Oleh: Irfan Hadi Shahab, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta
Kaum
Muslimin Indonesia memaknai Idul Fitri dengan 2 hal, yang pertama pastinya
sebagai Hari Raya ataupun Hari Kemenangan. Namun, yang kedua juga sebagai
bentuk penguatan silaturahim di antara keluarga, tetangga, dan masyarakat
dengan saling memaafkan dari lubuk hati yang paling dalam. Tradisi
maaf-memaafkan ini tidak lepas dari makna Idul Fitri itu sendiri. Kelapangan
dada dalam makna ini turut mewarnai Idul Fitri, sehingga masyarakat Indonesia menyebutnya
Lebaran (asal kata lebar, artinya lapang).
Berbagai
kuliner dan makanan khas juga dikreasikan masyarakat muslim Indonesia untuk menyambut
datangnya Hari Raya Idul Fitri. Opor ayam, kupat (ketupat), kue lepat, dan
makanan-makanan khas lainnya. Makanan khas tersebut juga bukan hanya sebatas
makanan, tetapi mempunyai filosofi dan makna yang sangat mendalam.
Dalam
genggaman umat Islam di Indonesia, salah satu hari besar dalam Islam ini
menyatukan berbagai unsur, yakni nilai-nilai agama, penguatan identitas bangsa,
penumbuhan tradisi, dan budaya positif melalui silaturahim, serta peneguhan
cinta tanah air yang diejawantahkan melalui tradisi mudik atau pulang kampung.
Sebulan
penuh menjalankan ibadah puasa merupakan ujian penting bagi setiap muslim.
Mengendalikan dan menempa diri dari godaan hawa nafsu bukan hal yang ringan.
Ramadan menjadi latihan evaluasi agar ke depan menjadi pribadi yang baik dan
bisa mengendalikan diri. "Jadi ini sebuah momentum pelatihan Ramadan.
Harapannya setelah kita memasuki Syawal dan bulan selanjutnya kita mampu
melanjutkan apa yang selama ini menjadi latihan kita di bulan Ramadan,"
kata mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, di kantornya, Sabtu, 24 Juni
2017.
Ramadhan
sangat erat kaitannya dengan Idul Fitri, karena ibadah puasa merupakan suatu
proses berkesinambungan dan istiqomah yang melatih manusia untuk memperoleh
gelar muttaqin sehingga diibaratkan seperti bayi yang baru lahir dari
rahim ibunya. Maka, wajar ia bergembira karena telah lulus dalam madrasah Ramadan
yang tetap menjiwai semangat Ramadan di luar Ramadan.
Pada
bagian ini, penulis ingin mengungkapkan keterangan Muhammad Quraish Shihab
dalam buku anggitannya Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Mizan, 1999).
Megurai arti Idul Fitri, Quraish Shihab mengartikan bahwa Id berarti
kembali dan fithr dapat diartikan agama yang benar atau kesucian atau
asal kejadian. Kalau umat Islam memahaminya sebagai agama yang benar, maka hal
itu menuntut keserasian hubungan karena keserasian tersebut merupakan tanda
keberagaman yang benar.
Fithrah
berarti kesucian. Ini dapat dipahami dan dirasakan maknanya pada saat seorang
hamba duduk merenung sendirian. Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup,
atau haru hati telah dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang
mengajaknya berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud
Yang Maha Mutlak, yang mengantarnya untuk menyadari betapa lemahnya manusia di
hadapan-Nya, dan betapa kuasa dan perkasanya Yang Maha Agung itu.
Suara
yang didengar itu adalah suara fithrah manusia, suara kesucian. Setiap orang
memiliki fithrah itu, terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walaupun sering
terabaikan karena kesibukan dan dosa-dosa sehingga suaranya begitu lemah hanya
sayup-sayup terdengar. Suara itulah yang dikumandangkan pada Idul Fithri, yakni
Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Jika
kalimat pengagungan Allah itu tertancap dalam jiwa, maka akan hilanglah segala
ketergantungan kepada unsur-unsur lain selain Allah semata. Tiada tempat
bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi, kecuali
kepada-Nya. Ketika hal itu terjadi pada seseorang, terjadilah apa yang seperti
dilukiskan oleh ulama kenamaan Ibnu Sina dalam Al-Isyarat wa Tanbihat (Disadur
dari Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kutub
Al-Lubnaniy, 1982) sebagai berikut:
Orang
tersebut menjadi arif, yang bebas dari ikatan raganya. Dalam dirinya terdapat
ikatan yang tersembunyi, namun pada dirinya sendiri tampak sebagai sesuatu yang
nyata. Ia selalu gembira, banyak senyum. Betapa tidak, sejak ia mengenal-Nya,
hatinya dipenuhi oleh kegembiraan. Dengan melihat Yang Maha Suci, semua
dianggapnya sama, karena memang semua makhluk Allah. Semua wajar mendapatkan
Rahmat, baik yang taat maupun yang bergelimang dosa. Ia tidak akan
mengintip-intip kelemahan orang, tidak pula mencari kesalahannya. Ia tidak akan
marah, tidak pula tersinggung, walaupun melihat yang mungkar sekalipun, karena
jiwanya selalu diliputi Rahmat dan kasih sayang, dan karena ia memandang
keindahan, ia melihat sir Allah (rahasia Allah) terbentang ke dalam qudrat-Nya.
Bila ia mengajak kepada kebaikan, ia akan melakukannya dengan lemah lembut,
tidak dengan kekerasan, tidak pula dengan kecaman, kritikan yang melukai atau
ejekan. Ia akan selalu menjadi pemaaf. Betapa tidak, sedang di dadanya
sedemekian lapang, sehingga tidak ada tempat bagi kesalahan orang lain. Ia
tidak akan menjadi pendendam. Bagaimana ia mampu mendendam, sedang seluruh
ingatannya hanya tertuju kepada Yang Maha Suci lagi Maha Agung itu.
Terkait
dengan kesucian, menurut Quraish Shihab kesucian adalah gabungan tiga unsur,
yaitu benar, baik, dan indah. Sehingga, seseorang yang ber-Idul Fitri dalam
arti kembali ke kesuciannya akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik.
Bahkan, lewat kesucian jiwanya itu, ia akan memandang segalanya dengan
pandangan positif. Ia selalu mencari sisi-sisi yag baik, benar, indah. Mencari
yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika, dan mencari
yang benar menghasilkan ilmu.
Dengan
pandangan yang demikian, ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelakan,
dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai
positif dalam sikap negatif tersebut. Dan kalau pun itu tak ditemukannya, ia
akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan.
Setelah
orang berpuasa dan membayarkan zakat fithrahnya, hari raya merupakan kabar
gembira atas diterimanya amal orang yang sungguh-sungguh berpuasa,
bertobat, salat malam, shalat tarawih, i’tikaf, sedekah, dan lain sebagainya.
Allah akan menghapus semua keburukan mereka kemudian diganti dengan
kebaikan-kebaikan.
Kabar
gembira ini dapat kita baca:
إِلَّا
مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ
حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya:
“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal shalih; maka
keburukan-keburukan mereka tersebut diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan
Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Furqan: 70).
Di
tengah pandemi ini, kita harus optimis bahwa kita bisa beradaptasi dengan
keadaan secepat-cepatnya. Kita berharap, ke depan, keadaan menjadi semakin
membaik: pintu-pintu Masjid kembali terbuka sebagaimana sedia kala, kita bisa
berkumpul bersama, mengaji bersama, menjalankan sistem kontrol sosial bersama-sama
melalui pintu-pintu Masjid di sekitar kita.
Selain
itu, di hari raya ini, meskipun sebagian di antara kita terhalang oleh keadaan,
jangan sampai kita lewatkan permohonan maaf kepada kedua orang tua, walaupun
sebagian di antara kita tidak bisa bertatap muka. Silakan saling memaafkan
antar saudara, tetangga, teman, dan lain sebagainya dengan menggunakan
fasilitas yang ada, jika pertemuan fisik tidak memungkinkan. Kita fungsikan
media sosial yang kita punya sebagai sarana untuk merekatkan antarkeluarga,
sesama muslim, sehingga media sosial kita menjadi wasilah kita menuju ridha
Allah subhanahu wa ta’ala.
Semoga
Allah senantiasa memberikan bimbingan, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya supaya
kita dan keluarga kita selalu menjadi orang yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Pada puncaknya, kelak saat kita akan menghadap Allah sang Pencipta,
kita akan meninggalkan dunia ini dengan husnul khatimah, aamiin.
Selamat
berlebaran!
Sumber:
https://www.nu.or.id/post/read/79122/memaknai-sebenar-benarnya-hakikat-idul-fitri
https://islam.nu.or.id/post/read/7952/khutbah-idul-fitri--merayakan-lebaran-di-tengah-pandemi
https://www.kompasiana.com/kang_fahru/5daef5c50d823074eb037e22/hakikat-hari-raya-idul-fitri?page=2
https://www.viva.co.id/ragam/fokus/929391-memaknai-hakikat-idul-fitri