menerabas
jalan hidupnya sendiri; Keluar dari sekolah!
Bayangkan, keluar dari sekolah demi menuntut negara untuk
berhenti mengeksploitasi hutan dan penghancuran hutan! Benar-benar tak
disangka. Sontak membuat riuh keluarga, kawan-kawannya, dan sekolah!
Pertanyaan yang paling dasar adalah, mengapa harus
keluar dari sekolah? Menurut Abil dalam sebuah acara di Centennial Ideas bulan
Januari lalu ia menegaskan, “Sistem pendidikan adalah penjajahan”. Dari situlah
ia mulai bersama kawan-kawannya seperti mengalami “Kesadaran Bersama”, artinya
tidak lain adalah sebagai pelajar ia tersadar bahwasanya, negara, dan bangsa
ini sedang tidak baik-baik saja. Apalagi, ditambah dengan Undang-Undang Omnibus
Law yang berdampak pada kerusakan dan kehancuran lingkungan hidup. Di sekolah,
lanjut Abil, hanya mengajarkan sedikit atau bahkan jauh dari dasar mengenai “Deforestasi
Hutan”. Hanya sekadar teori, “Hutan ditebangi, bisa untuk dibangun
infrastruktur, tapi bisa juga itu berdampak buruk buat lingkungan” tapi tidak
secara radikal, “Dampak kehidupan hari ini dan dampaknya terhadap kehidupan
kami di masa depan”. (https://www.youtube.com/watch?v=LLxwYWKlRXk).
Seperti yang kita tahu, Dana Lingkungan Hidup, World
Wildlife Fund, memprediksi Kalimantan akan kehilangan 75 persen luas wilayah
hutannya pada 2020 menyusul tingginya laju deforestasi. Hal itu diungkapkan
dalam laporan tahunan mengenai situasi lingkungan di kalimantan yang
dipublikasikan WWF Indonesia dan Malaysia. Dari sekitar 74 juta hektar hutan
yang dimiliki Kalimantan, hanya 71% yang tersisa pada 2005. Sementara jumlahnya
pada 2015 menyusut menjadi 55%. Jika laju penebangan hutan tidak berubah,
Kalimantan diyakini akan kehilangan 6 juta hektar hutan hingga 2020, artinya
hanya kurang dari sepertiga luas hutan yang tersisa. Hutan basah Kalimantan
yang menjadi habitat alami bagi berbagai jenis satwa adalah yang paling
terancam oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, penambangan dan pertanian.
Menurut WWF Kalimantan akan kehilangan 10-13 juta hektar hutan antara 2015
hingga 2020. (https://www.dw.com/id/wwf-kalimantan-bakal-kehilangan-75-persen-hutan-pada-2020/a-39124270)
Itu baru sebagian dari Kalimantan ya, belum
Sulawesi, Sumatera, Jawa, dan Papua. Dan kita, tidak tau apa yang terjadi
dengan kehidupan kelak bila kerusakan, penghancuran, dan eksploitasi alam
secara besar-besaran terus terjadi! Mungkin, anak cucu kita tidak akan bisa lagi
menikmati udara segar, laut bersih, hutan lebat nan asri, dan pemandangan dunia
yang begitu indah dan megah.
Lantas, bagaimana alternatif untuk melawan dan
menahan laju kerusakan alam dan hutan tersebut? Sebab, konservasi adalah
omong-kosong, tidak akan dapat mengubah apapun sebab masih terjangkitnya irisan
kolonialis dan kapitalis. Berangkat dari pernyataan Abil, bagaimana dimulai
dari Pendidikan Sekolah? Bagaimana kalau kurikulum negara kita mewajibkan isu-isu
lingkungan, peraturan untuk setiap minggu sekali menanam pohon misalnya, atau
bersama-sama mengkampanyekan hidup bersih mulai dari buang sampah di tempatnya,
mengumpulkan sampah di sekitar sekolah, mengadakan sosialisasi kehutanan dan
kelautan, dan sebagainya.
Saat
ini, seharusnya sekolah-sekolah mengkorelasikan kurikulum yang ada dengan isu lingkungan
alam atau muatan lokal yang ada di Indonesia seperti perubahan iklim, banjir, dan
sebagainya sehingga para peserta didiknya dapat berwawasan lokal dan lebih
peduli terhadap keadaan lingkungan.
Seperti
yang kita ketahui daerah-daerah di Indonesia memiliki kearifan lokalnya
masing-masing. Sehingga, perlu penyesuaian untuk mengendalikan hal tersebut. Sampah
plastik di Indonesia telah menjalar hingga ke daerah-daerah terpencil. Namun,
sampah tersebut berasal dari pusat kota. Masyarakat masih belum meningkatkan
kesadarannya terhadap jenis-jenis sampah di Indonesia. Jumlah penggunaan sampah
plastik masih sangat tinggi. Mereka yang belum teredukasi masih menggunakan
teknik ‘membakar sampah plastik’ tanpa mengetahui dampaknya.
Dengan
cara membakar sampah di sembarang tempat memungkinkan terjadinya pengurangan potensi
lahan di Indonesia.Karena lahan yang kita miliki sebagai negara di daerah
tropis merupakan tanah yang berpotensi tinggi untuk ditanami. Hal ini pula yang
menjadi pertimbangan para pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke pulau
Kalimantan, karena disebutkan bahwa DKI Jakarta mengalami penurunan jumlah
tanah yang menyebabkan kota ini mungkin akan tenggelam nantinya.
Banyak
orang yang beranggapan bahwa membakar sampah di sembarang lahan lebih mudah dan
murah dibandingkan melalui proses menggunakan mesin yang memerlukan banyak
biaya. Seharusnya, pemerintah bisa mengakomodasikan fasilitas pendauran ulang
sampah dan mencontohkan sikap ramah lingkungan sebagai teladan para masyarakat.
Di satu sisi, masyarakat juga harus berusaha sebisa mungkin menerapkan campaign
‘zero waste’ atau mengurangi
penggunaan sampah plastik dan mendaur ulangnya untuk dijadikan hal-hal yang
lebih bermanfaat dari sekadar menjadi limbah sehingga angka penggunaan sampah
plastik bisa ditekan jumlahnya.
Anggaran
negara yang jarang kita ketahui penggunaannya juga ternyata dominan digunakan
untuk membeli lahan. Padahal, seharusnya anggaran ini bisa dialihkan ke sektor
pendidikan sehingga masyarakat yang di daerah pelosok pun bisa tersosialisasi
dan terbuka matanya terhadap apa yang terjadi di negaranya serta mampu
meningkatkan awareness mereka yang nantinya bisa membantu menyelesaikan
isu-isu lingkungan dan mencegahnya terjadi lagi di kemudian hari.
Kehidupan kita sangat bergantung terhadap interaksi kita dengan lingkungan. Bila terus acuh tak acuh dan berlaku semaunya, sulit untuk kita mencapai kehidupan yang sehat. Menurut saya, itu semua bisa dimulai dari sekarang dengan cara menerapkan kurikulum ingkungan alam yang diperlukan dalam rangka membentuk karakter siswa sebagai generasi penerus bangsa yang mencintai lingkungan sekitar.