oleh: Jose Fidel Salomo, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta
Pada tanggal 2 Maret 2021 kemarin, Presiden Joko Widodo
resmi mencabut suatu Perpres yang kontroversial. Perpres itu adalah Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 10 Tahun 2021 tentang
Bidang Usaha Penanaman Modal yang melegalkan investasi minuman keras (miras).
Pencabutan Perpres tersebut langsung menjadi trending topic di berbagai kanal media sosial.
Perpres tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang ditandatangani Presiden pada 2 Februari 2021. Bagian yang dihapus adalah lampiran III poin 31, 32, dan 33 dalam Perpres tersebut yang mengatur salah satunya soal investasi miras.
Undang-Undang Cipta Kerja itu sendiri adalah undang-undang yang mengatur perihal menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah. Undang-Undang Cipta Kerja disebut sebagai Omnibus Law karena undang-undang ini mencakup banyak sektor. Hal itu membuat DPR bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus. Undang-Undang Cipta Kerja mengatur sebanyak 11 hal, yakni penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan yang terakhir kawasan ekonomi.
Undang-Undang Cipta kerja mendapat banyak penolakan dari masyarakat karena dipercaya akan merenggut hak-hak pekerja serta meningkatkan deforestasi di Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan.
Pencabutan Perpres itu didukung oleh berbagai alasan. Alasan terbesarnya adalah adanya usulan dari berbagai ulama, MUI, NU, Muhammadiyah, dan organisasi masyarakat (ormas) lainnya serta tokoh-tokoh agama yang lain dengan alasan undang-undang tersebut lebih banyak hal yang merugikan dibanding manfaatnya. Alasan itu dikatakan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Konferensi Pers Virtual pada tanggal 2 Maret 2021.
Di Indonesia sendiri, minuman alkohol sebenarnya sudah menjadi tradisi masyarakat di beberapa daerah. Indonesia memiliki sejarah panjang dengan minuman fermentasi tersebut. Beberapa daerah itu antara lain Lombok, Papua, Bali, dan masih banyak lagi.
Salah satu contohnya adalah Tuak. Prasasti Pangumulan (902 M), menuliskan tuak sebagai minuman yang disajikan dalam upacara penetapan tanah sima. Prasasti ini ditemukan di Desa Kembang Arum, Klegung, DI Yogyakarta. Tuak adalah minuman yang terbuat dari sari bunga aren yang dicampur akar pohon bujur yang sudah dipotong-potong. Akar bujur memberi efek warna merah muda dan meningkatkan kadar alkohol. Hampir setiap wilayah di Indonesia punya tuak. Salah satunya Lombok. Tuak Lombok dihasilkan dari bunga aren. Di Jawa ada juga tuak Tuban, salah satu daerah pesisir utara Jawa Timur. Tuak umumnya diminum saat acara kumpul-kumpul maupun perayaan.
Pembuatan minuman fermentasi yang menjadi tradisi merupakan salah satu cara unik masyarakat daerah beradaptasi dengan iklim yang berangin. Menurut sejarah, kebiasaan minum sudah ada sejak lama. Terbukti dari naskah Negarakertagama (1365) yang ditulis pada masa keemasan Kerajaan Majapahit abad ke-14. Dalam naskah itu dikisahkan, minuman beralkohol seperti tuak nyiur, arak kilang, dan tuak rumbya menjadi hidangan utama sebuah jamuan. Minuman-minuman itu ditaruh dalam sejumlah porong dan guci.
Salah satunya dilakukan Sri Raja Kertanegara, raja terakhir pemimpin Singasari, kerajaan Hindu (Siwaisme)-Buddha di Nusantara. Dalam naskah yang sama, sebagai seorang Tantrayana, Kertanegara dikisahkan menjalani tradisi pemujaan yang merujuk pada hal-hal bersifat destruktif atau hedonisme dalam bahasa yang lebih kekinian. Ragam ritual yang hadir pun tak lepas dari pelbagai kebiasaan seperti minuman beralkohol dan seks demi pencapaian nirwana.
Dalam tradisi Hindu-Budha, tuak dan arak punya posisi penting, sebagaimana yang tampak pada masyarakat Dayak-Kaharingan hingga saat ini, misalnya, yang memiliki minuman Baram. Minuman fermentasi beras khas Kalimantan Tengah itu tak cuma menjadi bagian dari identitas, tapi juga terkait hal-hal yang bersifat kultural dan mitologis. Baram digunakan dalam upacara Tiwah, ritual mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju.
Di beberapa daerah, termasuk Jawa, minuman beralkohol berubah dari sesuatu yang sakral menjadi yang profan. Budaya minum berubah menjadi sebentuk hedonisme dan proses pembaratan yang disebabkan kehadiran Belanda di Nusantara. Maka dari itu, minuman beralkohol sebenarnya merupakan salah satu dari budaya Nusantara yang harus tetap dilestarikan.
Namun, kebijakan tersebut menuai pro dan kontra di masyarakat.
Dengan adanya investasi minuman keras di Indonesia, diyakini bahwa sumber devisa negara baru bisa tercipta. Pada tahap awal, pembukaan industri minuman beralkohol akan dimulai di empat provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Empat wilayah itu dipilih karena sudah banyak industri lokal dan terdapat budaya atau kebiasaan yang membolehkan masyarakat mengkonsumsi minuman alkohol.
Merujuk pada Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata konsumsi alkohol nasional mengalami peningkatan. Dari 35 survei, konsumsi alkohol hanya berkurang di tiga provinsi yakni Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Sedangkan di 32 provinsi lainnya, jumlah konsumsi alkohol bertambah. Berdasarkan data tersebut, terlihat jelas bahwa peluang industri alkohol untuk menjadi sumber devisa negara yang baru lumayan besar. Manfaat lain dari peningkatan industri alkohol adalah bertambahnya sumber lapangan pekerjaan yang baru sehingga dapat mengurangi angka pengangguran.
Dengan memiliki tujuan yang jelas, yaitu untuk kegiatan ekspor dan sistem pengaturannya yang baik, mulai dari investasi dan peredarannya, kebijakan ini justru akan mendatangkan banyak manfaat. Kebijakan ini akan menjadi solusi untuk mengawasi pengedaran minuman beralkohol yang selama ini banyak dilakukan secara diam-diam. Pasalnya, belum ada aturan yang mengontrol pengedarannya dengan baik sehingga tidak dapat terdeteksi dengan maksimal. Daripada dibuat diam-diam lebih baik sekalian saja dibuat terbuka tetapi terbatas di daerah-daerah yang industri minuman beralkoholnya sudah banyak.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan bermasyarakat di Indonesia tidak bisa semena-mena, terlebih lagi ada pedoman yang dijunjung, yaitu agama. Menurut para kalangan agama, kebijakan ini jelas menormalisasi perbuatan dosa karena minuman beralkohol dilarang jelas di dalam agama. Selain itu, kebijakan itu mendorong adanya efek buruk ke masyarakat. Dengan terbukanya industri minuman beralkohol ini, akses untuk mendapatkan minuman tersebut semakin mudah sehingga peluang untuk anak di bawah umur untuk mendapatkannya akan semakin mudah. Hal itu akan menyebabkan berbagai masalah-masalah di masyarakat seperti mabuk-mabukan karena minuman alkohol bisa membuat orang kecanduan dan menyebabkan tindak kriminalitas.
Maka, dapat disimpulkan bahwa pencabutan Perpres itu pantas untuk dilakukan. Tetapi, akan lebih baik jika hal-hal seperti ini sudah dipertimbangkan terlebih dahulu sehingga tidak perlu ada pencabutan Perpres seperti ini lagi. Walaupun demikian, proses ini merupakan bukti bahwa pemerintah masih mendengarkan suara rakyat dan demokrasi masih nyata adanya.
Sumber referensi:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56231008
Alasan Jokowi Cabut Perpres Investasi Miras : Okezone
Economy
Sederet Alasan Jokowi Cabut Lampiran Perpres Investasi
Miras - Halaman 2 (cnbcindonesia.com
Mengapa UU Cipta Kerja Disebut Omnibus Law? Halaman all -
Kompas.com