Mengimani "Seni Mencintai": Upaya Menyelesaikan Semua Permasalahan Eksistensi Manusia (Bagian I)

Oleh: Alamsyah Taufik, seorang manusia yang meyakini bahwa, “Tak ada kematian paling agung, selain mati karena cinta”.

Cinta adalah “satu-satunya jawaban yang waras dan memuaskan terhadap masalah eksistensi manusia”. - Erich Fromm

     Hampir setiap hari gawai saya berbunyi, entah dari sahabat, kawan, rekan kerja, peserta didik, mulai dari yang muda sampai yang tua, mereka serempak menanyakan mengenai cinta; Apa itu cinta, bagaimana cinta bekerja, dan yang paling fundamental adalah, “Mengapa ada penderitaan batin dan jiwa? Bukankah cinta adalah kegembiraan  dan kebahagiaan?”

 

Sudah tentu, saya tidak langsung menjawab begitu saja. Berbicara tentang cinta dan segala problematikannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Lagipula, saya manusia bukan Dewa Cupid yang dapat memberikan wejangan solutif sejurus segala kecemasan dan permasalahan perihal asmara hilang seketika.

 

Saya hanya mencoba menjadi pendengar terbaik, dan memberikan pendapat bila diminta. Bila saya kumpulkan hasil dari cerita mereka, saya dapat simpulkan kegelisahan mereka dengan, “Pencarian kebahagiaan individu manusia melalui cinta”. Tetapi sialnya, kontradiktif dengan realitas dunia percintaan mereka; dibohongi, diselingkuhi, dipermainkan, di-ghosting, bertepuk sebelah tangan, dipenuhi janji palsu, bertengkar karena sesuatu, diputusin secara sepihak tanpa tedeng aling-aling, ditinggal menikah, perceraian, tidak bisa move on, kasih tak sampai, cinta dalam hati, dan sebagainya dan sebagainya.

 

Membahas cinta tidak akan pernah ada habisnya. Selagi ada manusia di muka bumi ini, cinta pun akan selalu mengiringi. Karena itu, sebelum menyelami arti dan teori cinta, kita harus berangkat dari teori manusia terlebih dahulu. Saya mengambil sebagian besar materi dari pemikiran Erich Pinchas Fromm, seorang psikologi sosial, psikoanalis, sosiologi, humanisme, sosialis demokrat dan filsuf berkebangsaan Jerman, yang tertulis dalam bukunya, “Seni Mencintai”.

 

Manusia dianugerahi nalar; dia adalah kehidupan yang sadar akan dirinya sendiri; dia memiliki kesadaran atas dirinya sendiri, atas sesamanya, atas masa lalunya, dan kemungkinan-kemungkinan masa depannya. Kesadaran atas dirinya sebagai entitas tersendiri, kesadaran akan masa hidupnya yang singkat, atas kenyataan bahwa tanpa kehendaknyalah dia dilahirkan dan tanpa kehendaknya pulalah dia akan mati, bahwa dia akan mati meninggalkan orang-orang yang dia cintai, atau mereka yang akan mati meninggalkannya, kesadaran akan kesendiriannya dan keterpisahannya.

 

Ketakberdayaannya di hadapan kekuatan alam dan masyarakat, semua ini menjadikan eksistensinya yang terpisah dan tercerai sebagai penjara yang tak tertahankan. Dia akan menjadi gila jika tak dapat membebaskan diri dari penjara ini dan menjangkau keluar, menyatukan dirinya dalam berbagai cara dengan manusia lain, dengan dunia luar.

 

Pengalaman terpisah menumbuhkan kecemasan; itulah, sesungguhnya, sumber dari segala kecemasan. Terpisah berarti terputus, tanpa sanggup menggunakan daya manusiaku. Maka terpisah berarti tak berdaya, tak mampu menggenggam dunia secara aktif; artinya, dunia bisa menyerbuku tanpa aku bisa membalas. Maka, keterpisahan adalah sumber kecemasan intens. Lebih parah lagi, keterpisahan menimbulkan rasa malu dan bersalah.  Perasaan malu dan bersalah tentang keterpisahan ini digambarkan dalam kitab suci agama.

 

Maka dari itu, keinginan terdalam manusia adalah keinginan untuk mengatasi keterpisahannya, meninggalkan penjara kesendiriannya. Kegagalan mutlak dalam dalam meraih tujuan ini berarti kegilaan, karena rasa panik akibat keterasingan total hanya dapat diatasi dengan menarik diri secara radikal dari dunia luar sehingga rasa terpisah itu sirna –karena dunia luar, tempat seseorang terasing itu, juga telah sirna.

 

Manusia –dari segala zaman dan kebudayaan- ditantang memecahkan satu pertanyaan yang sama: pertanyaan tentang bagaimana mengatasi keterpisahan, bagaimana meraih penyatuan, bagaimana melampaui kehidupan individual dan menemukan kesatuan. Jawabanpun berbeda-beda; mulai dari melakukan aktivitas ritual orgiastic, non-orgiastic seperti alkohol, obat-obatan, sampai pada orgiastic seksual: pencarian aktivitas seksual yang serampangan, barbar, dan menjijikkan. Suatu upaya putus asa demi menghilangkan kecemasan yang ditimbulkan oleh keterpisahan, tetapi berakibat terus meningkatnya rasa keterpisahan itu, karena tindakan seksual tanpa cinta tak akan pernah menjembatani jarak antara dua manusia, kecuali hanya pelarian semata, dan sementara saja.

 

Jawaban ideal, lengkap, dan sempurna untuk mengatasi penyatuan keterpisahan itu semua hanya dalam cinta. Ya, hanya cinta! Hasrat bersatu dengan orang lain adalah perjuangan paling kuat manusia. itulah gairah yang paling dasar, kekuatan yang menjaga umat manusia dari kehancuran, menjaga klan, keluarga, masyarakat. Gagal meraihnya menyebabkan kegilaan atau kehancuran –kehancuran diri atau kehancuran orang lain.

 

Tanpa cinta, kemanusiaan tak mampu bertahan barang sehari. Akan tetapi, haruskah semuanya disebut dengan cinta? Atau haruskah kita simpan kata “cinta” itu hanya untuk jenis penyatuan yang spesifik, yang telah menjadim kebajikan ideal semua agama humanistis dan sistem filosofis? Jawaban pertanyaan di atas bisa berubah-ubah. Yang penting kita tahu penyatuan macam apa yang sedang kita bicarakan saat kita bicara tentang cinta. Apakah cinta yang kita sebut-sebut itu jawaban dewasa bagi persoalan eksistensi, atau apakah kita bicara tentang cinta dalam bentuk-bentuk tak dewasa, yang barangkali disebut sebagai penyatuan simbiotik?

 

Bentuk pasif penyatuan simbiotik adalah ketundukan, atau jika menggunakan istilah klinis, masokisme. Orang masokistis melarikan diri dari perasaan terasing dan terpisah yang tak terperi dengan cara menjadikan dirinya bagian tak terpisahkan dari orang lain yang mengarahkannya, memandunya, melindunginya; yang menjadi nyawanya dan oksigennya, bisa dikatakan demikian.

 

Kekuasaan orang yang diserahi kepasrahan itu pun meningkat, apakah dia itu manusia atau Tuhan; dia menjadi segalanya. Aku bukanapa-apa selain bahwa aku bagian darinya. Sebagai bagian, aku bagian dari kebesaran, kekuatan, kepastian. Orang masokistik tak perlu membuat keputusan, tak perlu mengambil risiko; dia tak pernah sendirian –tapi dia tidak mandiri; dia tak punya integritas; dia belum sepenuhnya lahir.

 

Dalam konteks keagamaan, obyek penyembahan disebut berhala; hubungan cinta masokistik dalam konteks sekuler, mekanisme dasarnya sama, yaitu pemberhalaan. Hubungan masokistik bisa bercampur dengan hasrat seksual dan fisik; dalam hal ini, tak hanya ketundukan pikiran, tapi juga ketundukan seluruh tubuh.

 

Bentuk aktif penyatuan simbiotik adalah dominasi, sadism adalah istilah psikologisnya yang terkait masokisme. Orang sadistik inin lepas dari kesendirian dan rasa terpenjaranya dengan menjadikan orang lain bagian tak terpisahkan dari dirinya. Dia menaikkan dan meninggikan dirinya dengan jalan menguasai orang lain, yang memujanya.

 

Seperti orang masokistik yang bergantung pada orang sadistik, orang sadistik pun sama bergantungnya pada orang yang tunduk itu; taka da yang bisa hidup tanpa yang lain. Bedanya cuma bahwa orang sadistik memerintah, mengeksploitasi, menyakiti, mempermalukan, sedangkan orang masokistik diperintah, dieksploitasi, disakiti, dan dipermalukan. Ini perbedaan besar yang kelihatan; namun, dalam ranah emosi yang lebih dalam, perbedaanya tak sebesar itu karena keduanya mirip: penyatuan tanpa keutuhan diri.

 

Kebalikan dari penyatuan simbiotik, yaitu cinta yang dewasa, adalah penyatuan dalam keadaan menjaga keutuhan diri, individualitas diri. Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri; kekuatan yang meruntuhkan tembok pemisah manusia dengan sesamanya, kekuatan yang menyatukan dia dengan manusia lain; cinta membuatnya mampu mengatasi rasa terasing dan terpisah, tapi membiarkannya menjadi diri sendiri, demi mempertahankan keutuhan dirinya. Dalam cinta terjadi paradoks bahwa dua insan menjadi satu tapi tetap dua.

 

Cinta adalah aktivitas, bukan afek pasif; cinta adalah keadaan “berada dalam”, bukan “jatuh”. Yang paling umum, karakter aktif cinta dapat digambarkan dalam pernyataan bahwa cinta itu memberi, bukan menerima.

 

Apakah memberi itu? Jawabannya tampak mudah, tetapi kenyataanya kerap ambigu dan kompleks. Banyak yang salah paham bahwa memberi sama dengan “menyerahkan” sesuatu, terampas, berkorban. Ada orang yang karakternya belum berkembang melampaui fase reseptif, eksploitatif, atau menimbun, maka dia bertindak memberi dalam cara ini. Orang dalam karakter dagang akan bersedia memberi, tetapi hanya sebagai ganti menerima; memberi tanpa menerima baginya berarti tertipu.

 

Orang-orang yang orientasi utamanya adalah orientasi non-produktif merasa memberi sama dengan pemiskinan. Karenanya, kebanyakan individu jenis ini tak senang memberi.  Beberapa orang berbuat kebaikan dengan memberi dalam perasaan berkorban. Bagi mereka, karena memberi itu menyakitkan, maka dia harus memberi; kebajikan memberi ada pada tindakan berkorban tersebut. Bagi mereka, norma bahwa lebih baik memberi daripada menerima, bermakna, lebih baik menderita kehilangan daripada mengalami kesenangan.

 

Bagi orang yang berkarakter produktif, memberi memiliki makna yang sepenuhnya berbeda. Memberi ialah ungkapan setinggi potensi. Dalam memberi, aku merasakan kekuatanku, kemakmuranku, kuasaku. Perasaan daya hidup dan potensi yang memuncak ini mengisiku dengan kegembiraan.

 

Kurasakan diriku dengan melimpah, lepas, hidup, karenanya aku gembira. Memberi lebih menggembirakan daripada menerima, bukan karena aku kehilangan, tapi karena dalam tindakan memberi ada ungkapan kehidupanku.

bersambung...
 

Mengimani "Seni Mencintai": Upaya Menyelesaikan Semua Permasalahan Eksistensi Manusia (Bagian I)