oleh: Karaissa Naraya, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta
“Agar hidup kita bahagia, jangan pernah berbohong, jangan mencuri, dan jangan menyakiti. Hiduplah dengan cinta, sebagaimana Tuhan mencintai kita.“ - Dobri Dobrev -
Inilah kalimat yang selalu diucapkan oleh Dobri
Dobrev, Pengemis Suci, ketika ditanya tentang rahasia kebahagiaannya. Seorang
pengemis suci yang lahir pada tahun 1914 dan wafat pada tahun 2018. Dia diberi
julukan “Pengemis Suci” oleh penduduk Sofia, Ibukota Bulgaria. Laki-laki tua
ini tinggal di wilayah Balkans yang berjarak 43 KM dari Sofia. Dia selalu
berjalan kaki dari Balkans ke Sofia, tanpa kenal musim. Dia mengemis di
sepanjang jalan-jalan Sofia: di pasar, gereja, dan tempat-tempat umum lainnya. Hasil
mengemisnya tidak diambil semua. Dia hanya mengambil sedikit sekadar untuk
memenuhi kebutuhannya yang sangat sederhana. Sisa dari hasil ngemisnya selalu
dia bagikan kepada orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Dobri hanya
membutuhkan uang sejumlah 80 Euro per-bulan. Lebih dari itu, uang yang diterima
dari para pemberi, langsung disedekahkan kepada orang-orang yang lebih
membutuhkan.
Dobri selalu membawa tas berisi cangkir. Dia
berjalan sambil mengguncang-guncangkan cangkir yang berisi beberapa uang logam.
Dia selalu mengucapkan kalimat “hiburlah Tuhan!” Untuk meminta uang dari orang-orang
yang lewat. Tak jarang, paman Dobri mencium tangan orang yang bermurah hati
memberinya uang. Dobri pernah ditanya tentang kemurahan hatinya. Mengapa dia
mudah memberikan hasil ngemisnya kepada orang yang papa. Dobri menjelaskan bahwa,
dirinya pernah melakukan kesalahan (dosa) fatal saat masih muda. Kesalahan itu
ingin dia tebus dengan berbuat baik kepada orang-orang yang tidak mampu.
Dobri terkenal dan dicintai oleh masyarakat
Bulgaria. Dia bahkan pernah ikut memberikan donasi sebesar 35.700 Lev Bulgaria
(20.000 Euro) untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Donasi itu
diserahkan melalui Katedral Alexander Nevski di Sofia. Beliau terus melakukan
aktivitas itu sampai akhir hayatnya. (cerita ini hasil nukilan dari akun
twitter @TaufikDamas, 11 Maret 2021)
Mungkin, secara sadar ataupun tidak, terkadang kita
seringkali memikirkan atau bahkan mengoreksi ulang makna mengenai, “Bahagia itu
apa sih?” Betul, Pertanyaan serupa pun seputar kata “bahagia” sekarang
ini sering terlintas di kepala saya. Ada orang yang bahagianya datang dari uang
yang banyak, ada yang bahagianya terlahir dari cinta dan kasih sayang dari orang
yang dicintainya meski ia tidak berlimpah materi yang begitu mewah, ada pula
seseorang merasakan kebahagiaan saat mencintai dan merindukan meski tidak dapat
memiliki, ada juga yang bahagianya sesederhana jika memakan makanan favoritnya,
ataupun yang bahagia karena bisa membuat orang lain merasa bahagia seperti
Paman Dobri. Berbeda orang, berbeda pula mereka menyimpulkan kebahagiaan yang
mereka rasa, yang ingin mereka harapkan dan impikan. Maka dari itu, saya
tertarik untuk menyelami luasnya arti kata bahagia.
Sebelum lebih dalam membahas mengenai kebahagiaan,
tidak adalah salahnya kita mengenal bapak psikologi positif, Martin
Seligman. Ia lahir pada 12 Agustus 1942,
di New York, sekarang menjadi pendidik, peneliti, dan penulis beberapa buku
terlaris tentang psikologi positif. Karyanya berkisar pada topics of learned
helplessness, positive psychology, depression, resilience, optimism, and
pessimism. Saat ini ia adalah direktur pusat psikologi positif di
University of Pennsylvania. Seligman sendiri mendefinisikan bahagia menjadi
tiga tingkat:
1.
The Pleasant Life
Level pertama kebahagiaan ialah kebahagiaan yang didapat dari melakukan hal yang memuaskan diri kita, secara sering dan konsisten. Tingkatan ini merupakan tingkatan termudah dan tercepat untuk merasakan emosi positif. Contohnya, seperti memakan makanan favorit, menonton film atau series kesukaan, bermain game dan berbelanja. Meskipun menikmati hal-hal yang membuat kita merasa baik, hal-hal itu terkadang terasa berlalu dengan cepat, juga kadang terasa membosankan. Seperti saat menonton series yang kita suka, jika kita lakukan terus menerus lama-lama kita akan merasa suntuk dan bosan. Tidak mungkin rasanya kita hanya melakukan kegiatan itu seumur hidup untuk memenuhi kebutuhan kita akan “kebahagiaan”. Tetapi, karena tingkatan ini adalah yang termudah, banyak orang melakukannya untuk merasakan kebahagiaan.
2. The
Engaged Life
Diatas pleasant life, Seligman menamai level berikutnya sebagai engaged life. Pada tingkatan ini kebahagiaan didapat melalui kelebihan atau kekuatan yang kita miliki. Bagi Seligman, kekuatan adalah "jalan" melalui kita mencapai kebajikan dalam hidup kita. Hal ini adalah tentang koneksi atau hubungan kita dengan aktivitas atau orang yang begitu dalam. Contoh kegiatannya adalah ambisius dalam pekerjaan kita suka, mengahabiskan waktu dengan orang yang kita sayangi, hal itu membawa emosi positif yang bertahan lebih lama. Tetapi kalau ekspektasi yang kita harapkan dari hal tersebut tidak sesuai dengan yang kita dapatkan, efek kekecewaannya pun juga akan lebih besar.
3. The
Meaningful Life
Level terakhir dari kebahagiaan menurut Seligman. Kebahagiaan yang dapat kita capai bila kita menyadari makna dari hidup kita. Di sini Seligman menyatakan, bahwa tidak ada jalan pintas menuju kebahagiaan. Meskipun kehidupan yang menyenangkan mungkin membawa lebih banyak emosi positif ke dalam kehidupan seseorang, untuk menumbuhkan kebahagiaan yang lebih dalam dan abadi, kita perlu menjelajahi makna sebenarnya dalam hidup kita. Untuk itu kita harus mengetahui, what you think of a cause bigger than yourself that is truly worth serving? Apakah kita mau mendedikasikan hidup untuk lingkungan? Untuk keadilan sosial? Atau untuk kepercayaan kita? Dengan mengembangkan keterampilan, bakat, dan kekuatan lalu kemudian menggunakannya untuk mewujudkan dunia yang lebih baik dengan cara yang paling bermakna bagi kita, itulah yang akan menuntun pada kehidupan yang penuh makna.
Setelah mengetahui tingkatan kebahagiaan menurut Seligman, sekarang pertanyaannya adalah, Sebenarnya bahagia yang seperti apa yang kita inginkan? Apakah seperti kebahagiaan di pleasant life, engaged life, atau meaningful life? Menurut saya, semua itu adalah pilihan masing-masing individu. Karena setiap manusia memiliki caranya tersendiri untuk mendapatkan kebahagiaan. Tetapi dalam usaha kita meraih kebahagiaan, jangan sampai kita menyakiti diri sendiri ataupun menyakiti orang lain. Karena setiap manusia juga mempunyai hak untuk bisa bahagia.
Tapi tak bisa disangkal kalau
terkadang ada juga kalanya manusia tidak merasa bahagia, dan itu normal dan
wajar. Bersedih dan merasa tidak baik-baik saja juga merupakan emosi yang tidak
dapat kita tahan. Tapi itu tidak apa-apa. Jadi, apakah kalian ingin menciptakan
kebahagiaan dari Paman Dobri atau menciptakan kebahagiaan dari diri sendiri?
Apapun pilihannya, It’s okay not to be okay, but please try to be okay!
Jangan lupa bahagia hari ini!
Sumber:
https://positivepsychology.com/who-is-martin-seligman/
https://theskillcollective.com/blog/the-3-types-of-happiness
https://www.pursuit-of-happiness.org/history-of-happiness/martin-seligman-psychology/
Buku “What’s So Wrong About Your Life” karangan Ardhi Mohamad