Hampir
setiap hari gawai saya berbunyi, entah dari sahabat, kawan, rekan kerja, peserta
didik, mulai dari yang muda sampai yang tua, mereka serempak menanyakan
mengenai cinta; Apa itu cinta, bagaimana cinta bekerja, dan yang paling
fundamental adalah, “Mengapa ada penderitaan batin dan jiwa? Bukankah cinta
adalah kegembiraan dan kebahagiaan?”
Sudah
tentu, saya tidak langsung menjawab begitu saja. Berbicara tentang cinta dan
segala problematikannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Lagipula,
saya manusia bukan Dewa Cupid yang dapat memberikan wejangan solutif sejurus
segala kecemasan dan permasalahan perihal asmara hilang seketika.
Saya
hanya mencoba menjadi pendengar terbaik, dan memberikan pendapat bila diminta. Bila
saya kumpulkan hasil dari cerita mereka, saya dapat simpulkan kegelisahan
mereka dengan, “Pencarian kebahagiaan individu manusia melalui cinta”. Tetapi
sialnya, kontradiktif dengan realitas dunia percintaan mereka; dibohongi,
diselingkuhi, dipermainkan, di-ghosting, bertepuk sebelah tangan, dipenuhi janji
palsu, bertengkar karena sesuatu, diputusin secara sepihak tanpa tedeng
aling-aling, ditinggal menikah, perceraian, tidak bisa move
on, kasih tak sampai, cinta dalam hati, dan sebagainya dan sebagainya.
Membahas
cinta tidak akan pernah ada habisnya. Selagi ada manusia di muka bumi ini,
cinta pun akan selalu mengiringi. Karena itu, sebelum menyelami arti dan teori cinta,
kita harus berangkat dari teori manusia terlebih dahulu. Saya mengambil sebagian
besar materi dari pemikiran Erich Pinchas Fromm, seorang psikologi sosial,
psikoanalis, sosiologi, humanisme, sosialis demokrat dan filsuf berkebangsaan
Jerman, yang tertulis dalam bukunya, “Seni Mencintai”.
Manusia
dianugerahi nalar; dia adalah kehidupan
yang sadar akan dirinya sendiri; dia memiliki kesadaran atas dirinya
sendiri, atas sesamanya, atas masa lalunya, dan kemungkinan-kemungkinan masa
depannya. Kesadaran atas dirinya sebagai entitas tersendiri, kesadaran akan
masa hidupnya yang singkat, atas kenyataan bahwa tanpa kehendaknyalah dia dilahirkan
dan tanpa kehendaknya pulalah dia akan mati, bahwa dia akan mati meninggalkan
orang-orang yang dia cintai, atau mereka yang akan mati meninggalkannya,
kesadaran akan kesendiriannya dan keterpisahannya.
Ketakberdayaannya
di hadapan kekuatan alam dan masyarakat, semua ini menjadikan eksistensinya
yang terpisah dan tercerai sebagai penjara yang tak tertahankan. Dia akan
menjadi gila jika tak dapat membebaskan diri dari penjara ini dan menjangkau
keluar, menyatukan dirinya dalam berbagai cara dengan manusia lain, dengan
dunia luar.
Pengalaman
terpisah menumbuhkan kecemasan; itulah, sesungguhnya, sumber dari segala
kecemasan. Terpisah berarti terputus, tanpa sanggup menggunakan daya manusiaku.
Maka terpisah berarti tak berdaya, tak mampu menggenggam dunia secara aktif;
artinya, dunia bisa menyerbuku tanpa aku bisa membalas. Maka, keterpisahan
adalah sumber kecemasan intens. Lebih parah lagi, keterpisahan menimbulkan rasa
malu dan bersalah. Perasaan malu dan
bersalah tentang keterpisahan ini digambarkan dalam kitab suci agama.
Maka
dari itu, keinginan terdalam manusia adalah keinginan untuk mengatasi
keterpisahannya, meninggalkan penjara kesendiriannya. Kegagalan mutlak dalam
dalam meraih tujuan ini berarti kegilaan, karena rasa panik akibat keterasingan
total hanya dapat diatasi dengan menarik diri secara radikal dari dunia luar
sehingga rasa terpisah itu sirna –karena dunia luar, tempat seseorang terasing
itu, juga telah sirna.
Manusia
–dari segala zaman dan kebudayaan- ditantang memecahkan satu pertanyaan yang
sama: pertanyaan tentang bagaimana mengatasi keterpisahan, bagaimana meraih
penyatuan, bagaimana melampaui kehidupan individual dan menemukan kesatuan. Jawabanpun
berbeda-beda; mulai dari melakukan aktivitas ritual orgiastic, non-orgiastic seperti alkohol, obat-obatan, sampai pada orgiastic seksual: pencarian aktivitas
seksual yang serampangan, barbar, dan menjijikkan. Suatu upaya putus asa demi
menghilangkan kecemasan yang ditimbulkan oleh keterpisahan, tetapi berakibat
terus meningkatnya rasa keterpisahan itu, karena tindakan seksual tanpa cinta
tak akan pernah menjembatani jarak antara dua manusia, kecuali hanya pelarian
semata, dan sementara saja.
Jawaban
ideal, lengkap, dan sempurna untuk mengatasi penyatuan keterpisahan itu semua
hanya dalam cinta. Ya, hanya cinta! Hasrat bersatu dengan orang lain adalah
perjuangan paling kuat manusia. itulah gairah yang paling dasar, kekuatan yang
menjaga umat manusia dari kehancuran, menjaga klan, keluarga, masyarakat. Gagal
meraihnya menyebabkan kegilaan atau kehancuran –kehancuran diri atau kehancuran
orang lain.
Tanpa
cinta, kemanusiaan tak mampu bertahan barang sehari. Akan tetapi, haruskah
semuanya disebut dengan cinta? Atau haruskah kita simpan kata “cinta” itu hanya
untuk jenis penyatuan yang spesifik, yang telah menjadim kebajikan ideal semua
agama humanistis dan sistem filosofis? Jawaban pertanyaan di atas bisa
berubah-ubah. Yang penting kita tahu penyatuan macam apa yang sedang kita
bicarakan saat kita bicara tentang cinta. Apakah cinta yang kita sebut-sebut
itu jawaban dewasa bagi persoalan eksistensi, atau apakah kita bicara tentang
cinta dalam bentuk-bentuk tak dewasa, yang barangkali disebut sebagai penyatuan simbiotik?
Bentuk
pasif penyatuan simbiotik adalah
ketundukan, atau jika menggunakan istilah klinis, masokisme. Orang masokistis melarikan diri dari perasaan terasing
dan terpisah yang tak terperi dengan cara menjadikan dirinya bagian tak
terpisahkan dari orang lain yang mengarahkannya, memandunya, melindunginya;
yang menjadi nyawanya dan oksigennya, bisa dikatakan demikian.
Kekuasaan
orang yang diserahi kepasrahan itu pun meningkat, apakah dia itu manusia atau
Tuhan; dia menjadi segalanya. Aku bukanapa-apa selain bahwa aku bagian darinya.
Sebagai bagian, aku bagian dari kebesaran, kekuatan, kepastian. Orang masokistik
tak perlu membuat keputusan, tak perlu mengambil risiko; dia tak pernah
sendirian –tapi dia tidak mandiri; dia tak punya integritas; dia belum
sepenuhnya lahir.
Dalam
konteks keagamaan, obyek penyembahan disebut berhala; hubungan cinta masokistik
dalam konteks sekuler, mekanisme dasarnya sama, yaitu pemberhalaan. Hubungan masokistik
bisa bercampur dengan hasrat seksual dan fisik; dalam hal ini, tak hanya
ketundukan pikiran, tapi juga ketundukan seluruh tubuh.
Bentuk
aktif penyatuan simbiotik adalah dominasi, sadism adalah istilah psikologisnya
yang terkait masokisme. Orang sadistik inin lepas dari kesendirian dan rasa
terpenjaranya dengan menjadikan orang lain bagian tak terpisahkan dari dirinya.
Dia menaikkan dan meninggikan dirinya dengan jalan menguasai orang lain, yang
memujanya.
Seperti
orang masokistik yang bergantung pada orang sadistik, orang sadistik pun sama
bergantungnya pada orang yang tunduk itu; taka da yang bisa hidup tanpa yang
lain. Bedanya cuma bahwa orang sadistik memerintah, mengeksploitasi, menyakiti,
mempermalukan, sedangkan orang masokistik diperintah, dieksploitasi, disakiti,
dan dipermalukan. Ini perbedaan besar yang kelihatan; namun, dalam ranah emosi yang
lebih dalam, perbedaanya tak sebesar itu karena keduanya mirip: penyatuan tanpa
keutuhan diri.
Kebalikan
dari penyatuan simbiotik, yaitu cinta
yang dewasa, adalah penyatuan dalam
keadaan menjaga keutuhan diri, individualitas diri. Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri; kekuatan yang meruntuhkan
tembok pemisah manusia dengan sesamanya, kekuatan yang menyatukan dia dengan
manusia lain; cinta membuatnya mampu mengatasi rasa terasing dan terpisah, tapi
membiarkannya menjadi diri sendiri, demi mempertahankan keutuhan dirinya. Dalam
cinta terjadi paradoks bahwa dua insan menjadi satu tapi tetap dua.
Cinta
adalah aktivitas, bukan afek pasif; cinta adalah keadaan “berada dalam”, bukan “jatuh”.
Yang paling umum, karakter aktif cinta dapat digambarkan dalam pernyataan bahwa
cinta itu memberi, bukan menerima.
Apakah
memberi itu? Jawabannya tampak mudah, tetapi kenyataanya kerap ambigu dan
kompleks. Banyak yang salah paham bahwa memberi sama dengan “menyerahkan”
sesuatu, terampas, berkorban. Ada orang yang karakternya belum berkembang
melampaui fase reseptif, eksploitatif, atau menimbun, maka dia bertindak
memberi dalam cara ini. Orang dalam
karakter dagang akan bersedia memberi, tetapi hanya sebagai ganti menerima;
memberi tanpa menerima baginya berarti tertipu.
Orang-orang
yang orientasi utamanya adalah orientasi non-produktif merasa memberi sama
dengan pemiskinan. Karenanya, kebanyakan individu jenis ini tak senang
memberi. Beberapa orang berbuat kebaikan
dengan memberi dalam perasaan berkorban. Bagi mereka, karena memberi itu
menyakitkan, maka dia harus memberi;
kebajikan memberi ada pada tindakan berkorban tersebut. Bagi mereka, norma
bahwa lebih baik memberi daripada menerima, bermakna, lebih baik menderita
kehilangan daripada mengalami kesenangan.
Bagi
orang yang berkarakter produktif, memberi memiliki makna yang sepenuhnya
berbeda. Memberi ialah ungkapan setinggi potensi. Dalam memberi, aku merasakan
kekuatanku, kemakmuranku, kuasaku. Perasaan daya hidup dan potensi yang
memuncak ini mengisiku dengan kegembiraan.